Could you please come to Sejong Hotel on your tour day to join the tour? Saya membaca surel tersebut sekali lagi, sambil bergerak menembus pagi di Myeongdong. Pada bagian bawah surel tersebut, tertulis bahwa kami harus berkumpul pukul 07.10, dengan tambahan keterangan “Please be on time! (we cannot be late for the assigned time in JSA.)”. Tangan kanan saya masih tetap men-scroll layar handphone, sementara tangan kiri, saya masukkan ke dalam saku jaket, di mana di dalamnya sudah terdapat tangan Neng. LOH KOK?

“Dingin, Mas.” Jelasnya. Saat itu pukul tujuh pagi di bulan Desember, di mana Korea sedang memulai musim dinginnya, dan wajar rasanya apabila kami, sebagai penduduk negara tropis, merasa kedinginan pada suhu di bawah 10 derajat Celsius itu. Saya mengenakan jaket down berwarna biru muda dengan sweater turtle neck berwarna biru gelap (bukan, bukan untuk menutupi bekas cupang) di dalamnya, sementara Neng mengenakan sweater milik saya (juga berwarna biru), dengan syal yang dililitkan ke lehernya (yang ini juga milik saya). Sekadar informasi, kami masih tetap mengenakan celana.

“Tenang, sebentar lagi sampai kok.” Kali ini saya membuka aplikasi Maps di handphone, sambil memastikan bahwa kami tidak salah jalan, sebelum akhirnya berhenti berjalan dan masuk ke dalam Sejong Hotel. Saya kembali melirik handphone dan melihat jadwal yang tertera.

Meeting Point Sejong Hotel, 1st floor in front of front desk

Tak lama menunggu, tidak sampai terlalu lama sendiri, datanglah seorang pria berperawakan kecil dan berambut klimis, dengan kacamata bulat yang bertengger di hidungnya. Pria itu mengenakan setelan jas dengan kemeja putih di dalamnya, dan sebuah scarf  berwarna merah biru yang melilit lehernya, makin membuatnya terlihat lebih modis dari saya. Sungguh menarik bahwa di usianya yang –saya taksir– lebih dari lima puluh tahun, pria tersebut masih memperhatikan penampilan.

“Hi, are you here for the JSA Panmunjom Tour?” JSA adalah kepanjangan dari Joint Security Area, yaitu batas terluar Korea Selatan dan berbatasan langsung dengan Korea Utara, yang dijaga oleh tentara gabungan, yaitu Korea Selatan dan Amerika Serikat.

Saya mengangguk, dan pria tersebut mengajak kami ke dalam bus yang sudah menanti di depan hotel. “I am Arif, from Indonesia.”

Korean Border JSA

My name is SP Hong. You can call me Mr. Hong, or SP.” Pria tersebut memperkenalkan dirinya di dalam bus yang kini sudah terisi penuh oleh penumpang. Setelah kami, bus tersebut berhenti di beberapa tempat untuk menjemput tamu yang lain, sebelum bergerak menuju perbatasan. “SP, is a short for my Korean name, but you can translate it to Special Present, or Special One.”

Wah, jangan-jangan dia adalah Jose Mourinho yang menyamar?

Sambil melaju melewati Sungai Han yang membelah Seoul menjadi dua bagian, utara dan selatan, SP bercerita sekilas mengenai Seoul: Sejarahnya, kependudukannya, juga peristiwa terkini yang baru saja terjadi, yaitu impeachment atau kudeta yang melanda Presiden Korea saat itu Park Geun-hye, yang diminta mundur karena dinilai kolusi dan nepotisme.

“The impeachment was happened yesterday in that green dome building across the river.” Tunjuknya. “A place where the building stands, is called Delta Island. The Manhattan of Seoul.”

“Oooh.” 

“Seoul is a mixed from traditional and modern culture… and Seoul have many satellite cities, 14, where each city contains 1 million people.” Lanjutnya. “…the end of World War II was the start of the tragedy, where Korean Peninsula divided into two…”

Saya masih ber “ooh ooh ooh” terus mendengar penjelasan SP, hingga tanpa sadar bus sudah melambatkan lajunya, dan kemudian berhenti di pelataran parkir yang cukup luas, yang mampu menampung tiga lusin bus berukuran besar. Berikutnya, SP meminta waktu untuk turun dan mengurus perizinan masuk ke JSA.

Tak lama kemudian, SP kembali ke dalam bus, dan diikuti oleh seorang tentara berbadan tegap, berwajah tegas, setegas Taylor Lautner.

DHEG!


