
Namanya Noorma, atau setidaknya itulah nama yang saya ingat saat ini. Seorang wanita asal Amerika Selatan –Kolombia, kalau tidak salah ingat– yang saya temui di Myanmar setahun silam. Mungkin, kisah ini tidak perlu diceritakan kepada kamu, andai saja catatan yang saya simpan di handphone tidak hilang. Sebuah catatan perjalanan yang memuat pengalaman saya di Myanmar, termasuk cerita tentang orang yang saya temui, nama-nama kuil yang saya kunjungi di Bagan, juga harga cabai keriting di sana. Yang terakhir tentu saja bohong.
Ya, gara-gara catatan yang hilang tersebut, saya terpaksa menceritakan kisah ini kepada kalian. Kisah tentang seorang wanita yang saya kenal sebagai Noorma. Kalau tidak salah ingat.
Malam itu, saya sedang duduk-duduk santai bersama Eki dan Hardi di lobi Hotel Rich Queen, Mandalay, ketika seorang wanita berkulit putih, bermata belo, dan berambut ikal datang memasuki hotel sambil membawa sebatang bambu yang gosong. Di belakangnya, muncul seorang pria yang tak kalah gosongnya, menenteng helm sehingga membuatnya mirip seperti tukang ojek di Indonesia, berkulit gelap tanda terbakar matahari bercampur debu jalanan, walaupun tanpa jaket kulit Garut yang sudah tiga tahun belum dicuci.
“What is that?” Tanya Hardi ke wanita itu.
Si wanita itu mengangkat bambu gosongnya, bambu yang dipegangnya, bukan bambu milik pemuda gosong di belakangnya. “Oh this?” Dia diam sejenak, kemudian menatap si pemuda gosong, “I guess it’s a sticky rice, he showed me this kind of food.”
Oh, ketan dalam bambu. Di Pekanbaru juga ada sih. Batin saya.
“So, where have you been today?” Tanya saya membuka obrolan, yang dijawab si wanita dengan menceritakan perjalanan mereka hari itu. Ternyata tebakan saya benar, si pria adalah tukang ojek yang disewa untuk menemaninya berkeliling Mandalay hari itu, bukan terong-terongan Myanmar.
“And how about tomorrow?“
“Tomorrow I will go to Bagan.“
“Oh, really?” Saya terkesiap, karena memang besok pagi kami juga mempunyai jadwal yang sama, mengunjungi Bagan, kota dengan ribuan kuil.
Wanita itu tersenyum, memamerkan deretan giginya yang putih. “Yes, tomorrow morning.” Senyum yang membuat pemiliknya semakin menarik.
“Ah, same with us!” Seru kami girang, karena selain akan mempunyai teman perjalanan, kami juga kegirangan mendapati cewek di perjalanan. Maklum, namanya juga Trip Batangan. Tak lama kemudian, wanita itu pamit untuk naik di kamarnya dan bermain-main dengan bambu gosongnya, sementara kami tetap asyik bergunjing sambil menikmati wi-fi gratis di lobi.
Dan itulah awal mula perkenalan saya, dengan wanita yang saya kenal sebagai Noorma, kalau tidak salah ingat.
Sekitar pukul sepuluh malam itu, saya turun kembali ke lobi hotel, tentunya setelah mandi besar dan mensucikan diri. Di sana sudah ada wanita yang saya kenal sebagai Noorma itu, asyik di sofa dengan gadget-nya. Saya yang kompetitif tentu saja tak mau kalah dan langsung mengeluarkan benda tumpul dari dalam celana, kemudian mengkoneksikannya ke wi-fi hotel.
Dari cahaya yang memantul ke wajahnya, saya sesekali melihat wanita itu tersenyum kecil, dan kadang tertawa terbahak-bahak. Mungkin sedang berbincang dengan kekasihnya di sana.
Malam itu, kami adalah sepasang mahkluk anti sosial, yang lebih memilih untuk saling diam ketika dekat, dan berbicara dengan orang-orang nun jauh di sana. Teknologi zaman sekarang, mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat.
“I think I wanna go sleep now.” Sambil membereskan gadget-nya, wanita itu sambil menguap.
“Yes you should. You look so tired. I still have some works to do.” Jawab saya, sambil main Twitter. “See you tomorrow.“
“See you.”
Pagi harinya, kami mendapati Noorma sudah siap dengan barang bawaannya di lobi, sementara di dekatnya sudah berdiri si pemuda gosong. “Good morning!” Serunya semangat.
“Good morning.” Jawab Eki, setengah mengantuk.
“I’m going to the bus station now.”
