Pada kunjungan kedua ke Flores, yaitu di tahun 2016, saya sempat membayangkan bahwa daerah-daerah lain di Flores akan seperti Labuan Bajo –yang merupakan kota pertama dan satu-satunya di Flores, yang saya datangi beberapa tahun sebelumnya– yang dapat dikatakan sudah cukup maju, dengan tingkat pembangunan yang layak. Namun ternyata saya salah, karena berdasarkan pengamatan saya pada saat liburan sembilan hari melakukan road trip di Flores, masih terdapat persoalan pembangunan dan beberapa hal yang masih belum memadai.

Sebut saja misalnya kondisi jalanan yang masih berlubang, sinyal komunikasi telepon dan internet yang tidak stabil di beberapa daerah, juga kualitas dan persebaran listrik yang tidak merata.

Dalam perjalanan ke Moni, minibus yang saya tumpangi sempat berhenti cukup lama pada jalanan yang terletak di pinggiran jurang, dikarenakan adanya longsoran tebing di sisi kanan jalan. Saat itu, kami menunggu excavator bekerja membersihkan sisa tanah longsoran yang seharusnya mungkin bisa dicegah dengan pembangunan tembok penahan longsor pada tebing yang konturnya terlihat sangat rawan longsor dan sudah pernah longsor beberapa kali tersebut.

Jalan menuju Moni

Mengenai komunikasi, hanya ada satu provider yang mampu bekerja baik di Flores, itupun dengan kualitas jaringan internet yang seadanya. Saya hanya mendapatkan jaringan 3G dan 4G di Labuan Bajo, sementara di daerah lainnya, kadang-kadang saya hanya mendapatkan EDGE, atau bahkan hingga hilang sinyal.

Cerita lucu dan sedikit miris justru saya dapat ketika saya berada di Dintor, dan ingin menghubungi istri namun tidak mendapatkan sinyal di sana. Salah seorang penduduk lokal menyarankan, “Wah, di sini kalau mau dapat sinyal, harus menyeberang ke Pulau Mules.”, dan saya pun menyeberang setelah membujuk beberapa teman perjalanan untuk patungan sewa kapal. Ketika teman yang lain asyik menikmati pantai, saya mencoba menyalakan telepon genggam, mencoba mengontak istri setelah dua hari menghilang dengan sinyal EDGE pas-pasan yang saya peroleh.

Saya sempat mengetes sinyal dengan mengirimkan WhatsApp ke istri, menanyakan apakah sedang bisa ditelepon apa tidak. Kemudian setelah mendapat jawaban berupa kata ‘iya’, sinyal EDGE tersebut hilang. Saya mencoba berpindah tempat, dari pantai yang penuh kotoran sapi, hingga memasuki kampung muslim di Pulau Mules, dan ketika sinyal muncul lagi, istri sudah kadung ngambek dan tidak mau mengangkat telepon.

Girls! 

Pulau Mules

Pulau Mules (Mules atau Molas dalam bahasa setempat berarti cantik)

Semoga saja ke depannya, pemerintah dapat segera membangun menara pemancar sinyal yang mencukupi di Flores, sehingga penduduk Flores dapat menikmati komunikasi tanpa batas, dan perpecahan hubungan rumah tangga antara pria yang berliburan ke Flores dengan meninggalkan istrinya di Jakarta dapat diatasi.


Fokus saya sebenarnya adalah pada bidang energi, tepatnya di energi listrik, karena saya sempat mengalami beberapa pengalaman unik terkait dengan ini. Memang sebelum berangkat ke Flores, saya sudah diwanti-wanti untuk membawa powerbank berdaya besar untuk telepon genggam dan beberapa baterai cadangan untuk kamera karena akan menghabiskan banyak waktu di perjalanan juga dengan kondisi listrik di Flores yang dikatakan ‘tidak menentu’.

Walaupun sempat tak menghiraukan peringatan tersebut, nyatanya saya tetap membawa powerbank dan baterai cadangan, yang ternyata memang bermanfaat di Flores. Apalagi dengan pengalaman-pengalaman yang saya alami berikut ini.

