Telaga Biru Cisoka. Sebuah ‘objek wisata’ yang pertama kali saya dengar namanya dari Iyoq, melalui sebuah obrolan iseng di WhatsApp. Apabila pada tahun-tahun sebelumnya Iyoq suka berwisata ke tempat yang jauh, maka kali ini dia mengatakan bahwa pandemi ini telah ‘memaksanya’ untuk bepergian ke tempat-tempat wisata yang dekat dengan tempat tinggalnya “Gue kemarin habis dari Kandang Gozilla, dan minggu lalunya lagi habis ke Telaga Biru Cisoka”. Ceritanya dengan semangat, yang diakhiri dengan tertawa a la om-om, wkwkwk.

Saya kurang lebih sependapat dengan Iyoq, teman perjalanan yang saya kenal dalam sebuah perjalanan ke Bhutan dua tahun sebelumnya. Pandemi ini, memang telah mengubah banyak hal, termasuk juga dalam kebiasaan berwisata. Apabila pada tahun-tahun sebelumnya kita dapat dengan mudah bepergian ke mana saja, sekarang ke warung depan komplek saja kita harus memakai masker, mengenakan faceshield, menyemprotkan hand sanitizer, menjaga jarak dengan pengunjung lain, membaca bismillah, dan tak lupa juga mengucapkan salam kepada pemilik warungnya. Tapi tidak masalah, karena semua ini dilakukan demi keamanan dan kenyamanan bersama, termasuk berpahala untuk dua hal terakhir.

Tidak bisa pergi jauh tidak mengapa, kita masih bisa pergi ke lokasi-lokasi yang dekat dengan rumah, asalkan *say the magic words* menerapkan protokol kesehatan, yang ditambah juga dengan beberapa anjuran untuk pergi ke daerah-daerah zona hijau COVID-19, mengutamakan ruang terbuka, dan sebaiknya dilakukan ke tempat-tempat yang sepi pengunjung, supaya tetap dapat menjaga jarak, layaknya Korea Utara dan Korea Selatan yang walaupun berdekatan namun tidak bisa bersatu.

“Lalu enaknya gue ke mana nih, Mas?” Saya lanjut bertanya kepada Iyoq “Mumpung besok agak senggang nih.”

“Kayaknya mendingan ke telaga biru deh, kasihan mobil lu kalau ke Kandang Gozilla.” Jawabnya, sembari mengasihani mobil kecil saya yang sudah hampir lima tahun umurnya tapi belum diganti dengan Tesla. Tesla Kaunang. “Kandang Gozilla masuknya susah, jalannya kecil banget. Telaga masih mending, jalannya.”.

Dua Cara Menuju Telaga Biru Cisoka

“Pokoknya, lu lurus aja ke arah Serang, nanti ada pertigaan gede, baru lu belok kiri.” Adalah instruksi terakhir yang saya dapatkan dari Iyoq, yang memang tidak membantu. Mirip dengan bertanya arah di Jogja, “Pokoknya kalau mau ke Malioboro, kamu ke utara dulu, ada pertigaan belok ke timur, lalu belok ke selatan, sebelum ke barat mencari kitab suci.”

Tol Balaraja Merak

Untungnya, ada teknologi yang bernama Google Maps di zaman sekarang, sehingga saya dapat mengecek rute mana yang paling nyaman untuk ditempuh apabila ingin menuju Telaga Biru Cisoka. Saat itu, ada dua cara yang dapat dipilih:

  1. Keluar di Gerbang Tol Balaraja Timur, kemudian menyusuri Balaraja, sebelum menuju Jalan Raya Serang. Rute ini sepertinya lebih panjang, namun lebih nyaman apabila dipilih para pengguna kendaraan pribadi karena tidak banyak truk yang keluar di gerbang tol ini.
  2. Keluar di Gerbang Tol Balaraja Barat, dan langsung menemui Jalan Raya Serang. Rute ini sekilas lebih pendek, namun kita akan beradu dengan truk-truk yang akan keluar bersamaan di sana.

