“Coldplay?” Tanya si petugas pria di loket imigrasi ketika saya beranjak maju ke hadapannya. Siang itu, saya mengenakan kaus Coldplay yang saya beli ketika menonton konser mereka di Stade de France, Paris, Perancis, dua hari yang lalu. Sambil menyerahkan paspor dan boarding pass yang akan digunakan untuk terbang kembali ke Indonesia, saya menjawabnya.

“Yes, I watched their concerts.” Jawab saya sedikit ragu, bagaimana kalau gara-gara menonton konser, saya sampai tidak diizinkan keluar dari Perancis. Hei, tapi ini kan konser, bukan ceramah radikalisasi agama dan penyebaran ajaran ISIS, sehingga seharusnya akan aman-aman saja.

“I was there too.” Sahutnya. “On Sunday.”

“Oh yeah? We were on the same stage then, because I watched on Sunday too.” Saat itu, Coldplay memang menggelar tiga kali konser di Paris, dan kebetulan memang saya mendapatkan tiket untuk hari Minggu. “But I did not see you.”

“Yekeles, yang nonton kan banyak, shaaay.” Mungkin itu adalah pikiran si petugas terhadap kalimat yang baru saja saya lontarkan. Obrolan singkat siang itu, berakhir dengan stempel pada paspor saya dan gelengan kepala petugas wanita di loket sebelah setelah mengetahui bahwa saya terbang ribuan mil dari sebuah negara di Asia yang dekat dengan Bali, hanya untuk menonton sebuah konser.

“Tu es fou.”

Coldplay Paris

Saya, adalah salah seorang yang tumbuh dewasa dengan lagu-lagu Coldplay. Ketika teman-teman seumuran merasa asyik ketika mendengarkan Crawling milik Linkin Park (RIP Chester) sambil berjoget membungkuk dengan rambut yang dijabrik-jabrikkan, saya lebih memilih menonton MTV sambil menunggu video clip tidak menarik dari band bernama Coldplay, yang saat itu baru mempunyai hits berjudul Yellow, yang konon dinamakan demikian karena Chris Martin melihat “Yellow Pages” saat akan menamai lagu ini.

Di dalam video tersebut, Chris Martin yang saat itu masih kurus –mungkin karena masih miskin dan hanya mampu makan Indomie, diceritakan sedang berlari-lari di pantai setelah menonton bintang, sambil menunggu matahari terbit. Pakaian yang dikenakannya sangat “enggak banget”, masa lari-lari di pantai sambil mengenakan jas hujan, celana gombrong, dan sepatu hitam yang sekilas membuatnya mirip dengan pekerja minyak lepas pantai.

Belum lagi kualitas pantainya yang pas-pasan, masih mendingan juga Pantai Kuta, atau Ujung Genteng. Sungguh, kalau saat itu saya mengenal Chris Martin, maka saya akan mengajaknya melihat bintang di Flores, yang terlihat lebih indah karena masih belum meratanya persebaran listrik di sana.

Namun, saya kan menyukai lagunya, simple, sederhana, namun mengena di hati, so persetan dengan video clip-nya. Saran saya, walaupun lirik lagunya terdengar romantis, namun jangan coba-coba untuk menerjemahkannya ke bahasa Indonesia, atau akan menjadi seperti ini.

Lihat bintang-bintang, 

Lihat mereka bersinar untukmu,

Dan semua yang kamu lakukan,

Ya, semuanya kuning.



Saya datang,

Saya menulis lagu untukmu,

Dan semua hal yang kamu lakukan,

Namanya kuning.

Well, ini lagu Coldplay atau Mars Golkar?

Tak lama video clip berikutnya muncul, sebuah video clip dari lagu yang berjudul “Shiver” yang hingga saat ini menjadi lagu Coldplay favorit saya. Sebuah lagu tentang kasih tak sampai, dan perasaan yang tak dianggap.

Lemah! Memang.

Dari Shiver, –dan album Parachutes yang merupakan album terbaik Coldplay menurut saya sendiri, saya membaptiskan diri sebagai salah satu fan Coldplay hingga saat ini. Prestasi terbesar saya, tentu saja adalah membeli kaset dan CD asli Coldplay,  menamakan band ketika SMA dengan “The Scientist” (karena kebetulan anak IPA, okay, ini memalukan), dan yang paling terakhir adalah menonton konser mereka di Paris.