Sempat Mati Listrik di Moni

Saya menghabiskan malam pertama perjalanan di Flores dengan menginap di Moni, sebuah perkampungan di kaki Gunung Kelimutu yang kerap dijadikan sebagai basecamp dan titik permulaan bagi mereka yang ingin menuju Kawah Kelimutu. Di sini, saya sempat mengalami mati listrik pada sekitar pukul tujuh malam, yang membuat saya berjalan dalam kegelapan ketika menuju warung tempat makan malam, walaupun beberapa waktu kemudian, listrik sudah menyala lagi.

Saat itu, saya sadar bahwa oglangan tidak hanya terjadi di Jawa saja.

Ketika ingin memotret milky way malam itu, saya sempat mematikan beberapa buah lampu, dan berkawan dengan kegelapan demi mendapatkan hasil foto yang saya inginkan. Nah, kalau ini memang mati listrik yang disengaja.

Milkyway Flores

Tak Ada Penerangan di Kelimutu

Pagi masih buta ketika kami berangkat dari Moni untuk menuju Kawah Kelimutu; hari itu, kami dijadwalkan untuk menyaksikan matahari terbit di Kawah Kelimutu. Sepanjang perjalanan, hanya ada lampu minibus kami yang menerangi jalan, tanpa adanya lampu penerangan pada kanan-kiri jalan. Sebuah hal yang sedikit membahayakan, mengingat medan yang kami lalui adalah jalanan berkelok dengan jurang terjal di pinggiran jalan.

Setibanya di halaman parkir Kawah Kelimutu, kami masih harus melakukan trekking menyusuri hutan dengan melintasi beberapa trek berupa jalanan tanah yang licin untuk menuju viewpoint Kawah Kelimutu. Yang membuat perjalanan ini menjadi sedikit berisiko adalah minimnya penerangan yang tersedia, yang berpotensi menimbulkan kecelakaan atau cidera pada pengunjung. Padahal untuk ukuran objek wisata, Kawah Kelimutu selalu menarik banyak pengunjung setiap harinya, terutama di kala sunrise.

Praktis, pagi itu, sekitar pukul empat pagi, kami melakukan trekking dengan menggunakan penerangan seadanya dari senter telepon genggam yang kami punyai yang ditambah dengan cahaya bintang di langit. Pada satu titik, saya sempat berhenti dan memotret iseng milky way dengan kamera saku yang saya bawa, ternyata berhasil.

Milkyway Flores

Perjalanan berlanjut dengan mendaki tangga demi tangga menuju puncak viewpoint, masih di dalam kegelapan, dengan sesekali bau belerang lewat menembus hidung. Di puncak, bersama puluhan atau ratusan pengunjung yang lain, saya berhasil mendapatkan salah satu sunrise terindah yang pernah saya abadikan.

Sunrise Kelimutu

Listrik yang Tak Merata di Riung

Berikutnya, kami sempat menginap selama dua malam di Riung. Malam pertama untuk beristirahat akibat perjalanan dari Ende, yang melewati banyak sekali jalanan rusak dan berlubang di Mbay, menuju Riung. Sementara malam kedua, guna beristirahat untuk mengembalikan kebugaran setelah melakukan island hopping ke gugusan 17 Pulau di Riung.

Malam hari di Riung, adalah malam bercahaya penuh bintang dengan bintang-bintang yang bertebaran di langit, kontras dengan persebaran listrik yang tak merata di daratan.

Restoran di Riung

Sepanjang pengamatan saya, listrik hanya menyala di beberapa tempat, terutama warung, restoran, dan penginapan. Sementara sisanya gelap, termasuk listrik yang seharusnya dapat menerangi kantor BRI dan rumah-rumah di Riung. Kendala muncul ketika saya harus mengerjakan artikel di Riung, dan harus dikirim malam itu juga via email. Sinyal komunikasi yang pas-pasan dan lambat, membuat saya banyak istighfar, dan mengelus dada. Dada sendiri.

