
Apa yang membuat kamu rindu Indonesia ketika sedang berlibur ke luar negeri? Pacar yang menunggu di rumah, kerjaan yang menumpuk di kantor, atau malah batu akik yang menanti untuk digosok?
Kalau kamu menanyakan hal tersebut kepada saya, maka jawabannya adalah … Nasi Padang.
Ya, saya memang tidak berasal dari Padang, namun Nasi Padang adalah salah satu alasan yang membuat saya ingin segera kembali ke Indonesia, selain Mama tentunya. Nasi putih yang mengepul kepanasan, dibanjur kuah santan berwarna kuning kemerahan, dengan sedikit olesan bumbu rendang, juga luapan sambal cabai merah dan hijau di samping ayam pop dan daun singkong. Ah!
Paduan yang membuat saya langsung lapar membayangkannya, terlebih jika sedang berada di negara yang tidak menjadikan nasi sebagai makanan pokok, seperti Amerika Serikat.
Sedari kecil, saya adalah penikmat Masakan Padang. Saya sering merengek minta dibelikan ayam goreng dan kikil dari Rumah Makan Padang di samping kantor Mama, untuk dibawakan sepulangnya Beliau dari kantor. Sewaktu kuliah, ada dua kebiasaan yang sering saya lakukan setelah melewati hari yang berat, yang pertama adalah makan, dan yang kedua adalah bersenang-senang. Karena sewaktu itu saya tidak mempunyai pacar, maka pilihannya adalah makan. Makan Nasi Padang di sebuah restoran dekat kampus yang bernama Restoran Padang Sederhana.
Sebuah restoran yang karena namanya, saya kira cocok untuk kantong mahasiswa sederhana dan bersahaja seperti saya. Tapi untungnya, masakan yang disajikan di sana teramat enak, sepadan dengan harga yang ditawarkan.
Sekarang, mungkin kamu dapat menjumpai ratusan cabang Restoran Padang Sederhana mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan hingga Malaysia, tapi apakah kamu tahu, dari mana legenda ini berasal?
Semuanya berawal di tahun 1970, ketika seorang perantau suku Minang dari Tanah Datar, Sumatera Barat, bernama Bustaman yang kala itu masih seumuran saya sekarang, datang ke Jakarta. Bagi masyarakat Minang, merantau adalah sebuah tradisi, dan bahkan kebanyakan dari para perantau enggan pulang kampung sebelum sukses. Demikian halnya dengan Bustaman yang hanya lulusan kelas dua Sekolah Rakyat (setara dengan Sekolah Dasar) itu.
Perantauan Bustaman sebenarnya dimulai sejak tahun 1955 di daerah Jambi. Di sana, dia mengerjakan apa saja untuk mencukupi hidupnya, mulai dari bekerja di kebun karet, menjual koran, mencuci piring di sebuah rumah makan, hingga menjadi pedagang asongan. What a thing he did for a life.
Pada tahun 1970, Bustaman nekat merantau lagi ke Jakarta, dengan hanya bermodal uang Rp32.000,- bersama sang istri, Fatimah, yang baru dua tahun dinikahinya, juga seorang anak hasil pernikahannya. Di Jakarta, Bustaman memutuskan untuk mengadu nasib menjadi seorang … pedagang asongan. Atau tepatnya berjualan rokok dengan menggunakan gerobak di pinggiran jalan Matraman yang saat itu belum ada busway.
Hingga pada suatu hari, timbullah kerusuhan di daerah Matraman antara preman setempat dengan warga Minang yang membuat Bustaman menyelamatkan diri dan keluarganya ke daerah Pejompongan. Entah menggunakan apa saat itu, karena belum ada busway.
Di Pejompongan, Bustaman belum kapok. Dia kembali membuka warung rokok 24 jam dengan penghasilan harian rata-rata sebesar Rp2.000,-. Sangat jauh apabila dibandingkan dengan penghasilan yang diterimanya ketika berbisnis di Matraman yang mencapai Rp8.000,- per hari.
