Halloween dan Thanksgiving bukanlah budaya kita; budaya kita adalah meminta oleh-oleh kepada kawan, kerabat, dan keluarga yang akan dan sedang jalan-jalan. Benarkah demikian? Lebih sering mana kamu mendengar kawan, kerabat, dan keluargamu berkata “Jangan lupa oleh-olehnya!” dibanding mengucap “Hati-hati di jalan.”, “Take care and have fun!“, “Safe flight!“, ataupun “Titip salam buat Pangeran Charles!” ketika mereka mengetahui kamu akan jalan-jalan?

Atau malah, jangan-jangan perkataan “Jangan lupa oleh-olehnya!” adalah sebuah standar basa-basi yang diucapkan ketika mengetahui seseorang yang kamu kenal akan dan sedang jalan-jalan? Ataukah itu ucapan lain untuk menyatakan “Hati-hati di jalan” seperti saya yang biasa berkata “Sudah makan belum?” untuk menunjukkan rasa sayang. Tapi kalau memang ini adalah sebuah basa-basi, maka ini adalah sebuah basa-basi yang buruk.

Sama buruknya seperti pedagang cendera mata yang terus memaksamu membeli sesuatu yang mereka dagangkan, walaupun kamu sudah bilang tidak. Walaupun tidak lebih buruk dibanding kamu di iklan layanan masyarakat yang berkata tidak, pada(hal) korupsi.

Pedagang suvenir di Perbatasan Kenya - Tanzania

Pedagang cendera mata di Perbatasan Kenya – Tanzania

Seperti laiknya rayuan pedagang cendera mata yang menyebalkan, tangisan mantan yang mengajakmu untuk balikan, ataupun doktrin dari para pengantin bom, permintaan membawa oleh-oleh tersebut secara tidak langsung akan masuk ke dalam pikiran dan relung hati yang terdalam, yang kemudian menjadi sebuah beban tersendiri yang akan terus menghantui si pejalan sepanjang liburan.

Pejalan ini, sebut saja saya, adalah seseorang yang memang kerap mendapatkan permintaan untuk membelikan oleh-oleh setiap kali saya jalan-jalan. Bayangkan, kalau misalkan pada 2017 saya jalan-jalan sesering ini, berapa banyak permintaan oleh-oleh yang saya dapatkan?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oleh-oleh berarti “sesuatu yang dibawa dari bepergian; buah tangan”. Walaupun sudah disebutkan bahwa oleh-oleh berarti sesuatu yang dibawa dari bepergian, namun mengapa mereka menolak kalau saya berikan pakaian yang kotor untuk dicuci, dompet yang kosong untuk diisi, dan fisik yang lelah untuk dipijat?

"Oleh-olehnya mana?"

"Tempelan kulkas gak ada?" 

"Kok gak bawa makanan khas sana?"

Saya kan jalan jalan pakai uang sendiri dan pakai jatah cuti sendiri, tapi mengapa kalau tidak membawa apa-apa, mereka yang marah? Herman deh. Herman Kardon.

Sebagai seorang pejalan, saya mempunyai 10 alasan, mengapa tidak sebaiknya kamu membelikan oleh-oleh bagi kawan di kantor, kerabat di rumah, dan keluarga di kampung halaman, yaitu:

1. Memberikan Oleh-oleh Bukanlah Sebuah Kewajiban

Entah sejak kapan perihal memberikan oleh-oleh ini menjadi sebuah kewajiban di Indonesia, di mana seseorang yang meninggalkan (untuk pergi ke daerah lain), diharapkan, atau kalau tidak diharuskan, membawa pulang oleh-oleh untuk yang ditinggalkan. Perasaan, mantan-mantan saya tidak seperti itu tuh? Kalau mau meninggalkan, ya meninggalkan saja, tidak harus memberikan apa-apa selain kesedihan di dalam hati.

Kan aneh.

Lagian, memberikan oleh-oleh kok dijadikan kewajiban. Kewajiban itu salat lima waktu dan berbakti kepada orang tua. Lalu wajib belajar sembilan tahun, juga wajib menaati peraturan lalu lintas. Kalau memberikan oleh-oleh menjadi kewajiban, harusnya kamu berhak dong mendapat ganti berupa reimbursement atas semua biaya yang timbul sepanjang perjalanan, dan bisa di-mark-up seperti kunjungan kerja anggota dewan yang tidak benar.

Paling-paling, kalau kamu bawa oleh-oleh pun cuma diberikan ucapan terima kasih, atau bisa-bisa masih ada yang nyeletuk “Kok cuma ini?”

2. Mencari Oleh-oleh Itu Merepotkan 

“Aku gak usah diberikan oleh-oleh.” Kata seorang teman. “Tapi aku minta dikirimkan kartu pos dari sana.”

