
.
“Home, is where your heart is.”
Seorang perempuan berdiri berdesakan bersama para penjemput yang lain, sementara kertas bertuliskan sebuah nama dipegangnya erat dengan kedua tangan. Saya melihat ke sekitar, namun tidak menemukan nama yang familiar di situ. Tak ada papan bertuliskan “Selamat datang, Bapak Arif yang tampan.” maupun “Welcome to Balikpapan, Johnny Depp.” di situ. Entah saya yang tak jeli, atau mata saya yang masih belum terbiasa dengan remangnya malam setelah menempuh perjalanan udara selama dua jam dari Jakarta. Pandangan saya pun kembali kepada perempuan tersebut, membaca kata demi kata yang tertulis pada kertas yang dipegangnya.
“WELCOME HOME, MARJI“
Huft.
Kepergian saya ke Balikpapan kala itu, adalah merupakan rangkaian perjalanan saya mengunjungi Derawan, di mana saya memutuskan mengambil rute Jakarta – Balikpapan – Tarakan – Derawan – Tarakan – Balikpapan – Jakarta, dengan maksud mengunjungi pacar terlebih dahulu di Balikpapan, sebelum memboyongnya berlibur ke Derawan.
“Kamu mau makan di Kenari apa Dandito?” Tanya Hana setelah memasukkan kertas yang bertuliskan nama Johnny Depp tadi.
Sebelum berangkat, saya telah mencari sedikit informasi tentang Balikpapan. Dan saya pun mengetahui bahwa Balikpapan terkenal dengan masakan kepitingnya. “Umm, coba yang kamu belum pernah yuk.” Dan dua tempat yang paling terkenal adalah Kepiting Kenari dan Kepiting Dandito.
“Okay, berarti kita ke Kenari.” Serunya, sambil mengajak saya berjalan keluar bandara, menuju angkot yang mengarah ke kota. Di Balikpapan, tarif angkot jauh-dekat adalah 3.000 rupiah, dan serunya terkadang angkot bisa mengantarkan kita ke tempat yang seharusnya tidak dilalui rutenya. Jadi peraturan pertama ketika menggunakan angkot di Balikpapan adalah “Tanyakan dulu, apakah lewat ke tempat yang kita inginkan”.
“Kepiting Kenari, lewat Bang?” tanya Hana pada supir, bukan pada Johnny Depp.
Restoran Kepiting Kenari ini letaknya tak jauh dari bandara, dan hampir berseberangan dengan Restoran Kepiting Dandito. Namun jika dijelaskan dalam bentuk soal maka akan menjadi: Jika Bandara –> Dandito = 10 menit dan Bandara –> Kenari = 11 menit, maka siapakah nama pemilik Restoran Kepiting Kenari yang tutup pada malam itu?
Iya, malam itu Kepiting Kenari tutup, dan kami berjalan kaki menuju Dandito, sambil sesekali bergandengan tangan dan beradu pandangan.
Hangat.
***
Pagi yang cerah menemani langkah kami ke Lapangan Merdeka Balikpapan, esoknya. Kata Hana, di sanalah tempat warga Balikpapan beraktivitas di hari libur. Mulai dari berjalan-jalan, liburan keluarga, jogging, bermain sepeda, hingga seperti yang kami lakukan. Berpacaran Mencari sarapan.
Pilihan kami, jatuh kepada Soto Banjarmasin yang terletak di sudut lapangan. Merupakan perpaduan yang unik, sebab si penjual juga menyediakan es pisang ijo Makasar, selain seutas senyum manis di Balikpapan.
“Bu, itu Kuin artinya ratu bukan?” Tanya Hana ke si penjual.
“Hihihi, ya bukan Mbak, kalau Kuin yang artinya ratu kan depannya pakai Q, bukan K.” Si penjual menjelaskan sambil tersipu malu “Kalau Kuin ini artinya nama daerah di Banjarmasin sana, hihihi.”
“Ooohhh…”
Ya siapa sih yang gak bersemu kalau ditatap dengan pandangan kayak gitu.
Huft.