Kondisi tersebut membuat Bustaman putar otak, dia harus tetap hidup demi keluarganya. Hingga akhirnya, pada tahun 1972, Bustaman memutuskan untuk menyewa lapak seluas 1×1 meter di pinggir jalan Bendungan Hilir seharga Rp3.000,-, yang saat itu belum ada Seven Eleven dan Pizza Hut.
“Masalahnya, saya tidak bisa memasak, tetapi berbekal pengalaman pernah bekerja di rumah makan, saya belajar.”
Dari modal awal sebesar Rp13.000,-, Bustaman mampu menghasilkan omzet Rp425,- pada hari pertama kemunculannya di Bendungan Hilir. Saat itu, Bustaman masih mengutang beras, minyak, dan kebutuhan lain dari tetangganya. Apesnya lagi, hasil dagangannya kala itu ludes dibawa kabur pembantu barunya. Ternyata sudah dari dahulu, modus pencurian yang dilakukan oleh pembantu seperti ini terjadi di Indonesia.
Hal tersebut tidak membuat Bustaman putus asa, dia tetap menjalankan usaha warung kecilnya hingga pada suatu hari dia berkenalan dengan pedagang masakan asal Solok yang berjualan di Bendungan Hilir.
“Saya coba masakannya ternyata enak. Saya lalu memberanikan diri berkenalan dengan pemasaknya dan meminta resep masakan.”
Bermodal menu dan resep baru yang senantiasa berkembang hari demi hari, warung kecil milik Bustaman pun mulai didatangi pelanggan.
Suatu hari, Petugas Trantib datang dan melakukan penertiban pedagang kaki lima. Gerobak dagangan milik Bustaman pun ikut diangkut. Saat itu, setiap orang hanya diberi ruang semeter untuk jualan, sementara untuk dapat tempat harus diundi dulu.
Berikutnya, Bustaman bersiasat lagi. Dia menemui pihak terkait agar bisa mendapatkan tempat jualan yang strategis tanpa harus diundi. Berkat lobi dan pendekatan yang baik, usahanya membuahkan hasil. Bustaman berhasil mendapatkan dua tempat dengan kontrak senilai Rp5.000,- saat itu.
Tak lama, nasib sial datang lagi menerpa Bustaman, ketika tempat tinggalnya di Pejompongan terbakar. Untungnya, saat itu Bustaman berhasil menyelamatkan istri, anak, dan aset paling berharganya, yaitu gerobak dagangan. Akibat peristiwa tersebut, Bustaman terpaksa tinggal di rumah salah satu supplier bahan masakannya.
Berawal dari warung kecil yang mulai ramai, Bustaman memberanikan diri untuk menyewa kios di Pasar Bendungan Hilir yang baru dibuka pada tahun 1974 dengan harga sewa Rp15.000,-. Saat itu, mungkin belum ada salon plus plus dan penjahit di pasar tersebut. Namun, mungkin namanya bakat seorang Minang, berkat racikan tangan Bustaman, masakan yang dijual di warungnya pun laris.
“Semua yang dimasak habis. Saya belanja dan masak, istri melayani pelanggan*. Kami belum pakai karyawan karena belum sanggup menggajinya.”
*) istri melayani pelanggan rumah makan, bukan pelanggan penjahit di Pasar Bendungan Hilir.
Perlahan tapi pasti, warung kecil milik Bustaman bertransformasi menjadi restoran dengan masakan khas Padang terbesar di Indonesia, dengan banyak cabang tersebar di Indonesia dan sedikit di Malaysia. Bustaman pun sudah bukan pula sekadar perantau biasa, kini Beliau sudah menjadi Pak Haji Bustaman, dengan ratusan restoran miliknya.
Restoran itu dinamakan ‘Sederhana’, yang konon nama tersebut diambil dari nama rumah makan di Jambi, tempat Bustaman bekerja sebagai pencuci piring.
Berdasar legenda Bustaman tersebut, saya kembali lagi ke Bendungan Hilir di sela-sela jam istirahat kantor, guna mencoba kenikmatan legendaris dari Restoran Sederhana pertama di muka bumi ini. Namun kali ini saya tidak sendirian, karena siang itu, saya mengajak beberapa kawan untuk menikmati sajian restoran yang mempunyai logo rumah gadang dengan huruf ‘sa’ ini.
