Pagi itu, saya terbangun dengan malas usai bersosialisasi (baca: nongkrong bersama teman-teman di warung kopi, sambil bergosip) di malam sebelumnya. Berikutnya, saya mematikan alarm dengan segera karena suaranya yang memekakkan telinga, sebelum menurunkan selimut dengan gerakan lambat dan membiarkan paha saya yang berbulu terekspos.

Saya sempat berpikir “Hey, ini Bali, bukankah seharusnya kita bangun siang dan menikmati malas di sini?” Namun sebuah kenyataan berkata lain, karena pagi itu saya harus segera berkemas menuju Munduk, yang berjarak lumayan jauh dari The Amala Seminyak, tempat saya menginap.

The Amala Seminyak

The Amala Seminyak

Di samping saya, Ifan masih tertidur dengan selimut membungkus tubuhnya yang sudah tak polos. Iya, kedatangan saya ke Bali kali ini adalah untuk menemani para pemenang kontes Blog Competition Adrenaline Rush yang diadakan beberapa bulan silam, di mana hadiahnya adalah menjajal berbagai aktivitas yang memacu adrenalin. Tapi tak ada yang mengatakan bahwa saya harus tidur seranjang dengan Ifan, dalam sebuah kamar yang dilengkapi tempat tidur berkelambu, dengan harum aromaterapi yang memenuhi hidung, dan jacuzzi serta bathtub outdoor.

TIDAAAKKKKKKKKK! Seketika adrenalin saya terpacu untuk segera berangkat ke Munduk, dan menganggurkan testosteron saya.


Perjalanan menuju Munduk, adalah perjalanan yang cukup menyenangkan karena melewati berbagai bentang alam yang menakjubkan. Mulai hamparan sawah yang hijau dan berundak-undak, melewati Danau Beratan Bedugul yang keindahannya tercetak pada uang lima puluh ribu rupiah, hingga berhenti sejenak di batas Desa Gobleg tempat kami menyaksikan sepasang ‘danau kembar’ di kejauhan, Danau Tamblingan dan Danau Buyan.

Danau Kembar

Groufie in front of Lake Tamblingan, or Buyan?

Kali ini saya berada di balik kemudi Toyota Rush hitam manual yang dikemudikan dari Denpasar, keberadaan saya di sini adalah untuk menemani para pemenang kontes Blog Competition Adrenaline Rush, yaitu Ifan dan Pungky. Namun tak ada yang mengatakan bahwa saya juga harus bertugas sebagai sopir tembak dalam perjalanan menuju Munduk.

Tapi untunglah kali ini saya mengemudikan Toyota Rush.

In a Rush

In a Rush with Ifan, Pungky, and Thia.

Ya, saya merasa beruntung karena mengemudikan Toyota Rush, bukan sebuah delman. Mulai dari Denpasar yang merupakan sebuah perkotaan, hingga pedesaan Munduk dengan kontur jalanan naik turun yang merupakan kombinasi dari aspal, tanah, dan batu, dapat dilibas dengan mudah oleh mobil yang masuk kategori SUV (Sport Utility Vehicle) ini. Belum lagi ukuran kabinnya yang cukup lapang, sehingga membuat saya, Ifan, Pungky, dan Thia (perwakilan dari IDblognetwork) dapat bercanda dengan serius.

Hingga tak terasa, kami telah tiba di pelataran Munduk Wilderness Basecamp, tempat aktivitas utama hari itu dimulai. Glek! Saya menelan ludah, seakan sudah tidak sabar menyambut aktivitas-aktivitas yang akan saya lakukan hari itu.


Bercangkir-cangkir ginger tea telah menanti di pelataran terbuka Munduk Wilderness Basecamp, ketika kami tiba di sana, “Silakan diminum dulu.” Ucap Om Joni,salah seorang caretaker dari Munduk Wilderness Basecamp, “Santai saja dulu, mau mulai jam berapa bebas waktunya.”.

Dan saya pun mencomot segelas ginger tea dari meja, mencari lokasi yang enak untuk menyesapnya sembari beristirahat sejenak dan menikmati hijaunya pemandangan di sana. Tak lama kemudian, Om Joni datang kembali untuk memberikan instruksi singkat mengenai kegiatan hari itu.

“Perjalanan nanti akan berlangsung selama tiga sampai empat jam.” Jelas Om Joni membuka sesi pagi itu dengan semangat. “Tapi bisa lebih lama, tergantung kalian mau santai di jalan atau gak.”

Berikutnya, selembar kain buff dan sebuah masker dibagikan ke tiap-tiap peserta, “Nah, ini dipakai untuk di jalan nanti. Karena medannya bukan jalanan biasa.”

“Wah, tapi aku gak biasa pakai masker.” Sahut saya pelan, yang langsung ditimpali oleh Pito, yang ternyata mendengarnya.

“Pakai aja. Jalanannya dusty.” Dan saya pun kemudian memakai kain buff di kepala, mirip vokalis Armada, atau Tao Ming Tse sebelum rebonding.

“Nanti kalian akan menggunakan mobil unik yang bernama Fin Komodo.” Saya kembali mendengarkan penjelasan Om Joni, mengenai Fin Komodo, si mobil berkapasitas dua penumpang, yang ternyata Made in Bandung, “Mobil tangguh, berlapis baja, yang dapat menjelajah berbagai medan.”.

Jauh-jauh ke Bali, ternyata ketemunya buatan Bandung juga. “Dan kalau sudah siap, ayo kita ke depan. Mobilnya sudah siap.” Pungkas pria setengah baya yang masih menggemaskan ini.