YEEE SAMA AJA ONCOM! Memangnya dipikir mencari kartupos zaman sekarang itu mudah? Okelah kartu pos mungkin hanya seharga beberapa sen, tapi kan kita harus membeli perangko lagi –berpikir apakah akan dikirim biasa atau kilat atau kilat khusus, menempelkannya dengan air liur, lalu mencari kotak posnya, kalau ketemu. Lagian, ini kan sudah bukan era The Marvelettes (1961) atau The Carpenters (1975) yang merengek meminta Mr. Postman untuk mencari surat cinta dari sang kekasih di dalam tasnya.

“Kamu gak mau aku e-mail saja?”

Hard Rock Cafe Azerbaijan

Habis beli oleh-oleh di Hard Rock Cafe, Baku, Azerbaijan

Bayangkan juga kamu sedang akan jalan-jalan, lalu mendapat daftar titipan permintaan oleh-oleh, dengan jenis barang yang aneh-aneh, dan alamat toko yang berbeda-beda. Atau contoh sedikit ekstremnya, ketika kamu sedang bersiap menunaikan ibadah umrah atau haji, lalu orang-orang sekitar datang kepadamu dan menitip doa, supaya diangkat penyakitnya, dilancarkan jodohnya, ataupun dijauhkan sembelitnya.

Sementara kita tahu, bahwa kita memiliki…

3. Waktu yang Terbatas Ketika Jalan-jalan

Sebagai seorang karyawan, saya, mungkin juga kamu, pastinya hanya memiliki waktu yang terbatas untuk jalan-jalan. Mana cuti cuma 12, yang sudah diirit-irit dan terpaksa terpotong karena tipes, lalu ketika hendak melakukan perjalanan impian ke Jepang selama seminggu, ada yang berkata “Eh, gue nitip Tenga dong!”

Masa iya, saya harus meluangkan waktu liburan yang sangat precious ini hanya untuk mencari barang titipan kamu yang bejat itu di Adult Shop Akihabara? Bagi kebanyakan orang Indonesia, biasanya sepertiga waktu liburan akan dihabiskan untuk mencari oleh-oleh. Sementara bagi saya, sepertiga waktu malam saya habiskan untuk tidur.

Myeongdong, Seoul

Pusat perbelanjaan di Myeongdong, Seoul, Korea Selatan

“Iya, ntar gue cariin.” Jawab saya. “Tapi gak janji ya, senemunya saja.”

Yah, jangan gitu dong, Bro.” Jawabnya kembali “Please dong, cariin.”

Iye, iye, ntar gue cariin.”

“Nah, gitu dong.”

“Tapi duitnya, mana?”

“Pakai duit lu dulu dong, bro!”

ESIBANGSAT!

4. Belum Tentu Kita Membawa Banyak Uang

Ya, berjalan-jalan bagi kita, para sobat misqueen, tidak dapat disamakan dengan ulah Crazy Rich Surabayan ketika liburan dan melakukan sesi pemotretan pre-wedding di lima benua. Saya yang hanya melakukan sesi pemotretan pre-wedding di lima waktu salat merasa minder menonton video tersebut.

Kita jalan-jalan saja nabungnya lama, kadang sampai irit makan dan banyak minum, masa situ main nitip-nitip saja dan minta ditalangin dahulu. Memangnya kita tukang talang air? Belum kalau titipannya adalah tas branded dari La Valle Village. Sudah antrenya panjang, belum tentu kalau sudah di dalam tokonya, kita masih memiliki kemampuan finansial untuk membelinya.

Coba saya kenal Jouska dari dulu, ya.

La Valle Village Paris

Branded Outlets di La Valle Village, Paris, Perancis

Berjalan-jalan, bukan berarti pergi membawa uang banyak seperti halnya Pablo Escobar dan jamaah haji asal Mamuju. Ketika liburan, saya biasa membawa uang secukupnya, dan menyisakan sebagian di ATM yang dapat diambil kapan saja, sepanjang ada ATM-nya. Untuk mengambil uang di ATM ini tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan orang yang sedang berzikir, karena kita harus mencari mesinnya, memasukkan kartunya, berusaha mengingat-ingat PIN ATM yang pasti beda dengan password Instagram, dan mengambil uang yang ada di dalamnya, tentunya ditambah service charge yang lumayan apabila melakukan pengambilan di luar negeri.

Itu juga kalau masih ada uangnya, nah kalau sudah habis untuk bayar KPR, bagaimana? Daripada membelikan oleh-oleh, bukankah lebih baik kalau uangnya kita pakai di jalan Allah? Menyumbang masjid atau menyantuni anak yatim, misalnya.

