
Saya membetulkan letak ransel di punggung saya, mengencangkan sedikit talinya supaya lebih menempel di badan. Sepertinya, membawa laptop ketika trekking di MacRitchie Resevoir adalah sebuah keputusan yang salah, namun meninggalkannya di hostel kelas bawah pastinya adalah keputusan yang lebih salah.
Ah biar bagaimanapun, pria memang selalu saja salah.
Beberapa ekor monyet turun dari pohon dan duduk di jalan setapak yang akan saya lewati, ketika saya semakin memasuki hutan lindung di MacRitchie Reservoir itu. Sementara dari belakang, terdengar derap langkah warga Singapura yang berlari memasuki hutan tersebut. Gila, di Singapura, semuanya gila lari. Gak di kota, gak di hutan, bahkan ada juga yang gak pakai baju.
[Baca kisah sebelumnya di sini]
Pada awalnya, saya tak berniat untuk memasuki hutan ini –saya hanya berniat duduk-duduk santai di pinggiran danau, sambil melamunkan hal jorok, seperti kelakuan pemerintah Myanmar terhadap kaum Rohingya– namun merekalah, para pelari lokal, yang membangkitkan gairah saya untuk menjelajah hutan ini.
Di awal masuk hutan terdapat peta besar yang menunjukkan lokasi MacRitchie Reservoir, sekaligus beberapa jalur berwarna penanda rute trekking yang akan ditempuh, yaitu:
- Hijau, jarak 3 Km, estimasi waktu tempuh 1 jam, tingkat kesulitan mudah.
- Ungu, jarak 4.8 Km, estimasi waktu tempuh 2 jam, tingkat kesulitan mudah.
- Biru, jarak 10.3 Km, estimasi waktu tempuh 4-5 jam, tingkat kesulitan menengah ke susah.
- Kuning, jarak 11 Km, estimasi waktu tempuh 4 jam, tingkat kesulitan menengah.
- Merah muda, jarak 9.5 Km, estimasi waktu tempuh 4-5 jam, tingkat kesulitan susah.
- Oranye, jarak 7 Km, estimasi waktu tempuh 3-4 jam, tingkat kesulitan menengah ke susah.
Saya menatap jam tangan, sudah pukul tiga lewat, dan sebagai pria sejati yang suka tantangan, saya bersyukur tadi memilih jalur berwarna hijau.
Hingga satu jam kemudian.
Sebuah bangunan besar berwarna hijau terhampar di hadapan saya, dengan kawat berduri mengelilinginya. Jalan setapak yang saya pilih ternyata membuat saya tiba-tiba berada di tempat ini. Sebuah bangunan yang saya duga adalah bangunan militer, mungkin sebuah penjara. Atau tempat pelatihan perang melawan ISIS.
Dengan perlahan saya bergerak menyusuri pinggiran tempat ini, sambil mengendap-endap dari para sniper yang mungkin saja telah siap menembak, melewati jalan setapak kecil yang sepertinya belum berujung. Ada jejak-jejak para pelari yang melewati jalan ini, yang membuat saya bersyukur, karena itu bukanlah jejak cheetah.
Satu jam kemudian.
Dari hutan, menyeberangi jalan raya, menyusuri bangunan militer, kembali masuk ke hutan, menapaki jalan tanah berlumpur yang semakin parah dengan adanya para pelari yang melewatinya, berhenti sejenak di pos peristirahatan untuk buang air kecil dan mengisi botol minuman, dan kembali ke hutan.
Saya menemukan peta penunjuk jalan, setelah sebelumnya hanya mengandalkan intuisi dan nafsu keduniawian, dan ternyata jalur hijau yang saya pilih sudah tidak ada di peta.
Brengsek! Ternyata kaki-kaki perkasa saya malah menuntun saya ke jalur merah muda yang merupakan jalur trekking paling susah di MacRitchie Reservoir. Wah, jangan-jangan di tengah jalur ini, peserta harus mengikuti audisi American Ninja Warrior sekalian.
Tapi ternyata tidak, karena di depan saya kini membentang HSBC TreeTop Walk, jembatan yang memang saya cari-cari keberadaannya, jembatan yang saya pikir akan keren sekali penampakannya.
Berdiri kokoh setinggi 25 meter dari atas hutan, jembatan besi seberat 80.75 ton yang menyambungkan Bukit Peirce dan Bukit Kalang ini nampak biasa-biasa saja ketika saya melewatinya, dengan pohon-pohon rindang di bawah, dan suara-suara burung yang berisik di sekitar saya. Lebar jembatan ini hanya 0.8 meter dengan panjang 250 meter, dan aturan yang berlaku di jembatan ini adalah tak ada jalan kembali, atau pejalan tidak boleh memutar kembali, ketika sudah memasukinya. Aturan yang hendaknya juga diberlakukan untuk sebuah pernikahan.
