Ini adalah sebuah legenda, yang mungkin tak semua orang yang berkunjung ke sana mengetahuinya. Sebuah legenda turun-temurun yang aku dapatkan langsung dari generasi ke-19 keturunannya. Sebuah legenda tentang kampung di atas awan bernama Wae Rebo, atau tepatnya, sebuah legenda tentang seorang pria yang berasal dari Tanah Minang, bernama Maro.
[Tanah Minang? Tapi bukankah Wae Rebo itu terletak di Manggarai, Flores?]
Nah, itulah bagian menarik dari legenda ini yang akan aku kisahkan, mohon sabar dulu kawan, karena kisah ini akan segera dimulai. Dan, sama seperti legenda-legenda yang lain, aku akan memulai kisah ini dengan kalimat pada suatu hari.
Pada suatu hari, di Tanah Minangkabau yang subur, tersebutlah seorang pemuda tampan, pintar, dan karismatik yang bernama Maro. Maro yang saat itu sedang mencari jati diri, mempunyai sebuah hobi yang cukup keren di masanya, yaitu melakukan taruhan adu kerbau. Sebuah hobi yang katanya kalau kalah berarti dosa, namun kalau menang, ya Alhamdulillah.
Di pertarungan terakhirnya, dikisahkan bahwa kerbau milik Maro memenangi pertandingan dengan menang KO setelah membuat kerbau milik lawannya tersungkur mencium tanah. Lawan yang kalah ternyata tak terima; dia menuduh Maro bermain curang, dan setelah mendapat dukungan dari orang-orang sekampung, dia mengancam akan membunuh Maro.
Maro yang terdesak, kemudian memutuskan untuk melakukan sebuah hal yang biasa dilakukan pemuda Minang yang beranjak dewasa: Merantau, dan mungkin saja berencana mendirikan Rumah Makan Padang di daerah tujuannya.
[Merantau, atau kabur nih?]
Tepatnya, Maro pergi berlayar demi keselamatannya.
Dalam perjalanannya ke arah timur, atau berlawanan dengan Kera Sakti yang bergerak ke arah barat, Maro sempat singgah di Gowa, Sulawesi, sebelum berpindah lagi ke arah selatan, menuju sebuah Pulau bernama Flores. Di Flores, Maro singgah di Bajo, kemudian Wara Loka, sebelum memutuskan untuk berlayar ke selatan pulau karena tidak kerasan, dan berdiam ke suatu daerah bernama Nangapaang, yang lokasinya saat ini berada di dekat Dintor.
Hingga pada suatu hari, Maro melihat asap dari arah gunung.
Pada sebuah siang yang sangat terik, saya berangkat beserta ketujuh teman perjalanan saya yang imut-imut itu ke Wae Rebo, sebuah kampung yang terletak di balik pegunungan di Manggarai, Flores, pada ketinggian sekitar 1.200 meter dari permukaan laut.
Perjalanan tersebut ternyata tidak dapat dibilang mudah, karena kami harus berpindah-pindah moda transportasi, mulai dengan menggunakan mobil sewaan dari Ruteng menuju Dintor yang melewati Kampung Todo, berpindah lagi dengan menggunakan truk lokal menuju Denge, sebelum akhirnya berjalan kaki menuju Wae Rebo sejauh kurang lebih 5 kilometer dengan kondisi trek yang terjal menanjak, menyusuri rain forest di selatan Flores.
Tak mengapa, karena saya sudah terbius pesona Wae Rebo yang diceritakan oleh mereka yang sudah pernah mengunjunginya. Jalan terjal dan menanjak, saya anggap, ah cemen! Saya kan biasa naik-turun mal di Jakarta.
Sebuah anggapan yang langsung saya telan bulat-bulat lagi, begitu kami memasuki trek yang sesungguhnya.
Asap yang dilihat oleh Maro, ternyata asalnya dari Kampung Todo. Tidak disebutkan dengan jelas pada kisah tersebut, apakah asap tersebut berasal dari rumah yang terbakar, atau hanya ibu-ibu arisan yang sedang memasak bersama. Yang jelas, asap tersebut telah membuat Maro penasaran dan mendatangi kampung tersebut, yang karena karismanya –atau hanya karena keberuntungan, Maro langsung diterima dengan baik di sana.
Pada hari ketiga kedatangannya di Todo, diadakan pemilihan ketua suku, dan mengejutkannya –entah karena ketampanan, kepintaran, atau karismanya, Maro dipilih menjadi ketua suku!
