Sebagai seorang pegawai kantoran, praktis saya hanya mempunyai sedikit waktu untuk liburan, kalau tidak akhir peken, hari kejepit, ya terpaksanya mengambil jatah cuti tahunan yang tidak seberapa jumlahnya itu. Intinya, saya ingin mendapatkan banyak hal dengan waktu yang terbatas tersebut. Tidak masalah apabila dikatakan sebagai checklist traveler, namanya juga pegawai kantoran.

Seperti halnya ketika saya mengunjungi Ambon, Maluku, beberapa pekan lalu, di mana saya hanya memiliki sedikit waktu di akhir pekan dan ingin mendatangi banyak tempat sekaligus; otomatis menggunakan jasa tur privat adalah sebuah pilihan yang tepat karena saya akan menghemat banyak waktu –ya walaupun dari segi ekonomi, biaya pasti akan lebih tinggi. Tidak masalah, namanya juga pegawai kantoran, bukan bule luar negeri yang ke Indonesia dengan budget tipis lalu kehabisan uang dan mengamen di sini.

Peta Wisata Ambon

Lalu, bagaimana dengan perjalanan saya di Ambon dan sekitarnya? Mam…pukah saya mendapatkan banyak hal hanya di akhir pekan? Atau apakah saya berhasil mendapatkan Bika Ambon di Ambon? Yang jelas, perjalanan saya di Ambon, diawali dengan…

1. Selfie di Puncak Love Negeri Allang

“Ayo, selfie dong di sini.” Celetuk Mbak Wiwin, pemandu perjalanan saya kala itu. “Ini namanya Puncak Love Negeri Allang.” Negeri, dalam bahasa setempat berarti desa. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam dari Bandara Pattimura Ambon, akhirnya kami tiba di sebuah viewpoint yang menyajikan pemandangan pohon kelapa dan desa tepi pantai, dengan beberapa buah bangku dan meja kayu yang terletak pada lokasi tersebut.

Puncak Love Negeri Allang

Untuk masuk ke viewpoint yang dikelola oleh desa setempat ini, saya cukup membayar biaya retribusi atau tiket masuk seharga Rp2.000,- cukup murah, hanya seharga sebuah gorengan di Jakarta. Setelah mengabadikan beberapa foto dengan kamera, lalu saya mengambil ponsel dan sambil malu-malu, saya melakukan selfie.

Klik.

2. Mengunjungi Pantai Huluwa yang Unik

Beberapa kilometer setelahnya, kami tiba di sebuah pantai unik bernama Pantai Huluwa di Negeri Wakasihu, yang memiliki bentang alam berupa karang dan batuan cadas di pinggiran pantai dengan pepohonan yang berdiri di atasnya. Menurut bahasa lokal, ‘Hulu’ merupakan nama kebun di lokasi pantai itu berada, sedangkan ‘Uwa’ adalah tanjung,  yang disebabkan lokasi pantai ini berada tepat di tanjung.

“Kalau kata orang sini, pantai ini mirip Tanah Lot di Bali.” Pak Risky, pemandu perjalanan yang lain menambahkan.

Saya menghabiskan waktu cukup lama bermain di pantai dengan biaya masuk sebesar Rp5.000,- ini, sambil melatih kemampuan fotografi saya dengan memotret para nelayan yang sedang bekerja di laut dan memanfaatkan batuan karang untuk framing. Sesekali, saya memperhatikan kepiting-kepiting kecil yang berlarian miring di atas batu karang, mungkin sambil menyesali nasib, mengapa mereka tidak bisa berjalan lurus.

Selain batuan karang, Pantai Huluwa juga memiliki sebuah ‘kolam pemandian’ pada sisi yang lain, yang merupakan sebuah laguna mungil yang menampung air laut ketika pasang. Berhubung saya sedang malas berbasahan, maka siang itu saya meninggalkan Pantai Huluwa dengan pakaian yang kering dan sebuah pertanyaan “Bagian manakah dari pantai ini yang mirip dengan Tanah Lot?”.