Coldplay Paris

“Mas, mau gak nonton Coldplay di Paris?”

“Mau lah.”

“Gratisan ini.”

“Ya, apalagi gratisan.” Masa iya saya menolak sesuatu yang gratis, apalagi tawaran untuk owa-owa berjamaah, kan?

“Tapi…”

“Tapi apa?” Tanya saya, menyambut penawaran yang masuk melalui WhatsApp tersebut. Demi Coldplay, sepertinya saya akan rela melakukan apa saja, termasuk menikahi Raline Shah. Ya asalkan tidak bertentangan dengan agama, Pancasila, UUD 1945, dan GBHN saja sih.

“…tapi Mas bawa group tour aku ya, jadi tour leader, atau trip handler begitu deh.”

OKAY DEAL!” Tanpa sempat berkonsultasi dengan Mamah dan Aa, saya menyanggupi permintaan tersebut. Itulah saat pertama saya bepergian sebagai tour leader, and the rest is history.

Coldplay Paris

TERNYATA JADI TOUR LEADER ITU TIDAK MUDAH SAUDARA-SAUDARA!

Pada hari konser yang telah ditentukan, rombongan kami yang berisikan belasan orang berencana untuk berangkat pukul satu siang dari hotel. Pintu gerbang Stade de France dibuka mulai pukul lima sore, di mana konser akan dijadwalkan mulai pukul tujuh malam, dan itu baru band pembuka yaitu opening band. Sementara Coldplay, diperkirakan akan memasuki panggung mulai pukul sembilan malam.

“Nanti kumpul dulu ya di restoran ayam samping hotel, habis makan siang kita berangkat.” Titah saya di grup WhatsApp beberapa saat sebelumnya. Kemudian jawaban yang saya dapatkan pun beragam.

Ada yang berkata bahwa sudah berangkat duluan supaya dapat mengamankan spot terbaik karena posisi menentukan prestasi; ada yang meminta untuk ditunggu karena sedang dalam perjalanan menuju Paris dari Brussels, Belgia; dan ada yang sigap menanti di restoran ayam. Ayam goreng, bukan ayam kampus. Sementara saya sendiri, sedikit terlambat karena terlalu asyik nongkrong dan ngopi di Shakespeare & Co, eh maaf.

Singkat cerita, saya bersama rombongan terakhir telah siap berangkat pukul 14.15 namun ternyata Uber Van yang kami pesan bermasalah, sehingga harus ‘cancel trip – find a new driver’ lagi. Alhasil, kami baru sampai di Stade de France pukul 15.30, di saat matahari sedang bersinar dengan lucu-lucunya.

Pemeriksaan pertama, saya dapati di pintu gerbang utama sebelum memasuki stadion, di mana petugas berseragam memeriksa barang bawaan dalam sling bag. Cuma sekilas saja, melongok isi tas, tidak sampai meraba-raba dada dan meremas pantat.

Lepas dari pemeriksaan tersebut, saya mendapati bahwa ribuan jamaah sudah bersiap antre untuk memasuki stadion, bahkan ada yang membawa kardus untuk alas duduk dan terpal untuk melindungi diri dari sinar matahari, sementara saya, ah cuma pakai shampoo, kok.

Saya melirik tiket yang sudah didapat sebelumnya, dan mengecek di gerbang manakah saya harus mengantre. “Gerbang R nih beb.” Saya berkata ke Neng –tokoh figuran sekaligus istri, yang baru saya munculkan di kisah ini. “Tunggu sebentar ya, aku mau cek merchandise dulu. Lumayan ini jastip.”

“Oke.” Neng pun menunggu, kamu mau tebak di mana?

Coldplay Paris

Sekitar pukul lima, antrean panjang yang padatnya seperti refugee camp tersebut mulai bergerak, tanpa desakan, tanpa kerusuhan, dan tanpa gesekan benda tumpul. Pada tiket, tertulis (dalam bahasa Perancis) untuk tidak membawa kamera, namun saya yang kadung membawa dua buah kamera –pocket dan mirrorless, mau tidak mau harus mencari cara supaya tetap dapat masuk.

“Taruh tas aku saja, Mas. Nanti ditutupi pakai kaus suvenir.” Wah ide bagus, apa mungkin ini karena wanita pintar menyembunyikan sesuatu?

