Seorang kawan sempat mengejek ketika mengetahui bahwa perjalanan saya mengunjungi Flores pada tahun 2012 silam, cuma berlangsung selama tiga hari, itupun cuma seputar Labuan Bajo, dan Pulau Komodo. “Ngapain lu ke Flores, kalau cuma tiga hari?” Ucapnya kala itu. “Flores, bukan cuma tentang Komodo dan Labuan Bajo.”

Sebuah ucapan yang langsung menohok saya, yang saat itu masih polos. “Memangnya ada apa saja di Flores, Bang?”

Kawan saya itu terkekeh, “Banyak yang bisa dikunjungi di Flores. Misalnya, kalau mau ngopi lu bisa ke Bajawa. Kalau mau ketemu suku asli Flores, lu bisa ke Bena atau Wae Rebo. Belum kalau lu sampai ke Kelimutu dan Maumere.”

“Kalau ketemu jodoh, Bang?” Kawan saya langsung terdiam. Dia tahu, itu adalah pertanyaan yang susah untuk dicari jawabannya saat itu.

Sejak malam itu, Flores tak lagi sama di mata saya. Flores, adalah sebuah tanah yang harus saya jelajahi inci demi inci demi menikmati kecantikan dan pesonanya. Pada kunjungan yang kedua pada tahun 2016, saya menemukan bahwa Flores bukan cuma tentang Komodo dan Labuan Bajo.

Sepanjang perjalanan bersama kawan-kawan dari Ende menuju Labuan Bajo selama sembilan hari kemarin, saya menemukan setidaknya 25 alasan mengapa kamu harus melakukan road trip di Flores.

1. Bung Karno

Bung Karno dan Pohon Sukun

Bung Karno dan Pohon Sukun Keramat

Mungkin belum banyak yang tahu bahwa founding father negara kita, Bapak Ir. Soekarno –saya sebut sebagai Bung Karno supaya lebih akrab, pernah tinggal di Ende selama empat tahun selama 1934-1938. Saat itu, Beliau ‘diasingkan’ oleh Belanda karena aktivitasnya di Partai Nasional Indonesia yang dianggap membahayakan pemerintahan Hindia Belanda.

Di Ende, kamu bisa napak tilas ke tempat-tempat yang memiliki arti penting bagi Bung Karno. Seperti misalnya Rumah Pengasingan di mana Bung Karno diasingkan bersama istrinya Inggit Garnasih, anak angkatnya Ratna Djuami dan Ibu Mertuanya, Amsi; Katedral Ende di mana Bung Karno dulu membangun relasi dengan para pastur; juga Taman Perenungan Rendo, yang merupakan tempat favorit di mana Bung Karno suka merenung di bawah pohon sukun bercabang lima, yang kelak hasil renungannya ini melahirkan butir-butir mutiara kebangsaan yang menjadi pokok pikiran Pancasila, yang merupakan dasar negara Indonesia.

Dasar orang hebat, walaupun fisiknya ‘dipenjara’ namun pikiran Bung Karno bisa merdeka. Merenung di bawah pohon sukun saja, bisa jadi Pancasila. Beda dengan saya yang hanya bisa melamun jorok di bawah pohon mangga.

2. Taman Wisata Alam 17 Pulau Riung

Walaupun terletak di wilayah perairan Teluk Riung, namun ternyata cara termudah mencapai tempat ini adalah dengan melakukan road trip menuju Kecamatan Riung yang dapat dilakukan dari Ende atau Bajawa. Dari sini, kamu tinggal menyewa kapal (atau membeli jika mampu) dari penduduk setempat untuk melakukan hopping island ke 17 pulau besar yang terdapat di Riung.

Beberapa pulau andalannya antara lain: Pulau Kalong yang merupakan tempat tinggal ribuan kelelawar, Pulau Tiga dengan pemandangan atas bukitnya yang menawan, juga Pulau Rutong dengan post card view-nya.