Di ujung jembatan, kembali sebuah pertanyaan melanda saya, bagaimana cara saya keluar dari jalur trekking ini?
Jalur yang saya pilih menuntun saya ke sebuah jalan yang terbuat dari kayu-kayu yang disusun menyerupai jembatan, mirip seperti yang saya lihat di hutan mangrove Tarakan. Pohon-pohon yang tumbuh semakin lebat di kanan kiri saya menghalangi cahaya matahari yang turun dari atas, dan membuat jalan ini terasa lebih seram dari jalan-jalan sebelumnya yang saya lewati.
Dan kali ini, tak ada derap langkah para pelari yang menemani.
Setengah berlari, saya bergegas melewati tempat itu, juga melewati parit kecil yang beberapa kali mengalir melintang di bawah kaki saya.
Satu jam kemudian, sebuah sungai besar menyambut saya di sisi kiri, sementara di sisi kanan saya terdapat lapangan golf megah yang sangat terawat, tanpa penampakan caddy cantik dan pejabat ibukota. Jalanan kayu berganti menjadi paving block, dan hutan-hutan berganti menjadi alam terbuka yang menyenangkan. Detik itu, saya tidak seperti berada di Singapura, namun seperti di Cikarang.
Lepas dari alam terbuka, saya kembali menemui hutan belantara, dengan kondisi jalanan yang merupakan perpaduan dari tanah becek dan batu licin. Saya mengikuti papan penanda bertuliskan ‘Exit’ yang terdapat di sana, dan sekitar pukul tujuh malam saya berhasil keluar dari jalur trekking MacRitchie Reservoir, hidup-hidup.
Tepatnya, keluar melewati jalan setapak, dengan got di depannya. Jalan setapak tempat Google Maps menuntun saya beberapa jam sebelumnya. Jalan setapak di pinggiran Lornie Rd, yang saya kira bukanlah pintu masuk MacRitchie Reservoir.
Kampret.
Bersepeda di Pulau Ubin
Hari selanjutnya, adalah hari terakhir saya di Singapura saat itu. Masih ada beberapa jam sebelum jadwal kepulangan saya ke Indonesia, dan masih ada beberapa Dollar di dompet. Tak banyak waktu dan uang memang, namun sepertinya masih cukup untuk mengunjungi satu destinasi wisata lain di Singapura, yaitu Pulau Ubin. Alasannya adalah, Pulau Ubin terletak dekat dengan bandara, dan tidak membutuhkan banyak biaya untuk berwisata ke sana.
Setelah sebelumnya dikecewakan oleh Google Maps, kali ini saya mencoba aplikasi lokal yaitu gothere.sg yang merupakan aplikasi penunjuk arah, termasuk estimasi waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk mencapai lokasi yang dituju. Kali ini, tujuannya adalah Changi Point Ferry Terminal, titik awal penyeberangan menuju Pulau Ubin.
Dari sana, saya tinggal menggunakan bump boat untuk menyeberang ke Pulau Ubin dengan biaya sebesar 2.5 Dollar untuk sekali jalan (atau bisa juga langsung menyewa satu perahu like a boss dengan biaya 30 Dollar) dengan lama perjalanan sekitar 900 detik.
Alkisah, pada zaman dahulu ada tiga ekor binatang, yaitu katak, babi, dan gajah yang berlomba-lomba berenang untuk mencapai Pantai di Johor, dengan taruhan bahwa yang kalah akan dihukum menjadi batu. Singkat cerita, ternyata mereka semuanya gagal menyeberangi lautan tersebut. Babi dan gajah menyatu menjadi Pulau Ubin, sementara sang katak bertransformasi menjadi Pulau Sekudu. Malin Kundang? Tetap menjadi batu di Padang.
Pada masa kependudukan Inggris, banyak ditemukan batu granit di pulau ini, dan batu granit ini kemudian dijadikan bahan pembuatan lantai/ubin di Singapura juga Johor. Dan itulah asal muasal nama Pulau Ubin. Sementara granitnya sendiri bisa jadi berasal dari daki sang gajah. Wallahualam.
Ada beberapa cara untuk mengelilingi pulau seluas 10.19 km² ini, yaitu dengan menyewa sepeda kayuh dan mengikuti jalur-jalur yang sudah ditetapkan atau dengan berjalan kaki dan ada kemungkinan masuk Daftar Pencarian Orang Hilang.