Saya, tentu saja memilih yang panjang. Perjalanannya, bukan ukuran yang lainnya. Demi menambah keseruan perjalanan, saya juga mengajak Galang untuk ikut serta dalan ekspedisi mencari Telaga Biru Cisoka ini.

Sejenak Berhenti di McDonald’s Balaraja Timur

“Lu gak lapar, bray?” Sapa Galang begitu saya mempersilakannya masuk ke dalam mobil “Assalamualaikum!” Orang di mana-mana itu masuk mobil salam dulu, baru basa-basi, ini malah tanya kondisi perut dahulu. Bagi yang belum kenal, mungkin hal ini akan terdengar tidak sopan, namun bagi saya yang sudah sepuluh tahun berteman, obrolan straight to the point seperti ini adalah hal yang biasa dan cenderung lumrah.

“Belum juga jalan, sudah lapar saja, lu!” Jawab saya, sambil memutar balik mobil untuk kemudian memasuki jalan tol Jakarta – Merak, untuk kemudian menuju Cisoka via Gerbang Tol Balaraja Timur “Nanti kita cari tempat makan deh, habis keluar tol. Kebetulan gue juga pengin pipis.”

Empat puluh menit kemudian, kami sudah keluar tol Balaraja Timur dan langsung menemukan logo M besar berwarna kuning yang bukan merupakan logo KFC, tepat di depan gerbang sebuah perumahan bernama TALAGA BESTARI, yang kemungkinan tidak ada hubungannya dengan Dinda Bestari. Sejurus kemudian, kami sudah sibuk masing-masing, Galang sibuk memesan makanan, saya sibuk mencari toilet di McDonald’s Balaraja Timur itu.

Kami memilih untuk duduk di luar restoran hari itu, karena sirkulasi udaranya lebih enak, dan supaya tidak bercampur dengan banyak orang di dalam restoran. Sembari menyantap pesanan –Galang memesan seporsi nasi dengan dua potong ayam sementara saya memesan es krim beserta segelas lemon tea, dan beristirahat, saya memperhatikan lingkungan sekitar.

Jalanan aspal halus menuju lokasi perumahan Talaga Bestari, dengan pohon-pohon rindang yang menyelimuti lingkungan tersebut, sungguhlah terasa meneduhkan layaknya ceramah Quraish Shihab. Menatap jalanan mulus dan lebar, pohon-pohon rindang, tidak ramai pedagang kaki lima, membuat jiwa sporty saya sontak ingin berkata.

“Kayaknya kok enak buat jogging di sini!”

Talaga Bestari Balaraja

“Iya, adem ya lingkungannya.” Galang menambahkan begitu dia menyelesaikan sepotong ayam pertamanya, dada kiri bagian atas. “Lu yakin gak mau ayam?” Saya menggeleng, dan detik berikutnya sepotong sayap crispy berlumur saus asam manis sudah berada di tangan Galang.

“Bray, habis makan kita keliling sini bentar yuk!” Saya melempar ide, yang kemudian dijawab dengan jawaban khas cewek-cewek ketika sedang mengambek “Terserah”.

Penasaran dengan Perumahan Talaga Bestari

Jalan aspal yang menjadi bulevar Perumahan Talaga Bestari ternyata cukup panjang, mungkin sekitar 2 kilometer hingga ujung jalan yang merupakan sebuah minimarket, ya sebut saja namanya Indomaret. Sebelumnya, saya pikir jalanan mulus hanya di depan perumahan saja untuk window dressing seperti bangunan propaganda di Korea Utara yang depannya mengkilap ternyata dalamnya kumuh, namun ternyata pendapat saya salah, karena jalanan yang menjadi pintu masuk perumahan ini mulus dari ujung ke ujung! Tidak ada yang berlubang seperti jalanan di Tanjung Priok, pun tidak menyempit seperti pikiran orang yang kurang jalan-jalan. Pepohonan juga rindang memayungi bulevar, tidak panas seperti di bulevar Bintaro. Ehem.

“Lumayan juga kalau dapat satu putaran lari di sini, bisa lima kilo sendiri, cocok buat jogging!”

