Kalau ada lomba melukis penis di dinding, saya bisa bilang bahwa orang Indonesia akan kalah dengan orang Bhutan, terutama yang berasal dari desa Chimi Lhakhang, di daerah Punakha. Lukisan penis buatan orang Indonesia yang sering kali kita lihat di dinding-dinding toilet umum atau di kolong jembatan layang pada umumnya hanya menggambar satu objek lonjong tidak penuh dengan sepasang objek berbentuk lingkaran di ujung yang lainnya. Kadang, ditambahkan pula garis di ujung objek lonjong yang tertutup untuk menggambarkan ujung penis, serta beberapa garis atau coretan tidak beraturan di sepasang objek berbentuk lingkaran yang merupakan perwujudan dari skrotum, atau kantung buah zakar, atau supaya lebih mudah, saya sebut sebagai (pembungkus) biji.

Pertanyaannya, apabila ada beberapa pasang biji bernyanyi bersama, apakah namanya? Ya betul, The Bee Gees (plural).

Berbeda dengan di Indonesia di mana lukisan penis yang kerap saya temukan di dinding ini seperti buah karya anak-anak STM yang iseng, lukisan penis pada desa Chimi Lhakhang ini begitu spesial, layaknya masterpiece seniman-seniman Italia pada masa jayanya. Bukan, bukan Mario Balotelli yang saya maksud. Lukisan penis di Bhutan ini sangatlah menarik, dilukis besar-besaran di tembok rumah tanpa perlu malu dilihat tetangga, dibuat berwarna-warni dengan warna ceria layaknya anak TK yang baru saja belajar menggambar, serta dipercantik dengan ornamen-ornamen menarik pada lukisan penisnya seperti ditambahi mata yang lentik, diberikan sayap, hingga dihiasi dengan sapuan-sapuan awan yang menunjukkan penis terbang di udara.

Sangat megah, sangat indah, sangat menawan. Ini adalah desa yang mengagungkan penis seperti Boyolali dengan susu sapinya, Ungaran dengan Tahu Baxonya, atau Depok dengan … dengan … apa ya?

Chimi Lhakhang Village
Baca Cerita Sebelumnya: Drukpa Kunley dan Desa Penuh Phallus di Bhutan

Seperti yang dijanjikan Sha, guide lokal kami di Bhutan, pagi itu kami kembali lagi ke Chimi Lhakhang Village, namun dengan tujuan utama untuk mengunjungi Chimi Lhakhang Monastery, yang menjadi awal mula cerita penis ini berasal, bukan untuk mengantarkan ibu-ibu berfoto ceria di depan lukisan penis raksasa, yang tentunya dapat membuat suaminya kehilangan rasa percaya diri.

Are you ready for trekking?” Sha menoleh kepada saya, dan saya menoleh ke arah rombongan, yang tak tahu harus menoleh ke siapa lagi, sehingga lebih memilih untuk mengangguk. “We will go uphill, approximately 30 minutes to one hour walk.“.

Perjalanan menuju monastery, atau kuil, itu sendiri merupakan sebuah perjalanan yang menyenangkan, karena kamu akan berjalan melewati rumah-rumah penduduk lokal, dengan kebanyakan rumah tersebut menjual suvenir berbentuk penis beraneka warna dan beraneka ukuran, mulai dari magnet kulkas, gantungan kunci, kaus, hingga miniatur penis dari kayu keras yang tidak berurat, yang mungkin dapat kamu gunakan sebagai pengganti dildo.

Lepas dari rumah-rumah, perjalanan akan dilanjutkan dengan menyusuri sawah-sawah subur yang mengingatkan saya sekilas dengan masa kecil di Ungaran, namun bedanya adalah sawah-sawah di sini masih asri dan luas, tidak ada jeritan para petani yang terkena gusuran dari developer perumahan, sementara sawah di Ungaran sudah banyak yang menghilang bagai hantu tak tahu malu. Matahari pagi di langit biru yang menerpa sisa-sisa salju yang turun sebagai embun semalam, membuat Bhutan bertambah cantik berkali-kali lipat.

“Could you continue the story about Drukpa Kunley?” Saya meminta Sha untuk melanjutkan ceritanya yang terputus kemarin, tentang seorang biksu sakti yang mendirikan Chimi Lhakhang Monastery, yang juga mengangkat harkat, derajat, dan martabat sebatang penis, sehingga dihargai dan dikultuskan oleh penduduk sekitar. “I want to know about who he is and how he got the divine power.