Sumber Artikel

3. Mengagumi Batu Layar

Batu Layar Ambon

Dalam perjalanan berikutnya, kami sempat berhenti sebentar pada sepasang batuan besar di pinggir pantai, dengan berbagai coretan vandalisme yang telah menghiasi batuan tersebut. Coretan-coretan yang mengingatkan saya akan gereja ayam di dekat Candi Borobudur di masa sebelum tenar karena film AADC 2.

“Ini namanya Batu Layar.” jelas Pak Risky. Dinamakan demikian karena bentuknya yang seperti layar, tambah saya, dalam hati. Kami tidak menghabiskan waktu lama untuk mengagumi batuan di objek wisata gratis ini, karena salah satu tujuan utama kami hari itu adalah untuk…

4. Bermain dengan Belut Morea di Negeri Larike

Pak Risky memarkir mobilnya di depan gapura pintu masuk desa, sementara sebuah tembok selamat datang bertuliskan “Anda Memasuki Wisata Kolam Morea Larike” menyambut kami di samping gapura. Memang, tujuan utama kami adalah untuk mendatangi belut morea yang legendaris, dan hanya terdapat pada beberapa lokasi di Maluku, dan salah satunya adalah Negeri Larike ini.

Dari gapura, kami harus berjalan sebentar melewati permukiman penduduk, dan menuruni tangga batu untuk dapat tiba di sungai yang menjadi rumah bagi puluhan, atau malah ratusan belut morea ini.

Dengan bermodalkan seember ikan kecil yang kami beli seharga Rp20.000,-, seorang pawang memanggil para belut morea ini dengan memberikan makanan, ikan-ikan kecil dalam ember. Dalam hitungan detik, para belut sudah datang berkumpul, entah karena mencium bau amis ikan-ikan kecil tersebut, atau bau badan sang pawang. Yang terbesar, panjangnya bisa mencapai satu meter, dan berat dua puluh kilogram, kata bapak pawang.

Walaupun terlihat lezat, namun belut morea ini dikeramatkan dan tidak boleh dikonsumsi maupun diekspor ke Jepang, jadi pupus sudah harapan saya untuk mencicipi sushi morea di Ambon. Praktis, kegiatan saya siang itu hanya bermain di sungai, sambil meraba-raba belut Ambon yang hitam, besar, dan licin.

5. Beristirahat dan Makan Siang di Pulau Tiga

Perjalanan berlanjut menuju pelabuhan mini di Negeri Ureng untuk kemudian menyeberang ke Pulau Tiga, atau yang sering disebut sebagai Nusa Ela –Pulau Anak, dengan menggunakan ketinting atau perahu motor, selama lima belas menit. Di Pulau Tiga ini, jadwal liburan saya hanyalah makan siang, sambil leyeh-leyeh, dan menikmati perairan biru seperti foto di bawah ini.

Pulau Tiga Maluku

Selepas makan siang nikmat dengan ikan bakar, tumis bunga pepaya, dan sambal, angin sepoi-sepoi di pinggir pantai langsung membuat saya terlelap. Tanpa sadar, saya tertidur pada salah satu ruangan di Nusa Ela Resort, dan terbangun satu jam kemudian dengan kondisi pakaian masih menempel lengkap. Ternyata saya tidak diapa-apain, huvt.

Setelah perut kenyang dan energi terkumpul kembali pasca penerbangan malam sebelumnya, kini saatnya saya menikmati keindahan alam dengan…

6. Snorkeling di Pulau Tiga

Pulau Tiga Maluku

Saya memulai snorkeling dengan beach entry, atau memasuki laut dengan cara berjalan dari pantai, bukan melompat langsung dari kapal. Beberapa meter dari pantai, memang banyak terumbu karang yang mati akibat ulah manusia, namun beberapa meter setelahnya barulah keajaiban disajikan dimulai dari sepasang kura-kura yang menyembul dari balik terumbu karang, disusul oleh beberapa rombongan school of fish di belakangnya.

Sungguh, pesona bawah laut tersaji hanya beberapa langkah dari pantai Pulau Tiga.

