Saya masih ingat ketika pertama kali traveling ke Belitung sembilan tahun silam, di mana tahun itu, adalah tahun di mana teknologi belumlah semaju saat ini. Saya yang pergi bersama lima orang kawan lainnya mendatangi kantor Sriwijaya Air yang terletak di bilangan Harmoni, Jakarta Pusat, untuk membeli tiket dengan harga promosi yang informasi mengenai promonya kami dapatkan dari mulut ke mulut. Bukan, mulut ke mulut ini bukan berarti sedang berciuman, melainkan informasi yang disebarkan melalui perantara orang ke orang. Kami juga belum tahu ada apa saja di Belitung, namun hasrat ke Belitung saat itu sangatlah menggebu-gebu. Karena apa? Karena buku fiksi karangan Andrea Hirata!

Pada tahun yang sama, saya juga traveling ke luar negeri untuk pertama kalinya, tepatnya ke Singapura, di mana akhir dari perjalanan tersebut merupakan awal mula saya menjadi seorang pencandu jalan-jalan. Apa yang membuat saya pergi ke Singapura? Tentunya bukan karena Instagram ataupun membaca blog orang. Melainkan karena mengetahui adanya seorang teman dekat yang tiba-tiba merencanakan untuk pergi ke sana, yang membuat naluri orang Indonesia saya terusik untuk bertanya “KAMU PERGI KOK GAK NGAJAK-NGAJAK AKU?” Lalu, boom! Saya langsung pergi ke Lion Air Tower untuk membeli tiket penerbangannya. Sebelum pergi, saya menyempatkan untuk membeli sebuah buku fenomenal yang berjudul “500 RIBU KELILING SINGAPURA” sebagai bahan belajar dan petunjuk selama di Singapura kelak.

Tapi itu dulu, sebelum teknologi berkembang pesat seperti sekarang. Zaman sekarang, traveling sangatlah mudah, hanya melalui genggaman, semua dapat dilakukan. Mulai dari memesan tiket penerbangan, mencari informasi perjalanan, hingga mengunggah foto-foto liburan untuk dapat dinikmati dan menjadi inspirasi bagi para pejalan lainnya. Dapat dibilang, saat ini kita sedang memasuki era Millennial Tourism.

Trip Flores

Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan Millennial Tourism itu? Kementerian Pariwisata Indonesia (Kemenpar) menyebutkan bahwa Millennial Tourism adalah pariwisata untuk generasi milenial yang menuntut penggunaan digital (digital experience) dalam segala aspek mulai dari inspirasi (mendapat ide berlibur), melakukan riset dan perencanaan liburan, mem-booking pesawat dan hotel, ketika berada di airport, sampai tiba di destinasi dan menikmatinya (untuk kemudian selfie). Sejalan dengan program strategis Kemenpar, Millennial Tourism diharapkan dapat menjadi pendorong atas meningkatnya target kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia tahun ini sebanyak 20 juta wisatawan asing, di mana diproyeksikan bahwa 50% di antaranya adalah milenial.

Semoga sih, bukan milenial yang menjadi begpacker ya!

Generasi Milenial –atau Generasi Y, yang disebutkan oleh mayoritas peneliti serta ahli demografi sebagai generasi yang lahir pada awal tahun 1980-an sampai pertengahan tahun 1990-an yang juga kerap disebut juga sebagai ‘Echo Boomers’ karena ledakan kelahiran anak-anak dari para Baby Boomers (1946-1964) atau Generasi X (1965 – awal tahun 1980an) ini sangatlah tinggi pada kurun waktu tersebut, merupakan generasi unik, yang lahir di tengah-tengah pertumbuhan internet dan teknologi. Kami, para milenial merasakan adanya perubahan zaman sebelum masuknya teknologi digital dan setelah maraknya penggunaan teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari.

Walaupun karakteristik milenial ini cukup berbeda-beda tergantung wilayah, kondisi sosial ekonomi, hingga pola hidup tiap individunya, namun ada beberapa karakteristik serupa yang dapat dikaitkan dengan tren turisme saat ini.

