Hari itu, saya terbangun akibat suara gaduh yang ditimbulkan para penumpang kereta di sekitar; mereka mulai membereskan tempat tidur masing-masing, dan mengembalikan seprai, bantal, dan selimut kepada seorang petugas kereta yang sedari tadi mencoba membangunkan kami semua. “Yerevan, Yerevan, Yerevan!” Serunya, sambil mengguncang-guncang kompartemen kami.

Setengah sadar, saya mencoba berdiri, namun usaha saya terhenti oleh kepala yang membentur langit-langit. Sial, saya lupa kalau sedang berada di upper berth gerbong Sleeper Train yang hanya berjarak setengah meter dari atap kereta.

Kereta mulai melambat ketika saya turun dari ‘lantai atas’ tersebut. Di luar, nampak matahari sudah naik ke atas, pertanda pagi sudah tiba. “Sudah hampir pukul tujuh ternyata.” Saya melirik jam tangan, “Akhirnya setelah perjalanan sebelas jam dari Tbilisi, termasuk dua jam berhenti karena pemeriksaan di perbatasan Georgia – Armenia, saya tiba juga di Yerevan, ibu kota Armenia.”

Baca: Panduan Mendapatkan e-Visa Armenia

Dari sini, saya dijadwalkan untuk bertemu Mr. Vahan, driver yang akan membawa saya mengelilingi Armenia dengan road trip selama tiga hari. Memang, bagi seorang karyawan seperti saya yang hanya memiliki waktu liburan super singkat, menggunakan jasa tur –dibanding menggunakan transportasi lokal yang memakan waktu lama, adalah sebuah pilihan yang tepat, walaupun tentunya lebih mahal.

Road Trip in Armenia

Seorang pria beruban–yang saya taksir berusia 50-an, memegang sebuah kertas bertuliskan “Mr. Muhammad Arif Rahman” –nama saya, menunggu di pintu kedatangan, dan langsung tergesa mengajak memasuki mobilnya –sebuah sedan Mercedes Benz yang sepertinya seumuran dengan saya, begitu saya memperkenalkan diri.

“Come come!”

Saya melirik kembali itinerary yang didapat dari pihak tur lokal yang telah saya hubungi sebelumnya. Sebagian besar dari tempat-tempat wisata yang akan saya kunjungi adalah berupa monastery –biara, atau gereja kuno yang masih terjaga dengan baik hingga sekarang. Gereja-gereja yang mengingatkan saya akan lagu Panber’s.

Sebuah hal yang sangat wajar, dikarenakan Armenia adalah negara Kristen pertama di dunia, di mana bangsa Armenia menganut aliran Kristen Apostolik yang berakar dari ajaran Kristen tertua di dunia. Selain itu, mereka juga memiliki seorang pemimpin agama yang disebut sebagai “Catholicos” yang mempunyai peran selayaknya “Pope” untuk penganut Katolik.

Pope sungguhan, bukan pope yang diperankan Jude Law di Young Pope.

Khor Virap Monastery

Perhentian pertama saya hari itu adalah Khor Virap Monastery, yang terletak di kaki gunung Ararat, yang memisahkan Armenia dengan Turki. Monastery indah ini adalah salah satu yang situs ziarah terpenting di Armenia, di mana pada zaman dahulu, Gregory The Illuminator –seorang santo yang berjasa mengubah Armenia dari negara pagan menjadi negara Kristen, dipenjara dan tinggal di sini di bawah kepemimpinan King Tridates III.

Karena kegigihannya menyebarkan ajaran agama, Gregory secara bertahap dijadikan penasihat spiritual sang raja, hingga pada akhirnya di tahun 301, Armenia mendeklarasikan diri sebagai negara pertama yang menjadikan Kristen sebagai agama nasional, dan Gregory pun diangkat menjadi Catholicos, sekaligus pimpinan Gereja Apostolik pertama di Armenia.

Khor Virap

Secara etimologi, Khor Virap berarti “penjara bawah tanah”, yang memang pada zaman dahulu digunakan untuk memenjarakan Gregory selama 14 tahun.

Saya sempat masuk ke dalam “penjara” tersebut dengan cara menuruni tangga besi berkarat yang terpasang pada sebuah lorong sempit seukuran tubuh saya, yang tidak akan bisa dilewati oleh Om Indro Warkop. Sekitar empat meter ke bawah tanah, saya menemukan sebuah ruangan sempit –dengan ukuran sekitar 2×2 meter seadanya, dengan salib kayu terpasang pada satu sisi tembok.

Seketika saya merinding, entah mengapa.

Noravank Monastery 

Berikutnya, saya dibawa ke Noravank Monastery yang terletak 122 kilometer dari Yerevan. Monastery yang terletak pada lembah Amaghu di antara ngarai terjal berwarna merah bata ini dibangun pada tahun 1205 oleh Bishop Hovhannes, seorang mantan kepala biara di Vahanavank.

Dalam bahasa setempat, Vank berarti gereja, dan biasanya digunakan sebagai nama sebuah gereja berdasarkan nama pendirinya yang diletakkan di depan kata.

Jadi kalau Vahanavank, bisa berarti gereja (yang didirikan oleh) Vahan. Bukan, bukan Mr. Vahan driver saya.

Komplek bangunan ini terdiri dari dua buah bangunan utama, yaitu Gereja Surb Astvatsatsin (Holy Mother of God) dan Gereja Surb Karapet ((St. John the Baptist) dengan fungsinya masing-masing. Salah satu detail menarik dari monastery ini adalah adanya lantai kedua di Surb Astvatsatsin yang hanya dapat diakses melalui tangga batu sempit nan curam yang menempel di dinding luar bangunan.