Munduk Wilderness Basecamp

Ready to go

Cara mengemudikan Fin Komodo ini sangat mudah, karena cukup tekan gas dan injak rem saja, karena bertransmisi otomatis (hanya terdapat tiga slot transmisi yaitu F untuk maju, N untuk netral, dan R untuk mundur). Namun tantangannya adalah, mobil ini tidak dilengkapi dengan power steeringpower window (boro-boro power window, wong window-nya saja gak ada), AC, radio FM dengan USB Player,  reclining seat, juga STNK dan BPKB. Harapan saya cuma satu, tidak ada operasi zebra yang dilakukan di Munduk.

Setelah mendapatkan penjelasan singkat dari tim Munduk Wilderness, kami pun berangkat. Dan saat itu saya duduk bersama dengan Celin, selaku perwakilan dari Toyota. Mengendarai mobil offroad 2-seater, bersama dengan cewek cantik sebagai co-driver, sungguh membuat saya merasa laki banget, cyin.

Fin Komodo

Trying Fin Komodo with Celin, from Toyota.

Kalau ada yang bilang ‘Real men Use Three Pedals’, pasti dia belum pernah mengendarai Fin Komodo, atau gak mampu beli mobil matic.

Selama mengendarai Fin Komodo, ada beberapa medan yang saya lalui, dengan urutan tingkat kesulitan:

  • Jalanan beraspal: “Ah, enteeeeng!”
  • Jalanan beraspal naik turun: “Hahaha hahaha.” *sambil merem*
  • Jalanan menanjak dengan jalur yang terbuat dari paving block: “Duh, kok sempit jalurnya?”
  • Jalanan tanah: “Ini, kalau selip gimana ini?” *benerin GT-Man*
  • Jalanan tanah menanjak: “Bismillah!” *baca Al-Fatihah lanjut Al-Baqarah*
  • Jalanan tanah menanjak dengan batu besar di tengah-tengahnya: “TIDAAAKKKKKKK!
Fin Komodo

Stucked in the middle of the rock.

BRAK!

Tiba-tiba Fin Komodo yang saya kendarai menyangkut pada bebatuan di tengah jalanan tanah yang sempit. Semuanya terjadi karena salahnya perhitungan dan logika yang saya gunakan.

Dengan logika umum, apabila menggunakan mobil biasa dan ada batu di tengah jalan, maka batu tersebut akan dilewatkan di antara roda kiri dan kanan. Namun logika itu tidak berlaku bagi Fin Komodo. Karena Fin Komodo akan melibas batu-batu tersebut dengan keperkasaannya.

Ada satu pesan dari Om Joni sebelum kami berangkat tadi, yaitu, “Nanti kalau mobilnya terbalik atau masuk jurang, tangannya dilipat di dada ya...“. Dan saat Fin Komodo tersebut menyangkut di bebatuan, ingin hati melipat tangan ke dada. Dada Celin.

Namun niat tersebut saya urungkan, karena bertentangan dengan norma-norma Pancasila dan BAB XIV Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Dan alih-alih melakukannya, saya melambaikan tangan kepada para guide (karena tidak ada kamera dan Pak Leo) yang memang turut serta mendampingi kami sepanjang perjalanan, untuk segera datang dan membantu kami.

Celin, yang sedari awal telah menahan hasrat mengendarai Fin Komodo akhirnya gatal juga untuk mencoba menjinakkan medan demi medan yang ada di Munduk. Melihat kegusarannya, saya turun sejenak dari mobil, dan menyerahkan kemudi padanya. Wanita itu kemudian melepas sepatu Converse merahnya, dan memamerkan kaus kaki tikusnya yang berwarna biru muda “Aku gak bisa kalau gak nyeker.” Katanya.

Dan ketika Celin berada di balik kemudi, saya seketika menjadi lebih religius. Lantunan dzikir dan ayat kursi khatam saya lafalkan dalam hati. Ini baru namanya Adrenaline Rush!

Setelah lepas dari medan-medan yang menantang dan memacu adrenalin, kami beristirahat sejenak di rumah penduduk setempat untuk menyantap makan siang, yaitu burger dan buah markisa. Muka lokal, selera interlokal. Dan setelah perut terisi, kami berangkat menuju perhentian dengan aktivitas berikutnya, yaitu bersepeda!

Cycling in Munduk

Cycling in Munduk

Hujan yang turun tak menyurutkan nyali kami bersepeda di jalanan yang menurun, sementara beberapa peserta yang tak suka mengayuh (atau mungkin lebih suka jika dikayuh) tetap memilih untuk menggunakan Fin Komodo.

Puncak dari aktivitas hari itu adalah ketika kami tiba di sebuah air terjun, yang dinamakan Haunted Valley Waterfall. Tolong jangan tanya saya mengapa bisa dinamakan demikian, pokoknya itu lah namanya, bukan air terjun perawan, atau air terjun pengantin, atau air terjun pengantin yang masih perawan, padahal sudah sepuluh tahun menikah.

Untuk menuju air terjun tersebut, kami harus melakukan trekking selama kurang lebih setengah jam menuruni jalanan penuh semak-semak yang sedikit licin karena hujan. Rasa capai pun terbayar lunas ketika kami tiba di air terjun tersebut, namun muncul kembali saat kami trekking kembali lagi ke tempat semula seusai menikmati air terjun airnya yang jernih membuat sebagian besar peserta tiba-tiba membuka bajunya, melakukan gerakan meliuk-liuk dengan brutal, sebelum menceburkan dirinya ke dalam kolam di kaki air terjun.

BYUR!

Haunted Valley Waterfall

Haunted Valley Waterfall, Munduk.

Ya tidak semua peserta menceburkan dirinya, karena ada saya yang lebih memilih menikmati suasana sekitar dan mengabadikannya dengan lensa kamera.

Cheers!

Terima kasih Toyota dan IDblognetwork yang telah membawa kami mencicipi Adrenaline Rush di Bali!