Delapan tahun lalu, saya berkenalan dengan seorang wanita pada sebuah acara launching buku yang saya tulis bersama dengan teman-teman, di mana perkenalan tersebut hanya berlangsung ala kadarnya, tidak sempat bertukar nomor telepon ataupun PIN BB, melainkan hanya saling mengetahui nama saja –yang tentu saja saya langsung lupakan beberapa hari setelahnya. Maklum, Aquarius.

Tiga tahun setelahnya, kami bertemu lagi, melalui sebuah pertemuan yang singkat namun cukup berkesan, karena kami jadi lebih sering mengobrol setelah pertemuan tersebut, di mana saya sudah tidak lupa nama lagi. Tak lama, kami berpacaran, dan memutuskan untuk menikah di tahun berikutnya. Ketika berpacaran, saya baru ingat bahwa wanita yang saya pacari adalah wanita yang sama, yang saya temui ketika acara launching buku tersebut.

Apakah pertemuan saya dengan wanita tersebut adalah sebuah kebetulan? Ataukah sebuah rangkaian dari perjalanan hidup yang memang sudah dituliskan oleh-Nya? Bagaimana kalau ternyata tidak ada yang namanya kebetulan, karena semua-mua-mua yang terjadi di dunia ini sudah diatur oleh Tuhan?

Because, maybe, everything happens for a reason.

Candi Gedong Songo

Pada saat artikel ini ditulis, saya sudah hidup berumah tangga bersama wanita yang saya ceritakan di atas tersebut selama empat tahun, dan dikaruniai seorang anak yang lucu seperti bapaknya. Mungkin pertemuan di awal yang dikatakan kebetulan, bukanlah merupakan kebetulan, karena merupakan sebuah kepingan puzzle dari cerita perjalanan hidup saya yang sudah digariskan Tuhan.

Sama halnya seperti cerita tentang mengapa keluarga kecil kami (saya, istri, anak, dan Mama) bisa berkumpul bersama semasa pandemi ini, yang saya rasa bukan merupakan sebuah kebetulan.


Saat ini, sudah hampir dua bulan kami tinggal bersama di Bintaro, dan merupakan masa-masa terlama Mama tinggal bersama kami. Sebelumnya, maksimal paling hanya satu bulan di sini, sebelum kembali lagi ke Ungaran, untuk mengurus rumah kami yang berada di sana. Namun pandemi corona yang berlangsung saat ini, membuatnya tidak dapat kembali ke rumah, dan tidak dapat berkumpul bersama ibu –nenek saya, yang saat ini tinggal sendiri di Pati.

Aduh, aku ora iso mulih iki.” Gerutu Mama, setelah sebulan berada di Bintaro. Aduh, aku tidak bisa pulang ke Ungaran, ujarnya. “Ibu juga njaluk ditiliki, mesakke ning omah dewekan.” Ibu juga minta dijenguk, kasihan di rumah sendirian, tambahnya.

Yakin, Mama berani pulang? Nanti kalau sudah di sana lalu dikarantina di Kelurahan bagaimana? Sama saja kan tidak bisa ke mana-mana. Lalu di sana pun di rumah sendirian, mending di sini kan bersama anak cucu? Nanti, Ibu diberikan pengertian saja supaya tetap jaga kesehatan dan tetap sabar menanti pandemi ini berakhir, sebelum anak-anaknya datang menjenguk, soalnya Pati kan sudah masuk zona merah sejak ada kasus si bapak politikus itu. Kira-kira demikianlah yang saya sampaikan kepada Mama, tentunya dalam bahasa Jawa. Ngoko alus, bukan kromo inggil.

“LALU MOBILKU GIMANA, GAK ADA YANG MANASIN INI!”

Oh tenang … kan ada…

Ada tetangga samping rumah yang bisa diminta pertolongan, maksudnya. Beruntung, kami tinggal di perumahan kecil sejak akhir tahun ’80an di mana semua penghuninya sudah akrab satu sama lain, sehingga kami bisa memercayakan tetangga untuk membantu merawat rumah dan isinya.

“TAPI AKU BOSAN DI RUMAH TERUS!”