Anjloknya Listrik di Bajawa

Lain lagi cerita yang saya dapat di penginapan yang kami inapi di Bajawa, di kaki gunung Inerie. Di sana listrik sempat anjlok beberapa kali akibat ulah salah seorang teman yang menggunakan hair dryer untuk mengeringkan rambutnya. Iya, pengering rambut elektronik yang dibawanya dari Jakarta, memang berjasa mengeringkan rambutnya, namun berhasil membuat listrik seluruh penginapan mati total.

Girls!

Milkyway Flores

Di sini, kualitas listrik mungkin masih belum sebagus di kota besar seperti Labuan Bajo atau bahkan Jakarta, sehingga tegangannya masih sering naik turun dan tidak stabil.

Di Ruteng, Listrik Aman-aman Saja

Kota selanjutnya yang kami tuju adalah Ruteng, yang dikenal sebagai “Kota Seribu Biara” karena di kota kecil yang hanya memiliki luas wilayah 7.136,4 km² ini, terdapat lebih dari 50 komunitas biarawan/biarawati bermacam kongregrasi religius dari berbagai negara di dunia.

Di kota yang juga memiliki kantor pajak ini, surprisingly listrik aman-aman saja. Tak ada daerah yang gelap karena mati listrik, juga tak ada listrik yang anjlok karena kami menggunakan hair dryer. Di kota ini, saya juga menjumpai sebuah pasar malam yang ramai dengan pengunjung dan atraksinya yang berkelap-kelip dari kejauhan. Sebuah pasar malam klasik yang mengingatkan akan pasar malam di Pati ketika saya kecil.

Pasar Malam Ruteng

Tak Ada Listrik Malam Itu di Dintor

Dari Ruteng, kami menuju Dintor yang digunakan sebagai base camp sebelum mendaki Wae Rebo. Sebenarnya ada dua desa yang biasa dipakai sebagai base camp, yaitu Dintor dan Denge. Alasan kami memilih Dintor yang letaknya sedikit lebih jauh daripada Denge, adalah pemandangan yang disajikan sangatlah menarik. Hamparan sawah di depan penginapan, berpadu dengan laut dan pemandangan Pulau Mules di kejauhan.

Namun, Dintor yang menawan ini juga ternyata memiliki masalahnya sendiri. Selain sinyal komunikasi yang susah –dan harus menyeberang ke Pulau Mules untuk mendapatkannya, di sini, listrik hanya ada di pagi dan siang hari, kemudian padam selepas makan malam.

Dintor

Apabila sedang baik, pemilik penginapan bisa menyediakan genset untuk menopang kebutuhan listrik di malam hari, namun tentunya ini bukan tindakan yang tepat dan hemat energi, karena sesungguhnya dibutuhkan langkah nyata pemerintah untuk melakukan pemerataan pembangunan hingga ke pelosok. Khususnya pada daerah-daerah yang mempunyai kontribusi penting terhadap pariwisata dan pendapatan daerah dan/atau negara.

Listrik Hanya Ada Malam Hari di Wae Rebo

Lain di Dintor, lain pula di Wae Rebo. Pada desa cantik di atas awan yang hanya dapat dicapai dengan berjalan kaki dari Denge selama 3-4 jam untuk pemula yang sedikit obesitas seperti saya, listrik hanya ada pada malam hari, sementara pada siang hari hampir bisa dipastikan tidak ada listrik.

Milkyway Flores

Di Wae Rebo yang terletak pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut ini, energi listrik didapatkan dari solar panel yang dipasang di atap-atap rumah penduduk. Energi yang diserap dari matahari di siang hari, dimanfaatkan untuk kepentingan warga dan pengunjung desa di malam hari. Untuk warga lokal, khususnya anak-anak, listrik sangat dimanfaatkan untuk menyalakan lampu yang kemudian dapat digunakan sebagai alat penerang untuk membaca buku.

Oh iya, saya belum bilang ya kalau anak-anak di Wae Rebo suka sekali membaca buku dan selalu haus akan pengetahuan baru? Ya, andai saja ada internet di sini yang mampu menambah wawasan dan membuka cakrawala baru bagi anak-anak Wae Rebo.