Seorang tentara berbadan besar dan berbisep kencang memasuki bus dengan lengkah tegapnya, sementara seragam US Army yang dikenakan makin membuatnya tampak berwibawa. Pada lengan kanan seragamnya terdapat badge bendera Amerika Serikat, sementara pada lengan satunya, tersemat badge JSA Panmunjom. Pada sisi kanan celananya terdapat pistol berwarna hitam dan keras, sementara pada bagian belakangnya terdapat sebuah radio penyeranta yang kadang berbunyi sendiri.

Pria itu bergerak menyisir bus dari depan ke belakang, sambil menatap tiap penumpang bus. Kaca mata hitam yang dipakainya, justru membuat kami makin segan melihat wajahnya. Pagi itu cerah, di mana seharusnya menjadi pagi yang menyenangkan, namun rasa was-was ketika akan memasuki wilayah perbatasan antara Korea Selatan dan Korea Utara, tetap membuat degup jantung saya semakin kencang. Mungkin inilah salah satu pengalaman traveling saya yang paling menegangkan.

Good morning, everybody.” Sapanya ke kami, “My name is Sergeant Garcia, and I will escort you to JSA today.

Sambil menumpangi bus yang berjalan kembali, Sersan Garcia bercerita sedikit mengenai wilayah yang akan kami kunjungi pagi itu, yaitu JSA. Sebuah wilayah yang menjadi batas wilayah antara dua negara serumpun yang masih melakukan ‘perang dingin’ hingga sekarang, yaitu Korea Selatan dan Korea Utara.

Dahulu kala, Korea memang merupakan satu kesatuan di bawah kekuasaan Jepang, hingga pada tahun 1941 dimulailah pergolakan akibat keisengan Jepang menyerang Pearl Harbor yang merupakan markas militer Amerika Serikat yang mengakibatkan makin memanasnya Perang Dunia ke-II antara Pihak Sekutu (Amerika Serikat, Rusia, Inggris, dan Tiongkok) melawan Pihak Poros (Jerman, Jepang, dan Italia).

Beberapa tahun setelah serangan Jepang tersebut, di tahun 1945, Sekutu membalas dengan menurunkan bom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, yang sekaligus mengakhiri Perang Dunia ke-II, dengan berita kekalahan Jepang. Akibatnya, Korea mulai memisahkan diri dari Jepang, dan memulai sebuah tragedi baru bagi rakyat Korea, ketika dipisahkannya Korea Utara dan Korea Selatan melalui sebuah perjanjian pasca perang.

Korea Utara dengan paham komunisnya, dan Korea Selatan dengan kapitalisnya. “With the influence of Russia in the north (Korea), and USA in the south (Korea), it is like a small scale of world war.” Kelakar Sersan Garcia.

“Hehehe.” Saya tertawa kecut.


Berikutnya, bus berhenti di depan sebuah bangunan yang merupakan JSA Visitor Center, di mana para pengunjung harus menandatangani sebuah surat pernyataan pertanggungjawaban atas keselamatan pribadi karena memasuki wilayah perbatasan Korea. Masuk ke salah satu zona paling berbahaya di dunia, mungkin hanya Tuhan dan Kim Jong-un yang dapat menyelamatkan nyawa kami.

Di ruangan yang sama, kami juga diminta untuk mendengarkan sedikit presentasi mengenai sejarah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan yang dibawakan oleh Lambert, rekan Sersan Garcia. Iya, dia benar-benar melakukan presentasi kok, bukan menyanyi Mad World atau Whataya Want From Me? seperti yang saya harapkan.

Mulai dari sejarah perang, pembagian wilayah Korea Selatan dan Korea Utara dengan membuat Demilitarized Zone (DMZ) sepanjang dua kilometer ke selatan dan dua kilometer ke utara dari batas negara, dibentuknya JSA di dalam DMZ yang dijaga oleh US Army dan tentara Korea Selatan, hingga beberapa kunjungan dari tokoh-tokoh penting dunia seperti George W Bush, dan Hillary Clinton ke JSA. Semua disampaikan dengan bahasa American-English yang sangat cepat dan fasih, hingga membuat saya geleng-geleng kagum.

Sesi itu ditutup tanpa tanya jawab, padahal ingin hati bertanya, “Dulu nilai TOEFL-nya berapa, Bert?”.


Setelahnya, kami berganti bus resmi milik JSA dan mulai memasuki momen paling menegangkan dalam perjalanan hari itu, di mana kami bergerak menuju perbatasan yang sesungguhnya. “No pictures on the way there.” Perintah Sersan Garcia.