Berikutnya, saya memisahkan body kamera mirrorless dengan lensa, dan meletakkannya pada dua kompartemen berbeda di tas punggung milik Neng, sementara saya meletakkan kamera pocket pada bagian bawah sling bag, yang tertutupi oleh powerbank dan dompet.

Pemeriksaan kedua, adalah pemeriksaan tiket melalui scanner, untuk mengecek apakah benar tiket kami adalah tiket yang valid dan asli (bukan bikin di Pasar Pramuka) dan juga apakah kami masuk di gerbang yang tepat. Pemeriksaan ini berlangsung dengan aman.

Pemeriksaan ketiga, adalah pemeriksaan barang bawaan, di mana tas kami akan diperiksa kembali dengan lebih teliti, sekaligus adanya pemeriksaan anggota tubuh, di mana kami diraba-raba sedikit, pelan namun enak. Alhamdulillah, rencana Neng berhasil, kamera kami tidak ketahuan dan tetap diizinkan masuk. Bahkan setelahnya, kami diberikan xyloband berwarna putih dan pin bertuliskan “Love” yang alay.

Setelahnya, ternyata masih ada pemeriksaan berikutnya, yaitu periksa kesesuaian kelas penonton. Kebetulan waktu itu saya mendapat tiket kelas festival yang seharusnya dapat membuat saya lebih dekat dengan Chris Martin. Namun apa daya, karena kami datang sedikit terlambat –dan malas baku hantam supaya bisa bergerak ke depan, maka kami harus pasrah dan berserah diri dengan ribuan jamaah yang hadir dan ikhlas dengan spot pojok di sisi kanan panggung.

Walaupun saya berhasil membawa kamera mirrorless Fujifilm X-T1 masuk, namun saya sungkan dan tidak memakainya, karena tidak menemukan jamaah lain yang membawa kamera sebesar itu. 

Alhasil, saya hanya memakai kamera pocket Canon G7X selama pertunjukan tersebut.
Coldplay Paris

Sepanjang pengamatan dan hasil obrolan saya, ada beberapa alasan orang menonton Coldplay, yaitu:

  1. Ngefan banget sama Coldplay, yang mungkin akan selalu datang ke setiap konsernya, hingga menimbulkan pertanyaan, ini fan Coldplay atau awak panggungnya sih?
  2. Suka lagu-lagunya, walaupun gak tahu judulnya, yang penting asyik dan bisa bikin goyang. Kalau ditanya, mereka biasanya bilang “Wah, lagu ini kan sering muncul di radio.”. Kemungkinan besar, mereka bukan pendengar Elshinta atau RRI.
  3. Cuma ikut tren nonton Coldplay, karena teman-temannya pada nonton, sehingga nantinya dapat bahan obrolan di arisan.
  4. Ingin owa-owa berjamaah. Akan dijelaskan kemudian.
  5. Nonton karena pasangannya nonton, ya walaupun mungkin gak tahu tentang Coldplay, yang penting sehidup semati deh. Pokoknya bila ku mati, kau juga mati.
  6. Dibawa oleh orang tuanya. Seriously, kemarin saya menemukan anak balita yang diajak nonton Coldplay. Padahal di umur-umur segitu, mereka seharusnya diajarin nyanyi “Lihat Kebunku” dan “Pok Ame-Ame” saja. Namun jangan juga diajarin nyanyi lagu “Ambilkan Bulan, Bu.” karena itu adalah lagu durhaka.
  7. Menonton karena memang this is the greatest concert on earth! Saat itu, saya belum pernah nonton konser semegah konser ini, paling juga cuma konser Duran-Duran yang hanya bermain lighting, atau konser Regina Spektor yang syahdu, atau Iwan Fals yang penontonnya agak rusuh.

Iya, walaupun ada ribuan orang jamaah yang hadir, namun di konser ini tidak ada kerusuhan, tidak ada yang berteriak turunkan Ahok, atau ganyang PKI, dan tidak juga ditemukan orang-orang yang mengibarkan bendera Slank dan OI. Seperti di Indonesia, banyak juga yang merokok di sini, even worse, banyak juga yang meminum alkohol, karena dijual bebas di beverages bar sebelum pertunjukan dimulai, juga oleh penjual keliling ketika pertunjukan sudah dimulai.

Selain itu, banyak juga yang terlihat berpelukan mesra dan berciuman sepanjang pertunjukan. Ya wajar saja, namanya juga the City of Love, bukan City of Nurhaliza.