7. Berbagi Tawa dengan Anak-anak Ambon

Ketika berenang kembali mendekati pantai, saya merasakan punggung seketika menjadi berat, seperti ketindihan ketika tidur. Tapi saya kan sedang tidak tidur, juga tidak sedang memiliki masalah rumah tangga. Perlahan, saya menoleh dan menemukan sebuah kepala plontos berada di samping pundak saya sedang meringis. Bukan, bukan Ony Syahrial, melainkan seorang anak lokal yang ternyata berenang sambil menggantung di tubuh saya.

Berikutnya, temannya yang berada di belakangnya tak mau kalah, dia mendekat dan ikut merangkul saya, meminta gendong. Heyyy, saya kan bukan Mbah Surip!

Sesi basah-basahan siang itu, ditutup dengan bermain bersama anak-anak di pinggir pantai, sambil sesekali menuruti permintaan mereka untuk difoto. Satu hal yang mengingatkan saya akan anak-anak di Flores, yang memiliki keramahan dan senyuman khas Indonesia Timur.

Setelah lelah bermain air, maka hal yang paling tepat dilakukan berikutnya adalah…

8. Menyantap Pisang Goreng Sehabis Snorkeling

Pulau Tiga Maluku

Enak. Tidak perlu penjelasan tambahan. Karena penjelasan tambahan diperlukan untuk poin yang berikut ini.

9. Mendengarkan Cerita Sejarah di Benteng Amsterdam

“Pada awalnya, benteng ini dibangun oleh Portugis untuk menyimpan rempah-rempah.” Jelas seorang pria berkumis tebal yang mengingatkan saya akan Thomson, atau Thompson pada komik Tintin. “Dimulai pada 1512.”

Oh, setelah adzan ashar mungkin. Saya membatin, sebelum Pak Thomson melanjutkan ceritanya.

“Berikutnya, Belanda mengambil alih tempat ini pada 1605, dan mengubahnya menjadi benteng pertahanan.” Dikisahkan bahwa dahulu, rakyat Maluku dulu tidak terima dengan keserakahan Portugis dalam perdagangan rempah-rempah, sebelum mereka bahu-membahu dengan Belanda untuk mengusir Portugis. Namun nyatanya, Belanda malah menjajah Indonesia selama 3,5 abad, wkwk. “Ada tiga lantai di benteng ini yang digunakan untuk tempat tinggal para tentara Belanda dulu.”

Berikutnya, diceritakan bahwa benteng yang memiliki dua bastion –yang kalau terbuat dari besi mungkin bernama Bastion Steel– ini juga merupakan rumah bagi penelitian biota laut yang dilakukan pada tahun 1700-an, di mana hasil penelitian tersebut dituangkan dalam lukisan yang dipajang pada lantai dua benteng yang terletak di perbatasan antara Negeri Hila dan Negeri Kaitetu ini.

Salah satu lukisan yang menarik perhatian saya adalah lukisan seorang wanita namun memiliki kaki berupa sirip ikan, seperti mermaid, yang konon ditemukan di perairan Maluku kala itu. “Ketika ditangkap warga, ikan ini terus menangis, dan meninggal dua hari kemudian.” Tambah Pak Thomson.

Misterius.

10. Mampir Sebentar di Gereja Immanuel

Gereja Immanuel Maluku

Tak jauh dari Benteng Amsterdam, dan dapat dicapai dengan jalan kaki, ada sebuah gereja tua, yang mungkin jadi inspirasi Panber’s ketika membuat lagu. Gereja ini bernama Gereja Immanuel, sebuah bangunan gereja tertua di Maluku yang dibangun pada tahun 1659, dan telah mengalami beberapa kali pemugaran, termasuk yang paling terkini adalah pada tahun 1999 akibat kerusuhan antar agama.

Ya, gereja ini menjadi saksi bisu pertikaian akibat agama di Negeri Hila pada 1999, yang mengakibatkan penduduk Nasrani Negeri Hila memilih untuk pindah dan tidak tinggal di negeri itu lagi.