“Well, that’s a long story.” Jawabnya sambil memberikan kedipan ke arah saya, yang untung tidak membuat saya GR. “But we still have much time to talk. So, here is the story.”

[DISCLAIMER: Cerita mengenai Drukpa Kunley pada artikel ini, disarikan berdasarkan obrolan dengan warga setempat dan dari buku The Divine Madman: The Sublime Life and Songs of Drukpa Kunley yang diterjemahkan oleh Keith Dowman. Tidak ada maksud untuk mendiskreditkan pihak tertentu]

Drukpa Kunley, adalah seseorang yang berasal dari keluarga yang mulia, dengan memiliki garis keturunan spiritual yang agung. Namun, jauh sebelum dia dilahirkan, tersebutlah seseorang yang bernama Narotapa yang merupakan salah satu perwujudan dari Buddha. Narotapa memutuskan untuk bereinkarnasi di daerah yang dahulu disebut sebagai Land of The Snows (bukan, ini bukan tempat kelahiran Jon Snow) –yang mungkin saat ini dikenal sebagai Tibet, untuk menyebarkan ajaran kebaikan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Pada sebuah tempat yang disebut sebagai Nyangto Saral, terdapatlah permukiman besar orang-orang nomaden pada masa itu, dengan seorang pemuda bernama Zurpo Tsape yang berasal dari keluarga Gya, hidup bersama istrinya Maza Darkyi. Dengan kekuatannya, Narotapa memilih untuk masuk ke dalam rahim Maza Darkyi dan kemudian terlahir sebagai anak terakhir dari tujuh bersaudara, yang kelak kesemuanya ditakdirkan untuk tumbuh menjadi orang penting, yang bukan anggota DPR. Dari cerita singkat ini, jelas, keluarga ini tidak mengikuti program Keluarga Berencana. Anak terakhir ini kemudian terlahir pada tahun 1161 dan kemudian tumbuh besar sebelum dikenal sebagai *drum roll* Peerless, The Sun of The Land of Snows, Master of Truth, Lord of Beings, Palden Drukpa Rimpoche.

Sungguh kekuatan menarik yang dimiliki oleh Narotapa, yang andaikata saya memiliki kekuatan tersebut, saya akan memilih untuk terlahir kembali di dalam rahim Nia Ramadhani Bakrie dan tumbuh besar sebagai pemuda gagah perkasa nan tampan yang hanya memiliki satu masalah hidup: tidak bisa mengupas salak.

Chimi Lhakhang Village

“So, Drukpa Kunley is the son of Drukpa Rimpoche?” 

No, not yet son, please hold your Bhutanese beer. Ternyata, Drukpa Kunley bukanlah perwujudan atau keturunan langsung dari Drukpa Rimpoche, melainkan diceritakan seperti ini.

Drukpa Rinpoche memiliki kakak yang disebut sebagai The Son of Lhabum, yang kemudian mempunyai anak Preceptor Bontak, yang kemudian mempunyai anak lagi yaitu Dorje Lingpa Senge Sherab dan The Exalted Layman, Senge Rinchen.

“So, Drukpa Kunley is the son of Senge Sherab, or Senge Rinchen?”

No, not yet. Let me continue the lineage story. Senge Rinchen mempunyai anak yang disebut sebagai The Great Thirteenth of The Lineage, Senge Gyalpo, yang mempunyai anak bernama Jamyang Kunga Senge, yang kemudian mempunyai anak yang disebut sebagai Master of Truth, Sherab Senge dan anak lain lagi yang merupakan perwujudan dari Bodhisattva of Intelligence, Yeshe Rinchen.

“SUDAH? JADI DRUKPA KUNLEY ANAK SIAPAAAAA???”

Ternyata cerita garis keturunan Drukpa Kunley belum berakhir, guys. Diceritakan kembali bahwa Yeshe Rinchen ini akan memiliki beberapa keturunan yaitu satu yang merupakan perwujudan dari Lord of The Misteries, Namkha Palzang, satu yang merupakan perwujudan dari Bodhisattva of Compasion, Sherab Zangpo, dan satu yang merupakan The Attendant, Dorje Gyalpo.