Saya melirik jam di tangan, “But it’s still 6.30. Our bus will depart on 8, right?“
Setengah terkejut, wanita itu berseru, “Noooo. My bus will leave at seven!“
Yah, ternyata sama-sama ke Bagan, sama-sama berangkat pagi, tapi beda jam. Mungkin inilah yang dinamakan tidak berjodoh. “I thought we’re on the same bus.”
Wanita yang saya kenal sebagai Noorma itu mengeluarkan senyum andalannya, “Hope we can meet in Bagan.”
Yes, I hope. Insha Allah. If God wills.
Setelah menempuh enam jam perjalanan, melewati jalanan yang mirip sekali dengan kondisi jalan pantura yang berlubang dan berdebu, tibalah kami di Bagan. Namun tak ada tanda-tanda dari wanita yang saya kenal sebagai Noorma, kalau tidak salah ingat, itu.
Ah mungkin memang kami tidak ditakdirkan berjodoh, atau mungkin saja kami bukanlah reinkarnasi dari Rama – Shinta, sehingga tidak ditakdirkan untuk bersama.
Bahkan setelah menghabiskan waktu seharian di Bagan, berkeliling kuil demi kuil, hingga menikmati sunset di Shwesandaw Temple, kami masih belum menemukan tanda-tanda dari Noorma. Ya sudahlah, mungkin memang saya ditakdirkan untuk menikmati sisa perjalanan bersama duo batang ini.
Pagi hari berikutnya, setelah mengikuti tur balon udara di Bagan, saya sudah lupa dengan wanita yang saya kenal sebagai Noorma ini. Lupa nama, ingat rasa.
Myanmar adalah salah satu negara favorit saya karena keunikannya. Di negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha ini, hampir semua penduduknya mengenakan sarung lokal yang disebut longjyi, namun tidak pernah ke masjid. Menariknya lagi, banyak diantara mereka yang masih percaya terhadap kekuatan roh yang disebutkan sebagai Nat dalam bahasa lokal. Sama seperti orang Indonesia yang percaya terhadap kekuatan batu akik.
Ini adalah hari terakhir kami di Bagan –karena malam harinya kami harus sudah berada di Yangon lagi untuk melanjutkan penerbangan ke Kuala Lumpur sebelum kembali ke Jakarta–, dan kami memutuskan untuk melakukan one day tour menuju Mount Popa yang terletak 50 kilometer dari Bagan, salah satu tempat pemujaan Nat paling prestisius di Myanmar, dengan menyewa mobil yang dikemudikan oleh seorang pria lokal bernama Ko Moe Wai. Atau bisa disingkat sebagai Si Komo.
Setelah kurang lebih dua jam perjalanan dari Bagan, Si Komo memberhentikan mobilnya pada sebuah gardu pandang untuk melihat Mount Popa dari kejauhan. Dari jauh, gunung yang namanya dipercayai diambil dari bahasa Sanskrit ‘Puppa’ yang berarti bunga ini, lebih mirip seperti bukit berbatu dengan sebuah istana keemasan di puncaknya. Apabila cuaca cerah, dikatakan bahwa kamu dapat melihat gunung ini dari Sungai Irrawaddy yang terletak 60 kilometer jauhnya.
Dahulu, Mount Popa adalah sebuah gunung berapi aktif di ketinggian 1581 meter di atas permukaan laut. Sekarang, Mount Popa dikenal sebagai tempat ibadah dan ziarah terhadap para Nat yang ditandai dengan kuil-kuil dan patung-patung pemujaan di puncaknya.
Berikutnya, Si Komo memberhentikan mobilnya di Kaung Talat, yang merupakan pintu masuk untuk menuju puncak Mount Popa. Mulai dari sini, kami harus mendaki sebanyak 777 anak tangga (lebih sedikit daripada anak tangga di Mandalay Hill) dengan telanjang kaki. Beruntung tidak diminta mandi wajib terlebih dahulu.
Setiap harinya, terutama pada saat perayaan bulan purnama Nayon (Mei/Juni) dan Nadaw (November/Desember), penduduk lokal berdatangan ke tempat yang disebutkan sebagai Gunung Olympus-nya Myanmar ini untuk beribadah dan berziarah.
Di pintu masuk utama, saya telah disambut oleh monyet-monyet penunggu Mount Popa, yang dengan cueknya melakukan aktivitas hariannya, seperti bercengkerama, bersenda gurau dengan anak istri, hingga beribadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing.