Tepat pukul tujuh malam, pertunjukan dimulai dengan penampilan seorang penyanyi wanita –entah siapa, dengan nama panggung Lyves. Mengenakan pakaian berwarna putih-putih dengan ketiak yang terbuka, sekilas membuat saya teringat dengan Beyonce.

Namun pertanyaan berikutnya muncul, Lyves ini siapa sih? Apakah dia yang menyanyikan lagu Surat Cinta untuk Starla? Dari beberapa lagu yang dibawakannya, tak ada satu pun lagu yang saya tahu, maaf ya, Kak Lyves.

Yang saya ingat dari penampilannya adalah bahwa dia mengaku fan Coldplay sedari kecil, dan berkata bahwa “It is such an honor ... untuk dapat menjadi opening act di konser ini.”. Selain itu, dia juga selalu mengucapkan “Merci Boku” — Merci Beaucoup, atau terima kasih dalam bahasa Perancis, di setiap akhir lagu.

Coldplay Paris

Lyves

Penampil berikutnya adalah seorang wanita yang memiliki nama panggung Tove Lo –yang menurut saya nama panggungnya lebih cocok apabila dipakai oleh rapper kulit hitam, bukan– seorang wanita sintal yang mengenakan pakaian two pieces ketat seperti busana senam (yang membuat saya berpikir “Ini orang mau nyanyi apa mau ke gym, sih?”) berwarna kuning dengan aksen biru (yang membuatnya menjadi seperti Uma Thurman dalam Kill Bill minus sepatu Onitsuka kuning), dengan puting yang mengecap pada bajunya.

Tove Lo memperkenalkan dirinya dengan “I am from Sweden, and I come to France always.” Hmm, Sweden, it explains then about the colour of her dress, then. Cuma kurang sablonan nama Ibrahimovic di punggungnya. “It is a dream came true, to be the opening singer for Coldplay concert.”. Ucapnya sambil menunjukkan tato di lengan kirinya.

Berbeda dengan Lyves, saya masih mengetahui beberapa lagu-lagu Tove Lo, karena sering diputar di radio tanah air. Buat yang bingung, coba deh buka YouTube dan cari lagu Tove Lo yang berjudul Habits (Stay High), Cool Girl, ataupun Talking Body.

Omong-omong, bagaimanakah penampilan Tove Lo yang mengenakan celana bertuliskan “Lady Wood” pada hari itu? Bergelora adalah jawabannya, tampil energik dan bergoyang bagai Inul semasa jayanya, Tove Lo memukau semua mata yang hadir. Ditambah lagi, pada lagu Talking Body, dia perlahan memegang ujung bajunya, menggulungnya pelan-pelan ke atas, kemudian memamerkan sepasang payudara beserta putingnya ke seluruh jamaah yang hadir.

Astagh…alhamdulillah! This lady really makes the wood hard. 

Coldplay Paris

Tove Lo

Lalu, mana Coldplay-nya? Sebuah pertanyaan sama yang dilontarkan oleh saya dan ribuan jamaah yang hadir di Stade de France ketika waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Penonton di tribun sudah asyik membuat ‘ombak’ memutar –berharap Coldplay akan segera datang, ketika para kru lapangan sedang melakukan uji coba alat mulai dari peralatan musik, lampu-lampu, hingga kamera.

Pukul sembilan malam lebih, namun malam masih terang, langit masih biru, dan saya masih menunggu di atas rumput stadion yang dilapisi plastik TerraTrak Plus. Pada panggung di hadapan saya, terdapat dua layar besar dengan backdrop untaian bunga berwarna pelangi di belakangnya; Di belakang saya, terdapat enam buah menara lampu yang mungkin kalau di Stadion Jatidiri sudah dipanjat Panser Biroe; Sementara di samping saya terdapat penonton yang sedang melakukan video call, mungkin mengabarkan “Emak, aku sudah masuk stadion, mau nonton Aa Chris Martin, Mak!”.

Kemudian, sekitar pukul 21.15 muncullah Chris Martin and Friends, eh maaf maksud saya, Coldplay, dengan lagu pengantar O Mio Babbino Caro/Ave Maria.

