
“Of course, sunset. Sunrise is overrated.” Jawab Matthew, ketika saya menanyakan manakah yang lebih dia suka, antara sunset atau sunrise. Dan apabila saya menambahkan satu variabel lagi, yaitu wanita Indonesia, mungkin jawaban Matthew akan berbeda. Memang, untuk melihat sunrise, kita harus bangun lebih pagi, meninggalkan kenikmatan duniawi, memakai pakaian hangat, sebelum menuju spot sunrise, seperti yang saya lakukan di Bromo. Sedangkan untuk menikmati sunset, tak perlulah bangun pagi, cukup tahu di mana lokasi sunset-nya, lalu tinggal berangkat menuju ke sana pada sore hari, dengan pakaian seadanya.
Namun ternyata tidak demikian halnya dengan sunset di Jailolo, yang untuk mendapatkannya membutuhkan lebih dari perjuangan dan doa anak saleh.
Kamis – Hari Pertama
Pukul lima sore. Saya bersama rombongan media Festival Teluk Jailolo telah tiba di pemandian air panas Desa Gamtala, yang merupakan starting point untuk menuju pantai Lako Ake Lamo –yang dikisahkan memiliki sunset yang menawan. Untuk mencapai pantai tersebut, kita harus menyusuri sungai dengan hutan mangrove di kanan kirinya menggunakan perahu kecil yang memang disediakan untuk umum.
Hari itu adalah hari pertama saya di Jailolo, setelah terbang dini hari dari Jakarta menuju Ternate dan disambut sunrise yang mewah melalui jendela pesawat, saya berharap keberuntungan dapat membawa saya menyaksikan sunset yang spektakuler di Jailolo. Dan berbicara keberuntungan, sore itu hujan turun mengguyur Gamtala. Deras.
Kami berteduh di sebuah pondok, merapat sambil menghangatkan badan, sementara tak jauh di sana ada warga lokal yang sedang merebus batu-batu kecil “Itu supaya hujan segera reda.” Ucap seseorang diantara kami, tentang kepercayaan lokal warga setempat itu. Saya hanya membatin, tak mau menyangkal kepercayaan tersebut. Tak lama kemudian hujan mulai reda, entah karena rebusan batu tersebut, atau karena ada yang diam-diam melempar celana dalam ke atap pondok.
Hujan belum sepenuhnya habis ketika dua buah perahu membawa kami menyusuri sungai yang lebarnya tak lebih dari tiga meter itu. Airnya jernih dan hangat, walaupun endapan lumpur membuatnya terlihat gelap. Beraneka tanaman tumbuh di pinggiran sungai –dan lebih banyak lagi ke dalam, berpadu dengan suara aneka burung dan serangga yang mengalun nyaring. Kami sedang khusyuk mendengarkan ucapan si pemandu tentang asal usul sungai itu, ketika hujan mulai turun lagi.
“Kita menepi, atau terus?” Teriak si pemandu ketika kami melewati rumah singgah yang direncanakan akan digunakan untuk makan malam nantinya.
“TERUSSSS!” Ucap kami semangat, meminta si pendayung untuk lebih cepat, guna mengejar perahu di depan. Sudah terlanjur basah, ya sudah basah sekali, pikir saya, tanpa bersenandung dangdut.
Tak beberapa lama, hujan justru turun semakin lebat. Saya memeluk erat daypack —setengah meringkuk, berharap dapat melindungi isinya dari air. Tiba-tiba perahu yang semula berada di depan, sudah berputar arah dan tiba di hadapan kami. “BALIK! BALIK! BALIK!” Seru mereka hampir bersamaan. Di antara gelapnya langit dan derasnya hujan, badai datang. Dan saat itu tak ada yang membawa kompor untuk merebus batu.
Jumat – Hari Kedua
“Pokoknya aku mau lihat sunset!” Seru Dina sesaat setelah kami selesai menyelam di Pastofiri. “Follower-followerku sering pada nanyain foto sunset.”. Saya hening. Perkataan tersebut menyatakan dua hal, yaitu: (1) Dina anak Twitter, dan (2) Kami harus mencari sunset segera.
Berikutnya, kami berkumpul di depan Camar –sebuah wisma tempat Matthew menginap selama di Jailolo, dan masih belum memutuskan akan ke mana. Yang penting cari ojek dulu, pikir kami saat itu. Untung saja, lokasi ojeknya terletak tak jauh dari situ, dan kami dapat menemukan tiga orang tukang ojek yang baik hati, tidak sombong, dan memasang tarif 30.000 rupiah untuk perjalanan ke Dermaga Saria.
