Perlahan, sebuah kapal kecil milik Departemen Kehakiman dan HAM bergerak menyeberangi Selat Segara Anakan, dari Pelabuhan Wijayapura di Kota Cilacap. Langit yang cerah menambah keyakinan bahwa situasi pagi itu akan baik-baik saja. Di atas kapal bernama Pengayoman tersebut, terdapat saya, Dani, Pak Ponco, dan Bang Edi bersama para penumpang lainnya, juga beberapa buah sepeda motor warna hitam yang ikut menyeberang sebagai penumpang gelap. Tujuan saya pagi itu jelas, “menyusup” ke salah satu pulau terluar Indonesia, yang juga dikenal sebagai Alcatraz-nya Indonesia, yaitu Nusa Kambangan.

Perjalanan menyeberangi Segara Anakan sebenarnya tidak memakan waktu lama, sekitar 15 menit saja, dengan kondisi arus yang tenang, tidak ganas seperti waktu musim hujan di Phuket, namun entah kenapa semakin mendekat ke pulau, semakin berdebar-debar degup jantung saya.

Apakah ini perasaan yang wajar, mengingat Nusa Kambangan adalah pulau tempat penjara/lapas dengan tingkat keamanan maksimal di Indonesia, yang ditujukan untuk para narapidana kelas berat, untuk kasus seperti narkoba, terorisme, hingga pembunuhan berencana. Tidak ada yang dipenjara di sini hanya karena menolak perasaan cinta seseorang.

“Sebentar lagi, kita akan sampai.” Tukas Pak Ponco. Sementara dari kejauhan saya melihat tulisan “PERMASYARAKATAN NUSA KAMBANGAN” di gerbang masuk pulau. Akhirnya, saya akan sampai di sini, setelah pada hari sebelumnya saya gagal tiba karena kesiangan dan tidak mendapat kapal yang menyeberang ke sana.

Untungnya, pada hari sebelumnya, saya mengalihkan kunjungan tersebut ke (pulau) Nusa Kambangan (bagian) Timur, yang memang dibuka untuk umum guna kepentingan pariwisata.


“Meng!” Sebuah suara yang pernah saya kenal, memanggil saya dari belakang. Panggilan Meng, atau Cemeng, yang berarti anak kucing, sempat melekat pada saya dari mulai SD hingga kuliah. Sebenarnya bisa saja saya tidak menoleh, mengingat bisa saja penggilan tersebut ditujukan pada Komeng atau Tao Meng Tse, namun reflek membuat saya seketika berbalik badan, dan melihat sebuah wajah yang familiar.

“Cemeng, to?” Tanya pria tersebut, yang berikutnya saya kenali sebagai Adie, teman SMA saya.

Lho, kowe tho, Ndes?” Oh, kamu rupanya, kawan? Jawab saya, sedikit kaget, dari sekian banyak tempat di Indonesia, mengapa bisa bertemu dengannya di Nusa Kambangan Timur. Kenapa bukan di Istiqlal, atau Raja Ampat sekalian? “Piye kabare?” Apa kabarmu? Saya bertanya.

Apik-apik.” Baik-baik, jawabnya. “Kowe piye? Dalam rangka opo mrene, Ndes?” Kamu bagaimana kabarnya, ada gerangan apakah ke sini, wahai pria tampan?

Nusa Kambangan Timur

Berikutnya, saya menceritakan secara singkat, tentang apa yang membawa saya sampai ke Nusa Kambangan Timur. Bagaimana saya yang sebenarnya berencana menyusup ke penjara Nusa Kambangan, namun kesiangan berangkat dari Purwokerto, hingga akhirnya tiba di Nusa Kambangan Timur.

Adie membalas cerita tersebut dengan ceritanya, tentang rencana pernikahannya dengan gadis asal Cilacap, dan tentang keluarga pasangannyalah yang membawanya ke sini. Dia juga bercerita sedikit tentang pekerjaannya selepas kuliah, dan sebuah rindu tentang kampung halaman kami, Ungaran.