“SUDAH? SAYA SUDAH MULAI LELAH INI!!!” Mohon maaf, ternyata penulis juga bisa emosi.

NAH DARI DORJE GYALPO INI, LAHIRLAH KETURUNAN YANG DISEBUTKAN SEBAGAI RINCHEN ZANGPO, YANG KELAK AKAN MENIKAHI GONMOKYI YANG NANTINYA AKAN MELAHIRKAN SESEORANG YANG DISEBUTKAN SEBAGAI MASTER OF TRUTH, KUNGA LEGPAI ZANPO PADA TAHUN 1455 YANG JUGA DISEBUTKAN SEBAGAI DRUKPA KUNLEY PADA PENGEMBARAANNYA KELAK.

“LOH KOK ANDA JADI IKUT-IKUTAN NGEGAS?”

Kami berjalan melewati jalanan yang landai sebelum menanjak lagi ke jalanan yang lebih curam dan sedikit menyempit. Sha menyebutkan bahwa kami tinggal sepertiga jalan lagi untuk menuju kuil, namun dengan kondisi jalan yang menanjak. Pada sisi kiri jalan, saya mendapati warga lokal sedang menjemur gabah di teras rumahnya, sementara beberapa ratus meter berikutnya, sekelompok anak-anak lokal menjajakan kerajinan tangannya kepada kami.

Kerajinan tangan tersebut berupa tulisan tangan anak-anak yang kemudian ditulis khusus untuk kami yang membelinya. Tulisannya bisa berupa ucapan doa, ataupun sesuatu tentang Bhutan, suka-suka mereka saja. Namanya juga anak-anak.

“How Drukpa Kunley got the divine power? Did he get it since he was a child?”

Dikisahkan kembali, Drukpa Kunley ini adalah orang yang dewasa sebelum waktunya, akibat adanya memori dari kehidupan masa lampaunya yang menempel secara turun temurun. Ketika meditasi, dia dapat menyerupai seorang Najorpa (seseorang yang memperoleh ketenangan batin atau juga bisa dipakai untuk menyebut seseorang yang mempunyai kekuatan super) dengan kemampuan pernapasan dan yoga yang menjadi dimilikinya.

Ketika berusia tiga tahun, dia sudah dapat membaca dengan mudah. Beda tipis dengan saya yang mulai bisa membaca di umur 3,5 tahun, seperti usia masa penjajahan Jepang di Indonesia. Kemudian ketika dia beranjak dewasa, ayahnya dibunuh dalam sebuah pertikaian keluarga. Yang ini saya lebih beruntung, karena Papa saya masih sempat meninggalkan beberapa kepingan kenangan sebelum tiada.

Setelah kepergian ayahnya, Kunley mulai mengembara dan meninggalkan keluarganya. Dimulai dari menjadi murid Lama Nenying Choje dan menjadi biksu di bawah Jekhyen Rabpa of Zhalu, perjalanannya berlanjut dengan mendapatkan pengajaran The Esoteric Tantras of The Secret Mantra Tradition dari The Monk Sonam Chokpa, belajar The Complete Doctrine of The Drukpa Tradition yang di dalamnya terdapat Three Secret Teachings of Palden Drukpa Rimpoche ketika sedang berada di The Lotus Feet of Gyalwong Je, juga termasuk mempelajari ilmu, aturan, dan nasihat-nasihat lain dari para Lama yang ditemuinya sepanjang perjalanan. Tidak, tidak disebutkan tentang Kama Sutra di dalam bukunya.

Pada usia 25 tahun, Kunley sudah menguasai ilmu duniawi dan spiritual termasuk memiliki bakat meramal, berubah bentuk, juga hal-hal magis lainnya yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dia menemukan bahwa kunci untuk mendapatkan semua pencapaian tersebut adalah dengan “BE AWARE! GUARD THE MIND! atau dapat saya bilang sebagai selalu siap untuk menerima segala sesuatu, namun dengan tetap menjaga pikiran supaya tetap di jalan yang benar. Dengan pemahaman dan ilmu yang dikuasainya, dapat dikatakan bahwa dia sedang merepresentasikan Buddha ke dalam dirinya, dengan caranya sendiri.

Namun sebuah kejadian datang ketika Kunley pulang kampung ke rumah ibunya di Ralung, di mana ibunya tidak mengenali dia berdasarkan apa yang sudah dicapainya sepanjang perjalanan, melainkan hanya melihat dari penampilan dan perilaku luarnya. GIRRLSSSS!