***
Perjalanan ke Derawan sendiri, menempuh waktu kurang lebih tiga hingga empat jam perjalanan dari Balikpapan. Diawali dengan pesawat udara ke Tarakan selama satu jam, beberapa menit dengan mobil jemputan ke dermaga, dan sisanya ditempuh dengan menggunakan speed boat ke Pulau Derawan. Pemandangan yang memanjakan mata akan menyambut kita di langit Tarakan, semantara pacar yang baik akan memanjakan kita selama perjalanan.
“Cantik banget deh!”
“Siapa?”
“Itu sungainya.”
“…”
Guncangan demi guncangan kecil mengawani speed boat yang tampak penuh dengan penumpangnya yang hampir mencapai 20 orang. Beberapa nampak tenang, beberapa lainnya tertawa-tawa, beberapa lainnya tidur, dan beberapa lainnya berdzikir. Saya dan Hana, duduk berhadapan, berpandangan, sambil sesekali mengambil foto satu sama lain. Dan ketika ada penumpang yang bertukar tempat, saya ikut berpindah tempat di samping Hana, dan dia kemudian menyandarkan kepalanya pada bahu saya.
Damai.
Petualangan kami di Kepulauan Derawan, mencakup snorkeling di Pulau Maratua, berenang bersama ubur-ubur tak beracun di Danau Kakaban, menyaksikan anak-anak penyu di Pulau Sangalaki, hingga menikmati sunset yang cantik di Pulau Derawan. Eh, sunsetnya yang cantik atau …
“Ini cobain dulu.” Ucap seorang ibu peserta tur kepada kami, seusai makan malam. Beliau menunjuk sebuah bungkusan yang terletak di meja.
Saya pun mendekati dan mengendus bungkusan itu “Apa itu, Bu?”
“Lobster.” Jawabnya “Tadi ibu beli, buat dimakan ramai-ramai ya.”
“Tapi …”
“Sudah makan saja.”
“… tapi enak.”
Empat hari tiga malam di Derawan dan sekitarnya akhirnya berlalu dengan indahnya, kami pun kembali menuju Tarakan, tetap dengan speed boat yang sama. Kali ini, saya dan Hana bisa duduk bersebelahan sedari awal. Hujan rintik-rintik mengantarkan kepulangan kami dari Derawan, dan kapal yang berguncang kecil membuat saya melingkarkan tangan ke pinggang Hana. Iya bukan karena kapalnya, tapi saya sendiri yang ingin selalu dekat dengannya.
Tenang.
***
Masih ada waktu sekitar tiga jam sebelum jadwal pesawat kami terbang ke Balikpapan, dan atas saran dari beberapa pihak, saya dan Hana memutuskan untuk bermain ke Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan, Kota Tarakan. Untuk mencapai tempat ini tidaklah susah, cukup menggunakan angkot dari pintu keluar dermaga, menyebutkan jurusan yang dituju, dan menawar jika harga yang diminta sang supir terlalu tinggi.
“Cantik-cantik kok pelit!” Gerutu si supir kepada Hana, yang menawar tarifnya menjadi 1/2 harga, karena tahu bahwa si supir menaikkan harga setelah mengetahui bahwa kami bukanlah penduduk Tarakan. Sebagai informasi, tarif angkot di sini sama dengan Balikpapan, yaitu jauh dekat 3.000 rupiah.
Setelah membayar tiket masuk seharga 3.000 rupiah per orang, kami pun masuk menyusuri jembatan panjang yang tersusun rapi membentuk jalanan berbahan kayu. Sementara di samping kanan dan kirinya terdapat tumbuhan bakau (mangrove) yang tumbuh subur bersama beberapa tumbuhan lain. Dari keterangan yang saya dapat waktu itu, kawasan konservasi ini terdiri dari kawasan lama dan kawasan baru. Kawasan lama yang beralaskan kayu seluas kurang lebih 3 hektar, dan kawasan baru seluas sekitar 13 hektar dengan paving block.
Yang menarik dari kawasan konservasi ini adalah kebersihan dan kerapihannya. Sangat jarang saya melihat sampah berserakan, puntung rokok bertebaran, maupun orang pipis sembarangan. Di setiap beberapa meter, disediakan tempat sampah untuk membuang sampah, bukan bayi. Selain itu, kami juga menemukan ada sebuah taman bacaan di tengah-tengah hutan bakau ini, menarik.