Saya yang perkasa tentu saja memilih untuk menyewa sepeda untuk 4 jam dengan biaya sebesar 6 Dollar kalau tidak salah ingat. Sepeda yang saya sewa, adalah sebuah sepeda kayuh dengan keranjang di depan, dengan warna yang sangat macho, yaitu merah muda. Merah melambangkan keberanian, dan muda melambangkan usia saya yang masih ABG.
Setelah menitipkan backpack 55 liter yang saya bawa saat itu, saya mulai mengayuh si pinky dengan sangat manly mengikuti petunjuk arah yang terdapat di Pulau Ubin. Tujuan saat itu adalah ke arah Chek Jawa Wetlands, sebuah tanjung berbatu yang terletak di ujung Pulau Ubin.
Tak berapa lama, hujan turun di Pulau Ubin.
Saya menepikan si pinky ke sebuah pos yang terletak pada sisi jalan, dan mengenakan waterproof jacket yang saya bawa. Daypack berisi laptop tak lupa saya masukkan ke balik jaket, praktis kini hanya ada waterproof camera di tangan saya.
Saat itu, saya sedang menggenjot si pinky dengan semangat ketika terdengar suara bel sepeda di belakang saya, sementara hujan sudah berangsur-angsur reda. Saya sempat kaget, takut apabila bertemu begal di Pulau Ubin, namun ternyata tidak. Suara tersebut berasal dari serombongan wisatawan bersepeda yang sedang berkunjung ke Pulau Ubin.
“Pergi sendirian?” Tanya si wanita berbaju merah muda di atas sepedanya. Warna baju yang serasi dengan sepeda saya.
Saya menoleh memperhatikan wanita itu, sementara beberapa sepeda lain yang tergabung dalam satu grup dengan si wanita mendahului kami. “Iya, Kak.”.
“Sudah, gabung saja dengan kami.” Ajak si wanita, “Ini saya sedang mengantar grup wisata bersama suami saya.”
Selalu ada hal baru yang didapat ketika traveling sendirian, dan kali ini saya mendapatkan teman baru di Pulau Ubin. Wannit tersebut, ternyata adalah seorang Warga Negara Indonesia yang menikah dengan orang Singapura, dan mereka saat itu sedang memandu tur ke Pulau Ubin.
Lumayan, tur gratis!
“Let’s go over here.” Ucap seorang pria berbaju hijau, suami si wanita berbaju merah muda. Kami digiring ke tepian laut, yang memisahkan Pulau Ubin dengan daratan Singapura, dan berfoto bersama. Kemudian setelahnya, perjalanan dilanjutkan dengan melewati beberapa daerah seperti kuburan muslim, rumah-rumah penduduk lokal dengan sawahnya, termasuk berhenti sejenak di bawah Common Pulai (Alstonia angustiloba), pohon terbesar di Pulau Ubin yang tingginya dapat mencapai 40 meter dengan keliling yang mencapai 6.4 meter.
Karena sisa waktu yang tak banyak bagi saya, kami berpisah di persimpangan jalan antara Chek Jawa dan kembali ke terminal feri. Saya sempat berfoto bersama dengan pasangan suami istri yang saya lupa namanya, lagi-lagi karena catatan di handphone yang hilang. Peristiwa yang sama, seperti yang menimpa saya dan wanita yang saya kenal sebagai Noorma, kalau tidak salah ingat.
Siang itu, saya meninggalkan Pulau Ubin dengan sebuah kenangan akan sebuah persahabatan baru, yang terjalin dalam waktu beberapa jam saja. Sungguh, dalam sebuah perjalanan, akan banyak kejutan yang menanti.
Pulau Ubin merupakan wajah lain dari Singapura, yang selama ini dikenal dengan gedung-gedung tinggi dan bangunan mewahnya, Pulau Ubin adalah potret masa lalu Singapura dengan segala keasrian alamnya.
Saya sempat beristirahat sejenak di depan salah satu quarry yang terdapat di Pulau Ubin, sebelum kembali ke terminal feri, dan bergegas ke bandara, untuk mengejar pesawat yang akan membawa saya kembali ke Jakarta.
Beruntung bagi saya, saya dapat naik ke pesawat dengan tepat waktu, dengan pakaian sedikit basah karena hujan, dan badan penuh keringat. Sebuah ketidakberuntungan bagi dia yang duduk di samping saya, saya yang tertidur nikmat dalam pesawat dan mendengkur pulas.
