Hi!” Seorang pria bertubuh tambun menyapa kami, tepat di depan loket penjualan tiket masuk ke Registan, sebuah alun-alun kuno yang menjadi jantung kota Samarkand, dulu. Apabila ini adalah acara outing kantor, saya pasti akan menjawab seruan pria tersebut dengan ‘halo’ yang mungkin akan dijawabnya kembali dengan ‘halo-halo-hai’. Namun di sini, kasusnya berbeda. Ini baru hari kedua kami di Uzbekistan, dan sepertinya masih terlalu dini untuk dapat percaya dengan orang lokal –ditambah pengalaman patah hati saya yang sudah berkali-kali membuat saya tidak mudah percaya dengan orang asing.

Sebuah topi putih dikenakan pria tersebut, menemani kacamata hitam yang menyembunyikan biji matanya. Sekilas, penampilan sang pria terlihat seperti seorang caddy di lapangan golf dengan polo-shirt yang dikenakannya. Namun, ini pria buncit, bukan seorang wanita bertubuh aduhai.

Where are you from?” Lanjutnya, sambil melebarkan senyuman. Uzbekistan adalah negara dengan hampir 80% penduduknya beragama Islam, dan baginya, mungkin, melihat tiga orang asing yang memiliki komposisi di mana seorang pria berkulit sawo matang menemani dua orang wanita yang mengenakan hijab berwarna merah muda, adalah sebuah oase tersendiri.

Saya tak mengacuhkan ucapannya, dan tetap bergerak maju ke arah loket penjualan tiket. Di belakang, –mungkin karena kurang koordinasi dan tidak sempatnya saya melakukan kontak fisik juga batin, Mama menjawab pertanyaan pria tersebut, dengan jawaban “Indonesia.“.

Sial. Mana Mama tidak terlalu paham bahasa Inggris pula, berarti kan saya atau Neng, yang harus meladeni obrolan selanjutnya. Obrolan yang tidak akan bisa dijawab hanya dengan ‘hai-hai-halo’.

Samarkand Uzbekistan

Hari itu adalah bulan Ramadan, sekitar seminggu sebelum Idulfitri berlangsung. Karena adanya hari libur yang cukup lama, saya memutuskan untuk mengajak Mama dan Neng berlibur secara impulsif ke Uzbekistan. Ada tiga alasan utama, yang pertama karena Uzbekistan bebas visa bagi pemegang paspor hijau Indonesia, yang kedua karena harga tiket yang masih masuk akal saat itu –kurang dari sepuluh juta Rupiah untuk perjalanan pulang pergi, dan yang paling utama adalah destinasi ini masih anti-mainstream untuk dijadikan tempat berlibur orang Indonesia, sehingga dapat menambah kebanggan tersendiri sebagai seorang traveler.

Indonesia? I know the ambassador of Indonesia for Uzbekistan.” Tanggapnya. Sial, ternyata nama Indonesia tidak asing di sini, atau setidaknya di telinganya. Saya menyelesaikan pembelian tiket masuk, dengan membayar biaya sebesar 30.000 Som (1 Som kurang lebih senilai dengan 1.700 Rupiah) atau sekitar 50.000 Rupiah per orangnya, sebelum kembali ke rombongan. “Do you need tour guide, here?

Pada siang terik di awal musim panas, di mana suhu dapat mencapai 40ºC, kami sudah berencana untuk mengitari Registan dengan kecepatan lambat, supaya niat puasa yang sudah diucapkan sedari sahur pada pukul tiga pagi tadi tidak menjadi sia-sia. Ya, kamu tidak salah membaca, di Uzbekistan saat itu, puasa berlangsung sekitar tujuh belas jam, yaitu dimulai pukul tiga pagi, dan ditutup pukul delapan malam.

AAAAAKKKKKKKK!