Maro yang merasa belum pantas pun menolak jabatan tersebut, sehingga akhirnya diangkatlah seorang lain yang lebih muda. Nantinya, kawan, karena kisah ini, penduduk Todo dan Wae Rebo akan menjadi bersaudara, dengan Todo sebagai adik, dan Wae Rebo sebagai kakaknya. Bahkan rumah-rumah yang dihuni penduduk kedua kampung itu sangatlah mirip, sebuah rumah yang bernama Mbaru Niang.
[Lalu, mana kisah Wae Rebo-nya?]
Sabar kawan, karena kisah Maro masih sangat panjang. Tapi okelah, untuk kalian, kisah ini akan aku persingkat. Singkat cerita, Maro akhirnya hengkang dari Kampung Todo, dan tiba di Kampung Poppo.
Anehnya, pada saat itu, warga Poppo malah melindungi Maro, yang notabene adalah seorang pendatang. Sungguh pria karismatik yang beruntung! Namun perlindungan tersebut, ternyata tidak membuat kampung tetangga gentar, melainkan malah semakin marah dengan Maro.
[Wah, lalu bagaimana nasib Maro? Apakah dia selamat?]
Tenang, kawan, karena bagian paling menarik dari kisah ini, baru akan aku ceritakan. Sembari menunggu, bolehlah sambil menyesap Kopi Luwak Wae Rebo.
Selain desa yang cantik dan orang-orang yang ramah, Wae Rebo, juga dikenal karena kopinya. Paling tidak, itulah cerita yang saya dapat dari mereka yang sudah pernah ke sana. Sebuah cerita yang memotivasi kami untuk segera tiba ke Wae Rebo dan mencicipi kopinya.
Tapi apakah perjalanan kami semulus itu? Oh tentu saja tidak. Kira-kira beginilah ringkasannya.
- Di titik awal pendakian, kami masih lengkap berdelapan dalam satu rombongan, dengan urutan seperti ini: Rifky – Dian -Putra – Saya – Cici – Marcus – Vindhya – Shanti, beserta tiga orang pemandu sekaligus porter kami, yaitu Bang Atus, Bang Chris, dan Pak Cornelius.
- Pada satu kilometer pertama, tim mulai terpecah. Tim 1 dengan Rifky – Putra – Saya – Cici – Dian, sementara Tim 2 dengan Marcus, Vindhya, dan Shanti. Tim kami berjarak beberapa ratus meter, dengan kondisi trek yang semakin terjal, menyempit, dan sedikit licin. Perlahan, kabut mulai turun menyapa kami.
- Lima ratus meter berikutnya, Rifky mulai berjalan sendirian di depan. Namanya juga anak gunung, pasti gatal menunggu kami yang lambat. Sementara berpuluh-puluh meter di belakangnya, ada saya yang menguntit Cici, sementara Putra dan Dian berada di belakang saya. Kami berjalan perlahan, sambil sesekali berhenti apabila sudah tidak kuat melangkah. Sesekali penduduk lokal lewat dan menyapa kami dengan tenang, seolah tidak ada dosa. Sekadar informasi, ini adalah satu-satunya jalan yang dipakai oleh warga untuk pergi ke desa lain, untuk berjualan, dan untuk mengangkut bahan baku pembangunan, seperti semen dan pasir, dengan cara dipikul!
- Dua kilometer berikutnya adalah neraka bagi saya, yang membawa semua peralatan tempur dalam tas punggung –kamera mirrorless, kamera point and shoot, action cam, tripod, gorilla pod, lensa wide, tiga buah charger kamera beserta baterai cadangan, botol minum, jaket, raincoat, yang masih ditambah dengan laptop. Ingin rasanya menitipkan tas tersebut ke Bang Atus, namun saya gengsi. Namanya juga Aquarius sejati. Kami menyusuri kawasan Hutan Lindung Todo Repok yang memiliki luas total sekitar 10.500 hektar, dengan ditemani rimbunnya pohon-pohon liar, dan burung-burung yang bercicitan. Beruntung, tidak ada anakonda di sana.
- Ada tiga pos perhentian yang kami lewati pada perjalanan tersebut, yaitu pos pertama sekaligus titik awal pendakian di Sungai Wae Lomba di mana kami bisa mengambil bekal air minum di sungai, pos kedua yang disebut Poco Roko di mana kami bisa mendapatkan sinyal GSM, dan pos ketiga yang disebut Nampe Bakok di mana kami bisa melihat Wae Rebo dari kejauhan kalau tidak ada kabut. Masing-masing pos tersebut, berjarak sekitar dua kilometer. Beruntungnya, kini sudah ada jalan beraspal yang menghubungkan Denge dengan pos pertama, sehingga kami tidak perlu trekking lagi seperti para pendahulu, cukup gunakan truk lokal, dan voila! kami bisa menghemat waktu sekitar satu jam.