“Kalau sunset ya di Saria.” Papar seorang tukang ojek. “Tapi di Bobo juga bisa ding.” Tambahnya, labil.
“Jadi ke mana nih, Pak?” Tanya Dina gemas.
“Ke Saria saja ding, view-nya lebih bagus.” Jawabnya. “Di sana bisa lihat tiga pulau. Ternate, Tidore, dan Hiri.”
Kurang lebih 30 menit perjalanan ke arah barat bukan untuk mencari kitab suci, bapak tukang ojek membelokkan motornya ke arah kiri, menapak jalan berbatu yang belum diaspal. “Di sini jalannya kurang bagus, sudah rusak karena banyak kendaraan berat yang lewat.” Curhatnya.
“Terus Pak Bupati, bagaimana, sudah tahu?” Usik saya, usil.
“Mungkin kelewat, Mas.” Jawabnya, waktu kami melewati sekumpulan kerbau yang sedang asyik bermain di lapangan sisi kanan jalan. Dan lucunya, jalan mulai mulus lagi setelah melewati sepetak hutan. Benar, mungkin cuma kelewat belum diaspal saja.
Setelah melewati jalan menurun yang cukup curam, kami tiba di sebuah perkampungan. Penduduk setempat (yang tak jauh beda dengan penduduk yang kami temui sepanjang perjalanan) berisik memanggil Matthew yang sedang membonceng ojek, mereka berteriak sambil melambaikan tangannya. “Mister! Mister!“, “Hey Mister. How are you?“, “Mister, I love you!” adalah ucapan-ucapan yang sering terdengar.
“I hate it.” Komentar Matthew, mengenai panggilan Mister yang masih disematkan ke dirinya walaupun sudah sepuluh tahun tinggal di Indonesia. “I want to be called by ‘Pak’.”. Ya, dengan tinggi yang hampir dua meter, kulit putih, rambut pirang, dan hidung mancung, seorang Matthew ingin dipanggil Pak karena telah lama tinggal di sini. Yeah, you’re right, Pak Mister.
Kami duduk bersebelahan mengambil tempat di sudut dermaga kayu, dengan Pulau Ternate, Pulau Tidore, dan Pulau Hiri berjajar rapi di hadapan kami. Sebuah kapal nampak merapat ke pelabuhan, sementara beberapa orang hilir mudik di dermaganya, dengan deburan ombak sebagai background music-nya. Sebuah keriuhan yang membuat tenang dan damai.
Awan bergulung gelap di langit, dan tak ada pertanda matahari akan tenggelam di sini. Di hari kedua pencarian sunset di Jailolo, kami gagal lagi.
Sabtu – Hari Terakhir
Hari terakhir di Jailolo, yang berarti kesempatan terakhir untuk melihat sunset. Menyaksikan matahari terbenam, mungkin cuma sebuah prosesi di mana matahari seolah-olah tenggelam di ufuk barat, namun tahukah kamu bahwa sesungguhnya bukanlah matahari yang terbenam, namun justru bumi yang berotasi terhadap matahari? Yang membuat hal ini luar biasa adalah bukan mataharinya, namun pada situasi dan efek apakah yang ditimbulkan matahari terhadap penikmatnya.
Saya menarik Matthew dari kerumunan warga lokal yang meminta foto bersamanya, supaya segera bersiap naik ojek ke spot sunset berikutnya. Di Kecamatan Jailolo, kedatangan warga asing mungkin hanya akan dapat disaksikan pada helatan Festival Teluk Jailolo, atau acara khitanan sultan saja. Maka adalah hal yang lumrah apabila seorang bule –seperti Matthew, dielu-elukan dan diajak untuk foto bersama. Jika di Thailand kita harus membayar warga lokal untuk dapat foto bersama, mungkin di Jailolo warga lokal yang seharusnya membayar bule untuk foto bersama. Ke depannya, mungkin dapat dihimbau kepada bule-bule untuk mencari kerja di Jailolo, sebagai tugu peringatan.