Setelah berpisah dengan Adie yang menyeberang kembali ke Cilacap, saya melanjutkan perjalanan menjelajah Nusa Kambangan Timur bersama dengan Dani, Bang Edi, serta pacar Bang Edi. Dani adalah teman seperjalanan saya saat itu, yang merupakan salah satu aktivis LSM yang bergerak untuk memberikan pelayanan kepada mereka yang terinfeksi HIV/AIDS, sementara Bang Edi, maaf, adalah salah satu ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) yang memiliki semangat kuat untuk membantu sesamanya melalui LSM tersebut.

Saat itu, sebenarnya kami ingin memasuki Nusa Kambangan sebagai petugas LSM (baca: saya menemani para petugas LSM) untuk meminta data perkembangan HIV/AIDS di dalam penjara, sekaligus memberikan bimbingan dan motivasi kepada para ODHA, namun apa daya ternyata kami kesiangan sampai di Pelabuhan Wijayapura.

Nusa Kambangan Timur

Di Nusa Kambangan Timur yang sebagian besar berupa hutan, kami sempat menemukan beberapa objek yang menarik seperti sebuah gua tak berpenghuni (ya iyalah), benteng peninggalan Portugis yang terlilit akar pohon dan membuat penampakannya sekilas seperti Ta Prohm –kuil di Siem Reap yang terkenal karena Tomb Raider, meriam di pinggir pantai, juga sebuah pantai berpasir putih bernama Pantai Karangbolong.

Selepas kunjungan singkat tersebut, kami berpisah dan membuat sebuah janji baru untuk kembali mencoba menyeberang ke Nusa Kambangan esok harinya.

Esok harinya, kami kembali kesiangan tiba di Cilacap.


“Aduh, maaf kita kesiangan lagi.” Saya meminta maaf ke Bang Edi, yang sudah menunggu di Cilacap. “Apa kita masih sempat untuk menyeberang?”

Bang Edi melirik jamnya, dan saat itu sudah pukul delapan pagi lewat, sementara kapal yang kami incar untuk membawa kami berangkat pukul tujuh pagi. “Aduh, bagaimana ya?”

“Apa bisa kalau kita minta bantuan Pak Ponco?” Tanya Dani. Dari penjelasan berikutnya, saya mengetahui bahwa Pak Ponco adalah salah seorang tokoh infamous yang berpengaruh di Cilacap, yang juga memiliki akses ke Nusa Kambangan.

Bang Edi menghela napas, dan mengangkat sebelah alisnya. “Ya sudah, kita coba dulu yuk.”

Tak berapa lama, kami telah tiba di kediaman Pak Ponco, yang terletak pada sebuah jalan kecil di Cilacap. Berikutnya, terjadi diskusi singkat antara Dani, Bang Edi, dan Pak Ponco, yang menghasilkan sebuah keputusan penting, bahwa kami akan dibawa Pak Ponco untuk menyeberang ke Nusa Kambangan, dengan koneksi yang dimilikinya.

Tamu Dinas Nusa Kambangan

Di pintu gerbang Pelabuhan Wijayapura, kami menunggu Pak Ponco bernegosiasi dengan para petugas di dalamnya, dan tak berapa lama, Beliau sudah keluar dengan kabar bahwa kami dapat menyeberang dengan ferry berikutnya, yang sebenarnya tidak dibuka untuk umum yang tidak memiliki alasan berkunjung yang cukup kuat. Saat ini, pengunjung harus mendapat izin khusus dari kementrian untuk masuk ke Nusakambangan, kecuali pegawai pemerintah atau pengacara, cuma keluarga narapidana saja yang secara rutin diizinkan masuk.

Untungnya, kami memiliki sebuah alasan kuat, yaitu meminta data perkembangan HIV/AIDS di dalam penjara, sekaligus memberikan bimbingan dan motivasi kepada ODHA di dalam penjara.

“Sebelumnya, tukar KTP dulu dengan tanda pengenal ‘Tamu Dinas’ ya.” Jelas Pak Ponco, sambil menunjuk ke sebuah meja dengan petugas berbaju polisi di teras sebuah bangunan. Setelah mendapat tanda pengenal, kami menunggu sejenak untuk kemudian menyeberang dengan menggunakan ferry, atau lebih tepatnya, kapal kecil milik Departemen Kehakiman dan HAM yang biasa digunakan untuk mengangkut para karyawan lembaga pemasyarakatan (lapas) untuk pergi dan pulang kerja.

