
“BANGUN WOY, SEKARANG GILIRAN LU!” Seru Abdi sambil mencolek tubuh saya dengan gemas. Saya membelalakkan mata, mencoba mengingat di mana saya berada, dengan siapa, dan semalam berbuat apa. “GILIRAN?” Apakah kali ini saya akan digilir? Oleh tante mana lagi, atau justru oleh om-om langganan yang berada di mana lagi. Sementara itu, Jack masih saja sibuk menggambar inci demi inci kemolekan tubuh saya.

Deleted Scene: Titanic, by @imandita
***
“Nanti jam berapa, mulai syutingnya?” Tanya saya ke Abdi, siang hari itu, melalui layanan pesan singkat berbayar di telepon genggam saya (Yang biasa disingkat menjadi: SMS).
“Jadwalnya jam 4 sudah mulai.”
“Wah, aku baru jam 5 balik kerjanya. Bisa nego gak?” Dan kemudian negosiasi pun berlanjut, dengan hasil akhirnya adalah, segera menuju ke lokasi setelah jam pulang kantor.
Akhirnya jam pulang kantor tiba, saya bersiap menuju ke lokasi, kemudian hujan turun dengan derasnya.
Atucedih.
Saya mengambil telepon genggam lagi, dan mengetikkan beberapa buah kata. “Abdi, di sini hujan deras. Belum bisa jalan sekarang.”
“Yaaahhh..”
***
Saya tiba di lokasi sekitar pukul delapan malam, setelah menembus perjalanan malam yang dingin selepas hujan. Perjalanan tersebut diwarnai dengan susahnya menemukan tempat parkir sepeda motor di kawasan SCBD, dan setelah mengitarinya sebanyak tiga kali — sambil menoleh kanan dan kiri –, saya pun memutuskan untuk tidak melakukan tawaf, melainkan langsung memarkir sepeda motor di kawasan parkir Bursa Efek Jakarta, depan Pacific Place. Agak jauh ya, iya.
Di depan pintu studio, saya menemukan Alex dan Tasya sedang berbincang, sambil menghapalkan script yang telah diberikan sebelumnya. “Loh, kalian belum mulai?”
“Ya belum, ini lagi ngapalin script–nya.”
“Terus, sekarang giliran siapa?”
“Tuh, masih Ernest sekarang.”
“Umm, terus gue kapan dong?” Tanya saya, penasaran.
“Habis Ernest, terus Tasya, terus gue, terus Bena, terus Chika, dan elu terakhir.” Jelas Alex. “Yah, kira-kira … jam 2 pagi baru mulai lah.”
“HAHAHA… Pasti bercanda, kan, Lex?”
HAHAHAHAHAHA.
***
Saya melirik arloji yang saya kenakan di tangan kiri saya, jarum pendek pada angka 2 dan jarum panjang pada angka 3, pukul 2 pagi lebih 15 menit. Oh shit! Ternyata saya ketiduran waktu menghapal script tadi. Di hadapan saya, kini berdiri beberapa orang perias yang telah siap menghadiahi wajah saya dengan — “BUGH!” Saya merasakan wajah saya ditempa benda lunak, dan butiran-butirannya yang berwarna putih beterbangan di sekitar muka. Itu adalah — bedak.
Kabar baiknya: Muka saya menjadi putih, mirip Syahrini tanpa Tje Fuk. Kabar buruknya: Muka doang.
“Udah siap, kan?”
“Bentar-bentar, tadi saya sampai … mana ya?”
***
Beberapa jam yang lalu, — karena saya mendapatkan giliran terakhir — saya berkesempatan menyaksikan jalannya syuting rekan-rekan yang lain. Mulai dari Ernest yang pintar memainkan mimik, Tasya yang tak canggung depan kamera, Bena yang melakukan improvisasi pada script-nya, Alex yang berkeringat dingin, Chika yang bergaya a la(y) K-Pop, hingga sekotak komplit D-Cost yang sangat nikmat.
Saya memperhatikan baik-baik aksi mereka, mempelajari bagaimana cara mereka berbicara, dan menikmati kelucuan-kelucuan yang terjadi, hingga akhirnya kombinasi makanan yang masuk ke perut, sofa yang empuk, dan faktor kelelahan syuting membuat saya memejamkan mata sejenak, hingga…
“Mas, bangun. Ini ganti bajunya.” Ujar seorang wanita bagian wardrobe sambil membawa beberapa potong pakaian untuk saya kenakan.
“Oh, iya Mbak.” Saya mengambil pakaian tersebut dan masuk ke ruang ganti. Kemudian saya mencoba beberapa kombinasi pakaian, yaitu:
- Polo shirt garis warna-warni & celana bermuda warna gading. Ditolak, karena tak mirip anak pantai.
- Kaos V Neck abu-abu & celana bermuda biru muda. Ditolak, karena kurang laki banget.