Chimi Lhakhang Village

Kami berlalu meninggalkan anak-anak dengan membeli beberapa suvenir handmade yang dibuat langsung di sana. Beberapa anak-anak yang baru datang ke lokasi berlari kecil mengejar kami sambil menjajakan produk buatannya, namun kami sudah memantapkan tekad untuk terus melaju menuju puncak gemilang cahaya, Chimi Lhakhang Monastery.

Dari sini, perjalanan sudah tidak terlalu jauh, rumah-rumah penduduk sudah tidak ada di kiri dan kanan jalan, berganti dengan kebun dan sawah yang dibatasi oleh pagar kawat. Jalur yang makin menanjak membuat kami terkadang berhenti sejenak untuk mengatur napas dan bersenda gurau sambil membayangkan bagaimana kelanjutan cerita Drukpa Kunley di masa lampau.

“Kamu harus bisa menentukan mau jadi apa kamu!” Gertak Ibu Kunley begitu melihat anaknya pulang. Tidak ada takut-takutnya. “Kalau kamu memutuskan untuk mengabdikan dirimu untuk kehidupan yang relijius, kamu harus bekerja keras untuk kebaikan sesama. Namun, apabila mau berumah tangga, kamu harus mencari istri yang dapat membantu ibu di rumah!”

Ternyata, tidak di sana tidak di Indonesia, salah satu quarter life crisis yang dihadapi oleh pemuda adalah pertanyaan “Kapan Nikah?” yang kerap kali ditanyakan oleh keluarga, dalam berbagai bentuk sindiran. Merasa tersindir sekaligus tertantang untuk menunjukkan ajaran dan kebijaksanaan yang sudah diperolehnya, Kunley menjawab tantangan tersebut “Baik, kalau Ibu menginginkan seorang menantu, aku akan cari sekarang!”

Yang dilakukan Kunley selanjutnya sungguh di luar nalar manusia, karena dia langsung pergi ke pasar dan menjumpai seorang perempuan tua berumur seratus tahunan dengan rambut putih dan mata biru. Pinggangnya sudah bengkok dan tidak ada lagi gigi yang tersisa pada mulut si wanita  tua itu. “Hey wanita tua, cikuk cikuk.” Panggilnya. “Hari ini, kamu harus menjadi istriku, ayo ikut ke rumah!”

Si wanita tua tidak dapat berdiri dengan baik, namun Kunley mengangkat dan menggendongnya di punggung, segera dia pulang ke rumah dan menunjukkan calon istrinya ke ibunya.

“Ama! Ama!”

“Yes Kunley!”

“Eating sugar?”

“No Kunley.”

“Telling lies?”

“No Kunley.”

“You wanted me to take a wife, so I brought one home.”

“Ah! Ah! Ah!” Ibu Kunley geram. “Kalau ini yang terbaik yang bisa kamu dapatkan, maka lupakan!” Serunya. “Bawa dia kembali ke alamnya, atau kamu akan merawat dia seumur hidupmu. Aku bahkan bisa melakukan pekerjaan dia dengan lebih baik.”. Akhirnya, Kunley mengembalikan wanita itu ke pasar.

Sebuah kuil doa mungil menyambut kami sebelum memasuki pelataran Chimi Lhakhang Monastery yang dibangun pada tahun 1499 oleh Ngawang Choegyel, setelah sebelumnya didoakan dan diberikan berkah oleh The Divine Madman, Drukpa Kunley. Pada halaman depan monastery tidak terlihat adanya loket karcis, sehingga kami dapat masuk tanpa perlu membayar lagi. Sebagai gantinya, terdapat sebuah Pohon Bodhi nan rimbun yang sigap mempersilakan kami untuk masuk. Dari rimbunnya pohon, saya tebak usianya sudah memasuki puluhan hingga ratusan tahun.

“Ini kalau doa, biasanya sambil mengelilingi Pohon Bodhi.” Ucap Mbak Yati, salah satu peserta Trip Whatravel. Pohon Bodhi ini adalah jenis pohon yang dulu digunakan oleh Siddharta Gautama untuk bersemedi hingga mendapat pencerahan dan ‘diangkat’ sebagai Buddha. Saking eratnya hubungan pohon yang masih satu keluarga dengan beringin (Ficus) walaupun tidak menjadi logo partai ini, dengan hal-hal keagamaan dan spiritual, maka jangan heran kalau nama latin dari pohon ini adalah Ficus Religiosa L.