Milenial adalah Generasi yang Disruptive

Milenial adalah generasi yang lahir dan tumbuh besar di Era Informasi, di mana pertumbuhan kami juga ditandai oleh perkembangan internet, khususnya media sosial dan berbagai teknologi digital yang serba canggih. Dikatakan juga bahwa milenial adalah sebuah generasi yang ‘disruptive’ –mengganggu, karena mengacaukan berbagai pakem yang sudah ada dan berjalan lama. Di Indonesia, kami tumbuh pada era di mana toko-toko besar tidak lagi memiliki barang jualan (Tokopedia dan Bukalapak), pemilik jasa layanan transportasi tidak mempunyai armadanya sendiri (GoJek dan Grab), dan penyedia layanan booking hotel tidak memiliki hotelnya sendiri (Tiket dan Traveloka).

Menjadi generasi pertama yang tumbuh pada era di mana internet ada di mana-mana, kami harus bangga, karena dapat senantiasa terhubung dengan teknologi masa depan dan terbiasa untuk mencoba produk dan konsep baru, yang mungkin belum ada pada era orang tua, kakek nenek, ataupun buyut moyang mereka sendiri.

Satu hal yang pasti, saat ini hidup kami sangat bergantung pada internet dan gadget –selain uang tentunya. Dua hal yang kami gunakan untuk mengakses segala macam layanan barang dan jasa yang ada di dunia. Dua hal yang belum ada ketika generasi di atas kami tumbuh. Sorry, Dad.

Nusa Penida

Pada zaman yang serba cepat dan serba instan ini, berbagai macam disrupsi juga terjadi pada sektor pariwisata, seperti misalnya pada hal-hal berikut ini:

A. Inspirasi Liburan

Pada zaman dahulu, inspirasi liburan datang biasa datang dari melihat foto-foto cetak saudara dan teman yang sudah berlibur dan kembali dengan cerita-cerita pamernya, atau mungkin dari iklan di televisi dan di radio.

Sementara pada zaman sekarang, inspirasi liburan dapat dengan mudah kita dapatkan dari iklan di media sosial, ataupun postingan online teman-teman, saudara, ataupun influencer kesayangan kamu yang baru saja pulang dari berlibur.

B. Riset Rencana Perjalanan

Pada awal-awal melakukan perjalanan beberapa tahun silam, saya selalu membeli buku perjalanan karangan orang-orang yang sudah pernah ke sana seperti Claudia Kaunang dan kawan-kawan, ataupun buku seperti Lonely Planet yang mengulas satu destinasi khusus.

Sekarang, sudah lebih mudah lagi, untuk mengakses segala informasi yang dibutuhkan, saya hanya tinggal browsing di Google, membuka blog pejalan yang sudah pernah ke sana seperti saya, eh, menonton video liputan di YouTube, membaca review destinasi di Trip Advisor, hingga mencari berbagai informasi sambil menikmati foto-foto yang menawan di Instagram Kementerian Pariwisata Indonesia.

Instagram Kemenpar

C. Pemesanan Pesawat dan Hotel

Apabila pada zaman dahulu saya diharuskan untuk mendatangi kantor maskapai atau agen perjalanan tertentu guna membeli tiket pesawat dan memesan penginapan di destinasi tujuan, maka saat ini, kita lebih dimudahkan dengan teknologi dalam genggaman yang memungkinkan kita untuk melakukan semua pemesanan dan pembayaran tersebut melalui aplikasi pada smartphone.

Zaman dahulu, untuk bayar pun boro-boro bisa dengan internet banking dan mobile banking, saya diminta datang langsung ke kantornya untuk gesek di mesin, atau bahkan kadang-kadang masih diminta untuk membayar secara tunai, seperti mas kawin!

D. Kebiasaan di Bandara

Untuk kebiasaan di bandara, yang sangat umum terjadi saat ini adalah adanya kemudahan berupa online check-in yang dapat dilakukan dari smartphone, yang memungkinkan kita untuk melakukan check-in sebelum tiba di bandara dan memilih nomor kursi yang diinginkan apabila masih ada, dan gak bayar. Sampai bandara, kita tinggal meletakkan bagasi, kemudian foto-foto sambil duduk di sepeda dengan membonceng Pak Jokowi, deh.

Bandingkan dengan dahulu, di mana kita harus datang beberapa jam sebelum penerbangan, untuk menghindari panjangnya antrean di depan konter check-in yang masih harus dilakukan secara manual. Sangat ribet dan wasting time, bukan?