Yang membuat perjalanan singkat tersebut menarik adalah terdapatnya banyak sekali fasilitas perumahan yang kami lalui sepanjang bulevar, mulai dari sarana pendidikan anak di sekolah Al Azhar Syifa Budi dan One Two Three Montessori, sarana olahraga di Club Talaga Bestari, dan sarana jajan di Arena Jajan Talaga Bestari. Tak jauh dari sana juga ada Training Center Lion Air, juga sebuah bulevar lama yang di pinggirannya terdapat banyak sekali toko-toko dan penyedia jasa sehari-hari. Mulai dari toko kelontong, laundry, penjual makanan minuman serta buah-buahan, jasa potong rambut dan salon, hingga optik dan apotek pun tersedia.

Pada satu titik, saya berhenti sejenak dan bergumam, sepertinya seru juga kalau punya rumah di sini, anak-anak bisa sekolah dekat sini, ibunya bisa olahraga, dan bapaknya bisa nongkrong di depan Training Center Lion Air. Cocok!

Sekilas, Perumahan Talaga Bestari ini seperti sebuah kawasan permukiman eksklusif, dengan beberapa klaster penunjang di kanan kirinya dan beragam fasilitas umum yang dapat dinikmati oleh penghuni perumahan tanpa perlu jauh-jauh lagi mencari di Jakarta, Tangerang, atau Bekasi. Berdasarkan hasil penelusuran, saya mendapati bahwa sejatinya masterplan perumahan ini sudah ada sejak tahun 1995, ketika PT Intiland Development (Intiland) mengembangkan Perumahan Talaga Bestari di Balaraja Kabupaten Tengerang untuk tahap pertama dengan menempati area seluas 270 hektar, yang dirancang guna memenuhi kebutuhan perumahan pada segmen menengah ke atas.

Saya sempat berandai-andai, apabila masih ada rumah kosong ataupun kawasan perumahan di area Talaga Bestari yang akan dibangun lagi, sepertinya menarik juga untuk mengetahui harga dan penawarannya, kalau masih ada.

Sebuah pengandaian yang langsung dijawab oleh sebuah spanduk di lahan kosong bertuliskan Lake View Park: Coming Soon, yang terletak di samping klaster perumahan elit The Forest. Pada spanduk tersebut terpampang foto sebuah keluarga kecil dengan satu anak sedang berjalan-jalan di taman nan hijau, yang kemudian membuat saya makin berpikir “HMM, APAKAH INI SEBUAH PERTANDA YA ALLAH?”

DUO di Talaga Bestari

Demi menjawab rasa penasaran, kami menyempatkan diri untuk mampir ke Marketing Office Perumahan Talaga Bestari yang terletak di muka perumahan, menjadi satu dengan Club Talaga Bestari yang juga merupakan sentra kuliner serta titik penjemputan shuttle bus ke wilayah Tangerang Kota dan Karawaci. Di sana, kami bertemu dengan Mbak Wanda yang menjelaskan dengan sabar perihal pertanyaan kami seputar Talaga Bestari.

Pada awalnya Mbak Wanda bercerita sejarah Telaga Bestari, bahwa 90% rumah yang ada di sini adalah untuk dihuni sendiri –bukan disewakan, bahkan ada banyak yang sudah menghuni rumah selama 20 tahun lebih, serta beberapa kemudahan yang didapat penghuni di sini. Hingga kemudian, obrolan mulai menjurus ke sesuatu yang menarik dan menggugah minat, yaitu adanya proyek baru yang sedang dikembangkan oleh Talaga Bestari.

Marketing Office Talaga Bestari

“Jadi, lahan kosong yang ada di samping The Forest itu, rencananya akan dikembangkan dan dibuat perumahan baru untuk segmen keluarga muda yang ingin mencari hunian pertama.” Mbak Wanda mulai bercerita, sebuah pembuka yang sekaligus menjawab pertanyaan saya sebelumnya. “Namanya DUO, sebuah kawasan hunian yang dikembangkan oleh Intiland dan Quanta Land dengan konsep Double All yaitu sebuah rumah hunian dengan dua fasad, dua carport, dua taman pada satu unit dan dengan dua clubhouse di perumahannya.”