“Langsung turun ke desa, Bang?” Tanya saya begitu Tim 1 tiba di pos ketiga, dengan ngos-ngosan dan kaus bersimbah keringat, yang membuat saya lebih mirip wet dancer daripada seorang traveler.
Sambil menyalakan rokoknya, Bang Atus yang mirip Chris Rock tersebut menjawab, “Kita santai dulu saja di sini, sambil menunggu yang lain.” Dia mengembuskan asap rokoknya ke udara, “Berangkat bersama, tiba pun harus bersama.”
“Iya, Bang.” Jawab saya. Sementara Rifky mulai menggelar sleeping bag yang dibawanya untuk digunakan sebagai alas duduk di tanah. Namanya juga anak gunung, perabotan seperti ini pasti lengkap.
“Toh, tinggal jalan turun saja ini.” Jelas Bang Atus.
Setengah jam kemudian, tibalah Marcus dan Vindhya, yang tak kalah basahnya dengan saya. Marcus sudah membagi barang bawaannya dengan Vindhya, sementara Vindhya menitipkan tasnya ke Bang Chris. Berikutnya, barulah Shanti yang tiba dengan napas yang tersengal, wajah tak jelas, rambut berantakan, dan tongkat di tangannya. Mungkin karena faktor usia.
“Nah sudah lengkap ini. Mari kita turun.”
Sudah habiskah Kopi Luwakmu? Kalau sudah, mari kita lanjutkan kisah si Maro, kawan. Sedari tadi, aku sengaja menyinggung tentang luwak, karena ternyata luwak juga memegang peranan penting pada kisah ini.
[Loh, kok bisa?]
Ya bisa dong, beginilah kisahnya.
Pada suatu malam, seekor luwak datang ke kamar Maro di Poppo, dan hinggap di atas rumahnya. Maro yang merasa bahwa luwak tersebut bukanlah luwak sembarang luwak, mencoba berkomunikasi dengannya.
“Hai luwak, kalau kau bukan luwak biasa, maka bersuaralah.”
Tiba-tiba si luwak mengeluarkan suaranya, yang membuat Maro berpikir bahwa jangan-jangan luwak ini datang dengan misi khusus. Mungkin misi menyelamatkan bumi dari alien, bisa jadi. Maro kemudian mencoba mengetesnya lagi.
“Hai luwak, kalau kau membawa kabar baik bagiku, turunlah dari sana, dan tunjukkan padaku.”
Ajaib, tiba-tiba si luwak turun dari tempatnya, dan dengan suaranya, dia mengajak Maro untuk segera kabur dari Poppo. Kini Maro percaya, bahwa luwak itu hadir untuknya, dengan misi untuk mengajaknya pindah ke tempat yang lebih baik.
Dan benar saja, baru beberapa langkah Maro pergi meninggalkan Poppo bersama luwak, kampung tersebut habis dibakar api, oleh seteru Moro.
Berikutnya, luwak menuntun Maro untuk pergi ke Kampung Modo dan menetap di sana. Namun ternyata, di sana Maro berulah lagi. Diceritakan padaku, bahwa di sana, Maro –dengan segenap kepintaran dan karismanya, ingin menguasai penduduk Modo!
Beruntungnya, Maro sempat menjalin persahabatan dengan seorang pria yang bernama Bimbang. Bukan, bukan Bimbang yang ada di lagu Melly Goeslaw. Bimbang, adalah warga Modo yang mempercayai Maro sepenuh hati. Pada hari di mana penduduk kampung ingin membunuh Maro, Bimbang mengajak Maro, untuk kabur berdua, ke arah gunung.
[Cieee! Cieeee! Kabur berdua, so sweet banget sih.]
Setibanya di gunung, mereka menemukan sebuah persimpangan jalan. Dan sesuai dengan namanya, Bimbang benar-benar bimbang akan memilih jalan yang mana hari itu. Hingga akhirnya diputuskan, Bimbang berbelok ke kiri, sementara Maro berbelok ke arah kanan.
Ternyata benar yang dikatakan Bang Atus, bahwa sisa trek yang kami harus lalui untuk tiba di Wae Rebo, adalah tinggal trek yang menurun, tanpa adanya tanjakan terjal, yang berganti dengan suara gemericik sungai, hijau vegetasi lumut di bebatuan, dan buah-buah kopi di perkebunan warga yang mulai menguning.
Kurang lebih setengah jam kemudian, setelah melewati sebuah jembatan bambu, tibalah kami pada sebuah pondok kayu yang disebut sebagai ‘Rumah Kasih Ibu’. Di sana, kami harus membunyikan alat musik pukul seperti kentongan, sebagai penanda bahwa kami akan memasuki Wae Rebo dalam damai. Dengan dipimpin Pak Cornelius, kami bergantian memukul alat tersebut, termasuk Shanti yang memukulnya dengan irama ‘Tepuk Pramuka’.
