Mereka bilang, ada surga di Raja Ampat. Saya sih tak percaya, karena aneh, saya belum pernah ke surga, dan bagaimana mungkin mereka yang juga belum pernah mengunjungi surga, bisa berbicara tentang surga. Apakah mereka pernah bermimpi tentang surga? Ataukah mereka mengetahui surga dari buku-buku dan film-film? 

Atau jangan-jangan, mereka adalah pengikut Lia Eden?

Waisai, Januari 2016

Pagi itu, saya bangun lebih pagi dari biasanya, karena kami –saya dan beberapa teman, dijadwalkan akan mengunjungi Pulau Wayag, yang merupakan ikon wisata alam Raja Ampat bersama dengan Misool, Pianemo, dan Arborek.

“Perjalanan akan memakan waktu hingga empat jam perjalanan.” Jelas Rio, pemandu kami dalam perjalanan menuju Wayag, pada malam sebelumnya. “Pastikan besok bisa bangun pagi, supaya tidak kesiangan sampai sana.”

Jadilah saya pagi itu –dengan wajah kucel karena belum sempat mandi besar dan perut lapar bercampur mulas karena belum sempat ke toilet, berangkat dari penginapan dan bergegas menaiki perahu motor yang akan berangkat ke Wayag, bersama lima orang kawan, seorang pemandu, seorang awak perahu, beberapa kotak makan siang, dan dua jeriken besar bahan bakar di ujung perahu.

Jangan bayangkan perahunya adalah perahu besar yang nyaman, seperti yacht milik Dan Bilzerian dengan lusinan wanita seksi berbikini yang setia menemaninya karena uang. Perahu ini cuma perahu kayu sepanjang kurang lebih tiga meter, tanpa sofa yang empuk. You got what you pay, karena kami hanya mengambil Paket Wisata Domestik kelas ekonomi yang ditambah mahalnya harga bahan bakar di Papua saat itu, maka kami hanya mendapatkan perahu kecil ini, yang bahkan untuk duduk pun kami harus berhadap-hadapan seperti posisi duduk di angkot Bandung, tanpa sandaran punggung. Dan tanpa cewek-cewek cantik khas Bandung.

Konon, untuk menyewa perahu motor kecil menuju Wayag saat itu, dibutuhkan biaya sebesar 8-10 juta untuk sekali jalan.

Raja Ampat

Baru beberapa menit perjalanan, kantuk saya berangsur hilang karena pemandangan yang tersaji sangatlah menyegarkan. Laut yang bening, langit yang biru, dan pulau-pulau berpasir putih yang seakan memanggil saya dari kejauhan. Saat itu, saya sudah lupa lapar dan pacar, walaupun rasa mulas masih tetap ada.

“Sebentar lagi, kita berhenti di pulau kosong itu, ya!” Seru Rio, sambil menunjuk ke sebuah pulau berpasir putih di sisi kiri kami.

“Wah, ada apakah di sana, Bang?” Saya bertanya penasaran, apalagi dengan iming-iming surga yang ada di Raja Ampat, kata mereka.

“Gak ada apa-apa sih.” Sahutnya “Ya, siapa tahu kalian mau ke toilet.”

Yeee!

Raja Ampat

Toilet yang dimaksud Rio, ternyata hanyalah sebuah hutan belantara di pulau tak berpenghuni tersebut. Pepohonan tinggi menjulang, dengan semak perdu yang tumbuh di bawahnya, menemani pantai berpasir putih dan berair bening di pesisirnya. Namun, mana bisa saya menuntaskan hajat di sana, bisa-bisa barang saya di-“hap” ular pohon.

Ya sudah deh, mungkin bisa buang hajat di pulau berikutnya.


Perjalanan berlanjut lagi, kali ini sebelum mencapai Wayag, kami harus berhenti lagi di sebuah kampung yang yang terletak di sebuah pulau di tengah lautan, bernama Kampung Salio.

“Kakak tunggu sebentar, saya mau ke rumah dahulu.” Pinta Rio setelah menambatkan perahunya di dermaga kayu pulau itu. “Yang ini adalah kampung saya.”

Namun, namanya pejalan, mana bisa saya hanya diam di perahu, menggalau, dan memancing ikan kerapu, bisa-bisa saya dirundung pilu. Akhirnya saya memutuskan untuk turun sejenak dari perahu dan melihat keadaan sekitar.