Hmm, konsep double all, apakah ini berarti rumah yang cocok apabila beristri dua? Sebuah pertanyaan di dalam hati yang akhirnya termentahkan dengan bisikan bahwa kalau beristri dua maka akan bermertuakan empat orang, hal yang tidak ingin saya alami di dunia ini. Sekadar informasi, Intiland adalah pengembang besar yang telah mendapatkan banyak penghargaan atas karyanya di dunia properti, sementara Quanta Land adalah sebuah nama besar yang telah memiliki 30 tahun pengalaman di bidang real estate yang berlokasi di delapan kota internasional.

“Untuk fasilitasnya sendiri, seperti yang dilihat pada area Talaga Bestari pada umumnya, DUO juga memiliki area hijau yang luas berupa taman yang dipenuhi pepohonan agar menghasilkan udara yang baik serta danau sebagai tempat berkumpul dan bersantai bersama keluarga.” Jelas wanita yang pada hari itu mengenakan baju kuning tanpa adanya logo Golkar ini “Kita konsepnya outdoor nanti, dengan total 66 hektar, yang 17 hektar adalah lahan hijau. Selain itu, di dalam klaster juga akan terdapat taman linear di belakang rumah yang akan menghubungkan setiap rumah untuk meningkatkan keharmonisan antar penghuni.”

DHEG! Jiwa outdoor saya semakin bergejolak. Ingin rasanya tinggal di lokasi hunian yang bisa hidup selaras dengan alam.

Talaga Bestari

“Kalau masalah keamanan dan kriminalitas di sini bagaimana, Mbak?” Well, mengingat banyak sekali berita pencurian tanaman dan pembegalan sepeda akhir-akhir ini, pertanyaan tersebut rasanya wajar untuk ditanyakan. Belum lagi kalau mau usaha benih lobster, kan. “Aman gak sih di sini?”

“Dari dulu sih saya gak pernah dengar berita-berita yang gak aman di sini.” Jawabnya. “Nantinya, keseluruhan lingkungan akan dijaga 24 jam oleh petugas keamanan dan terpantau CCTV untuk memberikan rasa aman bagi penghuni yang tinggal di dalamnya.”

Hmm, sepertinya kok semakin menarik. Keamanan adalah hal paling penting di masa sekarang ini, selain kekayaan tentu saja.

Duo by Talaga Bestari

“Kalau ngomongin fasilitas, nantinya akan ada apa saja di sini, Mbak?”

“Pertanyaan yang bagus!” Selayaknya mbak-mbak Pizza Hut sedang memuji pelanggan yang sedang memesan menu, Mbak Wanda semakin antusias bercerita “Bagian depan perumahan, yang tadinya lokasi Marketing Office, nantinya akan dikembangkan menjadi area komersial, dengan supermarket, bioskop dan juga shopping mall. Kemudian untuk olahraga, akan ada clubhouse di dalam DUO dengan kolam renang dan gym, lalu akan ada mini basketball field di tiap sudut, serta sebuah jogging track ada di Central Garden seluas 1,3 hektar dengan panjang trek 1,4 kilometer.”

Wah, benar-benar sebuah konsep hunian yang nantinya akan membuat penghuninya betah dan malas ke mana-mana ini, mah! “Untuk sekolah juga kita ada banyak pilihan di dekat perumahan, untuk rumah sakit juga dekat, ada Ciputra Hospital, Siloam, hingga RSUD Balaraja. Saat ini, kita sedang mengembangkan kota mandiri di wilayah Tangerang Barat. Ya seperti BSD dan Alam Sutera di Tangerang Selatan, gitu.” 

Menarik juga, kalau sudah jadi kota mandiri pasti akan banyak sekali kemudahan yang didapat penghuninya, “Kemudian untuk akses transportasi ke DUO, apa saja yang ada?”