Seorang bijak pernah berkata bahwa katarak menduduki peringkat tiga penyebab kebutaan, di mana peringkat pertamanya adalah politik, dan yang kedua adalah agama.
Sumber artikel

11. Singgah ke Masjid Tua Wapaue

Lain di Negeri Hila, lain di Negeri Kaitetu, karena di sana terdapat masjid tertua di Maluku yang dibangun pada tahun 1414 Masehi. Masjid Wapaue namanya, sebuah masjid tradisional yang dibangun dengan kayu dan ijuk tanpa menggunakan kayu dan pasak.

Masjid yang juga telah mengalami pemugaran termasuk penggantian tonggak atap utama masjid ini, juga menjadi rumah bagi Mushaf Alquran yang konon termasuk tertua di Indonesia. Yaitu Mushaf Imam Muhammad Arikulapessy yang selesai ditulis (tangan) pada tahun 1550 dan Mushaf Nur Cahya yang selesai ditulis tangan di kertas produk Eropa pada tahun 1590.

Masjid Tua Wapaue Kaitetu

Cerita menarik tentang masjid ini adalah tentang asal-usulnya, karena dikisahkan bahwa pada mulanya masjid ini tidaklah berada di Kaitetu melainkan di lereng Gunung Wawane dan dibangun oleh seorang kaya bernama Perdana Jamillu sebelum ‘dipindahkan’ oleh Imam Rijalli ke Tehalla, sekitar enam kilometer di sebelah timur Wawane.

Belum cukup seru ceritanya? Tunggu, masih ada lanjutan sesuai dengan prasasti yang terdapat di sana dan diceritakan secara turun temurun, yaitu pada tahun 1664, masjid ini turun dari lereng gunung ke Negeri Kaitetu, lengkap dengan peralatan ibadahnya.

(((MASJID TURUN GUNUNG LENGKAP DENGAN PERALATAN IBADAHNYA))) Wallahualam bisahwab.

Sumber artikel

12. Trekking ke Air Terjun Negeri Ureng

Apabila perjalanan diteruskan dari Negeri Kaitetu ke Kota Ambon, maka kita akan melewati Negeri Ureng –atau Uring, lagi. Di sana, selain dapat meneruskan perjalanan ke arah laut menuju Pulau Tiga, kita dapat juga melanjutkan petualangan untuk menikmati kesegaran air terjun yang dinamakan sama dengan nama desanya, Air Terjun Negeri Ureng.

Untuk mencapainya, dibutuhkan fisik dan stamina yang cukup, karena kita akan trekking menyusuri hutan dan menyeberangi sungai selama beberapa kali selama kurang lebih setengah jam, sebelum akhirnya hinggap di kaki air terjun tersebut.

Sebenarnya, air terjun ini terdiri dari tiga buah air terjun, namun yang terkenal adalah yang air terjun pertama, karena yang terbesar, tertinggi (sekitar 35 meter), dan yang pertama kali terlihat apabila kita tiba di lokasi. Sementara untuk mencapai dua air terjun lainnya, kita harus sedikit mendaki secara hampir vertikal, dengan kondisi medan tanah, batuan, dengan akar-akar tumbuhan yang menjulur.

Bagaimana dengan perjalanan saya? Oh tentu saja, saya sampai di air terjun paling atas. Atas segalanya, asyik.

13. Berhenti Sejenak di Jembatan Merah Putih

Jembatan Merah Putih Ambon

Sekembalinya ke Kota Ambon, apabila beruntung dan hari cerah, maka kamu akan dapat menikmati pemandangan  Kota Ambon dan sunset dari jembatan terpanjang di wilayah timur Indonesia, yang membentang sepanjang 1.140 meter di atas Teluk Ambon.

Jembatan yang baru diresmikan pada tahun 2016 oleh Presiden Joko Widodo ini sekarang menjadi sebuah destinasi wisata baru di Kota Ambon, di mana banyak orang yang berhenti sejenak untuk foto-foto di sana. Apabila di Jakarta kamu menemukan orang pacaran di atas flyover, maka di Ambon, kamu dapat menemukannya di jembatan ini.