Tak lupa juga kami mengangkut sepeda motor yang kami bawa ke dalam kapal, karena tidak adanya transportasi lain yang tersedia di Nusa Kambangan, sementara di sana hanya terdapat dua bus yang hanya digunakan untuk kepentingan negara.

Tak saya sangka, penyeberangan tersebut hanya membutuhkan waktu seperempat jam, hingga akhirnya kami tiba di Pelabuhan Sodong yang merupakan pintu gerbang utama pulau. Sebuah pulau terluar Indonesia tempat penjara berkeamanan maksimal, yang dikenal sebagai Alcatraz-nya Indonesia, Pulau Nusa Kambangan.


Penjara di Nusa Kambangan, dibangun pada era penjajahan Belanda, di mana dahulu mereka menggunakan tenaga para narapidana dalam pembuatan benteng pertahanan di Nusakambangan pada 1861, yang kemudian menjadi titik awal masuknya orang-orang hukuman atau perantaian ke pulau ini. Berikutnya, keberhasilan yang dicapai pemerintah Hindia Belanda dalam melakukan pengawasan dan pengamanan saat itu dipakai sebagai dasar penetapan pulau tersebut sebagai pulau penampungan bagi orang hukuman atau penal colony.

Saat ini, Nusakambangan dikenal sebagai simbol perang melawan narkoba yang juga menampung para narapidana kelas berat. Tercatat, sejumlah nama terkenal pernah terdaftar menjadi penghuni Nusakambangan. Mulai dari Johny Indo yang tenar lantaran berhasil melarikan diri, taipan kayu Bob Hasan, hingga trio bom Bali 2002, yaitu Imam Samudera, Amrozi dan Ali Ghufron.

Source 1
Source 2

Dengan tidak tersedianya sarana transportasi lain di Nusa Kambangan, praktis kami hanya dapat mengandalkan sepeda motor yang kami bawa dari Cilacap. Untungnya bensin sudah diisi penuh, karena tidak ada pombensin Pertamina maupun Pertamini yang dibuka untuk umum di sana.

Sambil mengikuti Pak Ponco yang berkendara di depan, saya melihat situasi sekilas di Nusa Kambangan. Sebuah jalanan beraspal bagus seperti membelah pulau menjadi dua bagian, dengan rerumputan di sisi kiri dan laut di sisi kanan. Satu dua permukiman penduduk terlihat dalam perjalanan tersebut, selain nampak juga beberapa kawanan kambing dan sapi yang sedang asyik berbincang di jalan, mungkin sedang bergosip tentang nasib para terpidana di sini. Ketika melewati jalanan tersebut, kami juga tidak menemukan adanya narapidana yang kabur, seperti di serial Prison Break.

Secara garis besar, pulau ini hampir tidak berpenghuni, selain para narapidana dan petugas lapas. Namun, sebelum menjadi tempat penampungan narapidana, pulau ini telah berpenduduk dengan mata pencaharian bercocok tanam, mencari hasil hutan, dan menangkap ikan.

Sekitar dua puluh menit perjalanan, Pak Ponco memberi isyarat kepada kami, para follower-nya untuk berhenti di sebuah bangunan bercat putih abu-abu, dengan sebuah plang kayu bertuliskan ‘Lembaga Permasyarakatan Kelas IIA Besi’. “Ayo, kita masuk.” Ajaknya.

DHEG. Walaupun tidak ada kamu, saat itu jantungku berdetak lebih kencang, seperti genderang mau perang. Inilah kali pertama saya memasuki sebuah lapas.

