“Hanya ada dua tempat di dunia ini yang memiliki blue fire, atau api biru.” Jelas seorang pria berjaket militer di hadapan kami. Bendera Indonesia tersemat rapi pada lengan kirinya. Dengan semangat, pria bertubuh gempal tersebut memberikan sedikit petuah sebelum memberangkatkan kami “Yang pertama adalah di Kawah Ijen Banyuwangi –tempat yang akan kalian daki pagi hari ini, dan yang kedua adalah di Iceland.”

Saya mengangguk –tanpa sempat membantah bahwa Rinnai juga memiliki api biru, sambil membatin betapa kerennya Indonesia ini karena memiliki si api biru, walaupun pada hari berikutnya saya mendapat informasi yang membuat Indonesia semakin keren karena ternyata api biru di Iceland hanyalah hoax belaka.

“Sebelum memulai pendakian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai keadaan alam yang mungkin muncul dalam perjalanan kalian.” Pria tersebut melanjutkan. “Yang pertama adalah kemungkinan hujan.”

Hujan? Saya sudah sedia payung sebelum hujan secara kiasan, atau realitanya adalah saya sudah membawa raincoat lipat yang pernah saya gunakan ketika mengunjungi Stonehenge dua tahun lalu.

Welcome to Kawah Ijen

“Kemudian ada juga kemungkinan munculnya ular dalam perjalanan, hati-hati yang mengenakan celana pendek. Maklum saja sedang musim hujan, siapa tahu ular tiba-tiba muncul.”

Saya, untung saja sudah memakai celana panjang, guna mengantisipasi ular keluar masuk. Salah seorang rekan seperjalanan yang memakai celana pendek, nampak sedikit panik dan langsung membeli kaus kaki panjang bermerk Nike abal-abal di penjual terdekat. Sebuah tindakan yang membuatnya terlihat menjadi seperti pemain sepakbola abal-abal dibanding pendaki gunung.

“Kami juga sudah menyiapkan senter sebagai sumber penerangan malam hari.”

Boleh lah senter, karena agak susah mengajak Pevita Pearce di situasi sekarang ini, paling cuma abangnya yang bisa diajak.

Senter Ijen

“Yang terakhir adalah adanya asap belerang yang bisa tiba-tiba muncul.” Sebuah hal umum yang harus diketahui bahwa pada dasarnya Kawah Ijen adalah kawah  belerang yang juga beracun, sehingga kamu harus berhati-hati dengan produk keluarannya. “Pokoknya kalau ada asap berwarna kuning, segera menunduk, karena asap ini hanya akan bergerak pada ketinggian empat puluh sentimeter dari permukaan tanah.”

“Siap, Pak!” Urusan tunduk-menunduk, saya sudah biasa, wong saya berdiri saja sudah dikira sedang menunduk.

“Siapkan juga masker untuk melindungi terhirupnya belerang dalam jumlah banyak.” Tambahnya. “Nanti bisa sewa kalau kalian tidak membawa.”

Ealah. Tapi tidak masalah, do not rich people difficult. Sebenarnya, kami masing-masing sudah diberikan sebuah bandana kain elastis (yang apapun mereknya, selalu disebut ‘buff’) untuk menutup hidung dan mulut, namun tentunya tidak akan dapat menandingi fungsi dari sebuah masker sungguhan.

Selain rencana untuk menyewa masker supaya aman dan terlihat keren –seperti Bane, saya juga menyelipkan Insto Regular ke dalam tas, untuk jaga-jaga apabila mata terkena iritasi dan pedih akibat asap belerang.

“Berikutnya saya kenalkan para pemandu kalian.” Pria yang saya lupa namanya tersebut memanggil tiga orang pria lain. “Yang ini Pak Mad, seorang penambang yang sudah pensiun. Lalu ini ada Akmal, dan juga ada mas-mas berjaket  pink.”

Saya, bersama lima orang teman seperjalanan kala itu, mendapatkan Akmal sebagai pemandu. Iya, Akmal yang mengenakan kupluk merah, buff berwarna oranye, dan jaket biru tua yang mungkin didapatnya dari hasil membeli sepeda motor secara kredit.

Briefing Pendakian Ijen

Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika kami mulai mendaki setelah memasuki gerbang masuk Kawah Ijen beberapa menit lalu. Tujuannya pasti, berburu si api biru abadi dengan bermodal senter kecil guna menembus gelapnya malam.

“Group Akmal!” Akmal, pria lokal bertubuh kurus memanggil para anggotanya. Dia ingin memastikan bahwa seluruh anggotanya yang terdiri dari empat orang pria macho dan dua orang wanita perkasa tidak tercecer di perjalanan. Maklum saja, saat itu adalah Minggu dini hari, waktu di mana ratusan orang wisatawan juga memiliki tujuan serupa.