“Tapi mana bekantannya ya?”
“Itu ada…”
“Ngawur!”
“…orang, coba kita tanya. Tadi belum selesai ngomongnya.”
“…”
Saya mendekati seorang bapak yang duduk di teras taman bacaan, menanyakan di mana bekantannya, dan dia kemudian berjalan ke arah belakang taman, membuka pintu kecil yang terbuat dari besi. “Ikuti saya.”
“Ke tempat bekantan, Pak?”
“Bukan, ke jalan kebajikan.”
“…”
Pemandangan berikutnya yang kami lihat adalah beberapa ekor bekantan yang sedang asik menikmati pisang yang disediakan khusus untuk mereka. Inilah pertama kali saya melihat bekantan di alam bebas, setelah sempat melihatnya lewat foto dan cermin. Bagi saya, bekantan merupakan satwa yang unik, karena tubuhnya yang seperti monyet memiliki kombinasi bulu berwarna oranye dan abu-abu. Selain itu, bentuk hidungnya juga mencolok perhatian. Berbentuk seperti penis, berwarna merah, dan lebih besar ukurannya dari penis si bekantan jantan.
“Ih, mirip kamu ya.” Ucap Hana.
“Berarti kamu pacarnya bekantan dong.”
Huft.
“Ini bekantannya galak gak, Pak?” Saya bertanya dengan rasa was-was, takut digigit bekantan.
“Enggak kok, di sini yang nakal adalah monyet-monyet kecil yang abu-abu.” Beliau menjelaskan. Memang, hari itu kami juga menjumpai beberapa satwa lain di situ, seperti monyet, biawak, kadal, juga semut.
“Nah, kalau yang besar itu. Namanya Jon.” Bapak tersebut menunjuk ke arah bekantan terbesar, yang sedang memanjat pohon. “Alkisah dahulu hanya ada empat bekantan di sini. Dua pasang tepatnya. Dua pejantan yang terbesar bernama Jon dan Mika.”
“Wow, Jon dan Mika!” Saya tertegun, Jon dan Mika, bahkan nama mereka lebih keren dari Marji. “Lalu sekarang ada berapa jumlahnya, Pak?”
“Sekarang sekitar 30 ekor, yang terbagi menjadi dua kelompok. Yaitu kelompok Jon dan kelompok Mika.” Beliau melanjutkan ceritanya. “Nah, kalau kelompok Mika adanya di sisi kanan hutan ini.” Beliau mengarahkan telunjuknya ke pucuk pohon di sisi kanan kami.
“Nah, si Mika ini takut sama Jon. Dia gak berani turun ke tempat makanan kalau sedang ada kelompok Jon.”
“Oh gitu, kalau …”
Namun sebelum saya menyelesaikan pertanyaan saya tentang bagaimana masa lalu Jon dan Mika, muncullah sekelompok anak SD berseragam pramuka yang sedang berdarma wisata lengkap dengan tongkat pramukanya. Teriakan dan celotehan mereka yang kencang akhirnya membuat Jon ketakutan, dan kembali lagi ke kelompoknya.
“JANGAN BAWA TONGKAT KE SINI!” Pekik sang bapak pengawas, yang segera dituruti mereka.
“Eh, kita masih punya berapa waktu, sayang?” Tanya Hana, yang mengalihkan perhatian saya dari anak pramuka dan si bapak, serta hubungan asmara Jon dan Mika.
“Umm, dua jam lagi sih.” Saya melihat jam tangan analog saya, dan menunjuk ke arah sebuah kursi yang terletak di dekat situ. “Duduk situ dulu yuk, sambil istirahat.”
“Boleh, sambil makan bekal yuk.”
Dan kami pun menikmati sisa waktu yang kami punya dengan duduk berdua, mengobrol ini itu, sembari menikmati beberapa potong brownies blueberry yang telah kami bawa, dan menghiraukan puluhan pasang mata bekantan yang menatap.
Nyaman.