E. Hal-hal Selama dan Sesudah Perjalanan

Satu hal yang selalu saya bawa ketika traveling sebelum tahun 2013 adalah peta lipat yang saya sisipkan pada kantung tempat minum di tas punggung. Di tengah perjalanan, saya biasa melipat peta tersebut, menjadi lembaran besar, dan mencari tahu di mana saya berada, dan mau ke mana. Sebuah hal yang tidak akan ditemukan sekarang, karena saya dapat dengan mudah mencari tahu lokasi saat ini dengan menggunakan teknologi GPS (Global Positioning System) dan bantuan Google Maps di smartphone.

Kemudian, untuk berpindah dari satu titik ke titik yang lain pada zaman dahulu, saya biasa menanti taksi yang lewat atau berhenti pada halte bus tertentu. Beda dengan sekarang di mana kita dapat memesan moda transportasi secara online dengan mudah, asalkan ada kuota internet, dan punya smartphone.

Disrupsi pada berbagai macam sektor di Era Informasi ini adalah hal yang tidak dapat dielakkan, di mana sebagai pelaku usaha pariwisata sudah seharusnya shifting dengan mengikuti tren yang ada. Jangan sampai baru sadar ketika semua sudah terlambat yang dapat berujung tidak mampu mengejar kebutuhan para milenial yang semakin lama semakin beragam.

Milenial Lebih Menghargai Pengalaman daripada Memiliki Harta Benda

Studi dan penelitian yang dilakukan oleh Forbes mengatakan bahwa kaum milenial saat ini lebih menghargai pengalaman ketimbang memiliki harta benda yang berlimpah. Sebuah pergeseran dari generasi sebelumnya yang lebih suka membeli barang-barang daripada menggunakan hartanya untuk ‘membeli’ pengalaman. Bahkan, dikatakan juga, para milenial beranggapan bahwa memiliki barang-barang itu adalah sebuah hal yang sudah ketinggalan zaman!

Benarkah demikian? Kalau ditanyakan kepada saya dan para milenial di sekeliling saya, maka jawabannya adalah kami lebih suka jalan-jalan daripada membeli aset. Sebuah jawaban yang divalidasi berdasarkan hasil riset yang saya lakukan kepada 600 lebih responden di Instagram.

Lalu, mengapa milenial lebih menghargai pengalaman daripada barang-barang? Jawabannya adalah karena itu dapat membuat mereka bahagia –lebih lama. Sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Thomas Gilovich, seorang professor psikologi di Cornell University menyebutkan bahwa menghabiskan uang untuk ‘membeli’ pengalaman memberikan kebahagiaan yang lebih lama dibandingkan menghabiskan uang untuk membeli barang-barang. Semoga tulisan ini tidak dibaca oleh admin Jouska.

Selain itu, dikatakan juga bahwa pengalaman akan lebih mudah untuk dibagikan, dan ini adalah hal yang penting untuk diteruskan kepada generasi muda. Saat ini, akan lebih bermanfaat untuk membagikan foto dan cerita dari sebuah perjalanan dibandingkan dengan mem-posting foto kita ketika berbelanja kulkas atau cincin batu akik baru.

Petani Jamur

Memanen Jamur di Subak Sembung, Denpasar, Bali.

Salah satu perusahaan yang mampu menangkap fenomena tren milenial ketika traveling ini adalah Airbnb, sebuah platform penyedia penginapan yang tersebar di seluruh dunia. Namun, alih-alih hanya menyewakan penginapan (yang juga bukan miliknya, melainkan milik para hosts yang mendaftar), mereka juga menyediakan berbagai macam aktivitas di destinasi tujuan yang akan membuat para pejalan mendapatkan pengalaman tak terlupakan, mulai dari menyediakan Cooking Class di Ubud, Night Trekking di Bromo, Batik Workshop di Jogja, hingga Street Food Walk di Kebayoran Baru Jakarta.

Lantas, apa yang telah dilakukan para pelaku usaha pariwisata tanah air untuk membuat para traveler ini mendapatkan pengalaman tak terlupakan? Beberapa diantaranya adalah membangun Selfie Spot di tempat pariwisata, memberikan edukasi mengenai budaya lokal, hingga menambahkan interaksi dengan penduduk lokal dalam daftar rencana perjalanan, supaya milenial tidak hanya jalan-jalan saja, melainkan dapat mendapatkan kenang-kenangan tak terlupakan dari sebuah perjalanan yang dapat langsung diunggah ke media sosial.