Tok tok tok! Tok tok tok! Tok tok tok tok tok tok tok!
Dari Rumah Kasih Ibu, kami dapat memandang Wae Rebo dari kejauhan, dengan cukup jelas, termasuk ketika kabut mulai turun menyelimuti ketujuh Mbaru Niang di kampung.
“Kalau sudah selesai motret-motretnya, ayo kita segera turun ke desa.” Ajak Pak Cornelius. “Ingat, tidak boleh motret lagi ya.”
“Ta..tapi, Pak!”
Jalur yang dipilih Maro, ternyata membawanya ke Kampung Ndara, di mana dia menjumpai dua keluarga di sana. Namun, dasar biang onar, di sana Maro berulah lagi, dengan niatan menguasai kedua keluarga itu. Akhirnya, kedua keluarga itu jengah dan justru memilih pergi dari kampungnya, meninggalkan Maro sendirian di sana.
Singkat cerita lagi, Maro menjadi kesepian karena ditinggal sendiri. Kasihan, mungkin zodiak Maro adalah Gemini, sehingga harus selalu mendapat perhatian.
Kemudian, Maro pun memutuskan untuk berpindah lagi menuju sebuah tempat yang bernama Golo Damu. Di sana, Maro berhasil mendapat hasil tanam yang bagus untuk mencukupi kehidupan sehari-harinya, termasuk mendapat seorang istri yang berasal dari Lembor.
[Cieeee!]
[Lalu, mana Wae Rebo-nya? Kok gak sampai-sampai!]
Tolong kawan, harap bersabar sedikit lagi, karena kisah Maro akan segera memasuki akhirnya.
[Baiklah, kalau begitu.]
Hidup berumah tangga, bukan berarti tanpa masalah. Di Golo Damu, Maro justru mendapat kutukan yang teramat berat. Bahwa siapa pun keluarga istrinya yang tinggal menginap pada rumah mereka di Golo Damu, akan meninggal! Sebuah kutukan yang mungkin saja datang karena karma yang diperbuatnya di masa lalu.
Tak betah dengan kutukan tersebut, Maro beserta istrinya memutuskan pindah lagi, ke sebuah daerah yang disebut Golo Pandu. Hingga pada suatu malam penuh bintang, Maro mendapatkan sebuah mimpi yang akan mengubah hidup Maro selamanya.
Dalam mimpinya, seorang pria yang sepertinya merupakan utusan kerajaan, datang menghampiri untuk menyampaikan sebuah pesan, “Maro, tempat ini tidak cukup besar untukmu. Cobalah kamu pandang ke bawah, di sana masih ada tanah yang datar untuk menetap, dan suatu saat, di sana, kamu akan berkembang.”
Maro yang merasa kejadian tersebut sangat nyata, memutuskan untuk menerima dan mematuhi pesan-pesan yang disampaikan untuknya lewat mimpi. “Kelak, kalau kamu menetap dan berkembang di bawah, kamu harus menamai tempat itu dengan Wae Rebo.”
“Loh, mengapa, Tuan?”
“Karena saya datang dari sebuah kerajaan bernama Wae Rebo.”
Oke. Sip.
Kami memasuki Wae Rebo dengan dipandu oleh Pak Cornelius, dan ditemani oleh Bang Atus. Mereka mengarahkan kami untuk menuju Rumah Gendang, yang merupakan rumah tertua di Wae Rebo. Di dalam Rumah Gendang –yang dinamai karena di dalam rumah terdapat beberapa gendang yang digunakan untuk upacara adat, kami disambut dengan sebuah tradisi bernama Waelu’u.
Waelu’u merupakan sebuah upacara kuno yang dilakukan penduduk Wae Rebo sebagai penghormatan kepada para leluhur sekaligus meminta perlindungan kepada leluhur agar para tamu yang datang (baca: kami) diberi keselamatan selama menetap di Wae Rebo hingga pulang ke rumah lagi. Upacara tersebut, dipimpin oleh seorang tetua adat bernama Pak Rafael dan ditemani oleh Bang Marcell sebagai penghubung antara Pak Rafael dan kami.
Setelah upacara yang dilakukan dalam bahasa setempat itu selesai, kami satu persatu menyalami Pak Rafael, memperkenalkan diri, sekaligus meminta izin untuk berkunjung ke Wae Rebo.
“Nah, sekarang kalian sudah boleh untuk foto-foto.” Bang Marcell menjelaskan, “Kan sudah minta izin sekarang.”