3. Pantai Batu Hijau Penggajawa

Pantai Batu Hijau

Pantai Batu Hijau Penggajawa

Jika kamu mengunjungi Riung dari arah Ende, tepatnya di Kelurahan Ndoru Rea, kamu akan melewati sebuah pantai berpasir hitam dengan batuan hijau berserakan di pantainya. Pantai yang disebut sebagai Pantai Batu Hijau Penggajawa ini, memiliki batuan berwarna hijau kebiruan beraneka ukuran yang tak akan pernah habis, walaupun batuannya diambil tiap hari untuk diolah menjadi bahan bangunan hingga diekspor ke mancanegara.

Sebuah sumber mengatakan, batuan tersebut berasal dari dalam laut yang kemudian terbawa arus hingga ke pantai. Harapan saya pribadi, semoga batuan tersebut tak akan pernah habis, atau kalaupun terpaksa habis, semoga ada batu-batu lain penggantinya, misalkan batu permata, atau batu akik pancawarna.

4. Mbay 

Selain melewati pantai batu hijau yang unik, rute perjalanan ke Riung juga akan melewati sebuah daerah eksotis yang bernama Mbay. Di Mbay, yang berkontur perbukitan kering yang membuat saya terbayang akan gunung purba, kamu dapat berhenti sejenak untuk mendaki bukitnya, memandang pesona Indonesia dari atas bukitnya, bercengkerama dengan sapi-sapi yang  berada di sana, atau sekadar berfoto dengan gaya kontemplatif untuk kemudian diunggah di Instagram.

Sebuah check point yang sayang untuk dilewatkan.

5. Pasar Tradisional 

Pasar Moni

Pasar Moni

Ada yang mengatakan, bahwa untuk menemukan bagaimana sesungguhnya masyarakat lokal di suatu daerah berinteraksi, datangilah pasar tradisionalnya. Sebuah perkataan yang dapat diterapkan di Flores, di mana saya menamukan banyak interaksi antar penduduk di sana. Namun, pasar di Flores tidak selalu buka tiap hari, seperti misalnya pasar di Moni yang saya temukan di hari Minggu, dan pasar di Riung, yang saya datangi pada hari Senin dengan komoditas utama yang dijual di sana adalah ikan dan sirih-pinang.

Memang, tidak ada mal yang menjual produk-produk Chanel, Louis Vuitton, maupun Bottega Veneta di Flores, namun masyarakat Flores sudah cukup bahagia dengan seikat ikan asin hasil belanjanya di pasar, karena sesungguhnya, bahagia itu sederhana, bukan?

6. Kuliner dan Lombok Flores  

Kuliner Flores

Ikan Bakar

Belum ke Flores, apabila belum mencicipi kuliner lokalnya. Yang biasa ditemui, tentu saja ikan bakar, yang bisa dinikmati dengan nasi bambu, sayur terung, dan sambal yang terbuat dari Lombok Flores, yang lebih imut dari cabai rawit namun super pedas. Konon, ikan bakar yang berasal dari pantai berpasir hitam akan lebih enak dibandingkan yang berasal dari pantai berpasir putih.

Life Guide: Apabila tidak suka pedas, jangan coba-coba makan sambal Flores, tanpa persiapan yang matang. Selalu sedia obat diare untuk jaga-jaga, demi kebaikan perut kamu.

7. Buah-buahan lokal Flores 

Saya sempat pesimis, ketika mobil Elf yang kami tumpangi mampir ke sebuah warung yang menjajakan buah di pinggir jalan menuju Bajawa. “Ah, paling sama saja dengan rasa buah di Jawa.” Batin saya. Namun ternyata saya salah, karena di Flores, saya menemukan buah markisa terenak yang pernah saya cicipi. Belum lagi rasa durian dan jambu biji merahnya yang nikmat.

Nilai plusnya, buah-buahan di sini harganya sangat murah, misalnya, kamu dapat membeli lima butir alpokat hanya dengan harga sepuluh ribu Rupiah saja, sementara kalau di Jawa, segelas jus alpokat saja harganya mungkin lebih dari sepuluh ribu Rupiah.