Lapas Besi Nusa Kambangan

Pada dasarnya, terdapat beberapa buah lapas aktif di Nusa Kambangan dengan berbagai nama dan karakteristiknya sendiri, mulai dari yang memiliki sistem pengamanan ‘minimum security’ sampai dengan ‘super maximum security’, yaitu:

  1. Lapas Terbuka, dengan narapidana yang berstatus ‘minimum security’ atau bukan napi berbahaya seperti kamu yang merupakan buronan mertua. Di lapas ini tidak ada yang namanya jeruji besi, dan memang dibuat “terbuka” sebagai proses adaptasi narapidana yang memang tinggal menyelesaikan sisa hukuman selama kurun waktu 1-3 bulan penjara lagi.
  2. Lapas Batu, yang dibangun pada tahun 1925 dan sudah beroperasi sejak zaman Belanda. Tercatat, Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Gufron, yang dihukum karena mengorganisir pemboman Bali 2002 pernah menginap di sini sebelum akhirnya dieksekusi mati. Kemudian, ada juga Freddy Budiman, si gembong narkoba kelas kakap yang dieksekusi mati tahun lalu. Sebelum meninggal, Freddy sempat mengeluarkan curhatan bahwa dia hanyalah sebagai pelaksana dalam sindikat narkoba tanah air. Seperti apa curhatannya, bisa dibaca di sini.
  3. Lapas Besi, yang dibangun pada tahun 1929, dengan menggunakan material besi yang lebih banyak daripada yang lain. Kemungkinan harga besi sedang murah pada saat itu, tidak seperti harga cabai saat ini. Pada saat saya ke sana, lapas besi tercatat memiliki beberapa narapidana yang terinfeksi HIV/AIDS.
  4. Lapas Khusus Narkotika, yang merupakan lapas paling baru di Nusa Kambangan, dan baru diresmikan beroperasi pada tanggal 28 Maret 2008. Lapas ini adalah salah satu lapas paling megah di Nusa Kambangan, yang menampung para raja dan ratu narkoba.Lapas Narkotika Nusa Kambangan
  5. Lapas Kembang Kuning, yang dibangun pada tahun 1950 ini, konon kabarnya adalah lapas yang paling seram, di mana narapidana Nusa Kambangan sendiri paling takut kalau dipindahkan ke sini. Ada apa di sana? Wallahualam Bishawab. Silakan masuk sendiri kalau tidak percaya.
  6. Lapas Permisan, yang merupakan lapas tertua di Nusa Kambangan yang dibangun pada tahun 1908. Konon, sebuah kabar dari pegawai/orang tua disana, menyebutkan bahwa di lapas ini dahulu pernah terjadi pembantaian terhadap anggota PKI dan nama Permisan sendiri itu diambil dari bahasa Belanda “verdwijnen”, yang artinya hilang. Disebutkan pula bahwa narapidana yang mencoba kabur dari penjara ini selalu hilang, dan kemudian ditemukan lagi dalam kondisi meninggal di dalam pulau. Salah satu mantan narapidana yang beruntung di lapas ini adalah Johny Indo, si perampok yang pernah melarikan diri  namun tertangkap kembali. Mengapa beruntung? Karena setelah bebas dari lapas, Beliau justru dapat berkarir sebagai artis, calon legislatif, hingga dai. Baca sedikit kisahnya di sini.
  7. Lapas Pasir Putih, yang beroperasi mulai 2007 adalah lapas terakhir di Nusa Kambangan, dan merupakan lapas dengan tingkatan Super Maximum Security, dengan pengamanan ekstra ketat melalui tembok yang dibuat tiga lapis dengan tembok beton dan dinding dari kawat baja. Di sini berisi narapidana kelas kakap, di mana kebanyakan dari mereka dijatuhi hukuman mati atau seumur hidup.
Source 3
Source 4

Berbicara tentang hukuman mati, beberapa terpidana telah terenggut nyawanya di sini, baik karena kasus terorisme seperti Amrozi ataupun kasus narkoba seperti Freddy Budiman. Biasanya, eksekusi akan diselenggarakan di Bukit Nirbaya yang dahulu merupakan penjara, atau bisa juga di Lapangan Tembak Limusbuntu.

Salah satu narapidana hukuman mati yang dapat dikatakan beruntung adalah Mary Jane Veloso, ‘kurir’ narkoba asal Filipina yang tidak jadi dihukum mati, atau tepatnya mendapat penundaan hukuman dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang bisa saja karena dukungan netizen di Twitter melalui tagar #SaveMaryJane. Baca sedikit kisah Mary Jane di sini.