Seperti di bawah ini contohnya.

Wonderful Indonesia

Omong-omong, apakah kamu suka mengambil foto selfie lalu diunggah ke media sosial? Maka kamu tidak sendirian.

Milenial Berkumpul di Media Sosial

Iya, media sosial, yang merupakan wadah tempat berkumpulnya kaum milenial masa kini. Apabila pada zaman dahulu orang-orang berkumpul di warung kopi untuk berdiskusi, maka saat ini, kami berkumpul di Twitter untuk mencari informasi, di Facebook untuk mengetahui kabar teman-teman masa kecil, di Instagram untuk ber-ghibah eh berdiskusi, atau juga di YouTube untuk mengetahui aktivitas terkini selebritas kesayangan. Tentunya juga diimbangi dengan kebiasaan untuk membagikan konten milik kami sendiri, kan katanya sharing is caring, bukan?

Iya, ada kok yang suka berkumpul di warung kopi juga, namun masih tetap menggenggam gadget ketika duduk bersama teman-teman yang lain, bukan?

Tidak hanya sebagai media untuk berinteraksi dan berdiskusi antara satu dengan yang lainnya, kami menjadikan media sosial saat ini juga sebagai sarana untuk pamer, eh maaf, maksudnya berbagi sekaligus sebagai sarana untuk aktualisasi diri. Melalui hal-hal yang diunggah ke media sosial, kami dapat membangun citra diri di mata orang lain, dan salah satu hal yang paling sering diunggah untuk membangun citra diri tersebut adalah … foto-foto dan cerita perjalanan.

Dengan mengunggah foto-foto perjalanan, maka secara tidak langsung kita mencitrakan diri kita sebagai seseorang yang bahagia, bebas, menikmati hidup, dan, uhuk, terlihat sukses di mata yang lain.

Sebagai pelaku usaha pariwisata, sudah saatnya kita menangkap tren wisata milenial ini dengan baik, baik secara offline maupun online. Secara offline, pelaku usaha dapat membenahi destinasi supaya lebih ‘Instagrammable’ dengan selalu menjaga kebersihan lokasi wisata, menyediakan berbagai fasilitas pendukung yang memberikan kenyamanan, dan juga menempatkan selfie spot yang menarik dan ramah lingkungan. Kemudian secara online, kita harus pula mempunyai tampilan media sosial yang ramah, menyenangkan, dan diimbangi dengan komunikasi secara dua arah.

Sebuah hal yang saat ini sedang saya kembangkan di Whatravel Indonesia, biro perjalanan wisata yang saya buat bersama beberapa partner dengan target market utama kaum milenial.

Whatravel Indonesia

Dalam hal promosi pariwisata, kaum milenial saat ini tidak akan mudah terpancing untuk membeli atau bepergian hanya berdasar iklan atau informasi yang lewat di media sosial, akibat telah terjadi pergeseran pola pikir mengenai kepercayaan terhadap sebuah produk. Alih-alih percaya pada distribusi informasi yang bersifat satu arah, kami saat ini lebih percaya apabila sudah ada teman atau orang lain yang pernah melakukannya, atau dalam hal ini disebut sebagai User Generated Content (UGC) yang merupakan konten atau informasi yang dibuat oleh pengguna produk.

Simpelnya adalah seperti ini, ketika seorang milenial akan membeli sebuah produk baik barang atau jasa, mereka tidak akan langsung membeli karena iklan yang dilihatnya. Biasanya, mereka akan mencari tahu dahulu informasi mengenai latar belakang penyedia produk tersebut, membaca ulasan dari konsumen-konsumen yang lain, juga mempelajari testimoni yang masuk di akun media sosial penyedia produk tersebut. Baru setelah yakin, mereka akan membeli produk tersebut.

Rumit? Tidak juga, kan sekarang sudah ada teknologi yang memungkinkan untuk melakukan semuanya hanya dalam genggaman. Teknologi yang bernama smartphone.

Milenial adalah Generasi yang Melek Teknologi Namun Gampang Bosan

Dengan adanya teknologi dalam genggaman, informasi yang masuk biasanya akan semakin tak terbendung, pun demikian halnya dengan penawaran barang dan jasa yang ada. Milenial, biasanya akan mudah tergoda dengan produk-produk yang sedang menjadi tren di pasaran. Saking mudahnya lagi, untuk mendapatkan produk tersebut pun sekarang cuma tinggal browsing, bayar, dan tunggu barangnya dikirim.