“Untuk saat ini, DUO paling gampang diakses melalui jalan tol Jakarta – Merak via Gerbang Tol Balaraja Timur, hanya 20 menit dari Serpong, dan 30 menit dari Tomang, Jakarta Barat. Ke depannya, akan ada tambahan dua ruas tol baru yang saat ini masih dalam tahap pembangunan, yaitu ruas tol Serpong – Balaraja, dan Balaraja – Soekarno Hatta.” Akses ke bandara, adalah salah satu pertimbangan saya dalam memilih rumah tinggal, selain akses yang lainnya “Saat ini, kami juga ada shuttle bus tiap satu jam yang melayani rute Tangerang Kota dan Karawaci, serta sedang menunggu selesainya proses pembangunan sarana MRT Cikarang – Balaraja.”

Mobil pribadi, bisa lewat tol. Akses bandara, akan ada. Shuttle bus, tersedia. Kereta, sedang dibangun jalurnya. Berarti, saatnya masuk ke pertanyaan inti “Kalau untuk tipe rumah DUO nanti, akan ada apa saja, Mbak?”

“Secara garis besar, akan ada dua tipe standar yang dirilis ke pasaran, yaitu Tipe A dengan tiga kamar tidur luas tanah 50m² dan luas bengunan 65 m² serta Tipe B dengan empat kamar tidur luas tanah 55 m² dan luas bangunan 84 m².” Jelasnya. “Semuanya akan memiliki dua fasad, atau dua muka bangunan, dan juga sebuah garasi yang dapat ditempati oleh dua buah mobil. Hunian di sini juga tidak sumpek, dua klaster yang dikembangkan di awal memiliki total rumah sebanyak 400 unit, sementara di tempat lain, satu klaster bisa diisi oleh 400 rumah sendiri.”

Lalu, lalu, apa lagi yang menarik?

“Selain nantinya akan menggunakan underground fiber optic supaya kabel tidak berseliweran dan mengganggu pemandangan, rumah-rumah di sini juga dilengkapi dengan private utility area dan extendable vertical roof deck –atau area tambahan di lantai teratas yang dapat digunakan untuk bersantai bersama keluarga, bercocok tanam secara hidroponik, hingga menjemur pakaian, lalu ada juga private back green yard –taman hijau di belakang rumah untuk area bermain anak, kemudian ada juga kamar di lantai dasar, yang bisa dipakai untuk mini office, entertainment room atau biasanya dipergunakan untuk mereka para penyedia DP.”

“Maksudnya, Mbak?”

“Iya untuk orang tua, yang biasanya membayarkan DP untuk rumah anaknya, xixixi.

Xixixi.” Saya terpancing untuk tertawa a la bapack-bapack. “Omong-omong DP, apakah sudah ada estimasi harga dan DP-nya, Mbak?”

“Untuk, harga, kita start di 700 jutaan untuk tipe A yang standar.” Imbuhnya, seraya memberikan tabel simulasi harga dan KPR ke kami. “Kayaknya, untuk harga 700 jutaan dan bisa dapat rumah tiga kamar dengan carport yang muat untuk dua mobil, cuma kita saja deh Sejabodetabek.”

Saya memperhatikan tabel yang diberikan dengan baik dan perhitungan sebelum membatin “DP hanya 10% dan bisa dicicil 14x, lalu KPR bisa hingga 20 tahun. Ini mah lumayan masuk harganya untuk keluarga muda seperti *ehem* saya.”

“Selain itu, bisa dapat tambahan diskon lagi, hingga 20 juta, kalau memesan menggunakan NUP (Nomor Urut Pemesanan) Prioritas!” Loh, kok makin-makin murah lagi ini? “Setelah masuk pembayaran untuk DP, baru rumah akan mulai dibangun dengan estimasi pembangunan selama 18 bulan.”

“MBAK, INI RUMAHNYA SUDAH BISA DIBELI BELUM SIH? KOK MENARIK BANGET!”

“Sabar Mas. Kita saat ini baru tahap persiapan launching dan grand opening di tanggal 14 Januari 2021 nanti, dan baru bisa pilih unit di tanggal 21 Januari 2021.”