Dari dermaga, saya masih harus berjalan sekitar 100 meter untuk menuju pintu masuk kampung, di mana saya menemukan banyak rumah-rumah penduduk yang sederhana di sini. Beda lah, sama rumah Ahmad Dhani di Pondok Indah, walaupun mungkin penduduk sini lebih bahagia daripada Ahmad Dhani.

Saya menemukan sekumpulan anak kecil sedang asyik bermain pada halaman salah satu rumah di kampung tersebut. Yang cowok, gundul, asyik bermain kelereng, sementara yang cewek dengan rambut ikalnya, asyik memperhatikan saya. Mereka nampak sangat bahagia, tanpa LEGO dan Playstation. Beberapa anak kecil, melihat saya dari ujung kaki ke ujung kepala ketika saya melangkahkan kaki ke dalam kampung, sementara sisanya cukup cuek dengan kehadiran saya.

Raja Ampat

“Selamat pagi.” Saya mencoba menyapa seramah mungkin, dengan senyuman khas saya.

“Selamat pagi kakak!”Anak-anak tersebut meringis, sebagian memamerkan giginya yang ompong, sebagian lagi cuek seperti Aquarius.

“Sedang main apakah?”

“Main kelereng, kakak.” Jawab beberapa anak bersamaan, sementara beberapa menatap saya dengan pandangan ‘ini orang kota, ndeso amat, masa gak tahu kelereng.’.

Sayangnya, saya tak punya banyak waktu menjelajah Kampung Salio dan mencari toilet, karena Rio sudah memanggil kami untuk kembali ke perahu. “Nanti, kapan-kapan menginap di sini saya punya penginapan, dekat laut situ.”

“Siap, kakak!”


Dua jam kemudian, Rio melambatkan laju perahunya, melewati lautan berwarna biru pekat dengan puluhan pulau berbentuk segitiga yang terbuat dari batu kapur di sekeliling kami. Bagi saya yang mulai lapar lagi, pulau-pulau itu terlihat seperti onigiri –nasi kepal Jepang, dengan vegetasinya yang hijau.

Sesekali, kapal-kapal pinisi terlihat berlayar di sekeliling kami. Rio berkata bahwa untuk menyewa kapal pinisi tersebut, dibutuhkan dana sekitar belasan juta per orang, sebuah nominal yang membuat saya berpikir lebih baik saya pakai uangnya untuk beramal di jalan Allah.

“Kita hampir sampai di Wayag!” Teriak Rio ketika kami sudah melewati puluhan atau ratusan pulau onigiri di Raja Ampat.

Yes! Berarti, sesaat lagi saya akan melihat ikon Tempat Wisata Raja Ampat, yang kerap muncul di poster-poster pariwisata Indonesia itu.

Namun, ternyata tidak secepat itu, karena untuk mencapai view point dengan panorama “kartu pos” Raja Ampat, Rio berkata bahwa kami harus mendaki bukit batu kapur hingga ke puncak Pulau Wayag. Tentunya tanpa alat daki profesional, hanya bermodal tangan kosong, sandal gunung, dan doa orang tua supaya selamat sampai tujuan.

Pada sebuah tempat yang dikatakan sebagai titik start pendakian Pulau Wayag, kami ternyata keduluan dengan rombongan lain, yang sudah mencapai tempat tersebut sebelum kami dengan speed boat. Sial, mana pesertanya banyak lagi, bisa-bisa kami tiba di Puncak Wayag saat adzan maghrib berkumandang.

Raja Ampat

“Kita coba puncak satunya lagi, kalau begitu!” Seru Rio, yang membawa perahu kami mengitari Pulau Wayag, menuju lokasi pendakian lainnya.

Untungnya, lokasi tersebut cukup sepi dari turis, namun untuk mendaki ke puncaknya, kami harus melewati undakan yang terjal, memanjat batuan batu kapur yang terkadang tajam tanpa adanya tangga dan pegangan tangan. Padahal, kalau dihitung-hitung, dengan biaya masuk yang telah kami bayar sebelumnya (ditandai dengan mendapat pin dan kartu Raja Ampat) sebesar Rp250.000,- per orang dan banyaknya wisatawan yang pergi ke Raja Ampat, seharusnya pemerintah setempat bisa menyediakan fasilitas yang lebih ramah dan aman untuk turis, bukan hanya sekadar gimmick.