Anak-anak Wae Rebo

Selain itu, listrik di sini penting untuk turis-turis yang ingin mengisi ulang daya baterai kamera maupun telepon genggamnya. Namun percuma juga telepon genggam terisi penuh, kalau tidak ada sinyal komunikasi sama sekali, bukan?

Epilog – Program Indonesia Terang

Sepanjang perjalanan saya mengunjungi berbagai tempat di Indonesia, Flores adalah salah satu tempat yang membuat saya jatuh cinta, baik karena kekayaan alamnya maupun terhadap keramahan penduduknya. Namun siapa yang menyangka, di balik keindahannya, Flores masih memiliki tantangan infrastruktur dan energi yang harus dipecahkan bersama.

Salah satu solusinya, adalah dengan Program Indonesia Terang yang dicanangkan pemerintah untuk memenuhi target peningkatan rasio elektrifikasi nasional dari 85 persen pada tahun 2015 menjadi 97 persen di tahun 2019. Selain itu, program ini juga menjadi bagian dari target pemerintah menyediakan akses penerangan bagi masyarakat Indonesia secara merata melalui pembangunan pembangkit listrik berdaya 35.000 MW.

Hingga saat ini, masih ada 12.659 desa tertinggal yang belum memperoleh akses listrik dari jaringan Perusahaan Listrik Negara (PLN), bahkan 2.519 desa diantaranya belum terlistriki sama sekali. Desa-desa ini sebagian besar tersebar di wilayah Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara.

2-indonesia-belum-terang

Sehubungan pula dengan Hari Listrik Nasional, yang jatuh pada 27 Oktober 2016, saya berharap bahwa Program Indonesia Terang akan segera direalisasikan, sehingga listrik berkualitas dapat segera dinikmati bukan hanya di kota-kota besar, melainkan juga dapat menjangkau teman-teman yang berada di pelosok negeri.

Hal tersebut sejalan juga dengan tema Hari Listrik Nasional tahun ini yaitu mewujudkan Catur Cita Ketenagalistrikan, Kecukupan, Kompetitif, Berkelanjutan, untuk Menuju Indonesia Terang.

Hari Listrik Nasional 2016

Program Indonesia Terang, sedianya akan dilaksanakan tahun ini, dimulai dari kawasan Indonesia Timur, dengan berupaya melistriki 10.300 desa hingga akhir 2019, yang dimulai di enam provinsi paling timur Indonesia, yaitu Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

Strategi pertama dalam implementasi program ini adalah dengan memaksimalkan pemanfaatan energi setempat yang erat kaitannya dengan energi terbarukan, seperti energi surya, air, angin, biomassa, hingga arus laut. Dengan memanfaatkan energi setempat, pembangunan pembangkit dan transmisi listrik dapat dibangun secara lokal (off-grid), berbasis desa atau pulau, dan tak harus menunggu datangnya jaringan listrik dari pusat.

Seperti dilansir dari Siaran Pers Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki kelimpahan potensi energi terbarukan. Diperkirakan hingga lebih dari 300.000 MW, namun pemanfaatannya saat ini masih sangat minim, atau kurang dari tiga persen, dengan kendala utama pemanfaatan energi terbarukan adalah akses kepada teknologi energi terbarukan yang masih mahal.

energiterbarukan

Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju dan kerjasama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat, semoga saja, energi terbarukan dapat segera dimanfaatkan secara baik di Indonesia, sehinga kelistrikan Indonesia tidak lagi bergantung terhadap batubara dan minyak bumi.

Semoga saja, Program Indonesia Terang dan listrik 35.000 MW yang dicanangkan pemerintah segera terwujud, dan listrik akan segera mengaliri Indonesia. Semoga saja pula, tarif listriknya dapat ditekan supaya lebih murah dan terjangkau bagi semua kalangan masyarajat.

Saya membayangkan sebuah Indonesia yang terang benderang, dengan listrik yang menjangkau seluruh pelosok negeri. Untuk menyalakan lampu di desa-desa, untuk membantu kemajuan pendidikan di kampung-kampung, untuk menggerakkan sektor-sektor ekonomi strategis di daerah-daerah, untuk membawa Indonesia lebih maju dan lebih baik.

Selamat merayakan Hari Listrik Nasional! 💡💡💡