Lalu, bagaimana kondisi lapas besi yang saya kunjungi? Berikut adalah sekilas pengalamannya.

DSC_0170

Dari balik pintu berwarna abu-abu, kedatangan kami disambut oleh beberapa petugas berseragam yang langsung menyilakan kami untuk masuk ke dalam sebuah ruangan kantor, setelah melewati sebuah koridor yang mengingatkan saya akan koridor di SMP dahulu. Di sisi kanan kami, terdapat sebuah taman, dengan pagar besi dan kawat berduri di atasnya, yang merupakan pembatas antara kantor dan penjara.

Di balik pagar, nampak puluhan orang yang dikenalkan sebagai narapidana sedang menikmati waktu dengan caranya masing-masing. Ada yang mengobrol dengan sesamanya, ada yang bermain sendiri, dan ada juga yang mengobrol dengan para petugas. Secara sekilas, situasi di lapas besi ini cukup tenang, dengan keadaan lingkungan yang bersih dan terawat dengan baik.

Pada sebuah ruangan kantor, kami disambut dengan baik, dan mendapat suguhan minuman. Pak Ponco yang sudah mengenal para petugas, asyik mengobrol tentang apa saja yang berkaitan dengan kondisi lapas, sementara Dani dan Bang Edi melakukan tugasnya untuk membicarakan masalah persebaran HIV/AIDS di dalam penjara. Sedih rasanya mengetahui bahwa terdapat narapidana yang terjangkit HIV/AIDS karena perbuatan di masa silam, ataupun tertular karena perbuatannya di dalam penjara.

Pertemuan singkat yang bukan merupakan pertemuan haha hihi tersebut berlangsung sekitar satu jam, yang diakhiri dengan mempersilakan saya untuk mengobrol dengan salah satu narapidana di balik pagar. Sebuah sesi mengobrol yang singkat mengenai suka duka di dalam penjara, namun sangat berkesan, karena ini adalah kunjungan pertama saya ke dalam sebuah lapas.

Sayang, karena keterbatasan akses saat itu, saya tidak sempat masuk ke balik pagar dan menengok penjaranya.


Lepas dari Lapas Besi, kami melanjutkan perjalanan lagi ke ujung jalan di Nusa Kambangan, dan menemukan sebuah pantai yang masih bersih dengan pasirnya yang putih. Pantai yang akhirnya saya ketahui bernama Pantai Permisan tersebut, adalah salah satu pantai terindah yang pernah saya temukan di Pulau Jawa, dengan airnya yang bening dan warna gradasinya yang cantik.

Hal menarik lain dari Pantai Permisan adalah adanya Monumen Pisau Komando yang berupa pisau raksasa yang tertancap di atas batu karang yang dikenal dengan nama Batu Syahrir. Selain itu, pantai yang kerap dijadikan tempat wisata para pembesuk narapidana ini juga dikenal sebagai tempat untuk Pembaretan Kopassus (Komando pasukan Khusus) yang merupakan salah satu satuan elit militer Indonesia. Pembaretan di sini, dapat diartikan sebagai pelantikan anggota baru Kopassus.

Karena letaknya yang berhadapan dengan Samudera Hindia, maka Pantai Permisan selalu memiliki deru ombak yang kuat. Apalagi, pantai ini memiliki banyak bebatuan karang yang membuat bunyi ombak semakin kuat jelas ketika menghantamnya.

Source 5

Berminat ke Nusa Kambangan? Selain sebagai pengunjung dengan kebutuhan khusus seperti kami, kamu juga dapat mengunjunginya sebagai pembesuk keluarga, atau justru sebagai terpidananya. Dua pilihan terakhir sih, saya tidak mau.

Oh iya, selain karena kasus terorisme dan narkoba, beberapa tahun belakangan ini, Nusa Kambangan juga menerima narapidana jenis baru yaitu narapidana yang tersangkut kasus korupsi. Masih berminat ke Nusa Kambangan?

Kisah ini terjadi di tahun 2012, dan beberapa tokoh dalam artikel ini ditulis dengan menggunakan nama samaran, demi kepentingan bersama.