Di dekatnya, ada sekumpulan penjual makanan tradisional seperti pecel di Indonesia, yang cara pencampuran bumbu kacangnya adalah dengan tangan kosong. Sesuatu yang menarik, namun membuat saya kehilangan nafsu. Nafsu makan, bukan nafsu berbelanja di Zara.
Naik lagi ke atasnya, kami mulai menjumpai kuil-kuil pemujaan terhadap para Nat dengan beberapa patung Nat di dalamnya. Para peziarah yang datang, acapkali melemparkan uang untuk para Nat tersebut, walaupun seharusnya mereka tahu bahwa yang telah meninggal sudah tak bisa lagi berbelanja di Zara.
Pada salah satu kuil, digambarkan beberapa Nat sedang bersimpuh di hadapan Buddha yang sedang duduk membelakangi lingkaran seperti bola disko. Sementara di kuil lainnya, saya menemukan sosok yang saya kenal di film Confessions of a Shopaholic, yaitu si wanita berselendang hijau.
Dikisahkan terdapat 37 Nat Agung di Myanmar, yang dahulu merupakan manusia, namun meninggal dengan cara-cara yang spesial, hingga rohnya dipercaya mempunyai kekuatan spiritual hingga sekarang. Seperti misalnya kakak beradik Mahagiri dari Kerajaan Tagaung yang mencari perlindungan dari Raja Thunligyaung yang memerintah Bagan pada tahun 344-387, yang kemudian menempatkan mereka di Mount Popa. Lalu ada juga Me Wunna, yang digambarkan sebagai wanita berselendang hijau, yang dahulunya adalah raksasa pemakan bunga yang tinggal di Popa, yang kemudian jatuh cinta pada Byatta, si pengantar bunga suruhan Raja Anawrahta yang memerintah Bagan pada tahun 1044-1077. Karena cinta yang terlarang itu, Byatta dieksekusi mati dan Me Wunna meninggal karena patah hati; kemudian keduanya bertranformasi menjadi Nat.
Namun, walaupun ada sebanyak 37 Nat yang direpresentasikan di Mount Popa, faktanya hanya empat dari mereka yang bertempat tinggal di sini, yaitu kakak beradik Mahagiri, Byatta, dan Me Wunna.
Kepercayaan lokal yang lain mengatakan bahwa pengunjung Mount Popa tidak disarankan mengenakan busana berwarna merah atau hitam atau hijau, juga membawa daging terutama daging babi, karena dapat menyinggung perasaan para Nat yang bertempat tinggal di situ. Cerita lain juga menyebutkan bahwa Byatta (dan adiknya Byatwi) bergama Islam. Lahir sebagai Islam, dan meninggal menjadi Nat. Sebuah legenda lokal yang menarik.
Di ujung tangga, saya mendapati kuil-kuil megah beratapkan warna emas, dengan pemandangan pegunungan hijau menghampar di kejauhan. Sebuah pertanyaan menghampiri, bagaimana cara membangun kuil megah di puncak gunung, tanpa adanya elevator dan helikopter di masa lampau? Apa mungkin saat itu Thor turun dari Asgard untuk membantu?
Asyik menikmati pemandangan di puncak Mount Popa, Hardi menepuk pundak saya sambil berkata, “Lu pasti girang banget kalau tahu gue habis lihat apa.”.
“Monyet, Om?” Tanya saya penasaran.
“Bukan.”
“Kim Kardashian?”
“Salah.”
“Newcastle jadi juara Liga Inggris?”
“Ngimpi aja lu.”
“Lalu apa dong, Om?”
Hardi menarik lengan baju saya, dan menunjuk ke arah seorang wanita berbaju kuning, berambut ikal, dan bergigi mentimun. Wanita yang saya kenal sebagai Noorma, kalau tidak salah ingat.
Saya kemudian menghampirinya, bertanya apa saja peristiwa yang dialami selama beberapa hari ke belakang. Wanita ini mengatakan bahwa dia sedang mengalami mual perut –yang sempat membuat saya ge-er bahwa pertemuan malam itu langsung membuahkan hasil– karena keracunan sticky rice dalam bambu gosong.
Wanita itu juga bercerita bahwa dia sebenarnya tidak berencana mengunjungi Mount Popa, namun salah seorang kawan yang ditemuinya di Bagan mengajaknya ke sini dengan patungan menyewa mobil.
Sebuah keputusan yang mengakibatkan kami dapat bertemu kembali, yang mungkin juga karena Insha Allah, kehendak Tuhan. Atau bisa juga karena doa para Nat yang bersemayam di Mount Popa.