Oh, kini saya mengerti, mengapa sebelumnya kami tidak diizinkan untuk mengambil gambar. Ya karena belum izin secara resmi, kepada penduduk Wae Rebo. Gak mungkin kan kamu tiba-tiba masuk ke rumah orang dan memfoto isinya tanpa izin?
“Kini, Wae Rebo adalah rumah kalian.”
Maro, akhirnya mempertimbangkan untuk mematuhi kata-kata pria yang ditemuinya dalam mimpinya tersebut, dan memutuskan untuk berpindah ke lembah hijau yang berada di bawahnya. Di sana, Maro beserta istrinya, bergumul dan berkembang biak dangan baik, dengan ditemani tanaman-tanaman yang tumbuh subur, ternak yang sehat, dan air yang selalu jernih. Di sebuah kampung nan cantik jelita, yang kini dikenal orang sebagai Wae Rebo, kampung di atas awan. Sebuah kampung penuh senyum dan keceriaan, yang mengundang decak kagum siapa pun yang berkunjung.
Sebuah kampung, yang menyimpan legenda tentang seorang perantau dan pejalan dari Tanah Minang, bernama Maro.
Sesudah meletakkan barang bawaan di rumah tamu yang disebut Gena Maro, kami membaur dengan penduduk Wae Rebo. Ada yang mengobrol dengan ibu-ibu tentang bagaimana menumbuk kopi dengan baik, ada yang mengajari anak-anak kecil membaca, juga ada yang bermain bola dengan bocah-bocah di sana, lalu kalah. Itulah saya.
Yang jelas, bersama mereka yang ramai selalu ceria, membuat saya merasa lebih bahagia. Hilang sudah pegal-pegal dan penat setelah trekking dua jam lebih, berganti dengan senyuman di wajah saya. Di Wae Rebo, saya menemukan ketenangan dan kesederhanaan yang tidak pernah saya temukan di manapun. Sebuah perjalanan menakjubkan untuk akhirnya kembali ke diri sendiri.
Apabila suatu saat, kamu mengunjungi Wae Rebo, jangan lupa bawalah sedikit buku-buku bacaanmu, dan berbagilah dengan anak-anak Wae Rebo yang gemar sekali membaca dan selalu haus akan pengetahuan.
Malam harinya, sembari duduk bersila di dalam Gena Maro sambil ditemani secangkir Kopi Wae Rebo, saya memberanikan diri untuk bertanya, tentang asal-usul Wae Rebo. Pertanyaan yang saya lontarkan kepada Bang Atus dan Bang Marcell, sebagai penduduk setempat.
“Banyak yang bilang, bahwa orang-orang berdatangan ke Wae Rebo pada masa penjajahan, karena merasa tempat inilah yang paling aman.” Jawab Bang Marcell. “Namun sebenarnya, bukan begitu legendanya.”
“Wah, lalu bagaimana legendanya, Bang?” Tanya saya, semakin penasaran.
“Jadi, inilah legendanya.” Pria tersebut menghentikan suaranya sejenak. “Inilah legenda tentang kampung di atas awan bernama Wae Rebo, atau tepatnya, sebuah legenda tentang seorang pria yang berasal dari Tanah Minang, bernama Maro.”
Pada malam yang panjang itu, saya menyimak dengan serius kisah legenda kampung di atas awan, bernama Wae Rebo. Eh, maksud saya, legenda tentang Uda Maro.
legenda ini bener bener mind blowing banget mz.
aku baru tahu kalau legenda ini berasal dari keturunan minang!!
LikeLike
Ho’oh! Gak nyangka ya orang minang bisa sampai sana!
Mungkin mau bikin warung padang, niat awalnya mz.
LikeLike
Manggilnya harus uda Maro dong ya, om?
Itu kabutnya tebel amat ya.. Kayak lemak dikandung badan 😀
Trus trus satu lagi dari Mayora. Aquarius itu selain makan gengsi, juga pendendam. Camkan baik2 wahai ki sanak barisan para mantan! *lhaa curhat dianya 😀
LikeLike
Hahaha (((UDA MARO)))
Iya betul, kalau di rain forest gitu sering banget turun kabut emang.
WEITZ KATA SIAPA AQUARIUS PENDENDAM, ENGGAK KELEEEUSSSS!!!
*aquarius gak terima* 😀 😀 😀
LikeLike
Eh keren banget lho tempatnya 🙂
LikeLike
emaaanggg! 😀
LikeLiked by 1 person
Kopinya… sepertinya nikmat. *nelan ludah*
LikeLike
Nikmat banget! Apalagi kalau dingin-dingin, teruss….ngopi.
LikeLike
Pemandangan malamnya benar benar magical ya
LikeLike
Yup! Starry night!
Kalau pas purnama bisa bersih banget langitnya.