Ya sudah kita ke Giant yuk. Sebuah hal yang wajar, mengingat bahwa saat ini kita hidup pada masa di mana jogging di seputar rumah dan belanja kebutuhan sehari-hari di supermarket adalah sebuah hiburan mewah, setara dengan paket bulan madu ke Maldives di masa normal.

Lalu, apakah keadaan kami yang bisa bersama di Bintaro saat ini adalah sebuah kebetulan?

Satu Setengah Bulan Sebelumnya

“Your attention please, passengers of Lion Air on flight number JT503 to Jakarta please boarding from gate 3A, Thank you.” Lion Air JT 503, nama pesawat yang akan kami tumpangi –keluarga kelas menengah yang akan terbang ke Jakarta setelah menghabiskan beberapa hari di kampung, Ungaran, sudah bergema dipanggil di ruang tunggu Bandar Udara Internasional Achmad Yani Semarang. Walaupun sudah diumumkan adanya kasus corona pertama di Indonesia, namun kondisi bandara masih cukup normal hari itu, walaupun terlihat lebih sepi, namun hanya sebagian kecil pengunjung yang mengenakan masker, sementara pemeriksaan lainnya hanyalah sebatas menembakkan thermo gun ke jidat, yang entah akurat atau tidak hasilnya.

Mendengar panggilan tersebut, kami bergegas bergerak ke pintu keberangkatan. Saya menyeret koper dan menggendong Prabu Panerus Kabecikan di pundak, posisi favoritnya setengah tahun belakangan. Di samping saya, ada Neng yang membawa tas ransel berisi semua perlengkapan bayi, serta ada Mama di belakang kami yang juga sibuk dengan tas punggung dan tentengannya, sebuah kardus berisi empat kilogram buah manggis, tentengan yang sangat Indonesia sekali.

“Kok cuma sedikit bawaanya, Ma?” Saya bertanya, penasaran. Memang, Mama sudah mempunyai satu bilik lemari di Bintaro yang digunakannya untuk menyimpan beberapa pakaian dan perlengkapan esensial yang akan digunakannya ketika menginap, namun sepertinya tidak terlalu banyak. Apabila dibandingkan dengan isi lemari Nagita Slavina.

“Iya, kan paling hanya 2-3 minggu saja di Jakarta.” Jawabnya. “Habis itu aku mau ke tempat Ibu. Sudah janji, sebelum puasa mau ke sana.”

Saat itu, kami tak menyangka bahwa Mama akan tinggal lebih lama di Bintaro, melebihi kebiasaannya tinggal di sini, yang maksimal hanyalah satu bulan saja.

Prabu Panerus Kabecikan

Memang, sejak kehamilan Neng yang dilanjutkan dengan kelahiran Prabu Panerus Kabecikan, saya sangatlah jarang pulang kampung. Mungkin terakhir kali saya pulang kampung adalah dua tahun lalu, yang hanya selama dua hari di rumah. Beruntungnya, kemarin saya sempat menghabiskan waktu selama empat hari di Ungaran, yang praktis menjadi rekor waktu terlama saya pulang kampung di luar hari lebaran dan hari ketika acara downloading-in-law (mengunduh menantu) diadakan.

Empat hari di Ungaran, yang diakhiri dengan mengajak Mama untuk main ke Bintaro, sebuah pengalaman baru di mana ini juga baru pertama kalinya kami berempat naik pesawat bersama.

Lalu, apakah waktu empat hari yang saya dapatkan di Ungaran tersebut adalah sebuah kebetulan?

Satu Minggu Sebelumnya

Saya terduduk sendirian dalam taksi yang bergerak dari bandara ke Bintaro, dengan pemandangan lampu-lampu Jakarta yang menerangi malam. Saat itu, entah mengapa, sebuah perasaan aneh tiba-tiba berkecamuk di dalam dada. Sebuah perasaan yang seakan memanggil saya untuk segera pulang, sebuah perasaan yang pernah menghampiri saya beberapa saat sebelum Papa berpulang meninggalkan dunia ini.

“Memangnya, mau pulang ke mana, Pak?” Suara sopir taksi memecahkan lamunan saya.

Saya terhenyak. “Ungaran, Pak.”