Coldplay Paris

Sebelum bermain dingin seperti sekarang, Coldplay terbentuk di University College London, Inggris, dengan nama Pectoralz (WTF?) di tahun 1996, di mana saat itu hanya ada Chris Martin pada vokal dan keyboard, juga Jonny Buckland pada lead gitar. Setelahnya, masuklah personil paling alim yaitu Guy Berryman (dan Bertaqwa) yang memegang bass, yang membuat mereka mengganti namanya menjadi … Starfish.

WKWKWK! Mungkin mereka habis main dari Belitung pada saat itu.

Baru pada tahun 1998, setelah Will Champion masuk sebagai drummer dan backing vocal, Starfish, wkwk, mengganti namanya menjadi Coldplay, hingga sekarang. Konon lagi, Coldplay meminjam nama band itu dari band lainnya yang tidak ingin menggunakan nama “coldplay” lagi, karena merasa nama itu terlalu membuat depresi.

Namun ternyata mitos itu tidak berlaku bagi band yang dikenal sebagai Coldplay saat ini, karena nama tersebut berhasil membuat mereka melambung, dan dapat menghibur ribuan jamaah yang hadir di Stade de France, termasuk saya.

Coldplay Paris

Xyloband

Ditandai dengan Xyloband yang mulai menyala (setelah diaktifkan tentunya), Coldplay membuka malam itu dengan megah, langsung dengan A Head Full of Dreams yang ceria dan ditemani pertunjukan kembang api di udara. Iya serius, baru mulai, sudah pakai kembang api yang dilontarkan sesuai dengan irama lagi. Malam takbiran lewat pokoknya.

Sekadar informasi, ada saat tur Mylo Xyloto di tahun 2011, Coldplay diberitakan telah menghabiskan dana sekitar 4.22 juta Pound Sterlings (masih jauh lebih murah dibanding transfer Neymar) hanya untuk membagikan gelang yang dapat berubah warna sesuai dengan lagu yang dimainkan. Gelang tersebut kini dibagikan setiap konser Coldplay, dan diberi nama Xyloband.

“Thank you for welcoming us in the most beautiful city in the world.” Dengan bahasa Inggris yang dicampur bahasa Perancis, Chris Martin memberikan pidato sambutan di malam itu. “Thank you for passing the security check, traffic, for the ticket price, for the beverages you buy, etc, etc, … bon soir.”

Sebuah pidato sambutan yang kemudian disambut riuh dan gemuruh para penonton. “We were here five years ago, and we are thank you for giving us the job.”

👏👏👏👏👏👏👏👏👏👏

Lagu kedua yang dibawakan malam itu adalah Yellow, sebuah lagu yang menjadi alasan dan dasar hukum kedatangan saya ke Stade de France. Diiringi dengan permainan laser dan cahaya berwarna kuning, Chris Martin mengajak para jamaah bernostalgia ke tahun 2000 awal.

Baru dua lagu dimainkan, saya sudah sangat bahagia.

Lagu berikutnya adalah Every Teardrops is A Waterfall yang dihiasi oleh confetti warna-warni yang ditebarkan ke seluruh stadion. Atau tepatnya ke arah penonton kelas festival, yang tribun sih, saya tidak tahu.

Pada lagu keempat, saya menangis. Menangis bahagia karena bisa berada di sini.

"Nobody said it was easy
No one ever said it would be this hard."

Pada lagu The Scientist saya pasrah dan berserah, lagu favorit masa-masa kelulusan SMA tersebut dimainkan dengan syahdu oleh Coldplay, dan ingatan saya pun kembali ke video clip lagu yang dibuat dalam gerakan mundur tersebut.  Konon, ketika pembuatannya, Chris Martin harus belajar menyanyi secara mundur untuk lagu ‘The Scientist’ dalam pembuatan video, di mana dia belajar gerakan fonetik untuk menciptakan ilusi bahwa ia menyanyikan kata-kata dalam lagu dengan benar.

Setelah menangis di lagu The Scientist, berikutnya Coldplay memainkan God Put a Smile Upon Your Face dari album A Rush of Blood to The Head di tahun 2002, yang meminta bahwa kita jangan bersedih. Kan bangsat yaaa. Sehabis berbicara tentang Tuhan, Coldplay kemudian memainkan “Paradise.” (Mylo Xyloto, 2011) dengan tema dan permainan cahaya yang warna-warni.

Sebuah lagu tentang impian seorang gadis untuk melihat “Paradise” yang mungkin karena dia belum pernah ke Raja Ampat, yang jangan dinyanyikan ketika naik jeepney di Manila, karena Para berarti “Kiri, Bang!”.