LikeLike
Cakeeeppp foto fotonya riv!, jadi pengen kesana, tp trekkingnya itu ya, alamat gue yang paling belakang lagi itu sih
LikeLike
Hihi makasihhhh!
Kamu pakai porter aja ke sananya kak! Terus minta gendong atau tandu hahahaha.
LikeLike
Massss… kamu subur ya masssss :))
ceritanya bagus…. saya suka saya suka saya suka
LikeLike
AH SIAAALLLL! MASA SIH SUBUR? HAHAHAHA.
Makasih cikmel! Nanti saya diet lagi aaaah~
LikeLike
Ceritanya asik! Berasa nonton film, kak! Hahaha.. Foto-fotonya juga bagus!
LikeLike
Yay! Thanks broooo 😀
LikeLike
Suatu saat harus kesana juga.. Bagus banget ya.. 😀
LikeLike
Aamiin! Salah satu must visit place before you die! 😀
LikeLike
baru tahu soal asal usul desa Wae Rebo. semakin pengen ke sana
LikeLike
HARUS KE SANAAAA~
LikeLiked by 1 person
sering lihat fotonya di IG, juga pernah beberapa kali lihat liputannya di Tipi, ternyata perjuangan menuju kesana lumayan berat yaaa,,,,
kereen
LikeLike
Hooh! Perjuangannya berasa tapi sepadan ketika sudah di sana 😀
Magical!
LikeLike
mas boleh tau pake sepatu/alas kaki merk apa untuk tracking ke Wae Rebo? kalau dari medan yang mas ceritakan berat juga untuk sampai ke sana pasti butuh sepatu/alas kaki yang kuat tapi tetap nyaman
LikeLike
Hai mbak, kalau waktu kemarin aku pakai Columbia yang sepatu trekkingnya.
Enaknya sih pakai yang waterproof sekalian hehe.
LikeLike
Jadi orang-orang Wae Rebo itu minang juga nggak? Btw, foto magical night-nya subhanallah banget 🙂
LikeLike
Ya campuran antara minang sama flores hehe.
Subhanallah banget di sanaaa!
LikeLike
Di sana itu suku Manggarai Mas,setahu kami orang Manggarai asli. Ada bukti test DNA kalo mereka campuran Minang?
Flores itu mas ada banyak keturunan, khusus Manggarai itu dari Sulawesi(Makasar).
LikeLike
Kalau untuk tes DNA saya tidak ada bukti, saya juga tidak paham apakah kisah legenda perlu tes DNA, karena legenda dikisahkan turun temurun secara adat, bukan dibuktikan secara scientific.
LikeLike
Kita akan mengunjungi wae rebo nanti di oktober ini, jadinya bisa mengumpulkan buku bacaan dari sekarang 🙂
LikeLike
Ihiy! Bawa yang banyak yaaa bukunya!
Jangan lupa, motor gak boleh sampai sana hahaha.
LikeLike
Saya suka sekali dengan setiap tulisan mas Ariev. Ini lho yang menjadi inspirasi saya untuk bercerita dalam setiap perjalanan.
LikeLike
Ah, terima kasih banyak! Saya tersanjung 🙂
LikeLike
kalau ke wae rebo, turun di bandara mana yah? pengen kesana. 😀
LikeLike
Kalau umumnya sih pada turun di Labuan Bajo lanjut jalan darat ke sana. Atau kalau mau lebih dekat bisa oper pesawat lagi ke Ruteng.
Ayo ke sana, gak bakal nyesal! 😀
LikeLike
Sebagai seorang keturunan Minang sejati, sepertinya saya mesti kesitu, tapi jauh 😦
Saya suka cara Mas Arif bercerita, salam kenal dari Padang.
LikeLike
Salam kenal juga!
Terima kasih sudah mampir di sini, kalau ada waktu dan rezeki sempatkanlah ke Wae Rebo, gak akan menyesal ke sana hehe.
LikeLike
hahaha enak aja, aku jg gemini, tapi ga segitunya amat cari perhatian sampe trus2an berulah tiap pindah kampung ;p Dingin ya kayaknya, lumayan tinggikan kalo 1200 mdpl. tempat begini nih yg aku suka, sejuk, ga panas 🙂
LikeLike
Hahaha! Eh tapi benar gak kalau Gemini itu attention seeker? Suka kesepian kalau gak ada yang merhatiin :p
Iyap dingin di sana, hehe. Kalau pas dingin bisa dingin bangeeet~
LikeLike
Keren mas tulisannya! Awalnya saya gak niat baca, tapi pas iseng eh ketagihan juga. Mas, itu ada anakonda, tapi dibawa-bawa. Hahaha. Saya pengen ngakak pas cerita si bimbang, hahaha!