- Kaos tanpa lengan putih & celana pantai biru. Disetujui, karena saya terlihat macho dengan bisep yang kekar.
“Syuting sekarang nih?” Tanya saya, setelah komposisi pakaian saya disetujui.
“Um, bentar. Kan sekarang masih giliran Chika.”
Saya melihat ke arah Chika yang sedang masuk photo session, sebelum kembali ke sofa yang empuk, mencoba menghapalkan script, dan kemudian saya … tertidur lagi, hingga…
“BANGUN WOY, SEKARANG GILIRAN LU!” Seru Abdi sambil mencolek tubuh saya dengan gemas. Saya melirik arloji yang saya kenakan di tangan kiri saya, jarum pendek pada angka 2 dan jarum panjang pada angka 3, pukul 2 pagi lebih 15 menit.
Ternyata prediksi Alex di atas benar, saya baru mulai syuting pukul 2 pagi, lebih malah.
Atucedih.
Saya menyambar script di sofa, dan dengan muka yang telah putih dan gigi berseri, saya melangkah maju ke tempat syuting. DEG DEG DEG.
Inilah syuting pertama saya di depan layar hijau.
***
CUT!
“LOMPATNYA KURANG ARTISTIK!”
CUT!
“TANGANNYA DIANGKAT DONG!
CUT!
“NGANGKAT TANGANNYA KETINGGIAN, WOOOOYY!”
“ARRRRGGHHHHH!!”
“NAH ITU PAS EKSPRESINYA, AYO ULANGI LAGI!”
“ARRRRGGHHHHH!!”
Saya berusaha menyelesaikan adegan lompatan saya dengan benar, sungguh ternyata berakting di depan kamera itu tidaklah mudah, apalagi jika harus berbicara sambil menaiki papan dengan menggunakan snorkel dan masker, kemudian melompat dari atas papan tersebut, dan diulangi beberapa kali. Salut kepada pemeran Tarzan Sepuluh.
Scene berikutnya adalah saya harus berbicara sesuai script yang telah saya hapalkan sebelumnya, kira-kira sebanyak 13 kalimat, (seharusnya) saya ucapkan dengan baik dan benar. Tiap scene ini akan diambil tiga kali yaitu secara close up shot, medium shot, dan wide shot. Dan setelah berusaha keras menghapal, akhirnya lima kalimat pertama saya di-delete dari videonya.
Atucedih.
Adapun scene terakhirnya adalah , saya berbicara penggalan-penggalan kalimat yang nantinya akan disatukan menjadi paragraf yang utuh bersama kelima orang talent lainnya.
“AYO SEMANGAT, BENTAR LAGI SUBUH!” Teriak si director kepada saya yang sudah berada kurang lebih delapan jam di studio itu. Sementara itu, saya dengan stamina dan semangat yang tersisa mencoba melafalkan kalimat yang telah diberikan, dan mengekspresikan sebaik mungkin. Ketika waktu menunjukkan pukul empat lebih sepuluh, syuting akhirnya selesai.
Saya sujud syukur.
***
Kalau Raja Ampat, kamu tahu gak? Keindahan alam atas dan bawah lautnya telah mendunia, kamu bisa melihat gugusan pulau batu yang indah di atas, dan menemui jutaan biota laut yang menawan di bawahnya. Bahkan konon katanya Prince William pernah diving di sana.
Lalu maukah kamu berangkat #BebasLiburan gratis ke Raja Ampat?
Gampang, caranya klik saja di sini.
Tagged: BebasLiburan, Raja Ampat, XL
Aakkkkk.. Raja Ampattttt!!!!
Mauuuu!!!
LikeLike
IKUTAN DONG KUISNYAAAAA!!!
*timpuk pakai @nagacentil*
LikeLike
Ciieee ada yang jadi model iklan uhuk uhuk ;;)
LikeLike
Udah cocok belum gantiin Nicolas Saputra? Hahaha.
LikeLike
Wow gue kemarin liat pidionya di blognya bena, gataunya buat tuh video ngalahin jamnya banci kaleng mangkal ckckckckckck… ah sayang harus pake xl dan kakaotalk neh klo mau ikutan 😦
LikeLike
Yoih, lama banget bikin videonya, sampai ngantuk-ngantuk gue.
Beli perdana xl cuma goceng, kakaotalk juga free download, ayo ikutan, hahaha!
Thanks udah mampir, broh! *sungkem*
LikeLike
aaakkkkk…. nyilih XL e sopoo iki :)))
LikeLike
Ahahaha, tuku perdana 5.000!
LikeLike
hahahah ngakak banget. bisa banget jack ngelukis elu bang
LikeLike
Hahaha, itu mah kerjaan imandita! Thanks udah mampir yak, semoga betah!
😀
LikeLike