Korean Border JSA

Sergeant Garcia

Pada kiri dan kanan jalan, saya menyaksikan beberapa bendera berkibar, yaitu bendera PBB, bendera Amerika Serikat, dan bendera Korea Selatan. Sementara pohon-pohon tumbang, gulungan kawat-kawat berduri, juga sesekali terlihat di jalan menemani endapan salju yang masih menempel di rumput yang mengering. Di depannya lagi, terdapat lapangan golf yang disebut sebagai “The Most Dangerous Golf Course” karena perang bisa meletus kapan saja di sana.

Sebuah tank menyambut kami di pintu masuk JSA, sementara di belakangnya terdapat puluhan tentara sedang berlatih perang di sebuah lapangan kecil, mirip lapangan baseball.

Dari situ, kami menuruni bus kembali, dan diarahkan untuk masuk ke dalam bangunan yang disebut Freedom House. Kami dibagi menjadi dua kelompok yang berbaris di kiri dan kanan tangga. Kami dilarang untuk berhenti berjalan apapun yang terjadi, juga tidak boleh mengambil foto ketika berjalan.

“C’mon, let’s go!” Sersan Garcia memberi aba-aba, sambil meminta kami menaiki tangga. Pemandangan yang menyambut kami berikutnya, membuat degup jantung saya menjadi semakin kencang.

Sepasang bangunan berwarna biru muda menyambut kami, bersama dengan tiga orang tentara berseragam yang berjaga sambil membelakangi kami dan menghadap tembok. Bukan, mereka bukan sedang berbicara dengan tembok, atau berlatih dance, namun mengawasi wilayah Korea Utara yang terdapat beberapa meter di hadapannya.

Berikutnya, kami mendapat pengarahan kembali dari Sersan Garcia, yang ternyata baru 2,5 tahun ditugaskan di JSA. Kali ini tentang bangunan berwarna biru muda yang terdapat di belakangnya. Sebuah bangunan yang bernama Conference Building, tempat pihak Korea Utara dan Korea Selatan berdiskusi tentang apa saja, mulai dari masalah perdamaian dunia, masalah drama Korea, ataupun tentang potongan rambut presidennya.

Beberapa meter di belakang bangunan berwarna biru muda tersebut terdapat bangunan megah berwarna abu-abu kecoklatan yang ternyata, merupakan bangunan milik Korea Utara.

Korean Border JSA

Di akhir pengarahan singkat tersebut, Sersan Garcia mengajak kami untuk masuk ke dalam Conference Building, dan melihat isinya.

Dua buah meja panjang terdapat dalam ruangan, dengan beberapa meja kecil tersedia untuk menemani kursi-kursi di pinggiran meja. Sementara sepasang tentara berjaga –seorang di sisi kiri ruangan, dan seorang lainnya di ujung ruangan– dengan pandangan lurus ke depan, dan sikap tegap sempurna, tanpa gerakan yang berlebih.

Saya berpikir, ini tentara bagaimana kalau mau ngupil ya? Kemudian kalau semua pengunjung sudah keluar ruangan, apakah iya mereka masih jaim seperti ini, atau malah mereka haha hihi sambil adu panco?

Korean Border

Apabila diperhatikan dengan seksama, sepasang tentara tersebut berkulit mulus –bahkan lebih mulus dari Neng dan Bella Sophie, semulus artis Korea yang sering saya lihat di televisi. Di ruangan tersebut, berlaku aturan yang berlaku untuk para pengunjung yang datang terhadap para tentara yang berjaga, yaitu “Lihat boleh, pegang jangan.”.

Supaya bisa kembali dengan selamat sentosa ke tanah air, jangan iseng untuk melakukan hal-hal yang tidak terpuji, seperti bermain mata, meminta nomor handphone, menggoda CIKUK! CIKUK!, mencubit putingnya, ataupun mencoret-coret wajah tentaranya dengan pylox dan menuliskan “ARIEV STM 19 WAS HERE.”.

Di sinilah batas akhir Korea Selatan dan Korea Utara di mana pengunjung umum bisa memasukinya. Di belakang tentara yang berjaga di ujung, terdapat sebuah pintu yang dapat membawa saya ke Korea Utara. Boleh kok membuka pintu itu dan masuk ke Korea Utara, namun tidak ada yang akan bertanggung jawab atas keselamatan kamu.

Oh ya, di balik pintu itu, mungkin hanya Kim Jong-un yang dapat menyelamatkanmu.

Catatan: Untuk mengunjungi JSA, kamu dapat menggunakan jasa tour operator di Korea, seperti misalnya Cosmojin yang mempunyai paket JSA + DMZ dengan biaya mulai 137.000 Won per orangnya. 

Tur ini tidak berangkat setiap hari, dan mempunyai kuota peserta yang sangat terbatas setiap kunjungan, maka cek jadwalnya, dan pesanlah turnya dari jauh-jauh hari.