Ingat, restoran yang asli adalah yang berlogo ‘sa’, bukan yang lain.
Sesaat setelah duduk, masakan langsung dihidangkan dengan rapi pada meja kami. Piring demi piring diturunkan dari lengan perkasa si karyawan restoran yang tak malu menunjukkan pembuluh darah yang menonjol macho di lengannya. Tak berapa lama, masakan demi masakan sudah tersaji komplit di meja, sehingga saya tak perlu meminta sajian dengan sopan seperti, “Permisi Mas, punya otak gak, Mas?”.
Berikutnya (setelah saya mengambil beberapa gambar makanan) keriuhan pun dimulai, ada yang berebut menu makanan, ada yang saling melakukan koordinasi dan tag team, dan ada juga yang sibuk sendiri dengan makanannya. Beberapa percakapan terjadi seperti di bawah ini.
“Ayam popnya buat gue dong!”
“Mau gak barengan makan ikannya?”
“Kamu, mau makan terong aku?”
“Eh, jengkolnya enak nih!”
“Udaaaa, aku ganteng gak udaaaa?”
Tak ada jawaban. Semuanya sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Di bawah ini adalah beberapa contoh masakan (dari sekian banyak) yang saya (dan kawan-kawan) nikmati di restoran yang buka setiap hari mulai pukul 08.00-22.00 ini.
Sehabis makan, menurunkan makanan ke lambung dan mereguk segelas jus mangga, saya mengajukan pertanyaan ke kawan-kawan, tentang apakah menu favoritnya di Restoran Padang Sederhana ini. Berikut ini adalah jawaban mereka:
Tifani Habib Sarah, pemilik online shop dan anak alay Snapchat ini memilih rendang, dengan alasan "Dagingnya cucoooo, pedasnya pas.". Pilihan yang tepat, karena pada tahun 2011, rendang dinobatkan di peringkat pertama dalam 50 jenis hidangan terlezat di dunia oleh CNN International.
Ahimsa Wiratama, anak baru di kantor yang belum mendapat gaji penuh memilih terong balado sebagai makanan favoritnya, dengan alasan "Terongnya matengnya pas, pedasnya pas, pokoknya pas.". Ya namanya juga anak baru, buat bayar kostan saja susah, pilihan makanan pasti menyesuaikan dengan penghasilan. Untung pas rasanya.
Mamah Etty, blogger senior di mamah-etty.com yang sedang mengandung anak suaminya ini memilih ayam pop dan tumis daun singkong, alasannya, "Sambel ayam popnya enak dibanding tempat lain, sedangkan tumis daun singkongnya segar karena ada 'hint' irisan kecombrang.". Setuju, ayam pop di Sederhana memang beda, beda jauh dengan ayam KFC.Ami Aje, seorang tech enthusiast yang dahulu pernah kurus sebelum menikah mempunyai dua menu favorit siang itu. Yang pertama adalah jengkol balado karena, "Sambal ijo balado yang menyelimuti jengkolnya benar-benar enak. Jengkolnya pas, pas matangnya pas empuknya pas porsinya." Sayang saya gak makan jengkol, karena pernah trauma. Sementara untuk makanan kedua, Ami memilih balado terong, dengan alasan, "Sambal enak, walaupun kurang empuk sedikit.". Terong kok makan terong.
Lepi DSTGR, gitaris band metal asal Cilincing yang sebentar lagi akan manggung di Purwokerto memilih ikan bawal bakar rica rica sebagai favoritnya. Alasannya, "Ikan dibakar dengan baik, matangnya pas, sementara bumbu ricanya segar sehingga menambah kenikmatannya.". Apabila anak Jakarta Utara sudah memberikan review bagus tentang ikan, maka sebaiknya jangan diragukan lagi rasanya.
Sementara saya, selain mengidolakan ayam pop dan One Direction, siang itu saya tersihir dengan kelezatan kikil cabai hijau milik Restoran Padang Sederhana ini. Alasannya simpel, kikilnya dimasak tidak terlalu lunak dan tidak juga keras, kenyalnya pas. Sementara cabai hijaunya, menggelitik manja di mulut, cocok dengan lidah Jawa saya.
