Waktu menunjukkan pukul satu siang ketika kami tiba di Cijahe, batas terakhir antara teknologi dengan Kampung Baduy. Hujan deras ikut menemani makan siang kami, di pondokan Pak Yani yang terletak di pintu masuk (jalur belakang) Baduy. Untuk mencapai Kampung Baduy Dalam, ada dua jalur yang bisa dilewati yaitu melalui Ciboleger atau melalui Cijahe. Lewat Ciboleger (awas, jangan salah tulis!), dibutuhkan waktu sekitar lima jam perjalanan untuk mencapai Desa Cikeusik di wilayah Baduy Dalam, sementara melalui Cijahe hanya perlu waktu satu jam. Jika kamu mempunyai jiwa petualang dengan stamina yang menawan bisa mencoba masuk ke Baduy Dalam melalui Ciboleger, sementara kalau kamu mulai bermasalah karena faktor U disarankan menempuh perjalanan melalui Cijahe.

You must follow the rules, and watch your steps carefully.

Anda memasuki kawasan hak ulayat masyarakat Baduy


1. Baduy dan Keramahan

Selepas hujan reda, tiga orang (selanjutnya, sebut saja Trio Libels) dari perkampungan Baduy Dalam datang menjemput kami. Sebelum menginjakkan kaki di Baduy, saya beranggapan bahwa masyarakat Baduy terdiri dari orang-orang yang kaku dan sangar. Namun anggapan tersebut dimentahkan oleh Trio Libels ini, dengan kehangatannya mereka bercakap-cakap dengan kami di sepanjang jalan (mendaki gunung, lewati lembah) menuju Desa Cikeusik, Baduy Dalam. Terlepas dari penampilan fisik mereka yang mengingatkan saya pada kumpulan Hobbits di Lord of The Rings, ternyata mereka ramah dan lucu loh!

Pemandangan yang didapat dalam perjalanan menuju Cikeusik

Mendaki gunung, lewati lembah.

Salah satu dari mereka, bernama Ralim. Ya, Ralim saja. Hanya satu kata, tanpa embel-embel lain seperti Martabak Ralim atau Ralim di luar nikah. Pak Ralim ini, menurut saya adalah yang terlucu dari penduduk Baduy yang saya temui pada perjalanan ini. Kata-kata favoritnya adalah “O..ke”, “Sipp”, dan bahkan Beliau bisa mengucapkan “Cheese!” sambil membentuk huruf V dengan jarinya (jari tangan, bukan jari kaki. -red).

Cheese!


2. Baduy dan Kesederhanaan

Sekitar pukul 16:00 (waktu jam tangan), kami memasuki Desa Cikeusik yang merupakan Kampung Baduy Dalam tertua (kata guide kami, bukan kata Olga Syahputra. -red). Rumah-rumah di Desa ini seluruhnya terbuat dari kayu dan batu, tanpa besi maupun bahan pengawet dan pemanis buatan. Sejauh pengamatan saya, tak ada kemewahan yang hadir di sini. Kamu tak akan menemukan jacuzzi, gym, mobil mewah, ataupun Spa and Karaoke di sini.

Rumah penduduk Baduy (foto diambil di wilayah Baduy Luar)

Kesederhanaan penduduk Baduy juga terlihat dari cara mereka berpakaian, cuma dua warna pakaian yang dipakai yaitu hitam dan putih tanpa shocking pink, hijau pupus atau deep purple. Pak Ralim mengatakan “Di sini paling satu orang cuma punya dua pasang pakaian, beda dengan kalian warga Jakarta yang merasa kalau satu lemari pakaian tidak pernah cukup.” Pelan sih, tapi dalam.

Me and The Hobbits Baduys


3. Baduy dan Tradisi

Di Desa Cikeusik, kami disambut oleh seorang kepala desa yang biasa dipanggil Jaro. Sekadar informasi, Jaro ini berada di bawah pimpinan raja setempat yang disebut Pu’un. Di Baduy kita harus mematuhi segala ketentuan yang berlaku, atau (menurut mereka) karma (karma saja, bukan Karma Aiphama. -red) akan datang. Misalnya, kita tak boleh bertemu dengan Pu’un kalau tidak ada kepentingan khusus dan kita juga tidak boleh memasuki wilayah pekarangan rumah Pu’un karena akan dianggap tidak sopan (di Desa Cikeusik, rumah Pu’un dibatasi dengan tali dan bambu sebagai batas pekarangan).

