…Cerita ini adalah kelanjutan dari sini

Macau, Januari 2012

Dengan penuh gegap gempita, saya melangkahkan kaki bersama figuran 2, figuran 7, figuran 8, dan figuran 9 di sekitar Senado Square, tempat yang paling ramai dikunjungi turis — bukan penjudi — di Macau. Suhu udara yang mencapai belasan derajat celsius telah membuat saya mengkerut, maklum waktu itu adalah pertama kali saya bepergian ke luar negeri pada musim dingin. Demikian juga dengan Peju.

Tak mempedulikan hawa dingin yang menjalar di sekujur bulu, saya mengambil beberapa foto dengan menggunakan Peju di depan gereja St. Augustine. Klik!, Klik!, Klik!, mati.

Iya, Peju tiba-tiba tak bisa digunakan kembali. Terdengar suara dengkuran dari arah konektor baterainya, dan sepertinya dia sedang tertidur pulas. Saya mencoba mencabut baterai, berulang kali sampai lecet namun tak berhasil. Saya kesal, karena ternyata Tokocamzone tak berhasil memperbaiki Peju dengan baik, juga karena sebentar lagi kami akan menuju reruntuhan gereja St. Paul yang fenomenal, dan saya tak bisa berpose seperti ini di depan Peju.

IMG_1481

Saya di depan reruntuhan St. Paul church (gambar diambil dengan Canon G-11 milik figuran 2)

 

Mie, Oktober 2012

Dengan gaya traveling nomaden yang kami lakukan, yaitu lebih memilih menginap di bus malam ketika berpindah-pindah tiap kota, wajar jika masalah kelistrikan menjadi problem utama kami. Di Jepang, sangat susah mencari socket/colokan listrik yang available di tempat umum. Dari empat kali naik bus malam, hanya satu kali kami mendapatkan bus yang dilengkapi colokan listrik, lainnya tak ada yang bisa dicolok. Pernah juga kami meminta izin untuk menggunakan socket yang terpasang di tembok stasiun pada penjaga stasiun, namun ditolak. Beberapa rumah makan seperti McD dan KFC memiliki socket yang dapat digunakan secara cuma-cuma, cukup dengan membeli Shaker Fries. Yang paling parah adalah Yoshinoya di Osaka, ketika terang-terangan melarang kami menggunakan socket yang tersedia di sana, walaupun saya dan figuran 10 telah membeli semangkok Unagi Bowl yang sangat lezat seharga ¥640. Huft.

Lalu apa hubungan cerita antara socket dengan Peju? Dengan minimnya pasokan listrik, kami harus pintar menghemat dan membagi-bagi sumber daya yang kami punya seperti baterai kamera, baterai handphone, hingga mesin cuci. Imbasnya, kami pun bergantian dalam menggunakan kamera antara milik saya, figuran 10, atau figuran 11.

Overall, tak ada masalah berarti yang dihadapi saya bersama Peju selama di Jepang, karena saya pun teah menyiapkan baterai cadangan untuk Peju sebagai antisipasi apabila diperlukan. Bahkan Peju masih bisa mengambil gambar saya yang berpose manis di bawah ancaman pedang sang ninja manis di desa ninja, Prefektur Mie.

DSCN7995

Tangkap aku, mbak!

Mumbai, Januari 2013

Setelah menempuh belasan jam perjalanan yang menyenangkan dengan kereta api kelas 2A, akhirnya saya bersama figuran 12 tiba di Mumbai dari Delhi. Ini adalah kota keenam yang kami kunjungi setelah Kolkata, Varanasi, Agra, Jaipur, dan Delhi. Rencananya kami akan menghabiskan waktu menikmati keindahan arsitektur bangunan kolonial Inggris, dan lanjut ke Elephanta Island, untuk menyaksikan kuil-kuil kuno yang diukir pada batu-batu raksasa.

Ketika mendarat di Kolkata pada malam hari pertama, saya mencoba mengambil gambar suasana malam di jalanan dengan menggunakan night mode yang pernah saya gunakan sebelumnya. Lalu saya pun mengalihkan dial ke arah night mode, dan ingin mulai mengambil gambar. Namun ternyata, night mode Peju tidak berfungsi. Duh. Terpaksa saya pun mengotak-atik secara manual ISO, speed dan aperture Peju dan berusaha menangkap gambar sebaik mungkin, dan hasilnya adalah … blur.