*cuma penasaran* punya stok kartu nama ga sih di dompet ? jadi kalau kenalan ama org baru dan org tsb ga pny kartu nama bisa nulis di blakang kartu nama kita gituh ? *ini pembaca criwis amat ya*
LikeLike
Punyaaaa haha, aku udah kasih ke si Noorma juga ke pasangan itu, tapi mereka gak kontak terus aku juga ga nulis hiks.
LikeLike
Hahaha
Kasian yg duduk di sebelahnya, pasti ngempet 😀
LikeLike
Huhuhuhuhu 😦
LikeLike
Jadi penasaran seperti apa kehidupan warga di Pulau Ubin. Bisa bermalam nggak sih di situ? Kayaknya seru juga, ehehe.
LikeLike
Bisa kok, di sana ada beberapa penginapan, malah bisa pakai tenda juga secara ada camping ground kalau gak salah. Ehehehe.
LikeLiked by 1 person
Mz, kamu cucok banget dengan sepeda pink mz~ Next time ke Singapore, bakalan main ke pulau Ubin dah, daripada nonton Asia’s Got talent kek kemaren 😀
LikeLike
TAK BILANGIN BULAN LOH KAMU MAZ!!!!
LikeLike
Ternyata d singapura ada wisata buat tracking ya …
LikeLike
Ada dooong, di sana kayaknya ada hampir semua jenis wisata deh, ehehe.
LikeLike
Waduh, aku yang tinggal di Singapore sampai sekarang belum ke Pulau Ubin lho… Kayaknya harus diagendakan ke sana…..
LikeLike
Lho, kok bisa belum ke sana? Yuk ke sana yuk! One day trip kan cukup.
LikeLiked by 1 person
abang pinky, kartu namamu pink jg gak? *geeeerrrrrrrr hihihu ^^v
akhirnyaaa yg ditunggu2 nongol juga…ini brarti kmrn ke S’pore sendirian ya bang?
LikeLike
Hahaha, akhirnya ada lanjutannya ya? Masih penasaran gak? Iya kemarin sendirian ke sana.
Yang pink sih…kolornya!
LikeLike
sepertinya kalo ke singapur lagi, aku jgn trs2an cuma main di clarke quay, naik giant swing ato reverse bungynya nih :D… stlh baca blogmu baru sadar di singapur ada jg tempat2 ijo adem begini 😀
btw, itu jembatan disponsorin ama HSBC? Prlu kirim surat protes ke CEO sepertinya, knpa di indonesia HSBC g ada bikin jembatan2 keren bgitu 😀
LikeLike
Nah iya, betul! Karena di Singapura ada juga wisata macam begini. Tapi aku belum pernah tuh naik giant swing atau bungy. Lebih serem bayarnya daripada naiknya ya? Hahaha.
Iya, sepertinya jembatan itu dibuat oleh HSBC, di sini paling-paling cuma tugu yang dibuat Bank Mandiri haha.
LikeLike
*noted* tempat baru kalo ke Singapore lagi, bosen ke mol mulu kalo di Singapore
LikeLike
Siap! Dicatat yang rajin ya Nak.
LikeLike
risk taker jg lau
LikeLike
pastinya bray, kapan nulis lagi bray?
LikeLike
Agak janggal sama kalimat ini “berhenti sejenak di pos peristirahatan untuk buang air kecil dan mengisi botol minuman, dan kembali ke hutan”. Jangan-jangan isi botol minumannya…..air kecil yang barusan dibuang? Hahahaha
LikeLike
mas……………………
LikeLike
Nahhh kan, saya curiga deh…
LikeLike
Akhirnya pose dengan sepeda juga, mas. Gimana gempor nggak naik citybike 😀
LikeLike
Hahaha, iya mayan pegel broooh, gak ada giginya 😀
LikeLike
Bolak balik ke sing tapi blm perna ke pikiran ke pulau ubin. Kayak nya kalo ada kesempatan lagi, wajib di coba
LikeLike
Coba sepedaan pakai kancut doang deh mascum, pasti asoy, semriwing.
LikeLike
“Pria memang selalu salah” *salahpokus
LikeLike
KAMU YANG SELALU SALAH BEB!
LikeLike
well ya pinky look so cute. duh gile ye si pinky ternyata macho abis bok. lo juga ma(ntan) cho(wok) kok mas ariev. sumpeh ye gw ga nyangka singapur punya hutan segedong itu. tapi kalo menurut ekspetasi gw sih masih lebih bagus indo punya *halah* imho sih wkwk but insya Allah next time punya kesempatan juga kesana biar bisa nyaingin lo mas :p
LikeLike
HEH SEMBARANGAAAANNN! GUE TULEN TAUKKK, tergantung situasi.
