Malam itu, kami keluar dari Venustempel, Amsterdam Sex Museum, dengan perasaan yang berbeda. Neng mengaku jijik dan geleuh setelah mendapati berbagai macam benda-benda berbau porno di dalam museum, sementara saya justru merasakan hal yang sebaliknya, yaitu senang dan excited, karena mendapatkan beragam pengetahuan baru tentang seks yang menjejali diri saya yang masih innocent. Beragam pengetahuan baru untuk segera diterapkan ke pasangan, maksudnya. Maklum, namanya juga pengantin baru, jangan iri.

Angin dingin yang bertiup sepanjang Damrak Street, membuat Neng harus melilitkan syal di leher, dan memaksa saya untuk mengenakan kupluk hingga menutupi kuping. Saya memegang tangan Neng yang terasa lebih dingin dari Amsterdam, mencoba untuk memberikan sedikit kehangatan malam itu. Sambil mendekatkan badan ke arah Neng, saya membisikkan sesuatu kepadanya.

“Neng, ke Red Light District, yuk.”


“Aku lapar, Mas.”

KRUCUUUK! Sebuah suara muncul dari perut saya, mengindikasikan bahwa saya juga lapar. Ternyata kami mirip: Neng lapar, saya lapar, mungkinkah ini yang disebut jodoh? Maklum saja, ini adalah hari pertama kami di Amsterdam, dan saya langsung mengawalinya dengan mengunjungi Sex Museum, tanpa memedulikan urusan perut, hanya memikirkan kepentingan bawah perut.

Restaurant and Pastry Shop Amsterdam

Pandangan saya menyapu sekeliling Damrak Street dan langsung tertumbuk pada sebuah restoran dengan logo berwarna merah dan kuning yang nampak sangat familiar. “Kayak kenal ya.”. Konon, logo berwarna merah dapat membuat orang yang melihat menjadi lapar, sementara warna kuning dapat mengingatkan saya pada Setya Novanto.

“Iya.” Berikutnya, kami melangkah memasuki McDonald’s dan memesan sepasang burger dengan dua kotak kentang goreng. Sepertinya, malam ini kami akan butuh banyak tenaga untuk menjelajah Red Light District.

Beruntungnya, kami berada di pusat kota Amsterdam, di mana banyak restoran dan toko-toko penganan lain berada. Dalam perjalanan ke Red Light District, kami sempat mampir ke sebuah toko kue dan mencicipi beberapa kue buatannya.

“Buset, ada Nutella segede gentong!” Tunjuk saya ke sudut toko, tempat berdrum-drum Nutella berada. Di Indonesia, kalau ada yang sebesar ini pasti sudah habis dirubung semut, atau habis dimakan bersama nasi putih.

Amsterdam’s Gift and Specialty Shop

Selain restoran-restoran dan toko kue, kami juga sempat melewati beberapa toko unik di Amsterdam yang menjual barang-barang kebutuhan khusus. Seperti misalnya Budha Winkel yang menjual beberapa suvenir-suvenir unik dan quirky, Amsterdam Duck Store yang menjual berbagai jenis mainan bebek karet, Seed Bank yang menjual benih-benih ganja dan peralatan hisapnya, Female & Partners yang menjual berbagai macam dildo, hingga Mario Shop yang menjual “Magic Mushroom” untuk teler.

Namun, pilihan kunjungan kami malam itu bukanlah itu, melainkan sebuah toko mungil dengan untaian cantik dari berbagai bentuk kondom warna-warni di etalasenya, bernama Condomerie.

Amsterdam Red Light District - Condomerie

Di dalam Condomerie, kami menemukan berbagai macam kondom, beraneka ukuran, beraneka material, beraneka bentuk, dan beraneka warna, dengan seorang wanita di loket yang ramah mempersilakan kami masuk.

Namun sayang, saya tidak menemukan ukuran Pipa Lapindo di sana, sehingga kami langsung meninggalkan Condomerie dan melangkah menuju…

Red Light District Amsterdam

Aroma daun yang dibakar –sepertinya ganja, tajam menusuk hidung, ketika kami berbelok dari Oude Doelenstraat menuju Oudezijds Achterburgwal. Rumah-rumah khas Belanda berdiri tegap di sepanjang kanal, dengan beraneka neon sign yang menunjukkan nama dan fungsi bangunan-bangunan tersebut, mayoritas berwarna merah.