Raja Ampat

Dengan susah payah, saya yang sedikit obesitas ini mulai menapaki jalur setapak yang terbentuk karena langkah-langkah kaki wisatawan dan penduduk setempat yang melintasi medan tersebut setiap harinya. Seekor biawak  nampak melintas dengan tenangnya di titik awal pendakian, bergerak menyeberang dari semak satu ke semak yang lainnya.

Selain Rio, ada salah seorang lagi bapak-bapak warga lokal yang menemani kami menuju puncak gemilang cahaya tersebut. Menariknya, bapak tersebut mendaki dengan kaki telanjang! Tanpa sandal gunung maupun sepatu outdoor.

“Bapak gak sakit kakinya, Pak?”

“E…tidak.” Jawabnya “Saya su biasa seperti ini.”

Luar biasa, sementara saya harus berhati-hati memanjat dengan sandal gunung supaya tidak terpeleset, bapak ini dengan entengnya mendaki dengan kaki telanjang.

Raja Ampat

Akhirnya, setelah empat jam perjalanan dari Waisai ditambah beberapa menit pendakian yang membuat peluh bercucuran, saya bisa mendaki hingga ke puncak pulau tersebut.

Di Puncak Wayag, matahari sedang bersinar dengan teriknya, yang membuat perawatan wajah pra-nikah dengan menggunakan SK-II yang saya lakukan menjadi sia-sia. Namun tak mengapa, karena akhirnya saya berhasil mencapai puncak Wayag, dan melihat langsung dengan mata sendiri, apa yang dikatakan mereka sebagai surga.

Pemandangan di puncak, sedikit mengingatkan saya akan Ha Long Bay di Vietnam, walaupun tentu saja, Raja Ampat berkali lipat lebih cantik.

Pada sisi kanan, sejauh mata memandang, saya dapat melihat kumpulan pulau-pulau onigiri dengan lautan biru pekat bergradasi toska, sementara pada sisi kiri, saya menemukan pantai berpasir putih dengan airnya yang jernih hingga ke dasar, dan sebuah kapal pinisi sedang berlayar di kejauhan.

Namun sayang, di Puncak Wayag, saya tidak menemukan adanya toilet.

Ternyata di surga, tak ada toilet ya? Tapi tak mengapa, karena begitu tiba di puncak Wayag, mulas di perut saya tiba-tiba hilang. Aneh bin ajaib. Atau memang, jangan-jangan di surga tak ada rasa mulas?

Setelah beberapa kali berfoto dan selfie di puncak, kami akhirnya turun untuk beristirahat di pantai putih yang saya lihat dari atas. Berikutnya, Rio membagikan kotak makan siang, yang ternyata berisi seporsi nasi ayam dengan sayuran.

Siang itu, kami makan siang di pantai pasir putih dengan view bule berbikini yang sedang asyik berjemur. Ah, apakah ini yang dinamakan surga?


Mereka bilang, ada surga di Raja Ampat. Bagi saya, Raja Ampat mungkin bukanlah surga, namun dapat merepresentasikan surga, karena perjuangan berat dan perjalanan berliku untuk mendapatkannya, setara dengan apa yang akan saya dapat di puncaknya.

Mirip surga, bukan? Tenang, saya bukan pengikut Lia Eden kok.

Raja Ampat

Apabila kamu memiliki cerita tentang pengalaman Liburan di Indonesia, saat ini HIS Travel Indonesia sedang menyelenggarakan Blogger Competition bertemakan liburan di Indonesia untuk periode 7 Desember 2016 hingga 7 Januari 2017, dengan 2 hadiah utama berupa paket menginap di hotel bintang lima Indonesia selama 3 Hari 2 Malam senilai hingga SEPULUH JUTA RUPIAH!

Bagikan segera cerita liburanmu di Indonesia, supaya dapat menginspirasi orang-orang untuk berwisata ke Indonesia, karena alam Indonesia sangat kaya dan memiliki banyak sekali lokasi wisata yang menarik. Untuk keterangan lengkap mengenai kompetisi ini, bisa kamu baca di http://bit.ly/HISDomesticHoliday.

domestic-holiday-post-raja-ampat

Apakah kamu sudah #SiapLiburanDiIndonesia?