“Hah?”

“Maaf, maksud saya Bintaro.”.

“Oh, baik, tolong diarahkan ya Pak.”

Saat itu, saya baru saja pulang dari Bali, usai menemani rombongan Indigo Trip Whatravel berkelana menyusuri tempat-tempat yang dikenal angker dan keramat di Bali. Tapi masa iya saya harus pulang ke Ungaran sih? Kan nanti lebaran juga pulang ke sana, karena sudah jadwalnya ke Ungaran dan Pati, setelah lebaran sebelumnya berkunjung ke rumah mertua di Bandung.

Pertanyaan dan perasaan yang terus berulang selama beberapa hari kemudian, yang membuat saya harus segera mengambil keputusan untuk segera pulang kampung ke Ungaran.

“Ada acara apa di Ungaran?” Neng bertanya.

“Entahlah.” Saya mengangkat kedua bahu. Kiri dan kanan, bukan bahu saya dan bahu Neng. “Aku masih belum tahu akan ada apa di Ungaran, pokoknya ingin pulang kampung saja.”.

Tiga hari kemudian, saya sudah berada dalam pesawat yang akan membawa kami terbang ke Semarang, Batik Air ID 6352, sebelum bertemu dengan Mama yang menjemput dengan riang di bandara. Riang karena itulah saat pertama Prabu Panerus Kabecikan menginjakkan kakinya di Jawa Tengah, tempat awal mula leluhurnya berasal.

Rindu. Mungkin itulah asal panggilan itu. Rindu kampung halaman, rindu nyekar ke makam Papa, dan rindu dengan berbagai hal yang ada di Ungaran. Selama empat hari di sana, saya menyempatkan diri untuk melakukan berbagai hal yang sudah lama tidak saya lakukan. Mulai dari nyekar ke makam Papa, mengunjungi Candi Gedong Songo, silaturahmi ke tetangga sebelah rumah, berenang di Kolam Renang Tirto Argo Siwarak, salat Jumat di masjid desa, hingga mencicipi kembali kuliner lokal dan legendaris di Ungaran.

Nostalgia, mungkin adalah salah satu kata paling tepat untuk menggambarkan apa saja yang saya lakukan di Ungaran. Walaupun tidak sempat bertemu dengan mantan pacar dan mantan-mantan yang lain.

“Kalau ada panggilan dalam hati, dipenuhi saja.” Ucap seseorang yang saya temui dalam Indigo Trip Whatravel seminggu sebelumnya. “Jangan dilawan.”.

Saat itu, saya belum tahu, apakah yang sebenarnya memanggil saya untuk pulang. Kembali ke Akar adalah satu frasa yang saya bawa pulang kembali ke Jakarta dalam penerbangan Lion Air di atas.

Lalu, apakah panggilan untuk pulang kembali ke Ungaran tersebut adalah sebuah kebetulan?

Delapan Hari Sebelumnya

“Di dunia ini, tidak ada yang namanya kebetulan.” Kata salah satu peserta Indigo Trip Whatravel, ketika saya bertanya perihal apakah kita semua dipertemukan karena sebuah kebetulan, atau apakah ada hal lain yang mendasari. “It was written by God. Kita, semua-semua yang ada di trip ini, sudah diatur untuk dipertemukan oleh Tuhan.”

“Bagaimana maksudnya tuh? Kan semisal bukan aku yang bawa trip ini, pasti kita tidak akan bertemu, dan mungkin trip ini akan berbeda lagi jalan ceritanya.”

“Tapi nyatanya, kamu yang jadi bawa kan? Pasti ada alasannya mengapa Tuhan mengirimkan kamu untuk menjadi trip buddy pada trip kali ini.”

“Hmm…”

Everything happens for a reason, Mas.”

Indigo Trip Whatravel

Kalau dipikirkan, sebenarnya saya hampir batal untuk menjadi trip buddy pada Indigo Trip Whatravel ini, karena baru minggu sebelumnya saya kembali dari perjalanan menjadi trip buddy Whatravel untuk destinasi Spanyol dan Portugal, di mana sebagai pegawai kantoran, sepertinya akan susah untuk jalan lagi akibat pekerjaan yang mungkin menumpuk dan tidak bisa mendapatkan izin untuk bepergian (lagi).