Simpulan siang itu adalah, hampir semua masakan yang disajikan di Restoran Sederhana rasanya pas –ya kecuali dendeng baladonya, di mana saya lebih menggilai dendeng milik Rumah Makan Surya yang terletak tak jauh dari sana–, selaras dengan semangat mereka untuk mengangkat tinggi masakan khas Indonesia khususnya Masakan Padang yang merupakan warisan tak ternilai dari para pendahulu untuk menjadi masakan yang menjadi tuan rumah di negeri sendiri bahkan memperkenalkannya ke mancanegara.
Sambil bergerak ke arah kasir, saya menatap para pelanggan restoran yang lain, dan mendapati senyum bahagia di wajah mereka. Betapa seorang lulusan kelas 2 Sekolah Rakyat bernama Bustaman, mampu memberikan kebahagiaan bagi jutaan pelanggannya.
“Kehadiran kami didasari oleh pemahaman mendalam tentang kebutuhan masyarakat akan hidangan yang baik yang merupakan perpaduan antara resep khas yang tak henti-henti ditingkatkan kualitasnya dan kebersihan serta nilai gizi tinggi yang senantiasa dijaga.”
Saya meninggalkan restoran tersebut dengan dompet yang lebih sederhana dari biasanya, namun tak mengapa karena saya menjadi lebih bahagia siang itu.
Karena Bahagia itu Sederhana.
Bukan, artikel ini bukan artikel berbayar dari Restoran Sederhana maupun dari Haji Bustaman, namun semata-mata dalam rangka mengikuti blog competition Jelajah Gizi.

Doakan saya ya!
Tagged: Bustaman, Jelajah Gizi, Masakan Padang, Nutrisi Bangsa, Padang, Sederhana
nendang banget ini postingannya kaaaak, kalo menang nanti aku titip rendang yaaaa 😀
LikeLike
Ihiy! Kamu ikutan juga ndak? Ayo jalan-jalan bareng kalau menang 😀
LikeLike
pengen sihh kaaaak, tapi belum nemu ide nihhh
*brb semedi*
LikeLike
Hihihi ayo-ayo masih semingguan lebih kan ya?
LikeLike
Manteb pisan … bikin meleleh
LikeLike
Apanya yang meleleh mas? 😀
LikeLike
Tulisan dan makanannya, hehehe
LikeLike
Kok kita sama ya? Saya juga kangenin masakan padang waktu volunteering di kamboja. Jangan jangan……
LikeLike
Ahahaha, jangan jangan kitaaaa…
…kangenan orangnya.
LikeLike
baca ini sambil lap iler karna belum sarapan, mendadak jadi ngidam masakan padang. untung di Medan udah ada restoran sederhana 😀
LikeLike
Wahaha, yang di Medan enak juga ndak? 😀
LikeLike
belum pernah nyoba tuh 😀
LikeLike
Di sana seringnya Garuda atau Nelayan ya? 😀
LikeLike
yoi.. Garuda rajanya nasi padang.. kalo nelayan kan Dimsum.
Tapi ada rumah makan padang yang namanya Pondok Gurih & Gumarang juga gak kalah enaknya 😀
LikeLike
Nah itu aku baru tahu tuh, Pondok Gurih & Gumarang, semoga bisa ke Medan buat nyobain aaaah 😀
LikeLike
oke sudah lama ngga makan di Sederhana… mari makan ke sana siang ini.. Inget inget yang logo nya SA yah
LikeLike
Siap! Jangan salah pilih ya, pilih yang asli logonya SA.
San Andreas
LikeLike
*brb cari rendang restoran sederhana*
LikeLike
*ikut laper*
LikeLike
Duh pengen ikutan lombanya juga tapi masih banyak peer :((
LikeLike
Aku juga banyak peer :(((((
LikeLike
Persis kata orang-orang kalau orang minang pintar sekali berdagang, contohnya ya masakan padang ini. Ada dimana-mana. Kayaknya nggak ada deh satu kota yang nggak punya resto padang. Entah itu merk sederhana atau bukan.