Itulah kawasan yang dikenal sebagai Red Light District Amsterdam, lokasi prostitusi legal paling terkenal di dunia, yang sudah ada bahkan sebelum abad ke-20 dimulai. Hate it or love it, daerah ini adalah salah satu daya tarik Amsterdam yang sayang apabila dilewatkan. Paling tidak kalau tidak bisa beli, ya cukup dilihat, atau dilirik saja.

Amsterdam Red Light District

“Itu apaan, Mas?” Tunjuk Neng ke salah satu jendela rumah.

“Eh, jangan ditunjuk. Kaya mau beli.” Di dalam jendela bermandikan cahaya kemerahan –atau lebih tepat apabila disebut sebagai etalase, saya melihat perempuan berkulit putih khas Kaukasus dengan tinggi sekitar 170 cm yang mengenakan busana minim –hanya dengan bra dan celana dalam berwarna putih, tanpa adanya bulu jembut yang keluar dari celana dalam. Wajahnya cantik dengan mata birunya yang indah, hidungnya mancung, bibirnya berwarna plum, yang makin menggairahkan dengan rambut berwarna brunette yang dibiarkan menjuntai hingga melebihi bahu, menempel di dadanya.

Perempuan itu sedang menggeliat dan berjoget seksi seperti wanita-wanita di BIGO Live, sambil sesekali mengerlingkan pandangan ke arah orang-orang yang lewat. Berikutnya, perempuan itu menjentikkan jarinya ke arah saya, mengedipkan sebelah mata, menggigit bibir bawahnya, dengan gestur tubuh yang seakan berkata “Gagahi aku Mas Bram, gagahi aku.”

Aduh. Kalau gak ingat dompet, eh istri, bisa-bisa saya tergoda.

Astaghfirullah.” Sebagai traveler syariah, saya tidak boleh tergoda. Batin saya, sambil mengelus dada. Dada Neng.

Adult Night Club Amsterdam

Selain etalase-etalase rumah bordil penuh dengan wanita-wanita yang sedang menggelinjang, Red Light District juga dipenuhi dengan hiburan-hiburan dewasa, seperti kafe-kafe yang menyediakan pertunjukan untuk pria dewasa seperti striptease, lap dance, pole dance, hingga sex show.

Sempat tergoda untuk mampir di salah satu tempat tersebut, namun saya ingat akan adanya cincin di jari manis, dan Neng yang ada di samping saya. “Lain kali saja deh, kalau tidak sedang sama istri.”

Namun, Red Light District bukan hanya sekadar prostitusi dan pertunjukan striptease, melainkan lebih kaya dari itu. Di daerah yang disebut sebagai Rossebuurt (Bahasa Belanda untuk kawasan merah/red neighbourhood) oleh warga Belanda, faktanya adalah salah satu kawasan terindah di Amsterdam dengan kanal yang membelah kawasan tersebut menjadi dua bagian, bangunan-bangunan tua abad ke-14, dan jalanan klasik bebas kendaraan bermotor yang dirawat dengan baik.

Belum lagi, adanya restoran dan museum-museum unik yang terdapat di daerah ini, yang makin menambah semaraknya Red Light District. Dari daerah penuh kegelapan, sekarang menjadi daerah yang lebih terang, karena sudah ada neon berwarna merah.

Sekadar informasi, Red Light District adalah salah satu penyumbang dana kota terbesar di Amsterdam, karena atas jasa yang dilakukan oleh pekerja seks di sini, langsung dipotong pajaknya. Dengan berkembang dan legalnya prostitusi di sini, harapan saya, semoga Bu Risma tidak terpilih menjadi Walikota Amsterdam.

Red Light Secrets: Museum of Prostitution

Saya tidak menyesal, karena telah memaksa Neng untuk masuk kembali ke salah satu museum yang terdapat di Red Light District yang bernama Red Light Secrets: Museum of Prostitution, karena ini adalah salah satu museum paling keren yang pernah saya datangi.

Sebenarnya, Neng sempat trauma untuk masuk ke dalam museum di Amsterdam karena pengalaman kurang mengenakkan di Venustempel, yaitu jijik dan geleuh dengan koleksi yang disajikan. Namun dengan iming-iming uang belanja dan servis rutin plus ganti oli, akhirnya Neng pun pasrah mengikuti keinginan saya, masuk ke Museum of Prostitution.

“Assalamualaikum!”

