Seorang pria Jepang necis maju ke loket setelah nomor antriannya dipanggil, kemudian dia menyerahkan dokumen yang dibawanya ke wanita India di balik loket yang nampak anggun dengan kain sari yang dikenakannya. Wanita itu meneliti dokumennya sejenak, lalu mengembalikannya lagi. Mukanya yang terlihat manis, sekarang berubah menjadi jutek.

“Where’s your Visa Application Form?”

“Hah, sorry?”

“Yes, your application form, Have you filled it?”

“No, I don’t know. Can I continue without it?”

“No, you have to fill it online first, then you can come back here later.”

“But, I …”

“Next! Number 24!”

Saya menatap nomor yang saya jepitkan pada map dokumen yang saya bawa. Nomor 24. Glek! Saya menelan ludah, karena haus. Dengan jantung berdebar, saya melangkah maju mendekati loket si wanita India yang sempat terlihat anggun tadi.

……

Pukul 09:10

Beberapa pria legam, mengantre untuk memasuki pintu kecil yang terbuat dari jeruji besi berwarna hitam. Dari kelebatan kumis dan warna kulitnya, saya mengenali bahwa mereka adalah penduduk India. Sejenak saya membayangkan bahwa saya berada pada sebuah bioskop tua di Mumbai, mengantre premiere pemutaran film terbaru Shah Rukh Khan, namun di detik berikutnya saya sadar, bahwa saya sedang berada pada Kedutaan India di Jl. HR Rasuna Said Kav. S-1 Kuningan Jakarta Selatan, mengantre masuk.

[Catatan: Untuk permohonan pendaftaran visa, dilayani pukul 09:00-12:00]

Saya mengempit (di ketiak, bukan di selangkangan. -red) map berisikan dokumen yang telah saya siapkan hari sebelumnya, dan setelah jeruji hitam terbuka, saya pun masuk, mengisi buku kedatangan, menitipkan tas, jaket, dan handphone (karena yang boleh dibawa masuk hanya dokumen dan alat tulis), sebelum mendapatkan nomor antrian untuk mengajukan permohonan visa India.

“Langsung masuk aja Mas, ke ruangan itu.” Petugas keamanan wanita yang telah selesai memeriksa tubuh saya berkata “Nanti nunggu nomornya dipanggil ya.”

“Nam-ber tuwen-ti-for!”

Saya mengenali logat yang diucapkan wanita itu, Indian English, dan pastilah nomor 24 yang dimaksud. Dengan jantung berdebar, saya melangkah maju mendekati loket si wanita India yang sempat terlihat anggun tadi.

“Hello, good morning.”

Tak ada jawaban. Wanita itu mengarahkan tangannya ke saya, membalik telapaknya mirip Othello, dari hitam menjadi putih. Dari gesture-nya, sepertinya dia meminta dokumen yang saya bawa, lalu saya pun menyerahkannya dengan pasrah. Dia mengeceknya dengan hati-hati, lembar demi lembar dibukanya, dan saya menjadi semakin deg-degan. Saya berdoa dalam hati, supaya syarat-syarat yang dibutuhkan untuk mengurus visa — yang telah saya siapkan dalam map — telah lengkap. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Paspor

Jangan pergi ke luar negeri sebelum memiliki paspor, dan jangan kembali ke dalam negeri sebelum mendapatkan cap di paspor dari negara yang dikunjungi. Beberapa negara mensyaratkan paspor yang memiliki masa berlaku lebih dari enam bulan, demikian juga dengan India. Nantinya visa yang telah disetujui, akan ditempel pada paspor ini.

2. Pasfoto Terbaru

Seperti sebelumnya, saya memercayakan sesi pemotretan personal saya kepada Jakarta Foto yang beralamatkan di Jl. H.A. Salim (Sabang) Jakarta. Tak sampai 15 menit, saya telah mendapatkan hasil fotonya, rapi dalam sebuah amplop yang juga berisikan CD soft copy foto tersebut. Saya menyerahkan uang sebesar Rp. 40.000,- untuk menebus amplop tersebut. Sebagai informasi, ukuran foto yang digunakan untuk mengurus visa India adalah 5cmx5cm = 25cm², dan dibutuhkan — sebenarnya — hanya dua foto — satu ditempel pada formulir dan satu diserahkan ke petugas — saja.