14. Mengunjungi Gong Perdamaian Dunia

Selain Jembatan Merah Putih, objek lain yang dibanggakan warga Ambon adalah Gong Perdamaian Dunia yang terletak di Taman Pelita, yang namanya sangat orde baru sekali. Gong ini dibuat sebagai simbol perdamaian, ya iyalah, setelah kerusuhan antar agama yang sempat melanda Ambon pada tahun 1999. Alhamdulillah dan Puji Tuhan, sekarang Ambon sudah damai, dengan para pemeluk agama yang hidup berdampingan, tanpa adanya aksi bulanan.

Gong yang memiliki diameter sekitar dua meter ini, dihiasi bendera-bendera negara di seluruh dunia, dan menampilkan simbol-simbol agama yang ada di seluruh dunia, sebuah makna bahwa kita harus hidup damai di dunia ini.

Bones are sinking like stones 
All that we fall for
Homes places we've grown
All of us are done for

And we live in a beautiful world,
yeah we do yeah we do
We live in a beautiful world
Gong Perdamaian Ambon

Apabila jembatan sebelum ini diresmikan oleh Presiden Jokowi, maka objek yang satu ini diresmikan oleh sang mantan, yaitu Bapak SBY pada tanggal 25 November 2009. Sebuah pertanda supaya kita jangan melupakan jasa-jasa para mantan.

Sumber artikel

15. Melihat Aktivitas Warga di Lapangan Merdeka

Lapangan Merdeka Ambon

Tepat di seberang Taman Pelita, terdapat sebuah lapangan paling terkenal di Kota Ambon yang bernama Lapangan Merdeka, dengan tulisan “ambon manise” besar terpampang di sudut lapangan, dengan jarak spasi yang terlalu jauh. Tepat di belakang lapangan ini juga terdapat sebuah lapangan dengan Patung Pattimura berada di tengah-tengahnya.

Lapangan Merdeka Ambon, ibarat lapangan GBK di Jakarta atau Sabuga di Bandung, yaitu sebuah lapangan di pusat kota yang kerap digunakan warga untuk berkumpul dan berolahraga bersama. Ketika saya ke sana pada malam hari, nampak beberapa orang masih asyik melakukan jogging ditemani musik dan kesendirian.

Dear warga Kota Ambon yang berolahraga malam-malam, apakah ini karena kalian ingin tetap kurus walaupun sering…

16. Menikmati Ikan Bakar dengan Bumbu Colo-colo

Main di air terjun, sudah. Keliling kota Ambon, sudah. Memandangi orang pacaran tanpa bisa memiliki, sudah. Berikutnya adalah memanjakan perut dengan menikmati sajian kuliner lokal, yaitu … Ikan Bakar! Loh, memangnya apa beda ikan bakar di Ambon dengan ikan bakar di Jakarta, atau Addis Ababa?

Ya beda dong! Ikan bakar di Ambon itu dibakarnya di Ambon, dan biasa disajikan dengan tumis bunga pepaya dan sambal colo-colo, yang bukan mengambil nama dari pemain bola Fabrizio Coloccini. Sekadar informasi, sambal colo-colo ini mirip seperti sambal dabu-dabu di Manado.

Ikan Bakar Ambon

Selain ikan bakar, terdapat juga olahan ikan lain yang tak kalah lezat, yaitu ikan kuah bumbu kuning, maupun kuah bumbu bening, yang sayangnya tidak disajikan oleh Vonny Cornellya.

Beberapa restoran ikan yang dapat kamu jadikan pilihan di Kota Ambon antara lain adalah Sari Gurih, Sari Rasa, Rasa Gurih, dan lain-lain yang berasa gurih.

17. Menyesap Kopi di Rumah Kopi Sibu-sibu

Setelah perut kenyang dan hati senang, maka menyesap kopi di Rumah Kopi Sibu-sibu adalah salah satu pilihan yang cocok, apabila masih ada sisa waktu untuk menghabiskan malam di Kota Ambon. Rumah kopi dengan interior klasik yang dipenuhi poster selebritas berdarah Ambon ini adalah salah satu yang paling terkenal di Ambon karena menyajikan kopi nikmat beserta camilan khas Ambon, dengan ditemani live music apabila beruntung.