8. Jus Alpokat

Jus Alpukat Flores

Jus Alpukat Flores

Berbicara tentang jus alpokat, tak ada salahnya apabila saya menganjurkan kamu untuk mencoba kenikmatan alpokat asli Flores. Dagingnya yang berwarna kuning mentega kehijauan, akan sangat nikmat apabila diblender bersama dengan es batu dan susu cokelat kental manis.

Selalu tanyakan tentang jus alpokat apabila kamu kebetulan mampir di sebuah restoran di Flores, atau bilang saja “jus avokad”, karena itu yang sesuai dengan KBBI, dan lebih dimengerti oleh penduduk Flores.

9. Kawah Kelimutu

Sunrise at Kelimutu

Sunrise at Kelimutu

Alkisah dahulu kala, pada hutan rimbun di puncak Gunung Kelimutu, tersebutlah Ata Polo si tukang sihir jahat  yang suka memangsa manusia, dan Ata Bupu, si petani yang dihormati karena sifat welas asih-nya yang dapat menangkal sihir Ata Polo.

Suatu hari, datanglah sepasang anak yatim piatu yang meminta perlindungan ke Ata Bupu, karena ditinggal kedua orang tuanya ke alam baka. Pada suatu waktu, Ata Bupu melindungi kedua anak tersebut dari ancaman Ata Polo, dengan berkata, “Kembalilah ketika mereka sudah dewasa, anak kecil, dagingnya tidak enak untuk dimakan.” Andaikan waktu itu ada KFC, pasti Ata Bupu akan berkata lain, “Makanlah kulit ayam KFC sebagai gantinya.”.

Bertahun-tahun kemudian, kembalilah Ata Polo ke Ata Bupu, unuk mencari kedua anak tersebut. Pada saat itu, kurang lebih terjadi percakapan seperti ini (Catatan: Percakapan disesuaikan dengan bahasa gaul saat ini).

“Assalamualaikum, Om Ata Bupu.”

“Waalaikumsalam, Kak Ata Polo, ada keperluan apa ne klw leh tw?

“Permisi, Om, saya mau makan anak-anaknya. Leh ga? Wkwkwk.“.

Wkwkwk, anaknya sudah pada kabur, Kak!”

APAAAHHHH? LANCANG KAU!”

Ternyata, kedua anak yang telah tumbuh menjadi O’ofai (gadis muda) dan Nuwa Muri (pemuda) tersebut telah kabur untuk bersembunyi di dalam sebuah gua. Tak ayal, Ata Polo pun murka, dan menantang Ata Bupu untuk bertarung, hingga menimbulkan gempa bumi yang dahsyat.

DSCF0426

Singkat cerita, Ata Bupu akhirnya hilang ditelan bumi, dan menimbulkan danau berwarna biru di tempatnya hilang. Sementara, di tempat Ata Polo tewas, terbentuklah danau yang warna airnya merah darah yang selalu bergolak. Sedangkan di tempat persembunyian Ko’ofai dan Nuwa Muri, terbentuk sebuah danau dengan warna air hijau tenang.

Ketiga danau berwarna tersebut, kemudian diberi nama sebagai Tiwu Ata Mbupu (dipercaya sebagai danau tempat berkumpulnya arwah para tetua yang sudah meninggal), Tiwu Ata Polo (yang dipercaya sebagai danau tempat berkumpulnya arwah orang jahat yang meninggal), dan Tiwu Nuwa Muri Ko’ofai (dipercaya sebagai danau tempat berkumpulnya arwah muda-mudi yang meninggal).

Tiga buah danau dengan kisahnya yang tragis, di puncak Gunung Kelimutu yang selalu membuat semua orang terpana memandangnya.

Kelimutu

Saat ini, penduduk sekitar gunung Kelimutu percaya bahwa mereka dapat melakukan kontak dengan arwah orang tua atau leluhur mereka dengan memanggil nama orang tua atau leluhurnya sebanyak tiga kali di depan Tiwu Ata Mbupu. Menurut kepercayaan lokal, setelah pemanggilan dilakukan, arwah orang tua atau leluhur tersebut akan datang dan memberikan petunjuk melalui mimpi.