Kalau benar-benar tertarik, kamu dapat langsung menghubungi Sales Team DUO di Talaga Bestari pada nomor telepon berikut ini: 0858-8063-6368 dan dapatkan penawaran menariknya! Ingat, Hari Senin harga naik, kalau naik.
DUO SITEPLAN

“Oh, baiklah kalau begitu, Mbak, aku tunggu info selanjutnya, ya.” Pungkas saya, mencoba mengakhiri pertemuan siang itu. “Oh iya, aku boleh minta brosurnya, Mbak? Buat dipelajari dan dibaca-baca lagi.”

“Aku kirimkan yang bentuk pdf ya, Mas? Boleh minta nomor WhatsApp-nya?” Alhamdulillah, dapat juga nomor WhatsApp Mbak Wanda. Xixixi. Siang itu menjadi makin berwarna setelah saya mendapatkan informasi menarik tentang sebuah hunian idaman di Balaraja sekaligus karena adanya perkenalan dengan Mbak Wanda.

Dari Talaga Bestari Balaraja ke Telaga Biru Cisoka

Perjalanan siang itu berlanjut dengan membawa cerita dari Balaraja untuk diperbincangkan di sepanjang perjalanan menuju Cisoka, melalui Jalan Raya Serang, jalanan yang disebutkan oleh Iyoq sebelumnya. Galang yang merupakan pengantin junior, berdiskusi dengan saya yang merupakan seniornya dalam masalah pernikahan, kali ini seputar hunian idaman.

“Kayaknya gue dua-tiga tahun lagi mau pindah rumah deh.” Galang membuka percakapan. “Pengin cari yang lebih nyaman, dan rumah sendiri.”

Saya yang sudah dua tahun mengontrak dan seringkali terpikir untuk punya rumah sendiri pun menimpali “Iya, gue juga pengin sih. Tapi duitnya belum ada.” Memang, masalah mengontrak versus membeli rumah ini adalah sebuah problematika yang kerap dihadapi pasangan suami istri di Indonesia, dan di manapun sepertinya. “Kalau DUO di Talaga Bestari tadi bagaimana?”

“Harganya masuk budget sih, tapi … ” Galang menghentikan kata-katanya, lalu melihat ponselnya beberapa kali. “...BELOK KIRI ANJIR!

HEH APAAN?” Saya panik, dari membincangkan harga, tahu-tahu berubah menjadi arah. 

“Belokan ke Cisokanya terlewat. Harusnya tadi kita belok kiri.” Dia mengumpat dalam bahasa binatang “Gara-gara elu sih ajak ngobrol. Putar balik gih di depan!”

TAPI TADI APA ANJIR?” Kali ini giliran saya yang mengumpat, penasaran. Obrolan belum selesai, sudah terpotong gara-gara Galang lalai melihat arah di ponsel. “Tadi yang perihal beli rumah tapi lu belum selesai ngomong.”

  “Oh, tapi lihat kata bini gue dulu deh, hahaha.” Ternyata masuk Ikatan Suami Takut Istri juga dia.

Dari Jalan Raya Serang yang kadang ramai dengan truk yang menuju Merak, dan sesekali sepi karena truknya sedang social distancing, kami berbelok ke kiri, menuju jalan Kabupaten yang lebih sempit, mengikuti panduan Google Maps, yang lebih terpercaya dari Iyoq. Berikutnya, panduan mengarahkan kami untuk berbelok ke arah jalan perkampungan, melewati SMP 1 Cisoka, yang semoga bukan satu-satunya.

“Lu yakin ke sini arahnya?” Kali ini saya fokus membicarakan arah kepada Galang, supaya pikiran kotornya tidak terdistraksi “Kok tidak ada tanda-tanda keramaian?”

“Ini kata petanya ke sini!” Wah, sudah kayak Dora dia, percaya sama peta, baiklah. Tak berapa lama, semilir angin yang menyibak ilalang tinggi menyambut kami dengan pemandangan danau atau telaga di baliknya. Warna airnya keruh, tidak berwarna biru –atau toska seperti yang banyak dikatakan orang. Apa iya kami berada di jalan yang benar? Bagaimana kalau ini ternyata adalah jalan menuju kegelapan?