LikeLike
Iya, kalau resto padang sih di Inggris juga ada, walaupun yang jualan belum tentu orang Minang 😀
Kalau Sederhana ini kalau gak salah ada di semua provinsi kecuali Papua.
LikeLike
Oh ya? yang jualan nggak mesti orang asli minang? wah baru tau. Kirain pasti suku minang. Sayangnya, makin ke pulau jawa, masakan padang makin manis, haha
LikeLike
Haha iyaaa, sekarang yang jualan di Benhil aja banyakan orang Jawa. Mungkin karena itu jadi lebih manis 😀
LikeLike
Pengen ikutan lomba juga… 😄😄 tapi tau saingannya kayak kak Ariv langsung mikir…..
Semoga menang kak… 👍
LikeLike
Wahahaha, lomba mah selera juri, jadi jangan ragu kalau mau ikutan 😀
Makasih makasih doanya.
LikeLike
good luck!
LikeLike
thanks!
LikeLike
Yaaa ampun … kak ariev masih ikutan lomba ??? Hmmmm #Melipir
LikeLike
Ampun kak, aku udah lama gak jalan-jalan nih kak. Kamu jangan ikutan yaaa.
LikeLike
HIH jangankan jauh2 ke US kak, ke KL aja aku udah kangen masakan Padang.. Please give me batagor pempek soerabi dkk kaaakk *slurp*
LikeLike
Wahahahaha, iyaaa masakan Indonesia emang ngangenin yaaa.
Batagor Pempek Soerabi kan gak ada di Restoran Padang kak, ehehe.
LikeLike
Makan siaaaang makan siaaaang 😀
LikeLike
Makan malam makan malaaaam 😀
LikeLike
tunjang kok gak dibahas?
padahal itu uenak sekali lhoo..
LikeLike
Lha itu kan ada kikil cabai hijau hihi. Tunjang itu kikil kan ya?
LikeLike
Samping kerjaan juga ada Warung Sederhana, kalo ramai-ramai makan di sana
LikeLike
Yoih, enak kan? 😀
LikeLike
aaaaaa. Mau nulis tentang ini juga tadinyaaaa. 😀
Gudlaaak kak. Semoga semogaa yaaa! 🙂
LikeLike
Hihihi ayo nulisss!
Aamiin, ayo ikutan juga 😀
LikeLike
wih mas arip juga ikutan. aku juga mau ikutan ah
*brb semedi*
LikeLike
HAYUK IKUTAN NTAR KITA JALAN-JALAN BARENG KALAU MENANG 😀
LikeLike
((KALAU MENANG))
LikeLike
bulan lalu aku makan nasi padang di restoran padang asal Den Haag, nyumehhh to the maxxxxx ! 🙂
LikeLike
Wahhh gimana sih rasa Nasi Padang di luar negeri? Jadi penasaran haha.
LikeLike
wah kalo yang ikut mas ariv mah udah pasti menang nie, tapi btw nama bustaman itu kok kalo masak enak2 ya. di semarang juga ada lo kak.
http://bukanrastaman.com/2014/11/11/1034/
LikeLike
Wahahaha belum tentu menang ah mas, seringan malah kalah nih akhir-akhir ini.
Kapan-kapan nyobain Bustaman yang di Semarang ah 😀
LikeLike
Kalo saya suka bumbu rendangnya..
LikeLike
manis banget!
LikeLike
dikasih sambel ijonya, terus dicampur sama nasi anget di urap mas..enak banget!! tambah krupuk palembang makanya..heheeh endesss bgt..wkwkw
LikeLike
Wadudududuh!
*langsung laper*
LikeLike
Wahh ikutan lombanya juga..siapa tau sm sm menang kita ketemu..
LikeLike
Ihiy asik! Semoga sama-sama menang 😀
LikeLike
YA ALLOH SALAH BANGET BACA INI PAGI-PAGIIIIII
aq laper : ((((
Ini hadiahnya apaan sih? *todong makan nasi padang kalo maen ke Jakarta* : ))
LikeLike
YA UDAH BACA LAGI NIH MALEM-MALEM!
Hadiahnya makan Nasi Padang di Padang :)))))
Ikutan yuk mb.
LikeLike
Asal ditraktir terong balado sama paru mah aku mauuuu ikut mz. wk
LikeLike
YUK IKUTAN!