JENG JENG!

10. Kain Tenun Tradisional Flores

Kain Tenun Flores

Wanita Flores dan Kain Tenun

Kain tenun tradisional adalah bagian yang tak terpisahkan dari penduduk Flores, di mana para penduduknya hampir setiap hari mengenakannya untuk beraktivitas, kecuali pada saat mandi.

Apabila kamu mengunjungi Kelimutu dan memiliki waktu luang, sempatkanlah untuk mampir ke desa tenun Mbulilo’o yang terletak tak jauh dari Moni. Di situ, kamu bisa melihat pembuatan kain-kain tenun secara langsung dan bisa membelinya apabila tertarik dan mampu. Bagi seorang kolektor, kain tenun ini ibarat buah khuldi bagi Adam, yang selalu menggodanya.

Selain desa ini, kamu juga dapat menjumpai penjaja kain tenun di beberapa lokasi seperti Desa Bena, Kelimutu, hingga di Kampung Wae Rebo. Harganya bervariasi, mulai dari dua ratus ribuan untuk kain sarung, hingga jutaan untuk kain yang digunakan untuk upacara adat. Kalau saya sendiri, cuma mampu beli ikat kepala, yang bisa jadi syal juga. Cuma dua puluh lima ribu rupiah, dan tidak dikenakan PPN!

11. Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko 

Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko

Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko

Dalam perjalanan ke Bajawa, mobil sempat berhenti pada sebuah bangunan berwarna merah muda di sisi kiri dengan taman hijau yang subur berada di halamannya, sementara patung dua orang pastor berdiri megah di balik taman bunganya.

“Nah, sudah sampai ini.” Ucap Bang Jon, guide lokal yang menemani perjalanan kami, “Ini Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko.”.

Sejarahnya, Kemah Tabor didirikan pada tahun 1932 dengan tujuan sebagai rumah tinggal para misionaris SVD (Societas Verbi Divini atau diartikan sebagai Serikat Sabda Allah) di Mataloko. Bangunan yang saat ini berdiri di depan  Seminari St. Yohanes Berkhmans Toda-belu ini juga kerap dikenal dengan nama “Rumah Tinggi”, karena pada zaman dulu merupakan satu-satunya bangunan berlantai dua di daerah itu. Saat ini Kemah Tabor difungsikan sebagai tempat retret dengan arsitektur yang cantik.

Oh iya, pada pintu gerbang Kemah Tabor, tercantum kutipan ayat yang berbunyi, “Yesus naik ke atas gunung untuk berdoa”. Sebuah kutipan yang menampar anak Instagram, yang naik ke atas gunung untuk foto-foto.

12. Kopi Bajawa

Kopi Bajawa adalah kopi jenis ‘Arabika’ yang tumbuh di dataran tinggi Ngada yang merupakan kawasan pertemuan dua lereng gunung api, yaitu Gunung Inerie dan Gunung Abulobo. Masyarakat Ngada, yang sering disebut sebagai orang Bajawa, telah membudidayakan kopi ini secara turun temurun. Mereka bertanam kopi Arabika di bawah pohon penaung, menggunakan pupuk organik, dan tanpa menggunakan pestisida sintetik, serta petik selektif yang dilakukan kepada buah masak yang berwarna kuning.

Sebagian besar kopi Arabika dari kawasan ini disangrai pada tingkat sedang (medium roasting) sehingga menghasilkan citarasa utama sebagai berikut: bau kopi bubuk kering (fragrance) dan bau kopi seduhan (aroma) kuat bernuansa bau bunga (floral), perisa (flavor) enak dan kuat, kekentalan (body) sedang sampai kental, keasaman (acidity) sedang, serta kesan rasa manis (sweetness) kuat. (sumber referensi: sini)

Kopi Bajawa

Kopi Bajawa

Ada yang bilang, belum ke Flores kalau belum minum Kopi Bajawa. Pendapat yang tidak sepenuhnya benar, karena sebenarnya Kopi Bajawa bisa dinikmati di Jakarta dengan harga puluhan ribu Rupiah per cangkirnya. Namun, jika kamu ingin menikmati Kopi Bajawa seharga lima ribu Rupiah per cangkir, dengan pemandangan gunung Inerie, maka kamu harus datang langsung ke Bajawa.