“Siap, hadir!” Seru saya memastikan masih berada dalam rombongan, di dekat saya masih lengkap terlihat para anggota yang lain yaitu Febrian, Ikhsan, Fiona, Pak Simon, dan Mbak Riris.

“Nanti treknya sekitar tiga kilometer.” Jelasnya lagi. “Dua kilometer jalan mendaki, dan satu kilometer jalan yang agak landai.”

“Ini masih berapa jauh lagi?”

“Ini baru sekitar satu kilometer. Nanti di kilometer dua akan ada kantin, di mana kalian bisa beristirahat, sambil minum, dan makan mie.”

“Aduh, masih jauh ya?”

“Kalau misalkan capek, maka bisa menggunakan jasa taksi.” Jawab Akmal sambil melihat ke arah anggotanya yang kelihatan mulai kelelahan. Sebelumnya, Mbak Riris sudah meminta break istirahat beberapa kali dan Pak Simon mulai melambatkan jalannya. “Kalau mau dari sini saja naiknya, supaya gak rugi.”

“Ya sudah, gue naik taksi saja deh!” Seru Mbak Riris, sambil meminta Akmal mencarikan taksi untuknya. Untungnya saya sudah sedikit terbiasa dengan perihal trekking seperti ini karena tahun lalu saya sempat mengunjungi Wae Rebo sebanyak dua kali.

Pak, taksine siji Pak!

Taksi Kawah Ijen

Yang dimaksud taksi di Ijen, tentunya bukan taksi dengan mobil sungguhan –baik pangkalan maupun online, melainkan sebuah gerobak dorong yang juga kadang digunakan para penambang belerang untuk mengangkut hasil tambangnya.

Ketika mengangkut penumpang, taksi ini akan ditarik oleh dua orang menggunakan sarung sebagai penghubung antara orang dan gerobak, serta didorong oleh seorang pria yang juga bertugas mengendalikan taksi supaya baik jalannya. Lalu apakah aman? Tenang, taksi ini juga dilengkapi rem pada kedua rodanya, walaupun memang belum disc brake juga tidak dilengkapi sabuk pengaman dan airbag.

Untuk perjalanan pulang pergi dari gerbang masuk ke bibir Kawah Ijen, para pengusaha taksi ini mematok tarif Rp500.000,- untuk satu orang penumpang.

Mahal? Relatif. Karena setelah melihat trek dari awal sampai bibir kawah yang ternyata naudzubillah (jalanan tanah sempit berkelok-kelok dengan sudut kemiringan yang bisa mencapai 75°) saya merasa para pengemudi taksi ini layak juga mendapat penghargaan Kalpataru.

“Gue duluan ya! Nanti ketemu di kantin!” Teriak Mbak Riris ketika melewati kami yang sedang berhenti sejenak di sisi kiri jalan, sambil menunggu Pak Simon yang tertinggal di belakang.

Kantin Ijen

Kantin yang disebut Akmal, ternyata adalah sebuah pos istirahat bagi penambang belerang di Kawah Ijen, yang sekarang juga dimanfaatkan untuk menampung pengunjung Kawah Ijen yang kelelahan dan kelaparan. Wajar saja, namanya juga habis mendaki dua kilometer, apalagi bagi yang tidak pernah berolahraga, pasti akan menjadi hal yang sangat menyebalkan. Mirip ketombe.

“Lanjut gak nih?” Tanya Akmal, sambil memberikan sebuah masker Bane ke saya. “Di atas, asap belerangnya akan semakin kuat, kalau bisa jangan sampai terkena mata, dan masuk hidung.”

“Lanjut Mas!” Saya menerima masker yang membuat saya lebih mirip petugas fogging DBD dibandingkan Bane, juga memastikan bahwa Insto Regular yang akan saya gunakan sebagai pertolongan pertama mata apabila terkena asap belerang, tidak ketinggalan.

“Setelah kantin, pendakian yang sebenarnya baru akan dimulai.”

DHEG!

Ijen

Berikutnya, trek pendakian berubah dari jalanan selebar tiga meter menjadi hanya satu meter, atau kurang. Sisi kanan yang tadinya dataran biasa dengan pepohonan berubah menjadi jurang; belum lagi adanya asap belerang dengan aroma yang menusuk hidung dan membuat mata pedih. Di belakang jurang, nampak Gunung Raung memandangi kami dari kejauhan.

“Kalian terus saja!” Pinta Pak Simon yang sudah berhenti berjalan untuk beberapa kalinya, “Saya nanti menyusul pelan-pelan. Kalian kan mau melihat blue fire, nanti keburu terang loh.”