***
Sebelum perjalanan pulang ke Jakarta, saya meminta Hana bersama Puty dan Zia untuk menemani saya makan kepiting, dan kali ini untungnya Restoran Kepiting Kenari buka. Maka mampirlah kami sebelum ke bandara, dan memesan seporsi Kepiting saus spesial Kenari. Bedanya dengan Dandito adalah, rasa saus kepiting di sini cenderung asam karena bercampur dengan jeruk lemon, sementara di Dandito rasanya cenderung manis karena bercampur dengan saya kecap. Karena waktu yang tak banyak, maka kami makan dengan tergesa, melahap sebanyak mungkin kepiting yang tersedia di meja.
Kenyang.
Saya memeluknya erat sebelum melangkahkan kaki memasuki ruang tunggu keberangkatan Bandara Sepinggan, Balikpapan. Memberikan kecupan di pipinya, sambil berbisik singkat: “Take care here, before I take you there. Love you.”.
Akhirnya, perjalanan yang hangat pun usai. Bepergian bersama orang yang disayang, membuat saya selalu merasa damai dan tenang, juga memberikan rasa nyaman. Bersamanya, telah membuat batin saya kenyang akan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Because love is so easy to feel but so hard to tell.
Dari cerita saya ini, salahkah jika saya memanggilnya “rumah”?
“Home, is where my heart is. Because I have given my heart to you, please don’t let me be homeless.” — Marji
PS: Catatan perjalanan Derawan, akan diceritakan pada kesempatan yang akan datang.
uda punya pacar lo ?
akhirnya yah
LikeLike
Emangnya lu aja yang boleh punya pacar?
Huft.
LikeLike
ceritany di derawannya cuma segitu doang om ? kagak ada adegan kejar2an di pantai sangalaki, atau lelep2an di danau kakaban gitu ?
LikeLike
Eits, pasti gak baca footnote di bawahnya. Yang khusus Derawan bakal dibuat postingan tersendiri nantinya.
Ihiy!
LikeLike
hahahaha.. iyak, bacanya sampe ujung doang gak sampe PS
Daripada gw menggelinjang ngeliat kepiting saus kenarinya mendingan langsung di close.. hahaha
LikeLike
itu beneran bekantan yang makan pisang?
bukan kamu?
LikeLike
Bukaaaan, aku makan kamu aja.
KRAUK!
LikeLike
Alhmdulillah yo ndhes akhire ono sing gelem :”>
LikeLike
Iyo ik, wedok sisan :”>
LikeLike
haha.. emang biasae lanang piye mas? :p
LikeLike
Wes boesn karo lanangan, mbak.
LikeLike
ini ceritanya ceritain pacarnya yah? *aduh ribet* :p
Ciiiyeeeeee…….. :’)
Jadi mau jalan-jalan sama pacar juga. Eh cari pacar dulu apa nentuin mau kemana dulu? :’D
LikeLike
Hihihi, ya cerita jalan-jalan sama pacar sih intinya. Kamu, udah punya pacar belum, Pah? Cari dulu, ke mananya mah belakangan.
😀
LikeLike
sejak marji berpacaran temanya selalu ada bumbu cintanya ..
LikeLike
:3
LikeLike
Jadi intinya, nama anda Marji atau Jon? #mlipir
LikeLike
KAN UDAH DIBILANG JOHNNY DEPP!
*lempar Jon*
LikeLike
marji, mari mengaji.
LikeLike
mengaji, mengasah ngaji.
LikeLike
Makasih kak, lagi-lagi ceritanya sukses banget bikin iri. Hahaha..
Ya udahlah buru-buru bikin buku lagi aja gih kak. Buku nikah maksudnya. #eaa
LikeLike
Apa sih yang mau diiriin dari seorang bekantan? *halah*
LikeLike
Semenjak punya pacar tulisannya jadi beda ya 😀
disegerakan klo gitu mas hehe..
LikeLike
Beda gimana nih, aku ndak mudeng loh. Hayo coba dijelasin. Hahaha.
LikeLike
aaaaaah swwet! 😀 😀
LikeLike
*sweet 😛
LikeLike
Bukan wet? Halah. Makasih Sarah!
LikeLike
JIYEEEEEEE *diantem piring* XD
LikeLike
PRAANGGG!!