L nya apa, Mas? 

L nya is for the way you look at me, Neng.

Di bawah Pohon Bodhi, saya berdoa dalam hati supaya perjalanan ini diberikan kemudahan dan kelancaran, dan supaya ketika keluar dari Chimi Lhakhang Monastery nanti, tidak ada petugas yang tiba-tiba muncul dan menagih biaya tiket masuk, seperti tukang parkir di Indomaret.

Cerita Drukpa Kunley dengan ibunya, ternyata belum berakhir. Karena masih di hari yang sama, kisahnya berlanjut, namun kali ini berlangsung pada malam hari. Diceritakan bahwa pada malam harinya, Kunley mendatangi kamar ibunya dengan membawa selimut. Apakah Kunley tahu kalau ibunya kedinginan dan butuh selimut … atau?

“Apa yang kamu mau?” Ibunya bertanya, nampak masih kesal dengan kejadian pagi hari tadi.

“Pagi tadi, Ibu bilang mau mengerjakan ‘pekerjaan’ seorang istri, bukan?” Kunley menjawab. Pekerjaan yang dimaksud di sini, tentu saja bukanlah cuci gosok semata, melainkan crot gosok bilas.

“KAMU ANAK TAK TAHU MALU!” Teriak ibunya. “IBU BILANG UNTUK MENGERJAKAN PEKERJAAN RUMAH, BUKAN YANG SEPERTI INI. SANA KEMBALI KE KAMARMU!”

“Ibu harusnya mengatakan dengan jelas, apa mau Ibu.” Kunley berkata pelan, sambil berbaring di samping ibunya “Sekarang sudah terlambat, kita akan tidur bersama.”. Tidur di sini bukan berarti tidur dengan mata terpejam, namun tidur dengan mata yang merem melek.

“DASAR GILA KAU, SANA PERGI!” Ibunya makin emosi. “BAHKAN KALAU KAMU TAK TAHU MALU, APA YANG AKAN DIKATAKAN ORANG-ORANG NANTI? BAYANGKAN GOSIP YANG AKAN MUNCUL!”

“Kalau Ibu takut dengan gosip, kita bisa anggap ini sebagai rahasia, bukan?” Kunley beralasan, dan selalu membantah apa jawaban ibunya.

Akhirnya sebagai pamungkas, yang bukan penyanyi, ibunya berkata. “Ya sudah, kamu tak perlu mendengarkan aku, cukup jangan bilang orang-orang lain.” Tanggapnya. “Ada sebuah ungkapan yang berbunyi ‘Untuk menjual tubuhmu, kamu tidak butuh seorang mucikari; Untuk menggantung sebuah lukisan, kamu tidak butuh paku; dan untuk meluruhkan semua kebajikanmu, kamu tidak perlu berjemur di matahari’ JADI LAKUKANLAH KALAU INI MEMANG KEMAUANMU.”

Kata-kata yang diucapkan ibunya, masuk ke telinga Kunley bagaikan air yang menetes di atas mentega panas. Mendengarnya, Kunley langsung membatalkan niatnya dan seketika pergi meninggalkan ibunya. Sungguh, untuk urusan per-incest-an seperti ini, sepertinya Drukpa Kunley harus belajar banyak dari Sangkuriang.

Keesokan harinya, Kunley kembali ke pasar, namun kali ini bukan untuk mencari si wanita tua, melainkan untuk memberikan pengumuman yang berbunyi “DENGARLAH KALIAN! KALAU KALIAN MAU, SEBENARNYA KALIAN BISA MENGGODA IBU KALIAN SENDIRI!”. Sebuah pengumuman yang membuat orang-orang terkejut. Namun dengan diungkapkannya hal tersebut, maka kesalahan yang telah dilakukan oleh ibunya dihilangkan, dosa-dosanya diampuni, serta segala masalah dan derita yang ada diangkat. Setelah peristiwa tersebut, Sangkuriang, eh Drukpa Kunley mengembara lagi, hingga ke Bhutan dan meninggalkan ibunya yang hidup hingga usia 130 tahun.