LikeLike
Ihiy! Makasih banyak ya sudah mau terjebak dan membaca tulisannya hahahaha!
LikeLike
Dilihat dari postur badannya sepertinya semakin bahagia cie cie, btw bagus banget ya tempatnya, untaian kata katanya juga menggemaskan…. hahhaha sengaja gitu ya biar penasaran mas? semangat traveling n nulisnya mas.
LikeLike
HAHAHA MAKSUNDNYA MAKIN GENDUT NIH?
Thank youuu, semoga makin semangat nulis yaaa hehe. Iya tempatnya bagus itu, gak rugi banget ke sana kak!
LikeLike
Bambang gokil abis bang
Hipnoterapi Semarang
keren dah tulisanya
LikeLike
Bimbang kali mas 😛
LikeLike
perjalanan menuju kampung wae rebonya peer bgt ya? tapi liat viewnya worth it
LikeLike
Yak betul! PR banget buat ngedakinya, tapi sepadan bangeeeettt!
Once in a lifetime experience tuh.
LikeLike
masih 2 jam, masih sanggup insyallah.
duh sombong ini. astagfirullah.
LikeLike
HAHAHA JANGAN SOMBONG DULUUUUUUU!
LikeLike
MERINDING!
Pas baca legenda dan foto-fotonya bulu kudukku langsung merinding. Akh, sayang kemarin pas ke Flores cuma sailing, belum overland. Semoga nanti ada waktu utk kembali ke Flores, ketemu uda Maro sambil ngopi2~
LikeLike
HAHAHA MERINDING KENAPAAAA?
Aamiin semoga bisa ada waktu lagi buat ke Flores. Yakin mau ketemu Uda Maro? Gak takut? Eh.
LikeLike
yaampun, dari dulu pengin kesini gak jadi mulu 😦
LikeLike
Ya jadikan lah! Mumpung gak ngantor, mwehehehehe~
LikeLike
mantab jadi pengen kesana juga maz…
Tempat download & streaming asik check this out
LikeLike
Ayo ke sana mumpung masih kuat 😀
LikeLike
suka alur ceritanya, mz!
LikeLike
makasih mb!
LikeLike
Waduh ini mah dari dulu udah pengen banget kesini,
cuma ada beberapa info baru yg aku dapat dari artikel ini.
Artikelnya bagus mas 😀
LikeLike
Wah, terima kasih banyak mas 😀
Semoga bisa segera ke sana yaaa!
LikeLike
tadinya saya gak mau baca artikel ini..! juara..! heh paling biasa tuh artikelnya. hehe.. tapi ternyata wuarbiasa keren gan. salut…!
LikeLike
Waaaahhh terima kasih banyak mas!
Cheers!
LikeLike
dulu ane gak sempet kesini gan. sayang sekali…
LikeLike
Wah sayang banget gan, ane aja pengin balik ke sana lagi.
LikeLike
Owh, ini artikel yang jadi salah satu pemenang ya, Mas? Selamat ya. Komplit banget bahas tentang Kampung Wae Rebo. Tertarik banget sama jalur treking dan kopi khas daerah ini. Mudah-mudahan suatu saat ada rejekinya ke sana 🙂
LikeLike
Heeh Mas, makasih mas, alhmadulillah, kebetulan yang ini jadi juara utama mas. Kemudian artikelnya mas wira, yang Ruteng kalau gak salah.
Aamiin, semoga bisa ke sana suatu saat nanti, tapi harus oke dulu fisiknya buat trekking mas.
LikeLike
Sy baru dari wae rebo, emang buagus bangetttt, sayang di pos 1 jembatan hancur,
Treking keatas mantappp tapi terbayarkan setelah sampai di atas,
Orang2 disana ramah,
Makan enak
Ngopi refill trus hahaha
Suatu hari kalo ada pesawat langsung ke ruteng mau sy kesini lagi
LikeLike
Wah sekarang hancur ya posnya mas? Aku malah rencananya akan balik ke Wae Rebo lagi nih mas hehe.
Betul, orang-orang di sana ramah dan tulus banget yaaa.
Kopinya juga mantap! Kabarnya sih ada pesawat langsung ke Ruteng, mas. Tapi kayaknya dari Labuan Bajo.
LikeLike
Hancur jembatan sungai, tp motor masih bisa dipaksakan kalo bisa bawanya,
Kalo mau ke waerebo cobain tgl 16 sept ini, ada acara adat dan tim dr mtma datang,
Pasti rame disana
Kalo sy dr bdg jd mahal, 3x pesawat kalo ke ruteng, hehhe
LikeLike
Oh iya, kabarnya gak lama setelah saya ke sana, jembatannya rusak, jadinya musti jalan agak jauh lagi ya.