Namun saya bersyukur karena mendapat kesempatan untuk menjadi trip buddy pada perjalanan tersebut, karena dapat bertemu dengan orang-orang luar biasa yang mungkin tidak akan saya temui pada trip Whatravel yang lainnya. Selain itu, saya juga mendapat pelajaran berharga seputar kehidupan, bahwa hidup nyatanya bukanlah sekadar duniawi saja, melainkan ada juga sisi spiritual yang harus diperhatikan.

Lalu, apakah kepergian saya ke Bali tersebut adalah sebuah kebetulan?

Enam Hari Sebelumnya

Tujuh belas missed calls. 

Satu nama penelepon muncul di layar telepon genggam saya. Bukan, bukan dari penagih hutang P2P Lending ataupun dari Bareskrim, melainkan dari salah satu pimpinan di kantor. DHEG! Ada apakah ini? Padahal kan saya masih cuti, dan ini masih transit di Turki dari Portugal sebelum terbang dengan penerbangan lanjutan ke Indonesia. Yang kali ini, tentu saja bukanlah dengan Lion Air, melainkan dengan Turkish Airlines TK 0056.

Seolah tak percaya, saya kembali memikirkan kesalahan apa yang telah saya lakukan di kantor, apakah saya pipis belum disiram, apakah saya makan gorengan lupa bayar, atau karena saya tertangkap CCTV sedang membuka tombol lift dengan sikut? Sambil berpikir akan kesalahan apa yang pernah dilakukan, saya membuka pesan WhatsApp yang masuk, dari orang yang sama, dan menemukan pesan yang kurang lebihnya berbunyi seperti ini.

“Kamu gak usah masuk kantor deh.”.

HAH? MAKSUDNYA SAYA DI-PHK PAK?

Turkish Business Class

“Ada peraturan baru di kantor. Di mana pegawai yang baru kembali dari luar negeri, harus menjalankan karantina mandiri dahulu, sebelum masuk kantor.” Lanjutnya, sembari mengirimkan file berisi peraturan terkait, yang melarang pegawai yang baru saja kembali dari beberapa negara suspect corona untuk masuk ke kantor pada hari kerja, demi menanggulangi penyebaran COVID-19.

Saat itu, Spanyol dan Portugal belum masuk ke dalam daftar negara dengan persebaran virus corona yang besar. Bahkan, Spanyol yang saat ini masuk daftar sebagai salah satu negara terparah yang terkena dampak corona, belum mencatat adanya outbreak di Madrid dan juga kota-kota lainnya.

Lalu, apakah karantina mandiri yang diterapkan kantor kepada saya adalah sebuah kebetulan? Apakah sama kebetulannya dengan saya yang mendapat upgrade di Kelas Bisnis Turkish Airlines?

Tiga Minggu Sebelumnya

“Kalau dari Whatravel sendiri bagaimana kebijakannya?” Sebuah pertanyaan dilontarkan pada sela-sela meeting santai bersama klien di sebuah steakhouse di bilangan Jakarta Selatan. “Apakah masih aman untuk berangkat sekarang-sekarang ini?”

“Kalau dari kami, sepanjang tidak ada travel warning, maka trip tetap dapat berangkat.” Saya menoleh ke arah Yoseph, tim saya di Whatravel, yang masih asyik melahap steak dari piringnya. “Gimana, Seph?”

“Enak banget Mas, sampai mau nangis.”

“Seph…” Keheningan melanda ruangan steakhouse siang itu. “Maksudnya untuk tripnya, bagaimana?”

“Oh, kalau tripnya, so far masih aman, Mas.” Jawabnya. “Kirain steaknya. Ini juga gue cek tiketnya masih available untuk tanggal keberangkatan yang dimaksud.”

“Entry Barcelona, Exit Lisbon, ya Seph?”

“Iya Mas, masih available pakai Turkish. Nanti jadinya elu yang bawa kan?”