Red Light Secrets: Museum of Prostitution

Setelah membayar tiket seharga 8 Euro per orang (harga asli 10 Euro, namun saya mendapat diskon dari brosur yang saya temukan di jalan), kami pun memasuki museum yang berdiri pada alhir 2013 dan menjadi museum pertama yang bercerita tentang sebuah profesi tertua di dunia, yang lebih tua dari motivator atau travel blogger, yaitu pekerja prostitusi.

Atau supaya lebih enak, saya sebut sebagai pekerja seks, atau sex therapist.

Red Light Secrets: Museum of Prostitution

Dari loket, kami menembus pintu kecil bertirai, ke sebuah ruang teater mini. “Wah, jangan-jangan kita diminta nonton bokep dulu nih.” batin saya, yang ternyata salah.

24 Jam Kehidupan Pekerja Seks 

Red Light Secrets: Museum of Prostitution

Berbeda dengan videotron Jakarta yang menampilkan adegan bokep Jepang, video di ruangan berkapasitas belasan orang tersebut menampilkan video tentang keseharian seorang pekerja seks, mulai bangun tidur, bekerja, ditiduri orang, hingga tidur sendiri, dan bangun tidur lagi. Inilah kisah seorang pramuria yang sesungguhnya.

Ternyata pekerja seks juga seorang manusia biasa, yang makan, minum, tidur, dan pergi ke salon selayaknya orang normal lainnya. Namun, apabila kebanyakan orang memilih untuk bekerja di kantor atau membuka online shop, para pekerja seks ini memilih jalur karier yang lain.

Sejarah dan Etimologi Prostitusi

Dari ruang teater, kami menuju ke ruangan lain di balik tirai merah. Di sana dijelaskan sejarah singkat mengenai prostitusi, termasuk ditunjukkan beberapa display busana yang kerap digunakan oleh pekerja seks zaman dulu, jauh sebelum pekerja seks mengenal busana kelasi, atribut militer, hingga seragam OSIS seperti Chika Bandung.

Favorit saya, tentu saja busana klasik bergaya Victorian, yang membuat pemakainya nampak anggun.

Etalase khas Red Light District

Berikutnya, kami naik ke lantai dua, dan menemukan sebuah ruangan etalase bercahaya merah! Mirip dengan etalase tempat si wanita Kaukasus tadi, namun bedanya yang ini hanyalah sebuah etalase museum, yang merepresentasikan etalase rumah bordil sesungguhnya.

Apabila ingin merasakan sensasi menjadi seorang pekerja seks yang duduk di balik etalase, kamu bisa juga mencoba untuk melakukannya, dengan risiko ditanggung sendiri tentunya, seperti contoh di bawah ini.

Red Light Secrets: Museum of Prostitution

Yang ini istri saya, jangan ditawar.

Dari balik etalase, saya memperhatikan orang-orang lewat di bawah. Ada yang cuek, ada yang sesekali melirik ke arah Neng, dan tidak ada yang bersiul norak sambil berkata “CIKUK CIKUK!” seperti di Bekasi.

Konon katanya, apabila sebuah etalase itu kosong, berarti pekerja seks yang menempatinya sedang bekerja melayani tamunya.

Kamar Tinggal dan Kamar Eksekusi Pekerja Seks

Dari balik etalase, kami membuka tirai dan menemukan sebuah kamar kecil, tempat pekerja seks tersebut berdandan, dan merias diri sebelum dan setelah melayani tamunya. Sementara pada ruangan selanjutnya, kami menemukan sebuah ruangan yang merepresentasikan sebuah ruang eksekusi pekerja seks, yang konon di-set sesuai dengan aslinya.

Sofa dengan hiasan kulit macan di pojok, ranjang berukuran queen di tengah, dan bathtub yang muat untuk dua orang di sudut ruangan lainnya.

Hmm, mungkin saja urutannya begini. Pekerja seks menyambut tamunya sambil berbasa-basi di sofa, kemudian melaksanakan pekerjaannya di ranjang, sebelum mandi bersama dalam bathtub. Mungkin saja demikian.

Lepas dari kamar eksekusi, saya membuka tirai berikutnya dan sedikit tercengang akan apa yang saya lihat di dalamnya. Bukan, bukan tirai berisi zonk kok.