Sebelumnya, Dina telah bertanya pada seorang pria berseragam PNS yang ditemuinya di seberang sebuah pasar tradisional Jailolo, tentang di manakah tempat yang tepat untuk menikmati sunset di Jailolo. Si pria menunjukkan foto dari telepon genggamnya, sebuah langit berwarna merah yang menyatu dengan laut. “Ini sunset di Pantai Marimbati.” Jelasnya.
Perjalanan ke Pantai Marimbati merupakan perjalanan ojek terlama yang saya alami di Jailolo. Menempuh rute ke arah timur teluk, si tukang ojek membawa saya melewati Desa Gamtala kembali, sebelum berbelok ke kiri menuju Pantai Marimbati. Itu masih ditambah dengan pamer keahlian menyetir motor ugal-ugalan, menyalip beberapa kendaraan dengan satu tangan, sementara tangan yang satunya lagi sibuk mengetik SMS.
Si tukang ojek menghentikan motornya di halaman belakang sebuah rumah berwarna kuning yang nampak sudah tidak berpenghuni lagi. “Ini rumah Sultan terdahulu.” Ucapnya. “Namun sekarang sudah tidak ditempati lagi.”. Berikutnya, dia bercerita bahwa Sultan selalu menempati rumah yang berlokasi antara pantai atau gunung. Tujuannya, adalah apabila terjadi bencana seperti tsunami atau gunung meletus, maka bencana itu hanya akan berhenti di tempat Sultan, tidak akan sampai ke warga.
Beberapa langkah dari rumah Sultan, membentang luas Pantai Marimbati yang merupakan tujuan kami, para pencari senja.
Pantai Marimbati, bukanlah pantai yang spesial. Walaupun memiliki garis pantai yang panjang dan diapit gunung di kanan kirinya, pantai ini memiliki pasir berwarna hitam, dengan tumbuhan rambat yang memenuhi sepertiga pantainya. Seonggok perahu bekas dibiarkan membusuk diantara tumbuhan tersebut, sementara beberapa nelayan nampak melaut di kejauhan dengan perahunya yang masih laik pakai.
Saya duduk di sela-sela tumbuhan tersebut, sambil memperhatikan keadaan sekitar. Matthew duduk bersandar pada sebatang kayu di pinggir pantai, Dina sibuk memainkan kameranya di samping saya, dan saya tiba-tiba diminta menjadi model untuk kamera Dina.
KLIK.
Ups! Saya lupa bilang kalau senja telah turun di Pantai Marimbati. Senja yang menjawab dahaga kami akan senja terindah di Jailolo, senja yang merupakan buah penantian dan perjuangan kami, sekaligus senja yang membuat kami menambah waktu tinggal di Pantai Marimbati karena terpesona akan keindahannya.
Hari telah gelap ketika kami kembali ke pusat kota, dan saya memeluk erat si tukang ojek.
Ciyeeee pelukan sama tukang ojek :’)))))))
LikeLike
Kamu gak marah, kan? :’)
LikeLike
Biasa aja.
#kodeetiksesamapengojek
LikeLike
hanjer bagus banget sunset-nya iiih :”D
LikeLike
Itu ada akoh kayaaaang :’)))
LikeLike
“Yeah, you’re right,
Pak Mister.”-mu bikin saya nggak konsen baca cerita setelahnya, mas. tanggung jawab kamu. 😦
LikeLike
Loh, eh? Kenapa kok jadi gak konsen? Ngebayangin apa?
LikeLike
Gimana, ya, abis serius baca bagian Mattew marah gara2 dipanggil Mister. Eh.. endingnya malah begini » “Yeah, you’re right, Pak Mister.”
Selera humorku yang rendah, atau bagaimana? Entahlah, yang jelas setelah baca itu, aku ngguyu dewe gak mari-mari koyok wong stres. Lebay? Emang. 😦
LikeLike
Maavkan aku ya mb 😦
LikeLike
Salam buat Matthew ya rip. Single nggak sih dia? :))
LikeLike
Wahahaha! Anaknya dua, istrinya baru satu.
LikeLike
Seru banget hunting sunsetnya. Untung hari terakhir dapet juga tuh sunset!
Btw, sunset is always amazing in Ramadhan.
LikeLike
Iyaaa, seru banget nyari sunsetnya. In Ramadhan, I think kolak is more amazing than sunset.
LikeLike
Akhirnya dapat juga, btw hutang mangrove nya mirip kayak di sungai cigenter ujung kulon 🙂
LikeLike
Wah aku belum pernah ke ujung kulon, habis lebaran ah! Keren ya di sana kakcum?