“Iya, Seph.” Saya mengiyakan dulu ajakan tersebut, walaupun izin cuti belum tentu disetujui oleh pimpinan. Sejurus kemudian saya membatin. Ya, anggap saja sebagai ganti media trip yang di-cancel dan gak jadi berangkat. Lumayan lah, bisa ikut jalan-jalan sebagai trip buddy Whatravel.

Saat itu, saya tak ada bayangan sama sekali, bahwa bisa saja perjalanan saya ke luar negeri di akhir Februari ini adalah perjalanan saya ke luar negeri yang pertama dan terakhir di tahun ini. Bisa saja.

Tidak ada yang aneh dari perjalanan saya mengantarkan tamu-tamu spesial dari Private Trip Whatravel tersebut, selain mulai berkurangnya turis yang berwisata, walaupun memang di kota-kota yang kami kunjungi, yaitu Barcelona, Porto, dan Lisbon, belum nampak adanya aturan-aturan yang diterapkan dalam rangka antisipasi penyebaran virus corona ini.

Tidak ada aturan social distancing, tak ada yang namanya PSBB, toko-toko juga masih buka sebagaimana biasanya, serta kami juga tidak menemukan orang-orang yang berjalan-jalan dengan masker, selain kami sendiri. Bahkan, kami masih sempat menikmati pertandingan sepakbola Liga Europa antara FC Porto yang dibantai oleh Bayer Leverkusen di kandang sendiri 3-1. Semua tampak normal, seakan tidak terjadi apa-apa.

Memang, pada saat itu, WHO belum menetapkan persebaran virus corona sebagai pandemi global, yang kemudian baru ditetapkan pada tanggal 11 Maret 2020.

Saya bertanya dalam hati, apakah mungkin memang virus ini tidak ditakdirkan untuk menyebar lebih jauh lagi? Sebuah pertanyaan bodoh –seperti pernyataan beberapa pejabat kita di awal kemunculan virus yang sampai saat artikel ini ditulis telah menyebabkan munculnya lebih dari 10.000 kasus di Indonesia, yang kemudian mendapat jawaban pasti dan tamparan keras sebulan kemudian.

TIDAK GUYS, VIRUS CORONA TIDAK TIDAK MENYERANG KE ORANG-ORANG YANG MENGKONSUMSI GORENGAN DAN TINGGAL DI DAERAH TROPIS.

Lalu, apakah keputusan saya untuk tetap nekat berangkat menjadi trip buddy Whatravel untuk mengunjungi Spanyol dan Portugal tersebut adalah sebuah kebetulan?

Dua Minggu Sebelumnya

“Kliennya memutuskan gak jadi berangkat.” Ibarat disambar petir di siang bolong setelah tertimpa durian runtuh, mungkin adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi Whatravel di awal 2020 ini. Seminggu sebelumnya –setelah terdapat sedikit tarik ulur perihal kepastian keberangkatan, calon klien yang berpotensi memberikan salah satu project terbesar tahun ini, sudah mengumumkan bahwa media trip ke Mobile World Congress (MWC) 2020 Barcelona yang merupakan pameran teknologi terbesar di dunia tetap jadi berangkat, walaupun berita penyebaran virus corona ini sudah mulai merebak di luar China. Namun ternyata keputusan tersebut berubah lagi selang beberapa hari kemudian.

“WHATTTT?! ANJJJJ….ELINA JOLIE.”

“Iya, katanya, dari head office di China memutuskan untuk tidak memberangkatkan kontingen ke Barcelona karena angka persebaran virus corona di berbagai negara sudah meningkat dan cenderung mengkhawatirkan.”

Benar saja, dari satu kontingen ke kontingen yang lainnya, berikutnya satu persatu calon peserta MWC 2020 mengundurkan diri dari helatan acara megah tersebut, hingga akhirnya –tentunya setelah diadakan rapat pembahasan berulang kali, dan untuk pertama kalinya dalam kurun waktu 33 tahun, panitia memutuskan untuk …

MWC 2020 cancelled

Ya, acara teknologi terbesar di dunia tersebut diputuskan untuk dibatalkan, sebuah keputusan sulit karena akan berdampak besar secara pariwisata pada khususnya dan ekonomi pada umumnya. Konon akibat pembatalan ini, Barcelona akan kehilangan pemasukan yang ditaksir mencapai 492 juta euro (Rp 7,3 triliun), yang meliputi beberapa sektor usaha seperti transportasi, akomodasi, hingga sektor penyediaan konsumsi selama acara berlangsung.