Saya bersama wakil Jaro desa Cibeo yang (katanya) mirip Tora Sudiro

Rata-rata penduduk Baduy menikah pada umur 20 untuk pria dan belasan tahun untuk wanita, pernikahan ini berlangsung karena proses penjodohan. Bukan dengan pacaran atau Ta’aruf. (Please, jangan bayangkan adegan sepasang muda-mudi Baduy yang berpacaran di taman atau menari-nari di balik pohon). Prosesnya adalah seperti ini: Anak pria Suku Baduy sudah memasuki umur siap nikah > minta papanya untuk melamar dengan malu-malu > Papa datang melamar ke rumah wanita yang dituju > Anak (atau keluarga) wanita bisa menyetujui atau menolak perjodohan tersebut > Kalau disetujui lanjut, kalau ditolak paling jadi patah hati kemudian ngetweet galau.

Pernikahan ini akan berlangsung kira-kira setahun setelah proses lamar-melamar tersebut dan terbagi dalam tiga tahap, yaitu: (1) Tahap 1: Pihak mempelai pria menanyakan kesediaan dari pihak wanita (2) Tahap 2: Jika disetujui, pihak pria akan datang membawa peralatan dapur sebagai tanda keseriusan (3) Tahap 3: Menikah, dan pihak pria membawa perhiasan sebagai mahar. Pernikahan di sini berlangsung sederhana, tidak perlu menyewa gedung atau masjid agung, juga tak sampai mendatangkan Jupe atau Depe; cukup dengan memasak makanan bersama dan dibagi-bagikan untuk kerabat dan tamu yang hadir. (Tips: Ini bisa ditiru untuk pasangan yang pengin menikah tapi memiliki budget yang terbatas. Ehem.)

Penampakan anak perempuan suku Baduy

Proses kelahiran di Baduy pun berlangsung sederhana, cukup ada ibu hamil, bayi mbrojol, sudah. Tak perlu masuk rumah sakit atau water birth sekalipun. Penamaan anak di Baduy juga sangat simpel, cukup dengan satu kata seperti Ralim, Juli, atau Cinta. (Hint: Jika ingin mencari gadis Baduy yang masih single, cek di telinganya. Mereka menggunakan anting berwarna oranye) Apabila ada salah seorang penduduk Baduy yang meninggal dunia, maka akan diadakan acara peringatan di hari ke-1, ke-3, dan ke-7. Acara tersebut adalah makan dan doa bersama yang dihadiri oleh keluarga juga teman-teman almarhum. Proses pemakamannya juga berlangsung singkat, almarhum akan dimandikan di tempat pemandian setinggi dada (dada orang Baduy rata-rata, bukan dada ayam. -red), dibungkus dengan kain putih, kemudian dikubur di tempat pemakaman tanpa tanda. Ironisnya, ketika gundukan kuburnya telah kembali rata, daerah tersebut dapat digunakan sebagai ladang.


4. Baduy dan Teknologi

Malam telah tiba, hanya ada beberapa cahaya yang berpendar di Desa Cikeusik. Obor yang diletakkan sebagai penerang rumah, lampu senter yang kami bawa sebagai penunjuk jalan ketika akan ke toilet (baca: sungai yang mengalir indah ke samudera), juga bintang di langit kerlip engkau di sana yang memberi cahayanya di setiap insan. Tak ada listrik di Desa Cikeusik, jadi jangan harap kamu bisa menemukan televisi, microwave, atau hair dryer di sini. Di Baduy Dalam, teknologi adalah hal terlarang untuk digunakan. Oleh karena itu, kami wajib mematikan handphone, camera, dan seluruh peralatan elektronik selama berada di sini.

Sungai mengalir indah ke samudera

Obrolan kami dengan Pak Ralim malam itu, berkisar tentang serba-serbi perilaku pada  masyarakat Baduy. Ketika saya bertanya “Bahasa yang digunakan di sini adalah Bahasa Sunda, lalu darimana Bapak belajar Bahasa Indonesia, padahal tak ada sekolah di sini?” Beliau menjawab “Saya belajar dari pendatang seperti kamu yang berkunjung ke sini.”, WOW! Betapa kagum saya pada daya ingat Beliau yang telah berusia 44 tahun ini.

“Bapak benar usianya 44 tahun? Darimana Bapak bisa tahu, padahal kan tidak ada kalender di sini.” Saya kembali mencari tahu jawabannya. “Dari ladang dan musim panen.” WOW! HOW COME? Kembali saya hanya bisa geleng-geleng kepala atas bawah (maksudnya angguk-angguk ke atas dan ke bawah, bukan kepala atas dan kepala bawah. -red). Untuk nama-nama hari, mereka menggunakan nama yang sama seperti kita. Cuma untuk tahu sekarang hari apa, mereka ..umm ..mengingat-ingat.