Bagi saya, mengamati perkembangan musik Coldplay ini sangatlah menarik. Dari musik dan video clip yang sederhana di awal kemunculannya, hingga saat ini yang sangat “berwarna-warni” baik dari instrumen musik yang digunakan dan efek video clip yang dipakai. Walaupun mungkin –bagi saya, Coldplay sekarang, bukanlah Coldplay yang sebenarnya, namun saya masih sangat menikmatinya.

Coldplay Paris

Turn your Magicom~

Pada satu kesempatan, Chris Martin, meminta seluruh penonton untuk meletakkan telepon genggamnya, dan hanya menikmati lagu yang akan dimainkan. “This time, just for one song, please no phones, no telephone.” Ujarnya. “We will jump as one big family, where 80.000 people jump together.”

“Let’s go!” Dan terdengarlah intro Charlie Brown. Saya merinding, sebelum meloncat bersama-sama. Sayang tidak ada Agus Yudhoyono yang ikut moshing di sana.

All the boys, all the girls
All that matters that occurs
All the highs, all the lows
As the room is spinning, oh

We'll run wild
We'll be glowing in the dark

Setelah Charlie Brown, lagu yang ditunggu-tunggu generasi masa kini pun dimainkan, yaitu Hymn For The Weekend, yang diambil dari album A Head Full of Dreams di tahun 2015. Sebuah lagu, di mana semua yang hadir bisa melakukan owa-owa berjamaah.

Ah-oh-ah-oh-ah
Got me feeling drunk and high
So high, so high

Oh-ah-oh-ah-oh-ah
I'm feeling drunk and high
So high, so high
Coldplay Paris

Menonton konser Coldplay, berarti bukan hanya sekadar mendengarkan musik bagus, menyanyi dan berjoget bersama, namun ini adalah sebuah pertunjukan seni dan hiburan kelas wahid yang menghadirkan banyak sekali atraksi yang mewarnai tiap lagu yang dibawakan. Kalau kata orang Sunda “Niat pisan eta mah!”.

Dengan opening menggunakan kembang api, menurut saya itu adalah salah satu pembuka yang keren, di mana Coldplay dapat mencuri perhatian sejak awal. Kemudian efek warna-warni xyloband yang membuat lautan manusia di stadion layaknya koreografi harmonis dari ribuan orang secara bersamaan. Belum lagi permainan laser berwarna hijau di God Put a Smile Upon Your Face, munculnya video Muhammad Ali di Everglow, kemunculan balon-balon raksasa di Adventure of A Lifetime, tebaran confetti di A Sky Full of Stars, permainan animasi di Something Just Like This, juga ketika Always In My Head dimainkan, di mana band berpindah ke panggung di tengah lapangan dan jamaah mulai menyalakan senter dari telepon genggamnya tanpa dikomando.

Sebuah pertunjukan musik yang sangat spektakuler!

This slideshow requires JavaScript.

Walaupun sempat diwarnai dengan penonton yang terjatuh –yang membuat Coldplay menghentikan permainannya di lagu A Sky Full of Stars, konser malam itu sangatlah meriah dengan diakhiri oleh lagu Up&Up, dan dapat saya tetapkan sebagai the best music concert I had ever experienced. 

Tidak perlu pamer tetek, Coldplay dapat menghibur jamaah dengan penampilannya yang maksimal. Total 24 lagu dimainkan selama lebih dari dua jam malam itu, termasuk lagu tentang Paris yang dibawakan Chris Martin secara akustik.

I wanna play here again, by the beautiful river of Seine. 

Oh Pari(s) Oh Pari(s) Oh Pari(s).
Coldplay Paris

Jamaah Coldplay Paris

Malam itu akhirnya ditutup dengan orgasme bersama para jamaah yang hadir, yang kelak akan merindukan hadirnya tetek Tove Lo Imam Chris Martin dan konser Coldplay lagi. Semoga saja pada tahun 2018, Coldplay masih tetap diberikan kesehatan, rezeki yang berlimpah, dan tenaga yang tak berkesudahan, untuk melaksanakan konser di Ciledug.

Ada Aamiin, saudara-saudara?

Special Thanks to Ginda Lukita, who arranged this spectacular Coldplay Trip.
Source1
Source 2
Source 3