Bagi saya, Kopi Bajawa adalah salah satu jenis kopi yang cocok untuk saya nikmati, karena tidak terlalu asam, sehingga cocok untuk lambung.

13. Moke Aimere

Moke Flores

Moke Flores

Apabila Kopi Bajawa adalah minuman yang cocok untuk saya, maka tidak demikian dengan Moke, yang merupakan minuman beralkohol tradisional asal Flores, yang terbuat dari hasil penyulingan buah dan bunga pohon lontar maupun enau. Bagi kamu yang menyukai minuman beralkohol, tidak ada salahnya untuk mencoba moke yang dapat dibeli dengan harga mulai dari Rp20.000,- per botol Aqua, dengan harga bervariasi tergantung kadar alkoholnya (saya menemukan kadar alkohol tertinggi adalah 70%). Tenang, saya tidak akan lapor ke Fahira Idris kok.

Salah satu daerah penghasil moke terbaik di Flores adalah Aimere, yang juga menghasilkan gula aren sebagai produk sampingan. Konon, orang asli Flores mengkonsumsi moke seperti layaknya kita mengkonsumsi air minum, langsung tenggak sekaligus!

14. Sungai Air Panas Dingin Malanage

Sungai Air Panas Dingin Malanage

Sungai Air Panas Dingin Malanage

Ini adalah salah satu objek wisata yang membuat saya kagum dan geleng-geleng, bagaimana bisa pada satu sungai terdapat dua mata air panas dan dingin! Sebenarnya, ini sungai apa dispenser, sih?

Ternyata, rahasianya adalah pertemuan antara dua mata air, yaitu mata air panas belerang yang turun dari gunung, berpadu dengan mata air dingin yang berasal dari air terjun pada sisi sungai, menghasilkan sungai air panas dingin Malanage yang mungkin saja menjadi inspirasi Katy Perry ketika menyanyikan lagu ‘Hot N Cold’.

Pro Tip: Berbaurlah dengan warga lokal yang berendam di sungai ini, sambil berbincang tentang apa saja, termasuk bercerita kepada anak-anak kecil yang kebetulan sedang mandi di sana.

15. Kampung Bena 

Tak jauh dari Bajawa dan sungai air panas dingin Malanage, terdapat sebuah kampung tradisional yang seperti belum tersentuh peradaban dan teknologi, bernama Kampung Bena. Letaknya yang terdapata pada puncak bukit dan menghadap Gunung Inerie, diyakini merupakan ciri khas masyarakat lama pemuja gunung yang meyakini gunung sebagai tempat tinggal para dewa. Mereka percaya keberadaan Yeta, dewa yang bertahta di gunung, sekaligus pelindung Kampung Bena.

Saat ini, terdapat 40 buah rumah tradisional yang mengelilingi Kampung Bena dengan badan kampung tumbuh memanjang dari utara ke selatan, dan beberapa bangunan megalitikum berada di tengah-tengah pekarangan kampung. Pintu masuk kampung hanya ada satu, pada bagian utara, sementara pada ujung selatan yang merupakan puncak kampung, terdapat view point sebuah tebing dengan pemandangan yang menawan.

Apabila diibaratkan dengan zaman sekarang, Kampung Bena ini adalah sebuah cluster perumahan, minus pos satpam dan kolam renang.

Sejak masuknya agama ke Flores, kini mayoritas penduduk Bena adalah penganut agama katolik, sehingga janganlah heran apabila kamu menemukan nama-nama orang yang keren di sini, seperti Maria, Theresia, atau bahkan Angelina. Untuk mata pencaharian, pada umumnya pria Bena berprofesi sebagai peladang sementara wanita Bena sebagai penenun.