IMG-20130103-02025

Hanya Rp. 40.000,- untuk empat lembar foto dan sekeping CD berisi foto (bukan bulu keriting)

3. Itinerary Perjalanan

Itinerary atau jadwal perjalanan dibuat dari sejak awal masuk India, hingga keluar dari India, lengkap dengan tanggal masuk dan tanggal keluar, tempat datang dan tempat pergi, termasuk jadwal acara dan tempat menginap di kota-kota yang akan dikunjungi. Tidak harus detil, namun tunjukkanlah bahwa kamu mempunyai jadwal acara tentang apa saja yang akan kamu lakukan di India.

[Tip: Hindari penulisan acara seperti rencana membawa pulang ribuan ular kobra, menyatroni rumah Aishwarya Rai, maupun menjarah Taj Mahal dalam itinerary, walaupun kamu memang berniat untuk itu]

4. Bukti Pemesanan Tiket Pesawat

Bukti pemesanan tiket pesawat — berupa print out tiket maupun boarding pass — dibutuhkan jika kamu memang akan menuju India dengan menggunakan pesawat, namun jika kamu sedang mengalami kesulitan keuangan dan akan menuju India dengan berenang, pastikan kalau kamu bisa berenang.

5. Bukti Pemesanan Tiket Kereta

Bukti pemesanan tiket kereta dilampirkan, jika kamu berniat menggunakan kereta di India. Untuk cara pemesanan tiket kereta di India, bisa disimak di sini. Abaikan poin ini apabila kamu termasuk Suku Baduy.

6. Bukti Reservasi Hotel

Apabila kamu tidak memiliki penjamin di India, maka bukti reservasi hotel dibutuhkan sebagai jaminan bahwa kamu memang berniat tinggal secara baik-baik, bukan dengan cara menggelar sleeping bag di depan Agra Fort, atau menyelinap di dalam bagasi taksi di Calcutta, Taxi, Taxi, Taxi, in.

7. Formulir Aplikasi Visa

Pihak imigrasi India mensyaratkan supaya kita melakukan registrasi visa secara online via http://indianvisaonline.gov.in, sebelum membawa hasil cetakan formulir yang telah diisi tersebut ke kedutaan. Ada beberapa halaman yang harus diisi pada situs tersebut, kebanyakan pertanyaan dan isiannya mudah, namun langkah saya sempat terhenti pada kolom sex, karena hanya ada manwoman, dan transgender, tanpa menyebutkan never. Setelah lengkap diisi, maka daftar isian tersebut dapat di-export ke dalam format .pdf, untuk di-print, dan ditempel foto yang telah dicetak sebelumnya.

IMG-20130107-2033

Hasil print out Formulir Aplikasi Visa India

8. Rekening Koran

Jika kamu tak setampan Brad Pitt atau semolek Angelina Jolie, maka jangan harap bisa berjalan-jalan di India hanya dengan bermodalkan tampang dan keberuntungan, tanpa uang. Rekening koran atau fotokopi buku tabungan akan memberikan jaminan kepada pihak imigrasi bahwa kamu memang memiliki dana untuk melakukan perjalanan ke India. Buatlah rekening koran, selama minimal tiga bulan terakhir. Setahu saya, untuk ke India, tidak disyaratkan berapa minimal tabungan yang ada, cukup tunjukkan bahwa kamu memiliki aliran dana yang stabil, dan ada dana mengendap selama tiga bulan itu. Sebagai gambaran, siapkanlah dana sehari antara 300.000 – 500.000 untuk biaya hidup di sana, kalikan dengan jumlah hari di sana, dan kamu akan mendapatkan saldo minimum tabungan.

