
Tawaran itu terasa janggal, namun menyejukkan. Pertanyaan Asliddin Safarov kembali berputar di kepala “How about having dinner with Uzbekistan family?” Ya, sebenarnya, kami tak punya jadwal lain malam nanti, selain bernapas tentunya. Rencana makan malam pun belum ada, apalagi sambil berbuka puasa. Namun, ini baru hari kedua di Uzbekistan, dan apakah akan aman-aman saja menerima tawaran orang asing? Bagaimana kalau terjadi hal-hal yang diinginkan? Bagaimana kalau kemudian kami diculik dan dijadikan tenaga kerja kasar untuk dikirim kembali ke Indonesia?
Rentetan pertanyaan terus bertambah di kepala, seakan tidak menjawab pertanyaan Asliddin sebelumnya. Saya menoleh ke Mama, Mama menoleh ke Neng, dan Neng menoleh ke saya. Sebentar lagi sepertinya kami akan bermain Komunikata. “Tenan opo ora kui? Mengko ngapusi. Ojo lah.” Mama berkata dalam bahasa asing di mana cuma kami berdua yang paham di Uzbekistan. Benar gak itu? Nanti bohong, jangan lah. Kamu kan tahu rasanya dibohongi setelah bertahun-tahun membina hubungan?
Agak riskan memang mengiyakan ajakan orang asing di tempat yang baru, tapi entah mengapa saat itu, ajakan tersebut terasa begitu hangat, layaknya teman lama yang baru berjumpa. Tatapan matanya yang teduh, intonasinya yang kalem, dan gestur tubuhnya yang wajar sungguh membuat saya mempunyai dua cabang pikiran, antara ini orang baik, atau malah seorang psikopat.
Setelah berdiskusi singkat, akhirnya kami berjudi dengan meyakini bahwa orang ini adalah orang yang baik, yang tidak memiliki maksud apa-apa selain menawarkan makan malam dan buka puasa bersama keluarga Uzbekistan. Semoga perjudian yang dilakukan di bulan Ramadan ini bisa diampuni oleh Allah SWT. Astaghfirullahaladzim. Akhirnya dengan keyakinan yang mantap, kami mengiyakan ajakannya.
“Ten Dollar per person.” Sahutnya. WOALAH JANGKRIK TIBAKMEN MBAYAR.

[BACA CERITA SEBELUMNYA]
Berpuasa di Uzbekistan adalah sebuah tantangan tersendiri, bayangkan, kamu ditantang untuk sahur pukul tiga pagi, dan berbuka sekitar pukul delapan malam. Tujuh belas jam berpuasa, atau lebih lama tiga jam daripada di Indonesia. Plus, saat itu adalah musim panas, di mana suhu udara bisa mencapai 40 derajat Celsius, sebuah fenomena langka yang tidak akan terjadi di Indonesia, kecuali saat terjadi unjuk rasa di depan gedung DPR.
Pukul enam sore, sebotol Coca-Cola berkeringat yang dibeli dari toko kelontong samping hotel sudah merayu kami, menggoda untuk segera dihabiskan tetes demi tetesnya. Asliddin berkata bahwa dia akan menjemput kami pukul setengah delapan malam, sementara kami sudah tak kuasa menahan lapar dan haus sore itu. Kelelahan setelah berkeliling Registan Samarkand termasuk memanjat salah satu minaretnya telah membuat saya dan Mama kehabisan energi, dan apa yang terjadi setelahnya dengan sebotol Coca Cola di tangan dan sebungkus kurma serta kacang di tangan yang lainnya adalah suatu hal yang hanya kami dan Allah yang tahu.
Setelah menyegarkan diri dengan mandi dan beristirahat sejenak, kami menemui Asliddin yang sudah menunggu di halaman hotel dengan sedan Chevrolet Nexia berwarna putih miliknya.
[BACA: CERITA TENTANG MOBIL DI UZBEKISTAN]
Waktu sudah hampir menunjukkan pukul delapan malam ketika sedan Asliddin berhenti di tepi jalan untuk membeli Osiyo, atau roti keras seukuran pizza large di Pizza Hut, yang konon hanya ada di Samarkand, Uzbekistan. Pada trotoar di tepi jalan, roti ini ditumpuk-tumpuk di atas gerobak, dibiarkan terkena debu jalanan dan lalat yang mungkin hinggap. Untung saja tidak ada ojek online yang lalu lalang di atas trotoar, yang membuat indeks polusi di Samarkand tidaklah separah di Jakarta, sehingga tidak ditemui kasus orang keracunan karena memakan osiyo.