Hari berganti, kota berlalu, dan saya berharap Peju menjadi pulih kembali namun sia-sia, fitur night mode-nya tetap tak berfungsi. Kini saya menatap Peju di tangan, kemudian membidik suasana pagi di stasiun Mumbai. Setelah beberapa kali jepretan, kini Peju diam tak berkutik, tak dapat berfungsi. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuhnya, dan lensanya juga mengembun. Saya menduga bahwa ini adalah akibat kedinginan karena AC dalam kereta tadi malam. Saya pun mencoba memberikan sedikit kehangatan padanya, mulai dari meniup-niupnya, hingga mengempitnya di ketiak. Ajaib, Peju pun berfungsi kembali secara normal (walaupun fitur night mode-nya sementara tidak berfungsi lagi) dan saya bisa mengabadikan ratusan foto di Mumbai.

DSCN2769

Kemampuan Peju yang sesungguhnya, memotret wanita diam-diam.

 

Jakarta, Februari 2013

Pada sebuah hari Sabtu, saya berjalan tergesa di trotoar Mangga Dua Square, karena di sudutnya, yaitu tepatnya di Service Center resmi Nikon, telah menunggu si figuran 13. “Kalau mau servis kamera, di sini aja.” Ujarnya melalui messenger kemarin. Dan kali ini saya menatap layar telepon genggam, membaca pesan singkat darinya “Buruan, gue udah sampai.”

Setelah melalui berbagai kejadian kurang mengenakkan dengan Peju, saya merasa bahwa Peju harus ditangani oleh ahlinya supaya dapat berfungsi kembali layaknya seorang pria dewasa. Maka di sinilah saya, di depan seseorang yang menyambut saya di meja penerimaan servis.

“Ini night mode-nya gak bisa, tutup lensa sering nyangkut, dan sering mati-mati.” Saya menjelaskan problema yang saya alami.

“Kamera ini…pernah kepentok ya.” Kata pria itu sambil menunjuk guratan kecil di tubuh Peju.

“I..iya.” Jawab saya getir.

“Ongkos servisnya saja, sebentar …” Pria itu mengetikkan sesuatu di komputernya, memandang saya lekat, menopang dagunya dengan kedua tangan, sebelum berkata “empat ratus lima puluh satu ribu rupiah.”

WHAT! “Mahal juga ya.”

“Iya, karena kamera kamu bukan garansi resmi. Jadi ongkos servisnya dua kali lipat, dan ini belum termasuk kalau ada spare part yang diganti.”

DEG! Saya pasrah, apa boleh buat, selalu ada harga yang dibayar untuk sebuah pengambilan keputusan. Saya memutuskan untuk membeli kamera non garansi, dan inilah yang saya dapatkan.

“Baiklah.”

“Proses pengerjaan memakan waktu sekitar dua minggu, dan nanti akan dihubungi kalau sudah selesai, Pak.”

Well, I hate people who call me “Pak” on weekend.

Do I look that old?

***

Sekitar sepuluh hari kemudian, saya mendapat sebuah telepon pada hari kerja yang menyatakan bahwa kamera sudah bisa diambil.

“Pak, kamera sudah bisa diambil, tapi ini lens cover-nya kalau mau diganti harus ganti sekalian lensanya, dan itu harganya bisa separuh dari harga kameranya.”

WHAT! “Ya udah Mbak gak usah diganti. Besok saya ambil kameranya. Terima kasih ya.”

“Kembali, Pak.”

It’s okay to call me “Pak” on weekdays.

I’m looked mature with my working suits.

***

Esoknya, di hari kerja dan mengenakan seragam kerja, saya telah tiba di konter pengambilan kamera, menunggu Peju diambli dari bagian servis.

“Ini Pak, kameranya.”

“Oke, saya cek dulu ya.” Saya mencoba memutar dial di tubuh Peju, dan merasakan sedikit kejanggalan. “Mbak, kemarin kan night mode-nya yang gak bisa, kok sekarang makin banyak yang gak bisa?”

“Ah, masa sih Mas.” Saya menyerahkan Peju kembali padanya. “Oh, iya juga ya.”