*BB Z10 pecah berserakan*
LikeLike
OMG ITU KAN GARANSI QATAAAAAR :))))))
LikeLike
KAK!! Lagi pamer jalan-jalan sama pacar ceritanya, ya?
LikeLike
IYAK!!
LikeLike
Aku nangis baca ini! tanggung jawab!
Mba hana sweet bangeeeeetttt
LikeLike
Kalo Hana sweet, aku berarti sweeter. Tapi kami sweetest sih emang.
Kamu nangis kenapaaaa?
LikeLike
Mbak Hananya maniiiis. :3
LikeLike
makaciiiiii :3
LikeLike
rasa-rasanya ada yang bakal sering ke Kaltim inih :))) #uhukkkk…. mbaknya manisss
LikeLike
Hahaha, sayangnya ini bulan terakhirnya pacarku magang di sana, Mas. Bulan depan udah di Jakarta lagi.
LikeLike
hahaha…gak pernah kebayang bikin tulisan begini. Saya orang Balikpapan, dan sekarang lagi mencari sesuap nasi di kota Bontang (…dan sebongkah berlian). Masih banyak mas destinasi yg perlu di explore di kaltim, terutama kuliner seafoodnya, disini kita bisa makan seafood murah, meriah, muntah (..saking banyaknya).
LikeLike
Hai Bro, emang tulisan begini ini gimana? Hahaha.
Siap, emang Kalimantan banyak banget destinasinya, tapi sayang saya cuma punya waktu sedikit. Semoga ke depannya bisa ke sana lagi, hehehe.
Semangat nyari berliannya brooo 😀
LikeLike
wah, balikpapan , kluargaku akeh nang kono kui rip , btw bukannya tuh kepiting harganya muahal temenku ada yg trauma ma kepiting karena saking mahalnya ” masih shock liat harganya ” .. ha7 ..
sekali2 jalan ke kalimantan barat lah tak kancani .. he7 .. sekarang lagi tugas di perbatasan nih
salam from old friend
LikeLike
Wogh, aku lagi ngerti nak kowe akeh sedulur ning kono, Yek. Harga kepiting menurutku standar sih, soalnya aku terbiasa sama harga di Jakarta yang nggilani. Makan kepiting di Benhil aja 5 tahun lalu per porsi 120.000 isi 2. Kalau di Balikpapan sekitar 160.000 an sih, dan masih worth it KARENA ENAK BANGET!
Saiki ning ndi sih? Semoga iso marani, tapi dolan wae 😛
LikeLike
Menurut survei memang Balikpapan termasuk kota termahal di Indonesia, tapi gak semuanya lho mas. Itu hanya di daerah pusat kota/ pusat pergerakan ekonomi meskipun harga segitu jg masih worth it. Coba deh kalo punya waktu agak panjang, explore daerah pinggirannya, niscaya engkau akan menemukan surganya seafood yg murah dan fresh from the sea.
Ngomongin kalbar, dari lama pengen kesana, liat-liat amoy, eh landscapenya dink.
LikeLike
Iya Mas, kemarin aku makan semacam nasi uduk atau lontong sayur di lapangan Balikpapan kena 40 ribu berdua, hahaha.
Siap, semoga ada waktu buat eksplore amoy-amoy, eh Balikpapan maksudnya!
LikeLike
lagi di sanggau , kalimantan barat .. klo ada trip ke sini monggo mampir, ke kuching, malaysia cuma modal 100 ribuan ha7 .. cuma ya itu menikmati debu ma maen offroad ” g pake mobil gede tapi pake bus, kaya metromini “
LikeLike
Wogh mantap lah! Ke Serawak coba Yek, ketemu suku aslinya yang suka ngoleksi kepala manusia, hahaha.
Pengin sih rono, tapi rung ono waktune ki 😀
LikeLike
“Inilah pertama kali saya melihat bekantan di alam bebas, setelah sempat melihatnya lewat foto dan cermin”
ini termasuk curhat jg ya kak 😀
LikeLike
Itu… pengakuan, kak.
LikeLike
Hmmm…
Jadi pingin ke Kalimantan Timur lagi…
LikeLike
Sama sih, kurang puas ke sana waktu itu..
LikeLike