Selain untuk berziarah, banyak orang yang berkunjung ke komplek monastery ini untuk bird-watching, di mana berbagai spesies burung langka menetap di sekeliling ngarai, seperti misalnya Short-toed snake eagle (Circaetus gallicus), Golden Eagle (Aquila chrysaetos), dan Egyptian Vulture (Neophron percnopterus).

Anehnya, walaupun Noravank adalah komplek gereja, namun saya tidak menemukan adanya burung gereja di sini. Apakah mereka sudah menjadi mualaf?

Tatev Monastery

Salah satu lokasi lain yang cukup unik bernama Tatev Monastery, di mana untuk mencapai monastery yang dibangun abad ke-9 pada sebuah dataran tinggi di Provinsi Syunik ini, saya harus menggunakan kereta gantung sebagai alat transportasinya.

Kereta gantung yang saya maksud bukanlah sembarang kereta gantung seperti gondola di Ancol ataupun Taman Mini Indonesia Indah, karena kereta dengan jalur kereta bernama Wings of Tatev sepanjang 5,7 kilometer yang menghubungkan Halidzor dengan Tatev Monastery ini, memegang Guinness World Records sebagai “World’s longest non-stop double track cable car”.

Keren gak tuh?

Pada abad 14-15, Tatev Monastery dikenal karena di sini terdapat “University of Tatev”, salah satu universitas terpenting di zaman pertengahan, yang memiliki kontribusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan, agama dan filosofi, percetakan buku, dan pengembangan lukisan miniatur.

Sekarang, yang tersisa hanyalah sejarahnya saja, karena Tatev Monastery sudah tidak digunakan sebagai kampus universitas, karena mungkin kalah pamor dengan BSI yang ada Obama itu.

Sevanavank

Kami sempat menginap di Goris dan Stepanakert sebelum kembali ke Yerevan, dan pada perjalanan hari terakhir yang diwarnai dengan mobil mogok karena masalah pengapian, Mr. Vahan mengajak saya untuk mengunjungi dua buah monastery lagi, yaitu Sevanavank dan Geghard Monastery.

Sevanavank

Yang menarik dari Sevanavank adalah dahulunya monastery ini dibangun pada sebuah pulau kecil di atas danau terbesar di Armenia, yaitu Lake Sevan (yang berukuran sedikit lebih besar dari Danau Toba) yang mencakup 1/6 luas negara Armenia. Sevanavank sendiri dibangun pada tahun 874, oleh Princess Mariam, putri King Ashot I, di masa-masa Armenia sedang berjuang untuk memisahkan diri dari pengaruh kerajaan-kerajaan Arab.

Pada masa pendudukan Rusia di Armenia, Joseph Stalin memerintahkan untuk mengeringkan sebagian wilayah danau, sehingga Sevanavank yang dahulu berada di sebuah pulau, lokasinya berubah menjadi terletak di semenanjung pada pinggiran danau.

Geghard Monastery

Lain Sevanavank, lain pula Geghard, karena apabila Sevan dibangun di atas danau, maka Geghard Monastery dibangun dengan mengukir bukit yang menempel di sekitar Azat River. Monastery ini dibangun oleh Gregory The Illuminator pada abad ke-4 di atas sebuah mata air suci, yang hingga kini masih mengalir di dalam monastery.

Sebelum masuk ke dalam monastery, saya melihat ada seorang pengunjung yang melemparkan kerikil ke sebuah landasan yang terdapat pada bukit kecil di hadapannya, “For luckiness.” katanya. Kemudian ketika masuk ke dalam monastery, ada beberapa pengunjung yang meminum air dari mata air yang mengalir di dalam gereja. “For blessing.” Ceunah.

Karena penasaran, saya meminum juga air di gereja itu. Astaghfirullah.

Geghard Monastery

Secara etimologi, Geghard berarti ‘spear’ atau tombak, yang mengacu pada tombak yang melukai Yesus pada saat penyaliban, yang dahulu dibawa ke sini oleh Apostle Jude, atau dikenal sebagai Thaddeus dalam bahasa Armenia. Sebelum dipindahkan ke museum di wilayah Ejmiadzin, tombak ini sempat menjadi penghuni tetap monastery ini bersama dengan barang-barang peninggalan lainnya.

Salah satu pemandangan unik dan tak biasa saya temukan di belakang gereja, di mana saya melihat sebuah pohon dengan dahan-dahan penuh tisu dan sapu tangan yang menempel di sana. Kali ini saya tak paham lagi, apa maksudnya.


Pada sebuah senja sore itu, saya kembali ke Yerevan, dengan sebuah pengalaman baru, tentang negara Kristen pertama di dunia, tentang monastery-monastery tertua, juga tentang salah satu negara yang memberikan pengalaman road trip terindah yang pernah saya rasakan.

Road Trip in Armenia

Sebuah negara cantik bernama Armenia, yang merupakan negara asal Henrikh Mkhitaryan dan juga negara tempat nenek moyang Kim Kardashian dan personil band System of A Down berasal.

Artikel ini dimuat pada majalah Esquire Indonesia edisi September 2017 (walaupun sampai saat artikel ini diunggah, saya belum mendapatkan edisi cetak majalahnya akibat kelalaian pihak Esquire Indonesia), dan mendapat penyuntingan  syariah supaya dapat tayang di blog ini.

Tekan 1 apabila kamu merasa artikel ini bermanfaat.