Memang benar, blue fire atau yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai si api biru, hanya akan kelihatan apabila hari masih gelap, sementara saat itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi, di mana matahari dijadwalkan terbit sekitar pukul lima pagi.

Pak Simon berkeras meminta kami melanjutkan perjalanan, sementara kami ingin bersama sampai tujuan. “Sudah tidak apa-apa, jalan saja dulu.”. Hingga akhirnya sebuah keputusan diambil, di mana kami tetap melanjutkan perjalanan, sementara Pak Simon tetap berjalan dengan temponya, dengan ditemani Akmal. Febrian? Saat itu sudah melaju lebih dahulu, mungkin beriringan dengan Mbak Riris yang menggunakan taksi.

Saat itu, beberapa ratus meter sebelum bibir kawah, udara terasa semakin keruh karena asap belerang yang turun semakin banyak. Saya mengencangkan masker dan mencoba menutupi mata sebisa mungkin. Sebagai kids jaman now, saya tak boleh menyerah!

Pada bibir kawah, akhirnya saya bertemu dengan Febrian dan Mbak Riris, namun ternyata perjuangan belum berakhir, karena saya harus turun ke pinggiran bawah kawah supaya dapat melihat si api biru.

Kawah Ijen

Jalur menuju bawah, ternyata tak lebih baik daripada jalur menuju puncak gemilang cahaya, karena saya harus melewati tangga alam –sejauh 300 meter dengan kemiringan 45°-60°– yang terbuat dari batuan yang dibentuk supaya menyerupai tangga, juga melalui beberapa dataran licin karena permukaannya berupa tanah dan pasir. Jalurnya yang curam dan sempit, membuat taksi tidak dapat melalui medan ini.

“Permisi!” Sebuah suara mengagetkan saya dari belakang “Miner! Miner! Miner! Excuse Me!” Seorang pria bertubuh kecil namun kekar membawa pikulan berisi keranjang kosong yang akan digunakannya untuk menambang belerang di bawah. Dialah sang penambang Kawah Ijen, yang perkasa dan bisa mengucapkan kata bahasa Inggris, yaitu ‘Miner’ dan ‘Excuse me’.

Beberapa meter berikutnya, giliran ada pria lain yang memikul keranjang berisikan belerang hasil tambangnya, yang konon beratnya bisa mencapai puluhan kilo –hingga satu kuintal per sekali angkat. Luar biasa, ini sesuatu yang tidak akan mampu dilakukan Hamish Daud kepada Raisa.

Bermodal doa dan harapan, saya melanjutkan perjalanan –seorang diri karena rombongan yang lain sudah tidak kelihatan keberadaannya, menuruni tangga yang terbuat dari batu alam dan pasir, melompati batuan, berseluncur di pasir, sambil sesekali melewati para penambang lain. Saat itu, jumlah turis yang datang, jauh lebih banyak daripada penambang yang saya lihat berada di sana. Semoga saja, para penambang belerang tidak merasa terganggu dengan kehadiran kami.

Perjuangan saya terbayar setengah jam kemudian, ketika dari kejauhan saya mulai melihat si api biru menari anggun, layaknya penari professional di atas kompor gas raksasa. Di bawahnya, asap tebal menyelimuti para penambang belerang yang sedang menjalankan tugasnya.

Api Biru Ijen

Saya mengambil posisi duduk di atas sebuah batu sekitar dua puluh meter di hadapan si api biru, dan mulai menikmati pertunjukan pukul empat pagi itu. “Thank God.”. Akhirnya perburuan saya berhasil, pertama kali datang ke Kawah Ijen, saya langsung disuguhkan pemandangan api biru yang menawan ini.

Sayangnya, saya hanya membawa lensa wide dengan aperture lebar sehingga saya tidak dapat mengambil foto close-up si api biru. Tripod pun saya tinggalkan di tas, malas untuk dipakai; pagi itu saya hanya ingin menikmati fenomena alam yang luar biasa tersebut. Kalau memang benar api biru di Iceland adalah hoax, maka api biru (yang menyala tiap hari) di Ijen, bisa jadi adalah satu-satunya yang ada di dunia.

Kamu beruntung, saya empat kali ke Ijen baru dapat si api biru, ujar seorang kawan selepas saya mengunggah foto blue fire di media sosial.

Namun, bukan saya namanya kalau hanya berdiam diri di atas sambil memandangi si api biru, karena saya ingin turun lagi, guna melihat langsung para penambang yang sedang melaksanakan tugasnya.

Penambang Belerang Ijen

Dengan ditemani headlamp yang sedikit redup, seorang pria melakukan aksi penambangan dengan sebilah peralatan besi di tangannya. Asap belerang terus mengepul, sementara sebuah masker hanya dikalungkan saja di lehernya, tidak dipakai, walaupun mungkin dia tahu bahwa risiko tidak memakai masker di sini adalah kematian.