“Lalu gimana, Mbak?”

Wanita itu memanggil seseorang dari bagian servis, saling berbisik-bisik sebentar, lalu berkata “Ini harus ditinggal lagi, Mas.”

WHAT! “Wah, saya jadi bolak-balik dong, Mbak. Saya jauh loh ke sini dari Jakarta Barat.”

“Ya kami minta maaf atas itu. Tapi, mau bagaimana lagi, Mas?”

When people call me “Mas” on weekdays, I take it as a compliment.

Or, as an apologize.

***

Hari-hari berselang, tapi tak ada kabar dari Nikon, dan pada hari Minggu ku turut ayah ke kota saya memutuskan untuk menelepon mereka lebih dulu, menanyakan nasib Peju.

“Ini sudah jadi lama, Pak. Tinggal diambil.” Ujar seorang wanita di ujung telepon.

Saya pun spontan menimpali “Kok saya gak dikabari?”

“Iya, pokoknya Bapak langsung ambil saja ke sini.”

“Besok buka gak?”

“Buka Pak, sampai jam lima ya.”

“Tapi, besok hari kejepit, loh, Mbak. Kan Selasanya tanggal merah.”

“Iya. Kami buka kok Pak. Sampai jam lima ya.”

Dan esoknya saya ke sana sebelum jam lima, Service Center resmi Nikon tersebut … tutup.

It’s okay when people call me “Pak” on a phone call.

Because I have manly voice.

***

Dua hari kemudian, saya mendatangi kembali TKP tersebut, langsung ke meja si pria yang pertama kali menerima Peju. Semua yang berawal dari seorang pria, harus diakhiri oleh seorang pria.

“Saya kemarin ke sini, mau ngambil kamera. Tapi tutup.”

“Iya, kemarin memang tutup.”

“Tapi, waktu itu saya telepon kok katanya buka? Cewek sih yang nerima telponnya.”

“Mungkin, salah dengar dia, Pak.” Jawabnya, sambil memberikan Peju kepada saya. “Silakan dicek dulu, Pak.”

Saya meraba-raba tubuh Peju, mencoba dial yang saya keluhkan sebelumnya, dan hanya mendapati kejanggalan, karena lens cover-nya sekarang terlepas.

20130319_215834

Peju setelah face lift

Lens cover-nya kami lepas, karena nyangkut. Dan karena Bapak gak mau ganti ya jadinya kayak gitu.” Jelasnya sambil menunjuk Peju.

“Oh, gitu.  Gak bisa dipasang aja lens cover-nya?”

“Bisa sih Pak, tapi harus nunggu lagi. Dan kami gak kasih garansi kalau terjadi kerusakan lagi. Karena kondisi kamera dikembalikan lagi seperti semula.”

“Hmm, okay.” Akhirnya saya pun mengalah. “Terima kasih ya.”

“Sama-sama, Mas.” Dan saya pun menuju kasir untuk melangsungkan pembayaran.

I don’t mind people called me “Pak” or “Mas”

As long as I got what I want.

 

Surabaya, Maret 2013

Perjalanan pertama saya dengan Peju pasca operasi face lift yang telah sukses dilakukannya dengan selamat, kami berkeliling kota Surabaya bersama sekelompok figuran lain, memotret kuliner juga beberapa spot yang menarik lain di Surabaya. Hingga sampailah kami di depan kebun binatang Surabaya, yang tersyohor dengan patung Sura dan Baya, saya pun meminta tolong kepada figuran 14 yang juga dikenal sebagai sosialita Surabaya untuk mengambil gambar saya dengan menggunakan Peju, dan … smile!

KLIK!

DSCN7039

Saya di depan Sura&Baya

TAMAT

***

 

PARA PEMERAN PENDUKUNG

Selama bertugas, Peju tak lepas dari bantuan para pemeran pendukung di bawah ini. Merekalah yang telah membantu Peju selama menemani kegiatan traveling saya. Perkenalkan, mereka adalah:

20130329_090950_resized

Aksesoris Peju

1. DiCAPac WP-610 – Waterproof Camera Case

2. SanDisk Ultra SDHC – 4 GB & 8 GB

3. Baterai Nikon EN-EL 14 – 2 buah

4. Tripod Velbon VTP-777

5. Saya sendiri