Dari Wikipedia, saya mendapatkan informasi bahwa bentuk kampung Bena adalah menyerupai perahu, karena menurut kepercayaan megalitik perahu dianggap mempunyai kaitan dengan wahana bagi arwah yang akan menuju  tempat tinggalnya. Nilai yang tercermin dari perahu ini adalah sifat kerjasama, gotong royong dan mengisyaratkan kerja keras yang dicontohkan dari leluhur mereka dalam menaklukkan alam, mengarungi lautan, hingga akhirnya tiba di Bena.

Desa Adat Bena

Desa Adat Bena from the top

16. Danau Ranamese

Danau Ranamese

Danau Ranamese

Dalam perjalanan menuju Ruteng, kami menyempatkan untuk mampir ke Danau Ranamese yang terletak di Kabupaten Manggarai Timur. Saat itu, sedang tak ada turis yang berkunjung, dan danau hijau vulkanik yang terletak di tengah hutan rimbun ini pun serasa milik kami sendiri. Sementara, para nelayan pencari ikan di danau pun kami anggap hanya sebagai tamu.

17. Katedral Ruteng

Katedral Ruteng

Gereja Paroki Katedral Ruteng St. Maria Assumpta – St. Yosef

Apabila sempat ke Ruteng, manfaatkanlah waktu untuk mampir ke gereja-gereja cantik yang terdapat di sana. Misalnya, Gereja Paroki Katedral Ruteng St. Maria Assumpta – St. Yosef yang memiliki arsitektur Eropa dan berada di lereng Gunung Ranaka. Pada tahun 2012, di gereja ini dilakukan perayaan Yubileum atau satu abad Gereja Katolik Manggarai yang dihadiri langsung oleh mantan presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono beserta 30 ribu umat katolik lainnya.

Sekadar informasi untuk kamu, saat ini Flores juga dikenal sebagai daerah penghasil pastor katolik terbanyak di dunia.

18. Sawah Jaring laba-Laba Lodok Cancar

Tak jauh dari Ruteng, terdapat sebuah fenomena buatan menarik bernama sawah jaring laba-laba lodok, yang berlokasi di Cancar. Berbeda dengan sawah pada umumnya yang lempeng, tak menarik, kadang berundak-undak, sawah di sini dibentuk menyerupai jaring laba-laba.

Bukan, bukan oleh alien seperti crop circle, namun ini adalah pembagian sawah sesuai dengan tradisi kuno penduduk Flores, atau tepatnya yang berdomisili di wilayah Manggarai.

Sawah Jaring laba-Laba Lodok

Sawah Jaring laba-Laba Lodok

Sejak dulu, masyarakat Manggarai telah mengenal tradisi pembagian sawah yang telah dilakukan turun temurun. Secara harafiah, sawah yang terbagi ini disebut dengan lingko yang berarti tanah adat yang dimiliki bersama oleh penduduk, dan dikelola bersama untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Lingko ini juga tidak dimiliki perorangan seperti tanah milik suku Betawi, tetapi dimiliki oleh setiap suku yang berdiam di wilayah tersebut. Setiap suku ini memiliki tetua yang bertugas untuk membagi besarnya lingko dengan menggunakan sistem pembagian lingko yang disebut lodok.

Berdasarkan lodok, pembagian tanah dilakukan pertama-tama dengan menentukan titik pusat hamparan tanah adat. Kemudian, pada titik pusat ditanam kayu khusus, yang kemudian digunakan untuk membagi sawah dengan garis-garis simetris menjauhi pusat. Tanpa disadari, pembagian ini ternyata membentuk sawah seperti jaring laba-laba, dengan besar kecilnya tanah ditentukan dari kedudukan seseorang dalam kampung dan jumlah keluarga yang dimiliki. Semakin tinggi kedudukannya, semakin besar pula tanah yang didapat. (sumber referensi: sini)

19. Wae Rebo

Berbeda dengan Bena yang bisa dicapai dengan mudah menggunakan kendaraan bermotor, Kampung Wae Rebo hanya bisa dicapai dengan cara mendaki sejauh kurang lebih 5 kilometer dengan trek yang sedikit terjal dan licin, menyusuri Hutan Lindung Todo Repok yang memiliki luas total sekitar 10.500 hektar, menuju ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut. Untuk penduduk setempat, mungkin waktu tempuhnya hanya satu jam, namun bagi saya yang kurang olahraga dan sedikit obesitas, waktu tempuh ke Wae Rebo bisa menjadi berlipat tiga.