EPILOG
Menjelang berpisah pada sebuah restoran di kaki Mount Popa, saya sempat menanyakan tentang nama Noorma kepadanya, nama yang saya kira adalah nama islami mirip dengan nama mantan walikota Depok yang pernah menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan juga Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Wanita itu menjelaskan bahwa nama yang diberikan ayahnya ini berasal dari Bahasa Italia.
Kemudian wanita itu juga bercerita bahwa saat ini dia sedang melanjutkan studi S3-nya di Asia dan solo traveling kali ini dilakukannya ketika liburan kuliah. Mendengar bahwa wanita itu seorang yang berpendidikan dan sedang mengalami mual, Eki memberi ide untuk memberikan wanita itu sebuah kenang-kenangan dari Indonesia, yang memang selalu kami bawa dalam perjalanan.
“Tolak Angin, for your enter wind.” Karena orang pintar minum Tolak Angin, kata iklan.
Pada saat-saat terakhir sebelum pamit, saya sempat berjanji untuk mengirimkan foto dari wanita yang saya kenal sebagai Noorma itu, melalui email. Namun malang, alamat email yang saya catat pada handphone hilang karena sistem operasi yang crash. Memang terkadang, pencatatan secara kuno di lembaran suhuf lebih bermanfaat daripada pencatatan secara modern.
Jadi jika kamu, kamu, dan kamu sedang berjalan-jalan dan menemukan wanita yang saya sebut sebagai Noorma tersebut, tolong sampaikan padanya, bahwa saya saat ini sedang mencarinya karena saya kehilangan alamat email dan belum sempat mengirimkan foto padanya.
Terima kasih. Jazakumullah Khairan Katsiran Wa Jazakumullah Ahsanal Jaza.
Disclaimer: Penyebutan nama Tolak Angin pada artikel ini murni berdasarkan pengalaman penulis, bukan atas permintaan pihak Tolak Angin dan Sido Muncul. Ya kecuali kalau mereka mau bekerja sama di kemudian hari, alamat email ada di kolom 'About'.
Tagged: Bagan, Mandalay, Mount Popa, Myanmar, Nat
Kalau kamu dikontak tolak angin, kasih mereka emailku juga ya. Siapa tahu mereka nyari bule yang doyan tolak angin, LOL.
LikeLiked by 1 person
Huahahahaha! Siap kakaaaak ~
LikeLiked by 1 person
Siapa tahu besok diajakin ke Newcastle United bawa tuh Tolak Angin mas 😀
LikeLike
Ahahaha Aamiin, biasanya emang selalu bawa Tolak Angin sih kalau jalan-jalan.
LikeLike
dia suka rasa tolak anginnya yaa :D? Kenapa ama aku itu obat ga prnh berfungsi -__- …
Myanmar dan laos, tinggal 2 negara ini aja yg blm aku dtgin utk asia tenggara.. ntah kapan :D… setelah semua cicilan lunas sprtinya baru bs liburan lagi -__-
LikeLike
Iya dia suka kok, katanya langsung lega tenggorokannya gitu. Ini obat sama aku malah berteman baik haha.
Aamiin, semoga bisa segera lunas terus jalan-jalan lagi! 😀
LikeLike
aaaw sweet 🙂
LikeLike
Aw thaaanksss 🙂
LikeLike
hahaha vote kak Ariev jadi duta tolak angin!!
LikeLiked by 1 person
Hahaha vote Dita buat rajin mandi!
LikeLiked by 1 person
Cerita yang menarik. Semoga bisa bertemu lagi dengan Noorma… Kalau pas ketemu Noorma di Mount Popa emailnya dicatet di catatan pasti masih bisa kontak2an sekarang. hehehe.
Btw, aku baca ceritanya jadi inget Film Assalamualaikum Beijing lho mas. hehehe. Salam, 🙂
LikeLike
Wah makasih sudah mampir Mbak!
Iya dulu jadi nyesal kenapa gak ditulis di buku saja catatannya. Akibatnya jadi kayak gini deh, ehehe. Wah aku belum nonton filmnya, bagus kah Mbak?
LikeLike
Selalu menarik penuturannya. Kalau saya tidak salah ingat.
LikeLike
Makasih Bung yang saya kenal sebagai ganganjanuar, kalau tidak salah ingat.
LikeLiked by 1 person
Ikut trip batangan next nya donggggg
LikeLike
Batang siapa mz?
LikeLike
Jadi kamu mandi junub karna main ama bambu gosong ??? #Mikir
LikeLike
Umm umm *ikut berpikir* *sampai keras*
LikeLike
Dear, Mr. Arievrahman
My name is Feny, I am studying Product Design at ITS Surabaya. For the purpose of my final project, I’m designing a travel bag specifically for a traveler-photographer. So now I’m seeking for some resources relating to the field of traveling and photography. If you please, I’d loved to deep-interviewing you as one of my expert resources.