Yang disebut Chimi Lhakhang Monastery ini, adalah sebuah komplek bangunan luas dengan sebuah kuil utama yang terletak di tengah komplek, dengan beberapa bangunan pendukung yang berada di sekitarnya. Sebuah bangunan hitam yang mirip petilasan terdapat pada sisi depan bangunan utama, sementara pada sisi yang satunya lagi, terdapat area tempat tinggal para biksu muda yang sedang menempuh pendidikan di sini. Tentunya bukan pendidikan jasmani maupun Kejar Paket B, ya.

“This was made by Drukpa Kunley.” Sha menunjuk bangunan hitam yang baru saja kami lewati. “He subdued a demon and turned her into this stupa.”.

“Demon, her, stupa?” Saya bengong sejenak, mencoba mencerna cerita yang baru saja saya dengar sekilas. “How come?”

“Let’s go inside, I will tell you more stories about Drukpa Kunley, The Divine Madman.” Sha mengajak kami masuk melalui pintu samping setelah melewati para biksu muda yang sedang membersihkan halaman. Beberapa dari mereka nampak curi-curi pandang ke arah kami, sementara kami mengikuti Sha di belakang. “Watch your step!” Imbaunya kepada kami, untuk sedikit melompati pintu kayu yang menjadi pintu masuk kuil.

Setelahnya, perjalanan dilanjutkan dengan memasuki bangunan utama kuil Buddha yang juga memiliki altar pemujaan khusus untuk Drukpa Kunley. Objek lain  yang tak kalah menarik di sana adalah adanya tempayan untuk menampung arak lokal yang disuling secara harian dan dijadikan persembahan setiap pagi dan miniatur penis raksasa setinggi kurang lebih setengah meter yang terbuat dari kayu: hitam, mengkilap, keras, tapi tidak berurat.

APA-APAAN INI, KUIL SUCI KOK ADA ARAK DAN KWONTHOL? (Penyebutan alat kelamin pria, bisa dibedakan berdasarkan ukurannya. Titit untuk yang mungil, penis untuk yang normal, dan kwonthol untuk yang besar dan keras)

Chimi Lhakhang Monastery

Dalam pengembaraannya dari Tibet menuju Bhutan untuk menyebarkan kebaikan, Kunley dikenal sebagai biksu nyentrik yang menyukai alkohol dan wanita. Dari literatur yang ada, saya mengambil kesimpulan bahwa wanita adalah mahkluk yang kerap sekali digoda setan, dan untuk itulah Kunley datang untuk menyelamatkan mereka, di mana caranya adalah dengan meniduri mereka, supaya setannya hilang. Berdasarkan hal ini, tak heran rasanya kalau Kunley digambarkan sebagai biksu yang memiliki mustika berupa Thunderbolt of Wisdom, yaitu penis yang memiliki kekuatan super laksana petir.

Suatu hari, datang seorang lelaki tua yang memohon pertolongan kepada Kunley karena pada suatu daerah bernama Dokyong La Pass, yang terletak antara Thimphu dan Punakha sering muncul iblis wanita yag mengganggu para pejalan pada masa itu. “Banyak sekali pejalan yang dimakan olehnya, saat ini tidak ada seorang pun yang berani melintas di daerah tersebut pada saat malam hari.”.

Mendengarnya, Kunley pun bergegas menuju lokasi yang disebutkan sang lelaki, namun bukanlah iblis wanita yang ditemuinya di sana, melainkan seorang anak berusia 18 tahun yang sedang menggembala sapi supaya baik jalannya. “Dari mana kamu berasal?” Kunley bertanya pada sang anak, walaupun sang anak tidak bertanya pada bapaknya.

“Aku dari Wong Barpaisa.” Jawabnya. “Namun saat ini sepertinya tidak mungkin untuk pulang ke sana, karena sudah hampir malam, dan kalau malam tiba, iblis akan datang dan memangsa kami.”

“Sudah pulang saja.” Kunley menenangkan sang anak. “Sapimu biar aku saja yang mengurus.”

“TAPI AKU TIDAK AKAN MUNGKIN SAMPAI RUMAH SEBELUM GELAP!”

“Sini, rebahlah di pangkuanku, letakkan kepalamu, dan bayangkanlah rumahmu.” Si anak menurut, dan seketika, dia sudah berada di rumahnya. Berikutnya, Kunley mengikat sapi yang ada padanya di sebuah pohon, sebelum dia memanjat pohon tersebut untuk menunggu datangnya si iblis wanita.