Begitu tiba di Wae Rebo, kamu akan lupa dengan pendakian yang melelahkan, karena keindahan yang tersimpan pada kampung adat berisi tujuh rumah tradisional yang telah dihuni turun-temurun selama 19 generasi ini sangatlah sepadan dengan perjuangan yang telah kamu lakukan.

Wae Rebo

Kampung Wae Rebo

Sedikit cerita, tentang rumah kerucut Wae Rebo yang disebut sebagai Mbaru Niang, bentuknya diambil dari pengalaman pembagian tanah pada zaman dulu, untuk tujuh orang. Rumah yang dibangun dari bambu, alang-alang, ijuk, rotan, dan tidak menggunakan paku ini memiliki tiang utama di tengah yang disebut Hiri Bongkok dan diibaratkan sebagai titik tengah lodok, sementara sembilan tiang yang menyusun rumah menjadi lima tingkat ini diibaratkan sebagai garis-garis simetrisnya.

Ajaibnya, apabila rumah kerucut ini direbahkan, maka akan terbentuk pola jaring laba-laba yang sama seperti sawah di Cancar!

Itu baru sedikit cerita menarik tentang Wae Rebo, dan tahukah kamu kalau ternyata Kampung Wae Rebo di Pulau Flores, didirikan oleh seorang keturunan Minang dari Pulau Sumatera? Baca ceritanya di sini.

20. Anak-anak yang Selalu Ceria

Di Flores, kamu akan dengan mudah menemukan anak-anak lokal yang selalu ceria dan penuh rasa ingin tahu. Mereka tak akan segan untuk menyapamu, menanyakan dari mana kamu berasal, memintamu untuk bercerita, bahkan mengajakmu untuk bermain. Mereka adalah anak-anak yang akan membuatmu jatuh cinta (in a good way) dengan mudahnya.

Pro Tip: Bawalah sekantung permen, cemilan, dan buku-buku bekasmu untuk dibagikan kepada anak-anak Flores, karena mereka pasti akan senang dan bahagia. Jika tidak sempat, luangkan saja sedikit waktumu untuk bermain bersama mereka. Namun, jangan biasakan untuk memberikan uang ke mereka.

21. Pulau Mules

Setelah turun dari Wae Rebo, kamu akan melewati sebuah desa bernama Dintor dengan lautan di sisi desa tersebut dan sebuah pulau di kejauhan yang tampak menggoda untuk dijelajahi dengan bukit-bukit hijau dan pesisir pantainya yang putih memanjang.

Itulah yang disebut sebagai Pulau Mules, yang merupakan pulau paling selatan yang terdapat di bawah Flores. Bukan, pulau itu bukan dinamai karena membuat orang sakit perut, melainkan karena dalam bahasa setempat ‘mules atau molas’ itu berarti cantik.

“Molas Tu’ung” Cantik sekali, kata orang-orang Manggarai ketika melihat keindahan pulau ini.

Pulau Mulas

Menuju Pulau Mulas

Dari hasil perbincangan saya dengan penduduk, Pulau Mules saat ini adalah pulau yang dihuni warga muslim yang berasal dari wilayah Sulawesi. Mereka mendiami tiga kampung besar, dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Saat itu, selain untuk beristirahat di pantainya yang putih, kepergian saya ke Pulau Mules adalah untuk mencari sinyal internet, karena di Dintor tidak ada sinyal.

Untuk mencapai Pulau Mules, kamu dapat menyewa kapal nelayan untuk mengantarmu dengan biaya mulai dari Rp400.000,- per kapal tergantung negosiasi.