Hope you can contact me as soon as possible at fenypus@gmail.com or by phone 0838-565-50500/0822-574-51916
Thank you for considering my offer 🙂
LikeLike
Dear Feny, greetings from http://www.backpackstory.me.
Whoa, what an interesting project you have there, and sure I will be happy if I can help you, because I also have an interest at travel bag.
Maybe you can contact me thru my email for the project detail? You can find my email on my about column 🙂
Have a nice day.
LikeLike
Jadi kamu sekarang jadi duta Tolak Angin ya mz? Sebentarr kubikinin selempang wadah Tolak Angin yang udah didaur ulang dulu yah 😛
LikeLike
Hahaha, akyu duta Tolak Halim, mz.
LikeLike
peran figurannya cuma satu doang yang menarik, yang pake baju item 😀
LikeLike
Yoih, yang ceweknya anak advent itu ya?
LikeLike
gua jg slalu bawa tolak angin klo ngetrip.
btw, gua ikut deg-degan pas ketemu yang bernama noorma, klo gak salah.
LikeLike
Wah, berarti lu pinter ya sob? Haha. Kalau gak salah.
LikeLike
Ngakak bro bacanya…apalagi pas kata “lupa nama, ingat rasa” … pernah jadi supir pantura ya 🙂 hahaha
LikeLike
Hahaha, maklum buat nambah-nambah penghasilan, kadang nyopir juga broh.
LikeLike
Temen kantor gw org Jerman sekali dikasih tolak angin sewaktu di Pangandaran sehabis rafting di greencanyon langsung nagihh…minggu berikutnya trip ke gunung Padang udah bawa tolak angin aja dya..cocok katanya…apa doyan yak..
Btw gw pernah dapet kenalan dari gebet menggebet di Angkorwat di kuil matahari untuk sunset, cuman tukeran nama FB tapi blm bisa diadd krn gak ada internet sm nulis email di secarik kertas..gw simpen cuilan kertas itu di dompet karena pas janjian dinner gw telat nyamperin ke guesthousenya (orang jepang tepat waktu emang) akhirnya setelah 3 tahun kita selalu janjian ketemu untuk liburan bareng setahun sekali di Jepang atau di Indonesia..Don’t give up! Find your Noorma…gugling coba nama dan universitasnya
LikeLike
Ahaha, iya mungkin cocok sih, kalau doyan sih bisa diminum setiap hari sebelum dan sesudah makan, dicek aja habitnya.
AH SENANGNYAAA! Jadi ini masih ketemu terus dong tiap tahun? Aku jadi pengin punya summer fling gitu, eh. Namanya lupa, universitasnya lupa, emailnya lupa. Ah parah deh lupanya hahaha.
LikeLike
Hahhaha..yaa..ya mirip summer fling..it just something light and fun filled with our craziness to trip adventure..mirip couch surfing juga sekalian bertukar culture experience 🙂
LikeLike
Haha! Nice then, hope I can find one on my next trip :))))
LikeLike
Wah aku pernah ngasih tolak angin ke temenku yang bule prancis. Harusnya difoto juga ya… ಠ_ಠ
LikeLike
Iya dong, itu kan produk kebanggan bangsa Indonesia.
LikeLike
Tempat yang menarik dengan kisah yang “lupa” wkwkw..
semoga next jgn sampai lupa lagi 😛
LikeLike
Aamiin! Semoga gak lupa lagi hahaha.
LikeLike
Mungkin hapenya lelah mas, ilang data2nya . Demikian. Wabillahi taufiq wal hidayah, wassalamu ‘alaikum warohmatullohi wa barokatuh…
LikeLike
Allahumma lakasumtu wabika amantu~
LikeLike
Jadi apa sebenarny benda tumpul dr celana yg bisa konek (ke wifi) itu? :p
Iya bgt wemen adalah yg ditunggu (dan dicari) pas trip batangan hahaha
LikeLike
Kapan kita ngetrip bareng kak? Batang-batangan lah kita.
LikeLike
Malam-malam baca ini dan ngikik2 sendiri di penghujung ceritanya.. Hihihi.. Besok kl ada Noorma lagi di Myanmar, aku kabarin ya Mas.
LikeLike
Iya mbaaaaak. Kapan mau berangkat ke Myanmar?
LikeLike
Lupa nama Inget rasa 😀 mau cerita rasanya yang pasti tambah bingung XD hahahaha
LikeLike
Rasanya yaaa… gitu deh! 😀
LikeLike