MAYAN HADIAHNYA BUAT 10 ORANG
LikeLike
Wah aku juga pernah makan di Restoran Sederhana ini. Sate padangnya maknyus 🙂
LikeLike
Wah aku malah belum nyobain sate padangnya hahaha. Ntar cobain ah 😀
LikeLike
Keren banget postingannya,menarik. Aku ikutan juga sih kompetisi Jelajah Gizi dan udah diposting tadi siang. Kalau beruntung bisa trip bareng mas Ariev hahahah,secara blogger paling terkenal seantero jagad twitter : )
LikeLike
Thanks, Mas! Aamiin aamiin semoga bisa ngetrip bareng mas 😀
Halah, terkenal opo toh mas? :))
LikeLike
Kok gak apdet foto sebelum dan sesudah makan?
(Apdet foto perut maksudnya)
LikeLike
Ntar apdet setelah sukses diet ya 😀
LikeLike
bisnis yang menggurita ya, restoran padang indonesia juga banyak banget cabangnya. smoga menang lombanya mas.
LikeLike
Aamiin, makasih mas. Iya banyak banget, ada ratusan jumlahnya :O
LikeLike
di Tegal, restoran padang sederhana milik pak Bustaman baru buka cabang sekitar 2 bulan ini. laris tp pengunjungnya kebanyakan pake mobil. hehehe….
LikeLike
Udah nyobain belum? 😀
LikeLike
belom mas karena udh punya warung padang langganan sih, tp nanti pasti coba deh. penasaran sama rasa restoran tersohor ini. hehe…
LikeLike
Mana ada nasi Padang di Padang? Lama tinggal disini saya blm dengar keberadaannya. Nasi bungkus sih iya. Hehe
LikeLike
Wahahaha, oh gitu ya? Jadi namanya bukan Restoran Padang dong ya? :))
LikeLike
Lihat postingan ini jadi ingat film Tabularasa 😀
LikeLike
Aakkkk, itu kan film yang aku belum sempat nonton :(((((
LikeLike
Tulisannya bagus, suka deh bacanya. Baru tau asal mula restoran padang hits ini 😀
LikeLike
Aw, terima kasih sudah sukaaa 😀
Suka makan padang juga?
LikeLike
Oh wow 😮
Aduh saingan berat XD
LikeLike
Ih, jadi selama ini kamu anggap kita saingan? Hih!
Ternyata aku salah menganggapmu.
LikeLike
walopun aku ttp lbh suka masakan Padang yang bnr2 dijual di Padang sana drpd yg di Jakarta, tp resto padang sederhana okelah… Cuma kdg suka terlalu asin buatku yg memang mengurangi garam :D.. Ayam pop nya suka deh, krn masih putih..beda ama ayam pop di medan yg kebnyakan di goreng dikit jd agak kecoklatan
LikeLike
Aku belum pernah makan padang di Padang masaaaa!
Oh ayam pop di medan kekuningan ya warnanya? 😀
LikeLike
Di Semarang ada nih Rumah Makan Sederhana yang logonya SA. Naaaah yang paling oke di sana itu ya sate padang, kikil sama martabak mesirnya. Edaaaaaan rasanya, edan juga harganya hahaha. Pernah makan bertiga habis hampir 300 ribuan edaaaan. Tapi rasanya oke punya lah ini si SA hehehe
LikeLike
Itu yang di seberang Gramedia atau dekat-dekat situ ya mas? Aku pernah tuh ke situ sama keluarga, wareg tenan yo hahaha.
LikeLike
Wah 😀 Warung padang sederhana sudah ada dimana-mana ya 😀 review kuliner di Malang juga mas 😀 hehe
LikeLike
Siaaap! nanti ya kalau pas main ke Malang lagi 😀
LikeLike
kak ariev, itu temen kantor yang kerudung item disebelahnya namanya siapa?
salam yaa
LikeLike
Jangaaaaan, dia terlalu baik buat kamu.
LikeLike
It’s nearly impossible to find knowledgeable people on this subject, but you seem like you know what you’re talking about! Thanks
LikeLike
I thank you!
LikeLike