22. Labuan Bajo

Labuan Bajo

Labuan Bajo

Pada tahun 2012, Labuan Bajo adalah satu-satunya titik di Pulau Flores yang saya datangi, karena memang tujuan utama saya hanya ke Pulau Komodo. Di Labuan Bajo yang sekarang semakin ramai seperti Kuta Bali, kamu dapat menonton kapal lalu-lalang di pelabuhan, menyaksikan sunset yang spektakuler, relaksasi dengan spa & massage, makan lobster di pelabuhan, mengikuti sailing trip dan melakukan dive trip dengan menggunakan operator yang melimpah di sana, hingga menyewa jasa tukang ojek untuk mengantarmu berkeliling hingga…

23. Bukit Cinta Waicicu

Bukit Cinta Waicicu

Bukit Cinta Waicicu

Ya, Bukit Cinta Waicicu ini saya temukan ketika saya menggunakan jasa ojek untuk menghabiskan beberapa jam terakhir sebelum penerbangan kembali ke Jakarta. Pada awalnya saya hanya memintanya mengantar ke Gua Batu Cermin, namun Bang Pei –nama tukang ojeknya– menawarkan servis lain, untuk menikmati Labuan Bajo.

“Mau putar-putar Labuan Bajo dulukah?”

“Ya mau, lah Bang!”

Melewati bandara, melintasi jalanan pinggir laut yang biru, dan terakhir tibalah kami ke Bukit Cinta Waicicu, yang dikabarkan sebagai salah satu tempat menonton sunset paling cantik di Labuan Bajo, dengan gundukan bukit-bukitnya yang kuning keemasan ketika diterpa cahaya matahari.

Namun gosipnya, keindahan bukit ini bisa jadi akan sirna dalam beberapa tahun ke depan, karena rencana pembangunan hotel/resort di sini.

24. Milky Way

Setelah matahari terbenam, sajian paling mewah dari Flores adalah langit malam yang penuh bintang. A sky full of stars, kalau kata Coldplay. Dengan tidak adanya polusi pabrik dan asap Kopaja, menjadikan langit Flores sangat bersih dan cerah untuk dinikmati.

Apabila malam tiba, jangan buru-buru tidur, cobalah pergi ke luar, ambil kamera dan tripodmu untuk mengabadikan bintang-bintang, yang kalau beruntung, kamu juga akan mendapatkan milky way di langit. Coba setting kamera kamu ketika mengarahkan ke langit, dengan pengaturan kurang lebih seperti ini:

  • Aperture: F/1.4 (atau bukaan yang terlebar dari lensa kamu)
  • Speed: 30 detik
  • ISO: 800 (sesuaikan dengan bukaan lensa kamu)
  • Focus: Infinity ∞
  • White Balance: Coba mainkan settingan Kelvin apabila ada, dan naikkan angkanya untuk mendapatkan langit yang lebih merah.

Memotret bintang, sebenarnya menggunakan pendekatan ‘trial & error’  yang apabila berhasil, bisa jadi akan menghasilkan foto-foto seperti di bawah ini.

'Cause in a sky, 'cause in a sky full of stars
I think I see you
I think I see you

'Cause you're a sky, you're a sky full of stars
Such a heavenly view
You're such a heavenly view

Sungguh langit malam yang selalu membuat saya tersenyum, a sky full of stars with heavenly view.

25. Senyum dan Keramahan

Flores, yang berarti bunga, dalam bahasa Portugis, adalah tanah yang akan selalu membuatmu tersenyum karena kecantikan alamnya, juga karena keramahan penduduknya. Sepanjang perjalanan kemarin, saya selalu menemukan senyum dan kebahagiaan yang terpancar dari penduduk Flores.

Maka tak salah kan, kalau saya menjuluki Flores sebagai The Land of Smile?

Smile, you are in Flores :)

Smile, you are in Flores 🙂

Tulisan ini adalah hasil dari rangkaian perjalanan saya di Flores selama sembilan hari, mulai dari 30 April 2016-8 Mei 2016. Mimpi berikutnya adalah melakukan napak tilas rute Tour de Flores mulai dari Maumere menuju ke Labuan Bajo, tentunya ditambah Larantuka dan Lembata, yang belum sempat terjamah kemarin.

Ada Aamiin?