Ketika ke sana, saya sempat mencoba Kopi Rarobang dan Kopi Susu khas Sibu-sibu –selain memanfaatkan Wi-Fi gratis yang tersedia. Kopi Rarobang ini merupakan kopi hitam yang dicampur rempah dan kacang, yang mungkin bukan your everyday coffee, namun kopi susunya sangatlah enak, yang membuat saya ingin berkata kepada sang pelayan.

"Kakak, kopi susu buatanmu, numero uno!"

18. Bersantai di Pantai Natsepa

Pantai Natsepa Ambon

Begitu pagi tiba, tak ada salahnya apabila kamu langsung menuju pantai nomor satu di Ambon, yaitu Pantai Natsepa. Nat-se-pa, bukan nes-ta-pa. Bermodalkan Rp3.000,- maka kamu sudah dapat memasuki pantai berpasir putih –kalau tak sedang keruh dengan jejeran warung-warung di tepiannya, yang mulai ramai lepas pukul sepuluh pagi ini.

Pantai ini adalah pilihan utama warga Ambon untuk berkumpul, bermain air, sambil…

19. Merasakan Kelezatan Rujak Natsepa

Yak betul, menurut saya, tanpa adanya Rujak Natsepa ini, Pantai Natsepa hanya akan menjadi pantai pasir putih yang biasa-biasa saja, apabila dibandingkan pantai-pantai lain di Maluku. Bahkan, banyak yang berkata bahwa belumlah ke Ambon kalau belum merasakan yang namanya Rujak Natsepa.

Memang, apa bedanya Rujak Natsepa ini dengan rujak pada umumnya, selain karena dibuat di Pantai Natsepa? Buahnya sama, ulekannya sama, gula merahnya pun sama. Bedanya ada di kehandalan mama-mama penjual rujak ini dalam meracik bumbu rujak ini, dengan memadupadankan gula merah dan irisan kacang yang sangat banyak. Saking banyaknya irisan kacang yang diberikan, saya melihat mama-mama ini bagaikan seorang filantropi, Bill Gates yang sedang mengentaskan kemiskinan di Nigeria dengan cara melunasi utang pemerintahnya ke Jepang.

Sungguh, Rujak Natsepa ini adalah rujak paling lezat yang pernah saya rasakan, bagaikan menyantap sepiring buah segar yang disiram chocolate crumble!

20. Menatap Keindahan Ambon dari Monumen Martha Christina Tiahahu

Hari terakhir di Ambon, saya diajak untuk berpisah dengan kota yang indah ini dengan cara yang elegan, yaitu mengucapkan salam perpisahan dari atas bukit, sambil memandangi Kota Ambon dari kejauhan, dengan patung Martha Christina Tiahahu yang berdiri tegak di langit Maluku.

Sekadar informasi untuk kamu yang tidur ketika pelajaran Sejarah, Martha Christina Tiahahu ini adalah potret seorang pejuang wanita asal Maluku yang gugur ketika berperang melawan Belanda pada tahun 1817, bersama dengan Pattimura.

Umurnya saat itu baru 17 tahun; walaupun dapat memilih menghabiskan waktunya untuk berpacaran maupun bermain bersama teman sebaya, namun Martha Christina Tiahahu memilih untuk mengangkat senjata guna mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Beliau gugur setahun kemudian dalam pengasingan yang dilakukan oleh Belanda, dan jenazahnya disemayamkan dengan penghormatan militer ke Laut Banda pada 2 Januari 1818.

Monumen Christina Martha Tiahahu

Siang itu, saya berpisah dengan sebuah janji dan doa, untuk dapat menghabiskan waktu lebih lama di Ambon, karena akhir pekan memanglah tidak cukup untuk menikmati keindahan Maluku.

Alhamdulillah, doa saya langsung terkabul, karena penerbangan saya siang itu terkena delay lima jam, sehingga saya mempunyai waktu lebih lama di Bandara Pattimura Ambon. Gusti Allah memang Maha Bercanda.