Uang habis, tenang, masih ada kartu kredit. Kalau masih ada limitnya. Okelah, katakan kamu sudah berhasil dapat oleh-oleh, maka yang perlu kamu ingat berikutnya adalah…

5. Tidak Semua Orang Suka Diberikan Oleh-oleh

Ya, kasus yang aneh tapi nyata, seperti misteri hilangnya Edi Tansil dan tahi lalat Eno Lerian, bahwa tidak semua orang di Indonesia ini suka diberikan oleh-oleh.

Saya pernah memberikan mantan saya sebuah snow-ball dari destinasi yang saya kunjungi, karena saya tahu dia mengoleksi snow-ball dari negara-negara yang pernah dikunjunginya. Namun alih-alih senang, dia malah kesal ketika saya belikan snow-ball tersebut, karena dia berprinsip bahwa snow-ball yang dikoleksinya, harus dibeli sendiri dari tempat yang pernah dia kunjungi, bukan pemberian orang lain.

Sejak saat itu, saya berniat memberikannya Dragon Ball. Namun sayang, kami keburu putus sebelum sempat mengumpulkan ketujuh bola naga dan memanggil dewa naga untuk memintanya mengembalikan tahi lalat Eno Lerian.

Jersey KW Santiago Bernabéu

Pedagang jersey KW di emperan Santiago Bernabéu, Madrid, Spanyol

Well, mungkin memang oleh-oleh bukan diciptakan untuk semua orang, mungkin memang tidak semua orang berhak dan pantas untuk mendapatkan oleh-oleh, dan mungkin memang…

6. Oleh-oleh Hanya Ditujukan untuk Mereka yang Spesial

Sudah selayaknya, oleh-oleh hanya ditujukan untuk mereka yang spesial, untuk mereka yang memiliki arti di hidup ini. Saya biasa membelikan mama kain atau kerajinan khas dari destinasi yang saya kunjungi, dan membelikan magnet kulkas untuk saya sendiri. Murah meriah, yang penting ada kenang-kenangan.

Terakhir, saya membelikan sebuah lukisan di bawah ini, untuk bos saya yang baik, yang selalu mengizinkan saya untuk cuti, sepanjang kerjaan sudah selesai.

Oleh-oleh Uzbekistan

Pedagang oleh-oleh di Tashkent, Uzbekistan

Kalau semua orang dibelikan oleh-oleh, maka tidak ada yang spesial dong? Ya begitulah, kamu perlu tahu bahwa kita semua diciptakan sama, tidak ada yang spesial, kecuali Indomie Rebus rasa Ayam Spesial dengan bungkus warna oranye. Lalu, orang yang dibelikan snow-ball tadi juga tidak spesial dong, Bang?

Maaf, saya no comment. Saya sedang memikirkan tentang oleh-oleh, tolong jangan ditambah lagi dengan …

7. Membuat Beban Moral dan Menambah Beban Pikiran

Hal lain yang mungkin tidak kamu sadari adalah bahwa titipan oleh-oleh dapat membuatmu memiliki beban moral serta menambah beban pikiran bagi kita para pejalan. Tidak membawa pulang sesuatu, dapat menyebabkan rasa bersalah, perasaan tidak enak, risiko terkena ghibah di kantor, serangan mulut netizen, dan gangguan psikologis lainnya.

Lalu bagaimana solusinya? Apakah terpaksa membeli oleh-oleh? Ya, kalaupun terpaksa, paling tidak niatkan ikhlas karena Allah Ta’ala, dan doakan bahwa dengan oleh-oleh yang dibeli, kamu dapat membantu perekonomian lokal sehingga usaha kecil menengah dapat tumbuh, hingga menjadi unicorn.

Seniman di Tanzania

Seniman lokal di Moshi, Tanzania

Kalau mau enak sih, cuekin saja semua titipan oleh-oleh tersebut, sehingga kamu dapat liburan dengan tenang dan nyaman tanpa beban moral dan beban pikiran. Kalau masih tidak kuasa menolak, pertimbangkan pula bahwa oleh-oleh yang kamu bawa itu dapat…

8. Menambah Berat Tentengan dan Kadang Membuatmu Terpaksa Menambah Jatah Bagasi

Saya terbiasa membawa tas lipat untuk menampung segala macam kebutuhan ketika traveling, seperti misalnya untuk tempat pakaian kotor, untuk membawa peralatan mandi yang basah, hingga sebagai media penyimpanan tambahan apabila saya terpaksa membawa banyak oleh-oleh. Saya pernah membelikan banyak sekali titipan magnet di Azerbaijan, yang mengakibatkan tas lipat yang saya gunakan robek karena tidak mampu menahan berat oleh-oleh tersebut, padahal paling hanya 1-2 kilogram saja beratnya.