Tashkent, Sepuluh Jam Sebelumnya

Masih teringat jelas bagaimana menu makan sahur yang kami dapatkan di Hotel GrandArt, Tashkent pagi itu. Pukul dua pagi, dering telepon membuat kami –atau Mama tepatnya, terbangun. Tentunya bukan dering telepon yang membuatku tersenyum di pagi hari, di mana kau bercerita, semalam kita bertemu dalam mimpi –melainkan dering telepon dari resepsionis yang membangunkan kami untuk makan sahur di restoran hotel.

“Aduh, gak ada nasi nih!”

Makan sahur di Uzbekistan tentu tidak akan sama dengan makan sahur di Indonesia, dan apabila di Indonesia kita terbiasa makan dengan nasi, maka kamu tidak akan dapat menemukan hal tersebut di Uzbekistan. Alih-alih, sahur di sana digantikan dengan roti, telur, keju, daging iris, keju, dan celupan susu kental manis! Tidak ada pula Go-Food, Warteg, atau Sabana yang buka, sehingga mau tidak mau, kami hanya bisa menyantap apa yang disediakan oleh hotel.

Menariknya, walaupun Uzbekistan adalah negara dengan mayoritas muslim, namun yang melakukan santap sahur di sana hanyalah kami, bahkan tidak terlihat adanya staf hotel yang bersantap sahur bersama sambil menonton Sahurnya Pesbukers atau Para Pencari Tuhan.

Bismillahirohmanirohim!

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ الشَّهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

“Nawaitu shauma ghodin ‘an adaa-i fardhi syahri romadhoona haadzihis sanati lillahi ta’ala. Aku niat puasa pada hari esok untuk melaksanakan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala”.

Samarkand, Lima Jam Kemudian

Dengan menggunakan kereta cepat Afrosiyob dari Tashkent (ibukota yang sekaligus kota terbesar di Uzbekistan) kami akhirnya tiba di Samarkand (yang merupakan kota terbesar kedua di Uzbekistan) yang terletak sekitar 344 Kilometer dari Tashkent, hanya dalam waktu tempuh sekitar dua jam saja.

Pelayanan yang ada di kereta cepat ini cukup lengkap, mulai dari reclining seatlaptop desk, colokan, tempat sampah, sajian musik dengan earphone, hingga pelayanan spesial berupa sajian makanan dan minuman dari wanita Uzbekistan, yang bertugas sebagai pramusaji di kereta.

“Do you want coffee, or tea?” Sapanya begitu tiba di deretan kursi kami. Si petugas pria tersenyum sambil menarik trolinya, dan bertanya dari mana asal kami, dengan bahasa Inggris yang terbata-bata. “From, what, country?”

“Indonesia.” Jawab Neng, sambil memberi isyarat tangan untuk menolak makanan dan minuman tersebut. “We are fasting. Ramadan.”

Oh, fasting, good!” Si pria berkomentar, sambil memasang tampang sungkan dan tidak enak, karena penumpang lain, yang notabene adalah warga Uzbekistan, yang seharusnya mayoritas muslim, justru tidak berpuasa. Sebagai itikad baik –dan karena tidak mau rugi, kami tetap mengambil beberapa bungkus sandwich yang diberikan oleh mereka. Mendengar nama Indonesia, si pria juga bercerita sekilas bahwa dia mempunyai seorang bibi, yang menikah dengan orang Indonesia, dan tinggal di Jakarta.

Sebuah kebetulan kah? Kalau memang kebetulan, apakah bibinya ini bernama Senk Lotta?

Samarkand

Dari stasiun Samarkand, kami sudah dijemput oleh taksi yang membawa kami langsung ke hotel yang terletak hanya beberapa ratus meter dari Registan, atraksi utama yang akan kami kunjungi hari itu. Setelah meletakkan barang bawaan di hotel dan beristirahat sejenak tanpa sempat membasahi kerongkongan dengan air es yang dingin karena masih kuat iman, kami berjalan kaki ke Registan, dan kemudian bertemu dengan si pria bertopi putih dan berkacamata hitam, yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Asliddin. Asliddin yang tidak membawa jin dan lampu ajaib.