Dua kilometer sesudahnya, sepasang bocah kecil dengan rambut yang terbakar matahari mendekati mobil, dan meminta kami untuk berhenti.

Telaga Biru Ini Ramai Kalau Hari Minggu

“Bang, tiketnya, Bang.” Si bocah berbaju hijau berkata ketika saya menurunkan kaca mobil, sementara kaki tangannya –bocah lain yang lebih kecil dan mengenakan kaus hitam, menyodorkan selembar tiket kepada saya. “Untuk masuk ke Danau Biru.”

Saya membaca ‘tiket’ yang disodorkan kepada saya, pada selembar kertas buram dengan tinta berwarna biru tersebut tertulis ‘KARCIS MASUK WISATA DANAU BIRU: Rp. 12.000,- /MOBIL’. Sambil iseng, saya masih bertanya khas konsumen Indonesia yang walaupun sudah tertera harganya, namun masih saja bertanya terus “Berapa?”

“Dua belas ribu, Bang.” Jawabnya. Seru juga, di sini tiket masuk dihargai per mobil, bukan per orang. Kalau begini cara hitungnya, lain kali saya akan ke sini sambil membawa truk peti kemas yang mengangkut ratusan pengungsi Rohingya untuk berwisata. Murah meriah! Usai membayar (tanpa sempat memberikan revisi gramatikal perkara kesalahan penulisan Rupiah pada tiket) dengan uang pas karena di sini ternyata tidak melayani pembayaran secara cashless, saya melewati gerbang masuk talaga biru yang bertuliskan “SELAMAT DATANG DI OBJEK WISATA DANAU BIRU CIGARU CISOKA TANGERANG”.

Oh ternyata Cigaru Cigaru itulah namanya.

Telaga Biru Cisoka

Ada dua lahan parkir utama di talaga biru ini, yang pertama adalah lahan pertama yang terdapat di sisi kanan jalan tepat setelah kamu melewati gerbang, sementara sisanya berada seratus meter setelahnya, juga di kanan jalan. Saya memilih yang lebih jauh, supaya pahalanya banyak.

Setelah memarkir mobil di bawah sebuah kanopi sederhana yang disediakan di sana, saya segera bergerak ke arah danau yang berada di belakang kanopi tersebut. Sebuah danau yang kali ini airnya berwarna biru bercampur hijau, atau sebut saja toska, yang berkilau keemasan tertimpa cahaya matahari pukul dua siang.

Namun yang langsung menarik perhatian saya bukanlah danau tersebut, melainkan sebuah warung sederhana dengan beberapa meja luas yang dapat dijadikan sarana lesehan. Tempat di mana saya bergerak secara naluriah untuk mendekati ibu pemilik warung yang saat itu sedang mendengarkan the music of my country, dangdut, melalui speaker aktifnya yang cempreng, seraya berkata “INDOMIE GORENG SATU BU, PAKAI TELUR, PAKAI SAYUR.”

“Sepi Bu, sekarang?” Saya berbasa-basi sambil melihat keadaan sekitar. Hanya segelintir pengunjung yang datang, dan sedikit pula yang mengenakan masker. Mungkin corona tidak masuk ke Cisoka, karena jalannya jauh dan sempit.

Saat itu dua orang pemuda masuk ke warung dan memesan minuman sembari beristirahat setelah sebelumnya menikmati telaga sambil bersantai di atas rakit yang bisa digerakkan secara horizontal dengan tali yang menghubungkan antar tepian danau. “Iya, di sini ramainya hari Minggu.” Tambahnya. “Kalau hari biasa ya seperti ini.”

Setelah membayar, saya bersama Galang mulai menjelajah Telaga Biru Cisoka, dari warung, kami bergerak ke kanan, menyusuri tepian telaga satu, ke telaga yang lainnya, sambil sesekali berhenti untuk berfoto. “Untuk konten Instagram, bray.” Saya beralasan karena belum mulai belajar TikTok.