LikeLike
itu awan bisa keriting bulet2 kaya keluar dari salon…. amazing *nahan air liur
LikeLike
Iya Mas, aku mau rebondingin tapi gak nyampe :(((
LikeLike
Jadi traveler itu emang untung-untungan ya, mas. Pas gue nanjak ke Gunung Prau akhir Maret lalu, eh nggak dapet sunrise karena malah berkabut. Waktu ke Gunung Padang juga, udah bela-belain berangkat malem dari Jakarta dan harus begadang selama perjalanan, eh sunrise pun nggak dapet juga karena mendung. Sakitnya ‘tuh di siniii *mukul-mukul perut*
LikeLike
*ikutan pukul biar makin sakit*
Gue malah belum pernah naik gunung, dan pengin ikutan kalau bisa weekend doang. Hiks.
LikeLike
Bisa kok, mas. Bisa. Cari gunung yang deket2 aja, kayak Gede atau Papandayan 😀
LikeLike
Iya! Ntar gue mau ikutan si Acen aja deh.
LikeLike
Hati2 kalau jalan sama dia, mas *siulsiul*
LikeLike
Selalu deh lo, Riev. Awalnya doa anak yang soleh, akhirnya pelukan sama tukang ojek. Tulisannya seriius, bisa bikin kita ngebayangin tempatnya, tapi kadang kocak. Hahah \:D/
LikeLike
Yeay! Terima kasih apresiasinya masbro. Yang kayak gini nih yang bikin semangat nulis, hahaha.
LikeLike
Waaa sunset nya keren bangeeeet!
Eh ngomong-ngomong pose kayang itu emang wajib ya mas? perasaan banyak deh foto sambil pose kayang kayak gitu x))
LikeLike
Ahaha, iya keren, aku suka awannya yang bergulung-gulung itu.
Wah, kayangnya kelihatan ya? Penginnya sih jadi pose wajib tiap jalan, tapi apa daya *uhuk* faktor *uhuk* usia nih.
LikeLike
subhanallah mas… cakep bener sunsetnyaaa…
LikeLike
Subhanallah ya, yang cerita juga cakep…
LikeLike
Iya.. cakep juga deh.. 🙂
LikeLike
mungkin kalau pantainya masih biasa aja yah, walaupun pemandangan gunung itu membuat pantai lebih keren. Tapi sunset selalu keren 😀
LikeLike
Iya, setuju, sunset emang keren! Apalagi kalau dinikmati bersama orang tersayang.
LikeLike
entah kenapa semacam belum bisa move on dari postingan sebelum ini, dan tiba2 kangen kevin :((((
LikeLike
WOOOYYYY!! Puasa nih..
…tunggu buka dulu ya.
LikeLike
Ide tugu peringatan bulenya sumpah keren abis mas. Saya daftar buat yang foto pertama disitu ah..
Btw, saya jadi pengen jalan-jalan ke tulisannya Mba Dina deh, jadinya… *melipir*
LikeLike
Ahahaha, iya tuh bule bisa dapat penghasilan dengan berpose sebagai monumen di sana.
Gih, main ke http://www.duaransel.com ^^
LikeLike
kasian tukang ojeknya lo peluk, riev.
LikeLike
Iya, gue juga nyesal nih, Zia.
LikeLike
ahhh mupeng, masukin ke list tempat yang harus dikunjungin nih .. btw sarana buat kesana mudah ngk? trus penginapannya kayak gimana? *sorry banyak nanya 😀
LikeLike
Asik, masukin dong!
Ke sananya memang agak tricky karena harus naik pesawat ke Ternate sebelum lanjut naik boat 1 jam. Penginapan banyaknya homestay, yang dikelola oleh orang-orang yang ramah.
LikeLike
Pengen…. yup, masukin list. Yang paling deket mau ke Derawan dulu deh 😀
LikeLike
Aaahh senangnya ke Jailolo … Tempat yang belum pernah kukunjungi … *uhuk*
Udah lama ga baca blog kakak Ariev, trus lupa kl kesukaannya foto nungging eh kayaangg … 😀
LikeLike
Hi Timo, ciyeee yang habis ke Jogjaaaa. Aku malah udah lama gak ke sana.
Terus kapan aku dikayangin kak? 😦
LikeLike
Hayuuukkk kapan? *lho* 😀
LikeLike