Derasnya arus informasi yang masuk pada era ini pun lambat laun akan membuat milenial merasa cepat bosan dengan barang yang dipunyai. “Belum juga satu tahun punya smartphone baru, tahu-tahu sudah keluar lagi yang lebih baru.” Demikian keluhnya. Sebuah situasi yang kerap ditemui belakangan ini. Ujung-ujungnya, barang yang lama dilego di marketplace atau media sosial, dan barang yang baru langsung dibeli, yang kalau bisa dicicil selama setahun supaya terasa murah. Jouska, mana Jouska?

Saya menganggap bahwa sebuah barang juga memiliki masa bosan, yang berarti akan ada suatu titik di mana kita akan merasa barang ini sudah tidak semenyenangkan dahulu untuk dimiliki, yang ujung-ujungnya saya akan menggantinya dengan hal yang baru. Apalagi, teknologi terus berkembang dan seperti tak akan ada habisnya. Berbeda dengan kepuasan memiliki barang, kepuasan akan pengalaman adalah hal yang tak akan lekang oleh waktu.

Pertanyaannya, apakah traveling juga dapat menjadi sebuah hal yang membosankan?

Trip Flores

Jawabannya, bisa iya, bisa tidak. Iya, apabila kamu pergi ke destinasi yang itu-itu saja, ataupun mendapat pengalaman wisata yang biasa saja, dan tidak apabila kamu menemukan destinasi atau aktivitas lain yang dapat memberikanmu pengalaman baru yang tak terlupakan.

“Masa Bali lagi, Bali lagi.” Ucap seorang milenial ketika diajak berlibur. “Yang lain dong, masa ke Pantai Kuta terus.”

Sebuah jawaban akhirnya datang dari Kemenpar yang sedang melakukan pembangunan dan pengembangan daerah wisata yang nantinya akan diproyeksikan untuk menjadi “Bali Baru” atau destinasi wisata utama yang akan melengkapi peta turisme di Indonesia. Kini sudah ada 5 (lima) destinasi yang masuk ke dalam Destinasi Super Prioritas yang akan dipercepat pembangunannya, yaitu Mandalika, Labuan Bajo, Danau Toba, Borobudur, dan Likupang.

Keren juga ya, Kemenpar?

Andil pemerintah di atas, sudah selayaknya didukung oleh kita semua sebagai warga negara, dengan tetap merawat alam Indonesia supaya tetap lestari dan terus melakukan kegiatan wisata yang berkesinambungan bagi alam.

Milenial Cukup Peduli terhadap Lingkungan

Sebuah survei yang dilakukan Deloitte pada tahun 2019 dengan mengambil sampel lebih dari 7.700 kaum milenial di 29 negara mengatakan bahwa 84% milenial percaya bahwa sudah merupakan tugas mereka untuk mengubah dunia menjadi lebih baik –di mana salah satu caranya adalah dengan menjaga kelestarian alam.

“Millennials don’t want to just read the news anymore. They want to know what they can do about it.”

–Ian Somerhalder, American actor, model, and director.

Menurut saya, kutipan di atas cukup tepat, karena kaum milenial sekarang lebih suka aktif dalam berbagai hal, dibanding hanya diam membaca, atau malah tidak berbuat apa-apa. Dalam dunia nyata, kutipan di atas juga berlaku bagi dua orang teman milenial saya, Kania dan Tony, yang membuat sebuah project super keren bernama Main ke Desa, yang bertujuan untuk mengangkat pariwisata pada desa-desa di Indonesia yang mempunyai keunikannya sendiri.

“Desa-desa di Indonesia ini, mempunyai keunikannya masing-masing.” Pada pertemuan kami yang terakhir, Kania bercerita dengan antusias kepada saya. “Akan sayang rasanya kalau pariwisata di sana tidak dikembangkan dengan baik, dengan tujuan untuk memajukan masyarakat sekitar.”

Giving back. Sebuah prinsip yang berarti memberi kembali kepada alam dan masyarakat sekitar yang telah memberikan manfaat dan kebaikan kepada kita semua, supaya tetap lestari dan terjaga dengan baik.