Lalu, bagaimana awal mula adanya telaga biru ini? Bukan, ini bukan karena Desy Ratnasari tak sengaja lewat depan rumahmu lalu melihat ada telaga biru yang dihiasi indahnya ilalang kuning, melainkan karena hal di bawah ini.

Berdasarkan penelusuran lebih lanjut, saya mengetahui bahwa telaga ini dulunya adalah bekas galian pasir selama kurun waktu 1999-2005 yang kemudian ditinggalkan dan tidak diurus. Seiring berjalannya waktu, lubang bekas galian ini menjadi terisi air hingga akhirnya menjadi tiga buah telaga yang letaknya berdekatan satu sama lain, walaupun tidak pernah sampai jadian. Anehnya, air yang memenuhi telaga ini lambat laun berubah menjadi biru, yang konon karena larutnya partikel yang mengendap pada tanah bekas galian yang kemudian mengubah warna airnya menjadi seperti sekarang ini.

Ya untungnya dulu ini bekas galian pasir, coba kalau galian piramid, mungkin di dalamnya akan ditemukan Raja Firaun beserta para pengikutnya.

Lokasi ini mulai dijadikan objek wisata pada tahun 2015, dan bisa menampung ratusan pengunjung pada akhir pekan. Overall, menurut saya lokasi ini cocok untuk dijadikan short getaway dari bisingnya kehidupan kota, dengan bersantai pada gundukan bukit pasir yang mengeras di pinggiran telaga, sambil memandangi perairan biru yang tenang namun tidak menghanyutkan di hadapan.

Telaga Biru Cisoka

Kurang lebih satu jam saya menjelajah tiga buah danau yang ada bersama dengan Galang walaupun menemukan sebuah kejanggalan ketika dari ketiga danau ini, ternyata ada satu danau yang berwarna cokelat keruh, bukan biru. Sebuah kejanggalan yang akhirnya saya dapatkan jawabannya di akhir perjalanan, ketika bertemu dengan Bapak Encop, Ketua RT setempat yang juga pemilik kanopi tempat saya menitipkan mobil di sana.

“Karena hal mistis pak?” Saya menembak, karena penasaran.

“Bukan, di sini tidak ada yang mistis.” Jawabnya. “Dahulu di sini semua airnya biru, namun karena danau tersebut dulunya dibuat kolam ikan dan diberikan pelet secara terus menerus, maka airnya lama-lama menjadi keruh dan cokelat.” Pelet di sini berarti pakan ikan, bukan pelet untuk mendapatkan dirimu.

“Oh syukurlah kalau begitu, nuhun Pak!”

Tepat pukul empat sore, kami pulang kembali ke arah selatan Jakarta, kali ini lewat tol Balaraja Barat. Niatnya mencoba jalan yang berbeda, namun malah terkena macet imbas antrean truk-truk dan mobil boks yang ingin masuk ke tol Jakarta-Merak sore itu. Hampir mengeluh, namun saya mencoba tetap berpikir positif setelah membaca sebuah kutipan tulisan di pantat mobil boks di depan kami.

CUKUP AKU YANG PAKAI MASKER, KAMU CUKUP DI RUMAH AJA PAKAI DASTER.

Sebuah kutipan yang dapat membuat semangat sore ini, karena ada orang-orang tersayang dan tersanjung yang menunggu di rumah. Karena untuk siapa kita kerja kalau bukan untuk mereka? Ya tentunya untuk diri sendiri dong, dan mungkin untuk sebuah rumah di DUO di Talaga Bestari Balaraja.

Dari Gerbang Tol Balaraja Timur, kami menempuh perjalanan ke interchange Tol Lingkar Luar Jakarta selama dua puluh lima menit, atau lima – sepuluh menit kemudian untuk mencapai Tomang, Jakarta Barat.

“Lah inilah sama saja kayak gue berangkat dari Bintaro, Bray, waktu tempuhnya.” Saya menceplos sambil kembali terpikir akan penawaran menarik DUO di Talaga Bestari Balaraja “Harga sepertiganya Bintaro, namun waktu tempuh ke kantor di Jakarta Pusat sama saja.”

Sebuah penawaran hunian yang sangat menarik!