Pancuran

Karena dipantang untuk menggunakan alat transportasi modern seperti sepeda, mobil, ataupun pesawat terbang; masyarakat Baduy telah terbiasa berjalan kaki (tanpa alas kaki) ke mana pun arah yang dituju. Pak Ralim misalnya, Beliau telah mengunjungi Jakarta beberapa kali dan hapal nama-nama wilayah di Jakarta misalnya Kota dan Mangga Besar (ini adalah contoh nama wilayah di Jakarta, bukan wilayah yang dihapal Pak Ralim. -red). “Lalu berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai Jakarta, Pak?” Beliau menjawab “Tiga hari.” WOW! ketiga dari saya.

Untuk melintasi sungai, kami menggunakan ini.

Bayangkan jika warga Baduy main Twitter, mungkin dia akan ngetweet: “Duh, ga ada listrik nih. Galau gue.”, kemudian saya akan mereply tweet tersebut dengan: “Lu ga ada listrik kok bisa pakai hape?”, sampai akhirnya dia akan meretweetnya dengan: “Pakai tenaga matahari bro RT @arievrahman: Lu ga ada listrik kok bisa pakai hape?”

#ahsudahlah


5. Baduy dan Alam

Pukul empat pagi keesokan harinya, ayam-ayam telah berkokok membangunkan kami. Dan kami pun bergegas bangun pagi tanpa sempat mandi dan membantu Ibu. Di Baduy, ada tiga jenis binatang yang menjadi peliharaan. Yaitu anjing untuk menjaga rumah, kucing sebagai binatang kesayangan, dan ayam untuk bahan makanan. Sementara kambing, menjadi binatang yang haram untuk dimakan. Agenda kami hari itu adalah mengunjungi Pasar Kroya tempat suku Baduy berbelanja di akhir pekan dan Kampung Baduy Luar, di mana kami bisa berjumpa lagi dengan teknologi.

Perjalanan menuju Pasar Kroya melewati sungai yang biasa digunakan warga Baduy untuk mandi, mencuci, juga buang air (kecil, sedang, dan besar). Di Baduy, sabun, syampo, lotion, dan perlengkapan kosmetik lainnya adalah hal yang dilarang untuk digunakan. Sehingga untuk mandi, mereka biasa menggunakan bahan-bahan yang didapat dari alam. Sedihnya, lalu bagaimana kalau mereka mau nyabun atau ngelotion? If you know what I mean. 😦

Ini sungai, no need further explanation.

Pasar Kroya merupakan pasar dadakan yang digelar tiap hari Minggu, di desa Cijahe. Di sini, warga Baduy berinteraksi dengan masyarakat sekitar dengan menggunakan bahasa persatuan, bahasa Sunda. Hal yang umum dilakukan oleh masyarakat Baduy di pasar ini adalah berdagang, mereka membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari dan menjual hasil kerajinan yang dibuat oleh mereka dengan bahan yang diperoleh dari alam (alam sekitar, bukan Alam Mbah Dukun. -red). Dalam 10 tahun mendatang tidak menutup kemungkinan akan dibangun Cijahe Mall, atau Cijahe Trade Centre di sini, sebagai pengganti Pasar Kroya. Who knows?

Dipilih! Dipilih!

Dari Pasar Kroya, kami berjalan kaki lagi menuju Desa Cisadane yang masuk wilayah Baduy Luar. Yang membedakan antara penduduk Baduy Dalam dan Baduy Luar adalah ikat kepala yang digunakannya, jika di Baduy Dalam penduduknya menggunakan ikat kepala berwarna putih (yang lama kelaman secara ajaib akan berubah warna menjadi cokelat muda), maka di Baduy Luar penduduknya menggunakan ikat kepala berwarna hitam atau malah tanpa ikat kepala. Di Baduy Luar, teknologi masih diperkenankan untuk digunakan. Maka kami pun tak segan mengeluarkan kamera untuk mengambil beberapa penampakan di situ. Selain rumah-rumah penduduk yang tersusun rapi, di desa itu juga terdapat banyak leuit atau lumbung tempat masyarakat Baduy menyimpan hasil panennya. Konon, hasil panen yang tersimpan di dalam leuit ini ada yang sudah berumur puluhan tahun. HUWOW!

Rumah-rumah penduduk di Baduy Luar

Leuit – Tempat menyimpan hasil panen

Di perjalanan pulang, saya menemukan jawaban bagaimana Suku Baduy dapat hidup dengan kesederhanaan dan tanpa teknologi modern. Bersatu dengan alam, itulah jawabannya.