Walaupun sudah hampir pukul delapan malam, namun langit masih cukup terang, dan baru berubah menjadi gelap ketika kami memasuki sebuah kawasan aparteman di pinggiran Samarkand. Apartemen itu masih gelap, tidak ada lampu-lampu yang menyinari seperti di Sudirman Park, tidak ada jemuran di balkon seperti di Pakubuwono Terrace, pun tidak ada shopping mall di bawahnya seperti Mediterania Garden. Ada dua kemungkinan lagi yang berputar di kepala, satu bahwa apartemen ini masih baru sehingga bahkan belum dicat mengkilap, atau yang kedua adalah bahwa apartemen ini adalah apartemen lama yang tidak terurus lagi seperti Menara Saidah.
CITTTT! Asliddin memarkir mobilnya pada sebuah halaman parkir yang cukup luas dengan belasan mobil putih beraneka ragam terparkir di sekitarnya. Nampaknya, tidak ada basement parking pada komplek apartemen setinggi kurang dari sepuluh lantai tersebut, kolam renang pun tidak terlihat di sana. Beberapa anak kecil yang bermain di teras apartemen melihat kami dengan canggung ketika kami mengikuti Asliddin masuk melalui pintu kecil yang langsung mengarah ke tangga beton. Tidak ada resepsionis, tidak ada orang-orang Arab seperti di Kalibata City atau orang-orang Afrika seperti di La Piazza Kelapa Gading, hanya ada Asliddin, dan kami yang mengikuti di belakangnya.
“Come, follow me upstair!“. Asliddin menaiki tangga beton tersebut dengan bergegas, sambil sesekali deru napasnya yang tersengal terdengar bergema di sudut ruangan. Kami mengikuti langkahnya, dengan berpedoman pada penerangan yang seadanya. Berbeda dengan apartemen masa kini di Jakarta, apartemen Asliddin tidak memiliki lift untuk naik ke atas. Pada titik ini, saya mengucapkan selamat untuk Green Pramuka, karena memiliki fasilitas yang lebih baik. Langkah kami terhenti di lantai tiga, pada sebuah pintu berukuran besar yang menyambut kami. Pintu terang yang kontras dengan suasana remang.
Saat itu, kami masih belum tahu apa yang akan menyambut kami di balik pintu. Saya sudah berharap-harap cemas seperti peserta kuis Super Deal 2 Milyar yang akan membuka sebuah tirai berisikan sabun colek.
“Welcome to my house!” Asliddin mempersilakan kami untuk masuk ke dalam ruangan di apartemen yang dihuninya. Walaupun dari luar nampak sempit, namun ternyata saya salah, karena ruangan di dalamnya cukuplah luas, karena berisikan lima kamar di dalamnya. Dua buah kamar tidur, satu buah dapur, satu buah kamar mandi, dan yang paling istimewa adalah ruang jamuan yang luasnya sama dengan luas ruangan apartemen saya di Jakarta Selatan.
Saya menganga melihat ruangan demi ruangan di dalamnya, tidak menyangka bahwa apartemen yang dari luar nampak kusam ternyata cukup mewah di dalamnya. Yang menarik adalah, jarangnya meja dan kursi yang digunakan pada ruangan tersebut, semua diletakkan di karpet, termasuk kasur tidurnya. Kecuali satu ruangan, yaitu ruang jamuan yang akan dipergunakannya untuk menjamu kami. Menurut penuturan Asliddin, apartemen ini bernilai 640.000 Zum, atau sekitar 1 Miliar lebih apabila dikonversi ke Rupiah.
Seorang perempuan berdaster –iya daster, atau busana rumahan yang mirip daster– muncul dari balik dapur, menyambut kehadiran Asliddin, yang berbicara padanya dalam bahasa lokal, yang semoga saja bukan berkata “Tiga orang korban sudah masuk ke ruangan, hidangan tolong dipersiapkan.”. Seorang anak kecil juga menemani Asliddin di dalam rumah itu, seorang anak yang merupakan keponakannya. Shohrukh namanya, yang tentu saja bukan keturunan Bollywood.
Ingin rasanya bertanya a la orang Indonesia dengan menanyakan, “Anaknya sudah berapa? Kapan nambah lagi? Kapan mau mantu?” Tapi saya menahannya, karena pertanyaan kepo tersebut bukanlah budaya yang baik, dan sudah saatnya dihentikan di generasi kita.