Main ke Desa Com

Milenial, adalah generasi yang kritis terhadap fenomena sosial, namun mereka adalah generasi yang ‘Walk The Talk’ atau melakukan apa yang mereka kritisi, dengan harapan dapat mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik, seperti harapan mendiang Michael Jackson di lagu Heal The World.

Ya mungkin inilah saatnya, untuk mengubah dunia menjadi lebih baik, dengan sinergi yang berkelanjutan antara pemerintah, masyarakat lokal, dan kaum milenial, dengan pariwisata sebagai ujung tombaknya.

Simpulan: Ada Apa dengan Milenial dan Tren Turisme Saat Ini?

Pada sebuah Rapat Pengembangan Sektor Pariwisata yang diadakan Wakil Presiden Republik Indonesia, Bapak Jusuf Kalla dengan beberapa menteri Kabinet Kerja di kantornya bulan Februari silam, ditekankan mengenai pentingnya pengembangan sektor pariwisata di destinasi prioritas.

“Pengembangan sektor pariwisata ini sangat penting. Karena memiliki potensi penyumbang devisa nomor satu di Indonesia.” Kata bapak Jusuf Kalla. “Khususnya pengembangan untuk 4 Destinasi “Super Prioritas”. Saat itu baru ada Mandalika, Labuan Bajo, Danau Toba, dan Borobudur dalam daftar Destinasi Super Prioritas. Baru kemudian pada bulan Juli 2019, Likupang juga masuk ke dalam daftar karena besarnya potensi yang dimiliknya untuk tumbuh menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang akan menjadi daya tarik pariwisata di masa mendatang.

“Saat ini, devisa pariwisata sudah mencapai USD 17 miliar. Bahkan melebihi sektor-sektor lain yang selama ini menjadi unggulan.”

Ucapan tersebut juga dibenarkan oleh Menteri Pariwisata Indonesia, Bapak Arif Yahya yang menyampaikan bahwa pertumbuhan pariwisata Indonesia telah tumbuh cepat dan lebih unggul daripada pertumbuhan regional dan global, di mana pertumbuhannya telah mencapai 22 persen atau lebih tinggi daripada rata-rata global yang hanya sebesar 6,4 persen.

Sebentar, kamu tidak tahu siapa itu Bapak Arief Yahya? Atau belum pernah melihat wajahnya? Berikut saya tampilkan fotonya, supaya kalau ketemu di jalan bisa diajak selfie untuk kemudian diunggah ke media sosial. Kan, milenial?

Oh iya, bapaknya yang kiri, bukan yang kanan, ya.

Menpar Arief Yahya

Omong-omong kembali tentang milenial, pelaku usaha pariwisata saat ini sudah selayaknya dapat memfasilitasi berbagai kebutuhan mereka pada sektor pariwisata, dengan bukan hanya menyajikan pemandangan, namun juga memberikan pengalaman. Destinasi yang sudah ada, dapat semakin dibenahi supaya lebih bersih, menarik, dan Instagrammable, –layak tayang di media sosial. Karena bagi milenial, tampilan dan citra yang dibentuk di media sosial juga merupakan hal yang cukup penting.

Simak video saya ketika mengunjungi tempat-tempat yang Instagrammable di Malang beberapa pekan lalu.

Yang tak kalah ketinggalan, perlu juga diciptakan kerjasama yang apik dan sinergi yang berkesinambungan antara pihak kementerian terkait, yang dalam hal ini adalah Kementerian Pariwisata Indonesia, dengan para pelaku usaha pariwisata. Karena dalam hal menumbuhkembangkan pariwisata Indonesia, tidak akan bisa berjalan dengan baik apabila hanya dilakukan pada satu sisi. Dengan pengelolaan tempat wisata yang apik dan penerapan digitalisasi yang tepat, saya yakin bahwa sektor pariwisata Indonesia dapat tumbuh dengan cepat untuk segera menjadi mesin devisa tanah air.

Bapak Arief Yahya mengatakan bahwa langkah digitalisasi menjadi keharusan saat ini, karena 70 persen pasar wisata akan mencari, melihat, dan mempelajari destinasi secara online sebelum melakukan perjalanan. “Melalui digital, konsumen akan mendapatkan layanan lebih, tapi dengan biaya lebih rendah.”. Pay less for more, kalau istilah marketing-nya.

Pertanyaannya, sudah siapkah kamu untuk memasuki era digital dalam pariwisata? Saya sudah.