Saya yang melihat asap sebanyak itu langsung mengencangkan masker Bane yang terpasang pada tempatnya, mencoba bernapas dengan sebaik-baiknya. Berikutnya, saya mengambil kamera dan mencolek seseorang yang berada di dekat saya.

“Mas, tolong fotoin dong.”

Saya mengambil lokasi tepat di samping pipa pembuangan asap belerang, dan dalam hitungan 1-2-3 sesuai dengan aba-aba masnya, saya mencoba memasang pose paling sangar yang bisa saya lakukan dengan masker di mulut dan hidung, namun gagal. Alih-alih mirip Tom Hardy, saya lebih mirip mamang-mamang petugas fogging DBD di komplek perumahan.

Hasilnya hanyalah sebuah pose standar yang kerap dilakukan para pria dewasa, yaitu menyilangkan tangan di dada. Dada sendiri, bukan dada bapak-bapak penambang.

Saat itu, –saking fokusnya terhadap kamera, saya tak menyadari munculnya hembusan asap kuning di bawah dan di belakang pundak saya. Saya baru sadar ketika tiba-tiba aroma belerang menyeruak ke dalam hidung saya, dan mata seketika menjadi pedih.

Berikutnya saya sesak napas. Tanpa sempat menunduk sesuai instruksi bapak-bapak army, saya merelakan asap belerang menjamah tubuh saya.

Kawah Ijen

DAMN!

Butuh waktu beberapa detik hingga asap tersebut berlalu dan penglihatan saya normal kembali. Semuanya terjadi begitu cepat, tanpa sempat terelakkan. Dalam dinginnya pagi, saya terbatuk dengan mata yang merah.

Beruntungnya, saya memakai masker Bane sehingga asap belerang tidak terhirup terlalu banyak, dan beruntung juga saya membawa Insto Regular untuk segera meredakan iritasi akibat asap belerang yang melintas.

Alhamdulillah!

Selain asap belerang, hawa dingin di Kawah Ijen tidak hanya bikin badan mengigil tapi juga bisa merenggut kelembaban mata yang menyebabkan mata menjadi kering. Untungnya, saya juga selalu sedia Insto Dry Eyes. It’s time to recharge my eyes. Mata kering kembali segar, saya menjadi siap beraksi kembali.

Oh iya, buat kalian generasi millenials yang gak bisa hidup tanpa gadget, Insto Dry Eyes ini adalah teman wajib! Karena kelamaan main gagdet juga bisa membuat mata kering dan lelah.

Dalam perjalanan pulang, saya sempat berbincang kepada Pak Mad, seorang pensiunan penambang yang aktif di tahun 1980-an, tahun-tahun di mana Papa dan Mama saya masih malu mengakui kalau mereka pacaran.

“Dulu biasa angkat belerang berapa banyak, Pak?”

“Ya biasanya sih sekitar 70-90 kilo sekali angkat, Dek.” Jawab pria tersebut perlahan, “bahkan dulu ada yang bisa bawa sampai satu kuintal.”

“Wah, banyak juga ya, Pak!” Coba ada cabang olimpiade angkat belerang, pasti Indonesia bisa juara dunia terus, batin saya. “Terus dibawanya sampai mana?”

“Kalau sekarang sih enak, dibawanya cuma sampai Paltuding (gerbang masuk Kawah Ijen).” Jawabnya lirih, “dulu saya bawa sampai ke kota, jalan kaki.”

Ijen

“Kalau ke kota gitu kira-kira berapa jam, Pak?”

“Biasanya sih, saya berangkat kerja jam empat pagi, kemudian menambang, bawa ke kota, baru sampai rumah lagi jam enam sore.” Jelasnya, menutup pembicaraan kami pagi itu.

Setelahnya, saya sempat juga bertanya ke Akmal, yang tiba-tiba muncul lagi entah dari mana, mengenai harga pasaran belerang saat ini, jawabannya membuat saya sangat miris.

“Ya, paling-paling hanya seribu rupiah per kilonya, Mas.”


Weekend Escape Insto

Kamu juga punya cerita liburan seru dan menarik di Indonesia? Yuk ikutan Weekend Escape Writing Competition yang diadakan oleh Insto, di mana 20 penulis terbaik akan diajak mengeksplorasi keindahan Labuan Bajo bersama Insto dan My Trip My Adventure!

Pengin tahu lebih banyak? Langsung saja kepoin di http://www.weekendescape.co.id, shaaaay! Buruan, hanya sampai 31 Oktober 2017 saja!