Aroma wangi makanan sudah menyeruak memenuhi dapur ketika kami mengintip ke dalamnya, di mana istri Asliddin sedang mengaduk tumpukan nasi dalam sebuah panci yang dipanaskan di atas kompor. Nasi yang putih kecoklatan mulai berubah warna menjadi kuning ketika bercampur dengan lapisan di bawahnya, lapisan yang berisi potongan daging kambing dengan kuah kentalnya yang berwarna kuning, menemani rajangan wortel dan irisan bawang putih yang sudah lebih dulu terbenam di dalamnya.
“It’s Plov.” Ujarnya, mengenalkan kami kepada makanan yang mirip nasi semur itu. Plov, atau Pilaf ya menulisnya, yang jelas, itu deh.
Saya sontak menelan ludah, (ludah sendiri, bukan ludah Asliddin) –termasuk ketika menulis ini, puasa seharian dan bisa ketemu nasi di Uzbekistan adalah sebuah kemewahan bagi kami. Asliddin menyendok besar-besar nasi dalam panci berikut dagingnya, memindahkannya ke dalam piring, dan mengajak kami untuk memasuki ruang jamuan kembali.
“Let’s move!”
Di atas meja makan yang terletak pada ruangan jamuan yang nampak lebih mewah daripada ruangan lainnya, telah tersaji berbagai macam makanan yang nampak sangat menggiurkan. Andai saja ini adalah rumah sendiri, pasti saya sudah tak segan-segan memakan semua makanan yang ada, dengan kaki naik ke atas kursi, dan tangan kanan memegang handphone, menonton Netflix.
Selain osiyo dan plov yang sudah dikenalkan sebelumnya, masih ada beberapa sajian di atas meja, yaitu manisan, kurma, dan buah-buahan, salad timun dan tomat, teh lokal Uzbekistan, air kobokan, dan chelop yang merupakan minuman lokal dari Samarkand yang terbuat dari susu kambing dengan campuran daun peterseli dan kefir. Kefir ini sejenis ragi, bukan kefir yang tidak beragama.
Setelah semua ada di meja, Asliddin mengobrol sejenak kepada Shohrukh dalam bahasa setempat, entah memintanya membantu menyajikan makanan, atau berkata “Sudah kumasukkan racun ke dalam makanan-makanan itu.”. Semoga saja cuma suudzon saya.
Asliddin mengambil osiyo yang tergeletak begitu saja di atas meja, tidak di atas piring, tidak di atas nampan, dan tidak di atas segalanya asyik, merobeknya dengan sekuat tenaga, sebelum memberikannya kepada saya. “Try this Arif boy.” Katanya. Arif Boy di sini, kata dia, berarti Arif yang kaya. Menurut pemikirannya, orang yang bisa jalan-jalan ke luar negeri itu adalah orang yang kaya, padahal dia tidak tahu saja kalau tagihan kartu kredit saya baru lunas tahun depannya, akibat membiayai perjalanan ini. Tolong jangan dilaporkan ke Jouska dan Big Alpha.
Setelah merobek osiyo, jurus berikutnya mulai disiapkan oleh Asliddin. Bawang putih panas yang tersaji dalam bentuk utuh dan masih mengepul di atas piring, diambilnya dengan tangan, dikuliti siung demi siungnya, sebelum dicampurkannya ke dalam piring besar berisi plov yang sudah diambil sebelumnya. Dengan tangannya yang lebar dan tebal, Asliddin mengoplos siung-siung bawang putih tersebut ke dalam plov –sambil sesekali mengemut-emut tangannya, yang entah karena kepanasan atau karena memang doyan– layaknya omak-omak penjual mie gomak di pinggiran Danau Toba.
Setelah semua tercampur, Asliddin memberikan piring tersebut kepada saya, “One Plov for Arif Boy!” Sianjir, kirain ngoplos plov sendiri buat makan sendiri, ternyata itu buat guwehhhh! “Eat, using your hand.”.
“Ini Ma, buat mama dulu.” Saya mengoper piring tersebut ke Mama, yang kemudian ditolaknya sambil memberikan pandangan yang dapat diterjemahkan sebagai “Dasar anak durhaka kamu.”.
Setelah obrolan demi obrolan hangat, akhirnya firasat buruk saya akan jamuan makan malam ini perlahan sirna, saya menikmati suapan demi suapan plov yang saya makan dari tangan saya langsung –bukan dari tangan Asliddin, dan saya bisa mengatakan bahwa inilah nasi daging terenak yang pernah saya makan, yang seakan membuat Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih menjadi D’Besto di hadapan KFC.