[Catatan: Biasanya bank akan meminta biaya cetak untuk tiap lembar rekening koran yang diminta. Besarnya bervariasi, sekitar Rp. 2.000,- per lembarnya]

Wanita India itu memindahkan berkas saya ke meja di sampingnya dan kemudian  meminta saya — tetap dengan gerak tangannya — berpindah ke loket sebelah untuk membayar biaya pembuatan Visa.

“Is it finished?”

Dia mengangguk.

“Thank you.”

Dia diam.

Ngehek. Dan saya pun teringat sebuah quote dari Libbie Fudim yang juga dikutip Andrea Hirata pada buku Sang Pemimpi: “Love me or hate me, but spare me your indifference.”  

Dua langkah ke kiri, grak! Dan saya pun bergeser ke loket sebelah. Loket SBI (State Bank of India).

Biayanya 492.000 rupiah, Mas.” Sebuah suara menyambut kedatangan saya, seorang wanita lokal berkacamata yang manis, dan saya pun seperti terhipnotis menyerahkan uang yang berada dalam dompet. “I..ini, Mbak.”

“Silakan duduk dulu ya, nanti dipanggil.”

“Bapak Muhammad Arif Rahman.” Nama saya dipanggil dari dalam loket SBI, dan saya melangkah mendekat.

“Ini tanda terimanya, dan visa bisa diambil besok pukul 16:00 sampai 16:30 dengan menggunakan tanda terima itu.”

What, cuma sehari jadi? Wow! Ini visa apa Candi Prambanan?

“Eiya, Mas.”

“Apa, Mbak?”

“Masnya … yang ngarang buku ya?”

Saya bengong “Loh, kok mbaknya tahu?”

“Ah, pasti mas lupa sama saya,” Saya memperhatikan wajahnya, dengan detil dan saya teringat kalau dia… “Saya yang dulu di kantor pos, yang pernah beli bukunya Mas.”

dia yang pernah membeli buku Generasi 3G, tahu tentang buku tersebut karena saya sering berkunjung ke kantor posnya, untuk memaketkan buku ke teman-teman yang memesan.

“Oh, iya! Wah, saya pangling Mbak, sekarang pakai kacamata.” Dia tersenyum “Loh, sekarang kerja di sini Mbak? Enakan mana sama di kantor pos?”

“Hehehe, sama aja Mas.”

……

Hari Berikutnya, pukul 16:05

Masih dengan prosedur masuk yang sama, antre di gerbang, menunggu giliran masuk, mengisi buku kedatangan, menitipkan barang bawaan, pemeriksaan tubuh, dan mendapatkan nomor antrian untuk pengambilan visa. Saya masuk ke ruangan yang sama, namun wanita India yang sempat terlihat anggun dan wanita lokal berkacamata yang manis sudah tidak ada pada posnya masing-masing. Sebagai gantinya, seorang pria berpakaian safari hitam, yang menjaga loketnya. Setelah nomor saya dipanggil, saya pun maju menuju loket dan menyerahkan tanda terima yang saya peroleh hari sebelumnya.

“Ini Mas, silakan dicek lagi.” Pria itu menyerahkan paspor saya. “Dan kalau sudah lengkap silakan tanda tangan, lengkap dengan nama nomor telepon yang bisa dihubungi di sini.” Tambahnya, sambil memberikan secarik kertas.

Saya membuka halaman demi halaman paspor, dan menemukan salah satu halaman yang telah ditempel visa India. Ternyata kalau syarat yang dibutuhkan telah lengkap, proses pengurusan visa India hanya membutuhkan waktu satu hari kerja.

Alhamdulillah, India, I’m coming!

Reader: “Wait, no pic=hoax, so I want to see your Indian Visa.”

Me: “Okay, you ask for it!”

IMG-20130109-2042

You can ignore crown and mustache, but don’t play games with my heart.


[Catatan: Untuk memasuki India, sebenarnya bisa juga menggunakan Visa On Arrival di beberapa bandara kedatangan, biayanya USD 60 atau hampir Rp.600.000,- dan akan menyita sedikit waktu perjalanan kamu di sana. Jadi apapun pilihan kamu, pastikan sesuai kebutuhan dan hati nurani, good luck!]