Kamar untuk Kebutuhan Khusus

Di dalam ruang yang lebih sempit dari ruang sebelumnya, saya menemukan sebuah ayunan kulit dengan rantai yang menahan beratnya, sementara di sisi lain ruangan tersebut terdapat sebuah pilar berbentuk huruf X dengan borgol dan ikatan pada dua lengannya. Pada sisi lain ruangan terdapat etalase penuh dengan benda tajam dan alat-alat penyiksaan, dengan cambuk tergantung di tembok.

Itulah ruangan untuk kebutuhan khusus atau dalam hal ini disebut dengan ruangan BDSM, sebuah perilaku penyimpangan seks yang menyukai kekerasan sebelum atau ketika melakukan hubungan seks, seperti yang ditunjukkan dalam film dan novel 50 Shades of Grey.

Red Light Secrets: Museum of Prostitution

Ya, dan para pekerja seks di kawasan Red Light District Amsterdam, dituntut juga mempunyai skill semacam ini. Sebuah skill yang mungkin tidak banyak dimiliki ibu-ibu rumah tangga di Indonesia.

Prostitusi, Selebritas, dan Skandal Seks

Red Light Secrets: Museum of Prostitution

Dari ruang penyiksaan, kami turun kembali ke lantai satu, dan mendapati sebuah ruangan dengan dua sisi tembok yang saling berhadapan. Pada sisi tembok yang satu, terdapat fakta-fakta pilu tentang kehidupan para pekerja seks di Red Light District Amsterdam, termasuk banyak diantara mereka yang ternyata menjadi korban human trafficking dan terpaksa menjadi pekerja seks demi hidup. Seperti kisah yang dialami Sandra Woworuntu di Amerika Serikat.

Sementara pada sisi tembok yang lain, terdapat foto-foto berbagai wajah selebritas yang pernah tersangkut kasus skandal seks, seperti Tiger Woods, Eddie Murphy, dan Marilyn Monroe. Yang menarik adalah, saya menemukan kisah Wayne Rooney di tembok ini. Sebagai pendukung Newcastle United, saya hanya bisa tertawa, ha ha ha ha! Dasar GGMU!

Ruang Pengakuan Dosa

Di ruang yang ternyata menjadi bagian penutup dari museum ini, terdapat sebuah bilik pengakuan dosa. Namun, apabila biasanya ruangan ini terletak di gereja dengan seorang pastor berada di dalamnya, ruangan ini justru terdapat di sebuah museum. Museum khusus prostitusi pula.

Yang membuatnya menarik, dosa-dosa yang diakui di sini adalah dosa-dosa yang berhubungan dengan seks saja. Kemudian para pengaku dosa ini dapat menulis dosa-dosa tersebut dalam sebuah kertas yang kemudian ditempelkan di tembok ruangan.

Hmm, apakah ini yang dinamakan sebagai sex amnesty?

Red Light Secrets: Museum of Prostitution

Beberapa dosa menarik yang saya temukan di ruangan ini adalah pengakuan tentang:

  • Gangbang di Thailand yang dilakukan bersama shemales di sana. Waks! Sebuah kisah yang mengingatkan saya akan Phuket.
  • Seorang pria yang pernah menjual dirinya sendiri di internet. Ide bagus, dan bisa dilakukan ketika sedang bokek.
  • Wanita yang mengaku berkencan dengan pria kaya hanya demi uangnya. Sounds familiar here.
  • Orang yang pertama kali datang ke Amsterdam, dan mendapatkan wanita di balik etalase. Setelah eksekusi, dia baru sadar kalau ternyata lampu ruangan itu bukanlah merah, melainkan ungu/biru. Di Amsterdam, lampu etalase biru menunjukkan pekerja seks untuk LGBT. 

Casa Rosso Amsterdam

Selain hal-hal tersebut di atas, sebenarnya ada satu tempat lagi di Red Light District yang membuat saya penasaran, yaitu Casa Rosso, yang dikenal sebagai klub dewasa yang menyajikan pertunjukan seks secara live di panggung.

Amsterdam Red Light District

Berbeda dengan saya yang menganggap pertunjukan tersebut adalah sebuah pengetahuan untuk pasangan baru, Neng justru berpikiran yang sebaliknya dengan menganggap pertunjukan tersebut adalah sebuah tontonan yang menjijikkan dan membuatnya geleuh. Alhasil, saya tidak jadi masuk ke Casa Rosso malam itu.

Tapi sebagai gantinya, malam itu saya dan Neng membuat pertunjukan sendiri, walaupun tidak direkam kamera.