Menurut ceritanya, plov ini adalah makanan sakral bagi warga Uzbekistan, di mana makanan ini biasa disajikan ketika ada pesta pernikahan warga setempat yang biasa dirayakan selama tiga hari tiga malam di tempat mempelai wanita, dengan tamu undangan maksimal sebanyak 200 orang. Menjelang hari lebaran, sangat susah mencari ayam potong di Uzbekistan, karena banyaknya permintaan dan rendahnya pasokan dari peternak, sehingga dipilihlah daging sapi untuk menjadi pelengkap plov.
“How is it, Ona?” Asliddin bertanya kepada Mama yang sedang asyik mengunyah plov dengan giginya yang masih lengkap. Ona, berarti mama, bukan Sutra. Sebuah pertanyaan yang dijawab Mama dengan anggukan, dan kata-kata singkat “Good, good.”. Obrolan malam itu berlangsung semakin hangat, dan ditutup oleh kejutan berupa bungkusan makanan yang tidak habis di meja makan. Lumayan untuk sahur.
Namun kejutan belum berakhir di situ, karena sepulangnya dari apartemen Asliddin, kami masih diajak mengunjungi satu tempat lagi, yaitu Makam Amir Timur, atau Tamerlane, tokoh legendaris nomor wahid di Uzbekistan. Benar-benar sepuluh dollar yang sangat worth it!

“My father was an imam in this place.” Asliddin bercerita sesaat sebelum kami memasuki bangunan berbentuk masjid yang dikatakan sebagai makam Amir Timur. Saat itu pukul sepuluh malam, dan bangunan tersebut sudah menutup diri dari pengunjung. Namun karena akses khusus yang dimiliki Asliddin, kami dapat memasukinya, melalui pintu belakang, dengan meminta bantuan khusus kepada penjaga makam, senilai 50 Zum. “Let’s go inside.”
Dari pintu belakang, saya memasuki ruangan makam, yang dapat dikatakan salah satu makam terindah di dunia. Ukiran kaligrafi berwarna emas yang mengkilap menghiasi bangunan dari dasar lantai hingga kubahnya. Pualam-pualam licin memantulkan cahaya lampu yang menerangi ruangan tersebut. Sungguh, apabila kami tidak menerima ajakan buka puasa bersama, mungkin kami tidak akan bisa tiba di sini, dan mendapatkan kemewahan tur privat ini. Apabila kami suudzon, mungkin kami tidak akan pernah menyaksikan makam salah satu orang terkuat di muka bumi yang masih keturunan Gengis Khan ini.
“But you know what?” Asliddin menghentikan ceritanya tentang Amir Timur. “This is not the real tomb.”
“Whoa, so?”
“The real tomb is below this ‘tomb’.” Jawabnya “Five meters below, and the construction is similar like this.” Saya semakin penasaran, dan berandai-andai apakah kami dapat memasukinya. “But don’t worry, because I can show you.”

Sebuah ajakan yang langsung saya sambut dengan suka cita, karena dapat melihat langsung makam yang memiliki legenda berjudul ‘Tamerlane Curse’ yang merupakan bentuk nyata dari Pandora Box yang ada di dunia. Konon, barang siapa yang membuka makam tersebut, berarti akan membuka kutukan maha dahsyat dan malapetaka besar yang terkunci di dalamnya.
Pada bulan Juli 1941, ketika Uzbekistan berada di bawah kekuasaan Uni Soviet, seorang sejarawan bernama Mikhail M. Gerasimov nekat membuka makam Amir Timud untuk tujuan penelitian dan tidak mengacuhkan kutukan tersebut. Tiga hari setelahnya, Adolf Hitler datang menyerbu Uni Soviet melalui sebuah operasi militer bernama Operation Barbarossa, yang merupakan serangan militer terbesar yang pernah ada di muka bumi ini. Setelahnya, Amir Timur kembali dikebumikan dengan syariat Islam pada bulan November 1942.
Ada yang berminat untuk berbuka puasa bersama keluarga Uzbekistan sambil membuka kembali makam Amir Timur?
Tagged: Mamacation, puasa, Ramadan, Samarkand, Uzbekistan
tibakno mbayar tenan po ra mas ?
LikeLike
mbayar wkwkwk
LikeLike
Saya lebih tertarik membuka makam Amir Timur saja, buka puasanya nanti pake KFC aja. Etapi gabisa ya, kan bukan keturunannya wkwkw
LikeLike
Wkwkwk, bisa lah kalau cuma buka, cuma bisa balik apa ga itu yang jadi pertanyaan. Kayaknya sih ga ada KFC di sana hahaha.
LikeLike
Good web site! I truly love how it is simple on my eyes and the data are well written. I’m wondering how I might be notified when a new post has been made. I have subscribed to your feed which must do the trick! Have a great day!
LikeLike
Thanks mate!
LikeLike