Kemudian dari segi pariwisata, MWC 2020 ini sebenarnya diprediksi akan mampu menyedot 110.000 peserta dari 200 negara yang rencananya hadir, namun tentu saja akibat pembatalan tersebut, tiada yang datang ke Fira de Barcelona, lokasi pameran yang seharusnya bisa mendapatkan cuan sebesar 30 persen dari total anggaran MWC yang mencapai 215 juta euro (Rp 3 triliun).

Membaca angka-angka di atas, saya lalu berpikir, bahwa angka kerugian yang dialami Whatravel akibat adanya pembatalan ini sepertinya tidak ada apa-apanya, karena di atas langit, tentu saja masih ada Hotman Paris.

MWC 2020 batal, media trip Whatravel pun ikut batal, sama halnya batal pula kepergian saya dan Yoseph sebagai trip buddy Whatravel yang seharusnya akan mendampingi para peserta media trip dan para YouTuber yang akan ikut serta, guys.

Lalu, apakah batalnya kepergian saya sebagai trip buddy Whatravel ke acara MWC 2020 ini adalah sebuah kebetulan?

Satu Setengah Bulan Sebelumnya

31 Desember 2019. China mengumumkan ke WHO bahwa terdapat beberapa kasus penyebaran penyakit mirip pneumonia di negaranya, yang lebih lanjutnya ditemukan bahwa penyebaran penyakit yang disebabkan oleh virus tersebut dimulai dari pasar seafood di Wuhan, yang juga menjual binatang hidup, untuk dimakan. Konon, virus ini ditemukan pertama kali berada pada kelelawar yang ada di pasar tersebut, yang kemudian berpindah pada manusia yang mengkonsumsi binatang nahas tersebut.

Sekilas, penyakit yang ditimbulkan virus –yang apabila di-zoom biar gede bentuknya menyerupai matahari ini (sehingga dinamakan corona, karena corona berarti matahari), ini memang mirip dengan gejala sesak napas seperti pneumonia, namun dengan beberapa symptoms atau tanda-tanda yang mengikuti yaitu demam, batuk dan bersin, sakit kepala, hingga ada juga yang melaporkan mengalami gangguan pencernaan dan gagal ginjal.

Setelahnya, virus ini menyebar ke berbagai wilayah dan negara yang didorong oleh pergerakan penduduk yang dinamis, terutama pada saat perayaan Tahun Baru Imlek dan kunjungan warga China ke berbagai negara. Tercatat pada 7 Januari 2020 Perancis mengumumkan adanya kasus virus ini untuk pertama kalinya, sementara empat hari berikutnya, China mengumumkan adanya korban meninggal pertama akibat adanya virus ini. Di Asia Tenggara, WHO mengumumkan adanya kasus pertama di China pada tanggal 13 Januari 2020 sementara pada tanggal 2 Februari 2020, kasus kematian pertama di luar China terjadi di Filipina.

Pada tanggal 11 Februari 2020, virus corona yang sebelumnya tidak memiliki nama beken ini, diberikan nama oleh WHO sebagai COVID-19, yang konon merupakan kepanjangan dari Corona Virus Disease (yang dimulai pada tahun) 2019. Cheesy name, for a very dangerous virus.

Karena persebarannya yang cepat, yaitu melalui droplets, atau tetesan cairan di tubuh, pada tanggal 30 Januari 2020, wabah virus COVID-19 ini dinyatakan WHO sebagai wabah yang dapat menyebabkan adanya kondisi darurat kesehatan global, yang berikutnya ditetapkan sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020.

corona virus timeline

Di Indonesia, kasus pertama yang teridentifikasi sebagai kasus persebaran virus COVID-19 terjadi pada tanggal 3 Maret 2020, namun pada saat itu Indonesia seperti belum siap menghadapinya, yang terbukti dengan kurangnya Alat Pelindung Diri (APD) bagi para tenaga medis, dan minimnya alat-alat yang dapat mencegah penyebaran virus ini lebih jauh seperti masker dan hand sanitizers bagi masyarakat.