Untung saja, Kunley tidak menyerahkan sapi tersebut pada Pak Kempleng, karena berkat sapi yang diikatkan ke pohon, si iblis wanita datang mendekat dengan niatan untuk memangsa sapi tersebut. Dengan mulut yang menganga dan liur yang senantiasa menetes, iblis datang mendekat, dan ketika hendak memangsa sapi, dia melihat Kunley ada di atas pohon. “Sini turunlah Bang, main-main sama Neng.”.

“Mohon maaf, saya tidak dapat bermain dengan anda. Bukan muhrim. Kamu iblis kotor dan penuh dosa!” Kira-kira seperti itulah yang dikatakan Drukpa Kunley. Sebuah jawaban yang membuat si iblis geram dan menendang jatuh pohon yang dipanjat oleh Kunley. Dengan cekatan, Kunley melompat menghindar dan mengeluarkan senjata supernya, yaitu penis sakti yang pada saat itu dikisahkan dapat mengeluarkan semburan api ke arah si iblis wanita.

Tak kuasa menghindar, Kunley akhirnya menangkap si iblis dengan cara menjambak rambut atasnya sebelum kemudian diseret ke arah Drulopaisa di Wongdu Road. Di sini, si iblis bertransformasi menjadi anjing berwarna merah, sebelum Kunley menangkap telinga si anjing dan membungkusnya dengan tanah liat yang membentuk payudara wanita sebelum membangun stupa berwarna hitam di atasnya. Stupa inilah yang dipercaya menjadi cikal bakal berdirinya Chimi Lhakhang Monastery. Stupa hitam yang berada di depan kuil utama ini.

Chimi Lhakhang Monastery

“Chimi Lhakhang means The Land of No Dog.” Sha bercerita kembali kepada kami. “In the past, dog resembled the demons, so there were no dogs here.”.

“Then what about the penis? What’s the story behind that?”

“Ehem.” Sha berdehem sebelum mengatakan jawabannya. “Penis reminded us about the Divine Madman’s power, about how he subdued the demons using his mighty penis. So, people painted their houses with penis paintings to protect them from demon, like Drukpa Kunley used to protect them in the past using his Thunderbolt of Wisdom.”.

“What an interesting story.” Kali ini saya mulai memahami mengapa banyak sekali lukisan penis di Punakha, dan mengapa Drukpa Kunley ini sangat dikagumi oleh penduduk Bhutan, tua dan muda. Ya karena tititnya sakti.

“Other than that, penis is symbol of fertility and vitality.” Saya mengangguk-angguk sambil membayangkan apabila saya juga punya titit sakti seperti Drukpa Kunley. Namun, apabila Drukpa Kunley hidup di masa sekarang, pasti dia sudah masuk penjara karena dianggap melakukan sexual harassment dan akan mendapatkan kecaman para SJW di Twitter. “Well, do you know that this temple is also known as The Temple of Fertility?”.

Kali ini saya menggeleng.

Phallus Village Bhutan

Daam perjalanan pulang ke desa kembali, Sha bercerita bahwa banyak orang datang ke kuil tersebut untuk berdoa supaya cepat diberikan keturunan. Namun, cara berdoa di kuil ini sedikit unik, karena sang wanita yang belum dikaruniai keturunan tersebut akan diminta untuk berkeliling kuil sambil menggendong miniatur penis raksasa dalam dekapannya sebanyak tiga putaran. Nantinya para biksu yang ada di kuil akan mendoakan untuk kesuburannya. Sungguh sangat unik, mirip thawaf tapi sambil menggendong titit.

Setengah tak percaya dengan ceritanya, saya pun meminta bukti kepada Sha, apakah pernah ada yang berhasil untuk mempunyai keturunan setelah berdoa dan melakukan ritual unik tersebut.

“Once upon a time, there was a lady from Japan, came to this temple for a blessing.” Kali ini Sha memandang saya dengan wajah serius. “She could not conceive a child after being married for several years. In here, she did the penis ritual.”.

“And how was the result?”

“The next year, she came back to Bhutan, with a baby in her hand…

“SO IT WORKED?” Saking bersemangat mendengar lanjutan ceritanya, saya memotong ucapan Sha. “YEAY, CONGRATULATIONS!”

…but the baby’s face looked like her local guide in Bhutan.”.