Asliddin, yang merupakan salah satu tourist guide di Samarkand, kemudian bercerita sekilas mengenai sejarah Samarkand, sambil tetap menawarkan jasanya untuk menemani kami berjalan-jalan mengitari Registan yang pada masa lampau merupakan alun-alun dengan tiga buah madrasah berdiri tegap di tiap sisinya.

Samarkand Uzbekistan

Sambil berbasa-basi, Asliddin bertanya apakah kami berpuasa hari ini, karena, mungkin, seperti yang dia lihat bahwa pada umumnya warga Uzbekistan tidak berpuasa hari itu –bahkan ada seorang bapak-bapak yang kami jumpai di tepi jalan, sedang asyik menjilati es krim di tangannya. Ugh! Dia nampak gembira, mengetahui bahwa kami (masih) berpuasa pada hari yang panas itu, dan dengan spontan dia menawarkan hal lain kepada kami.

Do you have a plan tonight?” Tanyanya, dan saya yang memang belum mempunyai rencana malam itu pun menggeleng. “How about having dinner with Uzbekistan family?

Kami terdiam, sementara Mama yang mengetahui maksud ajakannya, berbisik kepada saya dalam bahasa yang hanya kami berdua yang tahu, “Tenan opo ora kui? Mengko ngapusi. Ojo lah.“. Benar atau tidak itu, nanti tipu-tipu, jangan lah.

Kuala Lumpur – Tashkent, Sehari Sebelumnya

Aroma makanan menyeruak memasuki hidung, ketika para pramugari mulai membagikan jatah makanan kepada para penumpang Uzbekistan Airways dalam perjalanan Malaysia-Uzbekistan siang itu. “Chicken, or fish?” Tanya mereka di sepanjang lorong. Mama menyikut saya yang pura-pura tertidur sambil mendengarkan nyanyian dari penyanyi Uzbekistan bernama Shohruhxon melalui layar monitor di hadapan saya. Tidak, Shohruhxon ini tidak bernyanyi lagu India, seperti Shahrukh Khan.

“Aku mau batal, ah!” Mama berseru kepada saya dan Neng, mencoba menggoyahkan iman saya yang berpuasa. “Kan musafir.”

Ta..tapi kan?” Saya menatap ke sekeliling, para penumpang berwajah Asia Tengah yang memenuhi pesawat, nampak tenang-tenang saja dan asyik memesan makanan yang disediakan. Kemudian, saya menghitung perbedaan waktu. Waktu di Malaysia satu jam lebih cepat dari Indonesia, sementara waktu di Uzbekistan tiga jam lebih lambat dari waktu Malaysia. Apabila pesawat ini berangkat pukul sepuluh pagi dari Kuala Lumpur dengan waktu penerbangan kurang lebih delapan jam, maka pukul berapakah kami akan tiba di Tashkent? Berikutnya, apabila waktu berpuasa di Uzbekistan adalah tujuh belas jam dengan magrib yang tiba pukul delapan malam, berapa jam lagi kami akan berbuka puasa?

Pertanyaan yang terus memenuhi kepala, hingga akhirnya saya mendapatkan jawabannya “Fish, please!

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Rasa mual yang tidak keruan akibat perut kosong yang terguncang akibat turbulensi, berpadu dengan aroma makanan yang terus menusuk indra penciuman, menemani suara-suara kunyahan dan peralatan makan yang saling beradu, telah membuat kami pasrah dengan keadaan sebagai musafir. Kami membatalkan puasa hari itu, sebagai seorang musafir, dan berdoa supaya Allah tetap menerima niat serta ibadah kami.

Insya Allah.

Hadits dari Jabir bin ‘Abdillah menjelaskan bahwa tidak baik berpuasa ketika safar (dalam perjalanan) ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan, di mana dilihatnya ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.

Sumber: https://rumaysho.com/425-puasanya-musafir.html

Dalam penerbangan tersebut, saya berdoa dalam hati supaya kami selalu diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menjalankan ibadah puasa di Uzbekistan. Sebuah doa yang selalu diulang sepanjang perjalanan, hingga kami bertemu dengan Asliddin pada siang hari yang terik di Samarkand.

Bersambung…