Bayangkan, bagaimana kalau ibu-ibu yang berniat membawa pulang kurma dari Arab seberat puluhan kilo ini? Kalau ada kecoa nyelip kan gak ketahuan.

Toko Kurma Madinah

Toko Kurma di Madinah, Arab Saudi

Dengan barang bawaan yang bertambah, maka otomatis berat bagasi ikut bertambah. Lalu bagaimana kalau jatah bagasi kita terbatas? Tujuh kilo untuk barang bawaan di kabin, dan dua puluh kilo untuk bagasi, sementara barang bawaan termasuk oleh-oleh yang akan dibawa pulang sudah mencapai lima puluh kilo?

Ya mau tidak mau, solusinya adalah menambah, atau membeli tambahan jatah bagasi lagi. Yang nitip oleh-oleh mana mau tahu perihal ini, kan yang penting tinggal ongkang-ongkang kaki, terima beres. Kalau gak dibawain oleh-oleh? Ya tinggal dighibahin.

Sebagai gambaran, berikut adalah biaya kelebihan bagasi AirAsia untuk penerbangan domestik, yaitu Rp117.000,- per kg dan Rp155.000,- s.d. Rp190.000,- per kg untuk rute internasional.

9. Perihal Bea Masuk dan Pajak di Bandara

Untuk mengakali titipan oleh-oleh dan permintaan untuk mencarikan barang tertentu, saya pernah membuka layanan ‘jastip’ ketika berlibur ke Jepang tahun lalu. Dari jatah lima hari liburan, sekitar dua hari saya habiskan untuk mencari barang-barang titipan orang tersebut. Ya, daripada dititipi oleh-oleh tapi tidak dikasih duit, mending saya bisniskan sekalian, bukan?

Dari bisnis jastip tersebut, alhamdulillah saya berhasil mendapatkan keuntungan melebihi UMR Jakarta. Bayangkan kalau saya juga berbisnis MLM, pasti akan berlipat ganda uang saya, kalau tidak kena tipu upline dan terjebak Skema Ponzi.

Jastip harus mahal, karena waktu, tenaga, juga pikiran kita yang berharga harus dikorbankan untuk mendapatkan barang titipan tersebut.

Risiko lain yang perlu diingat dari membawa banyak barang dari luar negeri ke Indonesia adalah, kemungkinan adanya pengenaan bea masuk dan pajak impor di bandara ketika kedatangan kita di Indonesia. Hal ini yang mungkin tidak dipahami oleh mereka yang meminta oleh-oleh dan mengharap dibelikan barang titipannya. Karena cebong mana ngerti?

Jastip Jepang

Hasil Jastip Jepang

Untuk kamu yang ingin tahu bagaimana ketentuan bea cukai dan pajak yang berlaku bagi barang-barang yang akan masuk ke Indonesia, kamu dapat membaca Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-203/PMK.04/2017 tanggal 27 Desember 2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut.

Well, kurang lebihnya adalah bahwa barang bawaan yang diberikan fasilitas pembebasan bea masuk adalah barang bawaan dengan nominal sebesar USD500/orang/kedatangan. Pusing? Tidak perlu kau hiraukan, karena pada akhirnya…

10. Jalan-jalan adalah Proses Menyenangkan Diri Sendiri

Perjalanan, sejatinya adalah sebuah proses aktualisasi diri, di mana kamu akan ditantang untuk menggunakan semua aset yang ada pada diri kamu, semaksimal mungkin, untuk meraih sesuatu yang mungkin bernama kebahagiaan, atau kepuasan batin, you name it. Perjalanan adalah sebuah proses untuk menyenangkan diri sendiri, bukan orang lain.

Kalau pada akhirnya dengan menyenangkan orang lain, kita dapat bahagia, maka lakukanlah, belilah oleh-oleh yang banyak, dan lupakan apa yang sudah dikatakan artikel ini pada poin 1-9. Karena bagi saya, kebahagiaanmulah yang utama.

Izmailovo Market, Moscow, Russia

Pedagang matryoshka di Izmailovo Market, Moscow, Russia

Bagi saya, oleh oleh terbaik yang bisa saya dapat dari seseorang yang pergi traveling adalah pengalaman yang didapatkannya, cerita yang diletupkan berapi-api tentang bagaimana dia menikmati perjalanannya dengan mengatasi berbagai tantangan yang ditemuinya. Kisah bagaimana sebuah perjalanan dapat mengubah hidup seseorang, adalah oleh-oleh paling berharga yang bisa saya dapatkan, bukan magnet kulkas, gantungan kunci, ataupun papan selancar mini bertuliskan ‘Bali’.

PS: Artikel ini ditulis 'just for fun' tanpa bermaksud menyakiti atau menyindir pihak-pihak tertentu. Peace, love, and gaul.