Kondisi yang kemudian diperuncing dengan hal yang dilakukan oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang berdalih tak ingin membuat panik publik, namun Beliau justru terkesan mengabaikan penyakit itu dengan tetap bersalaman dan tak memakai masker dalam acara publik. Menurutnya, penyakit yang disebabkan oleh virus corona ini bisa sembuh dengan sendirinya, dengan adanya antibodi pada tubuh. Well, walaupun hal tersebut mungkin benar, namun saya rasa kurang tepat apabila disampaikan ketika terjadi krisis seperti ini.

Memang penanganan virus corona di Indonesia ini dapat dibilang terlambat, namun setidaknya kita dapat melakukan hal untuk mengurangi persebaran virus ini, di antaranya adalah dengan tidak mudik ketika lebaran, tetap menjaga social distancing dan physical distancing, tetap di rumah saja selama masa pandemi kecuali keluar rumah untuk melakukan hal penting dengan selalu memakai masker setiap keluar rumah, rajin berolahraga dan berjemur untuk meningkatkan imun tubuh, serta senantiasa menjaga kebersihan diri sendiri.

Intinya, walaupun mungkin kamu skeptis terhadap pemerintah, namun kali ini saya berharap supaya kamu dapat mengikuti himbauan pemerintah terkait virus corona, supaya pandemi ini dapat segera berakhir, dan kita dapat jalan-jalan dengan bebas lagi.

Lalu, apakah kemunculan virus COVID-19 di dunia adalah sebuah kebetulan?


Apabila tidak ada corona, maka mungkin MWC 2020 tetap diadakan. Apabila MWC 2020 tetap diadakan, maka saya tidak akan berangkat menjadi trip buddy pada private trip Whatravel ke Spanyol dan Portugal. Apabila saya tidak berangkat menjadi trip buddy Whatravel ke Spanyol dan Portugal, maka saya tidak akan diminta untuk melakukan karantina mandiri pada hari kerja. Apabila saya tidak diminta untuk melakukan karantina mandiri ketika hari kerja, maka saya tidak akan dapat berangkat menjadi trip buddy Whatravel untuk Indigo Trip Whatravel.

Apabila saya tidak berangkat menjadi trip buddy Whatravel untuk Indigo Trip Whatravel, mungkin saya tidak mendapatkan pencerahan secara spiritual yang kemudian berujung pada munculnya panggilan untuk segera pulang ke Ungaran. Apabila saya tidak mendapatkan panggilan tersebut, maka mungkin entah kapan saya bisa pulang kembali ke Ungaran, dan pada akhirnya, apabila saya tidak pulang kampung ke Ungaran kemarin, mungkin saya tidak dapat membawa Mama ke Bintaro dan dapat berkumpul bersama-sama pada masa pandemi ini, termasuk untuk melewati masa lebaran kelabu tahun ini.

Lalu, apakah semua hal di atas adalah kebetulan? Atau bagimana kalau ternyata, yang kita sebut sebagai kebetulan tersebut adalah kepingan-kepingan puzzle, yang akan menyusun gambar besar, yang kemudian bisa dikatakan sebagai rencana Tuhan untuk umat-Nya?

Just remember that everything happens for a reason. Pertemuanmu denganku pada artikel ini, bisa jadi juga bukan merupakan kebetulan.

Pada saat artikel ini ditulis, tercatat telah lebih dari 3 juta kasus virus COVID-19 terjadi di dunia dengan jumlah korban meninggal sebanyak lebih dari 220.000 orang dan mereka yang sembuh tercatat sudah lebih dari satu juta orang. Tetap semangat, because this too, shall pass.

Another friendly reminder, is that we are in this shit together, jadi tidak ada gunanya untuk saling menyalahkan, karena lebih baik kita saling jaga supaya pandemi ini segera berakhir. Mohon maaf sebesar-besarnya kepada Pak Terawan, yang sekarang sudah jarang muncul di televisi, untuk kutipan dan perkataan saya di atas, yang disarikan dari berbagai sumber.