Iya gak nyangka kan, karena banyak yang mikir Singapura cuma ada hutan beton, ternyata alamnya masih dirawat dengan baik. Jangan nyaingin kemachoan gue, susah cyin. Hyuuuk.
LikeLike
Kapan kita hanimun ksana bebbb
LikeLike
Aku terserah kamu aja beb.
LikeLike
tanggung jawab lo mz. Gw kesini niatnya mo liat cara bikin visa amrik eh malah nyasar kesini hadehhh kacau. ketauan deh kalo gw stalkingin elo mz *glek* ehh btw solo traveller ya mz? Seru kan kan kan??? *tingtingting*ngedipin mata* kapan-kapan hayo maraton jalan *nantangin* tapi kasih tau eke dong cara menangin kuis-kuis omong kosong yang berhadiah jelong-jelong itu :((
LikeLike
Huahahaha, gimana cara gue tanggung jawabnyaaa? Masa dinikahin?
Iya seru kok kalau traveling sendirian ehehehe. Maraton jalan itu gimana cobaaa? :))
Cara menangnya, ya ikutan kuisnya dulu hahaha.
LikeLike
caranya tanggung jawabnya yaaaaaa gimana ya (?) gue juga gatau hikz. Maraton jalan tuh jadi dalam sekali jalan lo visit beberapa kota gitu mz. istilahnya, cepet-cepetan dan banyak-banyakan destinasi dalam 3 hari. enaknya sih pake transit flight. tahun lalu gue sama sepupu gue dikasih challenge gitu sama tante gue buat maraton model gitu. yaa ga beda jauh deh sama maraton nonton. Serunya pas lari ketimpangan dibandara takut ketinggalan pesawat wkwk. ya sekalian ngasah adrenalin (takut ditimpuk petugas bandaranya)
LikeLike
Huwow keren juga, tapi pasti mahal deh yaaa. Gue biasanya sih emang flashpacker gitu, kayak di India 8 hari 7 kota, dan semacamnya. Tapi kalau oper-oper pakai pesawat terus ampun deeehhhh :))))
LikeLike
Ini pas jaman masih kenceng ya Rip?
LikeLike
Pas masih perjaka kayaknya Chik, sampai sekarang.
LikeLike
Konon keperjakaan setiap laki-laki terenggut oleh Tante Rosa, tangan tengen karo sabun…
LikeLike
Maaf Chik, kalau yang begituan aku kidal.
LikeLike
:’)))))
LikeLike
Nah, coba ke pulau ubin ah.. Udh bosan klo tujuannya Singapore, mati gaya. Apa cuma perasaan doang ya.
LikeLike
Lhoo komen kau kok masuk di spam ya lae, apa karena namanya virus :)))))
Iya cobain ke Pulau Ubin dong kalau ke sana lagi, biar gak mati gay.
LikeLike
Iri saya dengan pemerintah singapura ini. Potensi wisata sekecil apapun dikelola maksimal dan profesional.
Di danau foto diatas boleh mancing gak?
salam
LikeLike
Hehe iya itu bedanya mereka dengan kita ya, mereka sangat memperhatikan hal-hal kecil yang berpotensi besar. Kalau masalah mancing, tempat yang bisa untuk mancing ada tandanya gitu, boleh mancing.
Salam.
LikeLike
Mas Arif..
Seriusan itu treetop McRhitchie reservoir itu jauh?? Aq berencana ke situ sih, kira2 aman ga klo cewek sendirian ke situ?? Bikin begah gituu, kuat sih, tapii nyadarnya itu yg ga nguari hahaha…
Klo di SG yg wisata alam, kira2 di gerbang pintu masuknya ada penitipan koper/backpack ga ya??
LikeLike
I mean “nyasarnya itu yg ga nguati” 😅😅
LikeLike
YA SEMOGA JANGAN NYASAAAAR HAHAHA! 😀 😀 😀
LikeLike
Wahahaha iya jauh mbaaaak! Aman, asalkan kuat jalannya. Itu bisa 5 kiloan kalau gak nyasar yah 😛
Kalau penitipan ya gak semua ada, kalau McRitchie kayaknya sih ada, tapi aku gak yakin juga haha. Kalau Pulau Ubin sih ada.
LikeLike
I’m eҳtremely impгessed witһ your writing skills and also with
the lаyout on your bⅼog. Is this a paіd theme or did you
mⲟdify it yourself? Anyѡɑy keep up the nice quality writing, it’s rare to sеe
a grеat blog ⅼike this one these days.
LikeLike
This is a paid theme, I bought in WordPress. Thanks for your appreciation 🙂
LikeLike