Siap mas! Penginnya sih join acara itu, hehehe.
Hooh, dari Jakarta pun 3x :)))))
LikeLike
ceritanya bagus. baru tau sejarahnya wae rebo dari sini 🙂
LikeLike
Wah terima kasih! Iya ini aku dapat dari cerita warga lokal.
LikeLike
nah kann baca ini jadi kangen wae rebo. Emang pesona flores luas biasa.
btw, panjang juga asal muasal wae rebonya, ngos-ngosan bacanya. Dengan baca ceritamu ini lagi, aku jadi tau nama pos2 perberhentian waktu kesana. atau bisa jadi aku yg ga ngeh kalo guide ku lagi njelasin
LikeLike
Iyes! Flores adalah salah satu yang terindah di Indonesia menurutku.
Hihihi, masih lebih ngos-ngosan pas ngedaki Wae Rebo kan, hahaha.
LikeLike
wow~keren dah artikelnya mas!
bolehkah artikelnya mas ariev ini saya jadikan sumber rujukan buat berkarya? 😀
LikeLike
Halo Mas Heru, siap boleh kok! 😀
Selamat berkarya yaaa 🙂
LikeLike
yeey~makasih mas!
ntar kalo ad yg kurang jelas masnya saya jadikan narasumber yak, wkwk 😀
LikeLike
Ahaha siaappp! Anytime mas 😀
LikeLike
Yey! mas, boleh nanya ndak?
kira2 knapa ya itu mbaru niang harus berjumlah 7 buah?
knapa ndak skalian 11 aj kyk di lapangan bola? hehe
LikeLike
Nah, kalau itu aku belum tahu infonya haha.
Harus ditanyakan ke tetua di sana nih.
LikeLike
pingin sih~sayang statusnya msh on-going kuota di tabungan pribadi, wkwk. Kalo flora & fauna di sana ad apa aj mas?
LikeLike
Ahahaha, semoga bisa segera keluar ya tabungannya! Kalau fauna di sana sih ya burung yang sering terdengan suaranya, sama luwak itu untuk kopi.
Kalau floranya khas hutan hujan gitu mas, pohon-pohon besar, sporangium, lumut-lumutan, juga perkebunan lokal seperti kebun kopi.
LikeLike
Amiin~makasih infonya ya. Kapan2 kalo mas ariev ultah undang main kesana yakk, itung2 amal jariyah, wkwkwk
LikeLike
Wakakaka, kayak ke kaum dhuafa dong amal jariyah.
LikeLike
Salam kenal, Mas. Saya sangat tertarik dengan Wae Rebo, tapi belum memungkinkan untuk berkunjung ke sana. Jadi, seneng banget baca-baca artikel tentang kampung itu.
Mas, bisa cerita lebih banyak tentang anak-anak Wae Rebo? Di mana mereka sekolah, kegiatan sehari-hari mereka, permainan apa yang biasa mereka mainkan, dll. Hehe…kayak interogasi…maaf ya.
Dan terima kasih tulisan kerennya
LikeLike
Halo Mbak Emil, salam kenal.
Waaah kenapa belum memungkinkan? Hehehe. Cantik banget itu kampungnya, mbak. Saya tahun lalu 2x ke sana dan tetap mau kalau diajak ke sana lagi.
Kalau untuk anak-anak Wae Rebo yang usia sekolah, mereka sekolah di desa terdekat (yang ada sekolahnya) dan tinggal di kampung dekat Denge/Dintor selama hari Senin – Jumat, dan kembali ke Wae Rebo sewaktu weekend atau libur sekolah.
Kalau permainan, yang cowok biasa bermain sepakbola sementara yang cewek, aku kurang ngeh waktu ke sana pada main apa hehehe. Mereka akan senang sekali apabila kita berkunjung dengan membawa buku untuk dibagikan, karena akses mereka ke dunia membaca sangatlah kurang.
Kira-kira seperti itu mbak, terima kasih sudah mampir ke sini 😀
LikeLike
Wah, terima kasih cerita lengkapnya. Berarti kalau hari sekolah sepi dari anak-anak ya? Saya pernah baca kalau di sana ada perpustakaan sumbangan Habibie, tapi nggak pernah dibuka, benar nggak?
Kapan mau ke sana lagi? Boleh titip mata? Eh, maksud saya request foto aktivitas anak-anak di sana 😀
LikeLike
Hehe iya mbak kalau hari sekolah ya sepi, kecuali yang anak anak balita gitu mungkin masih ada.
Nah kalau perpustakaan dari Habibie, aku malah belum dapat infonya. Tapi kalau Rumah Baca sih ada, namun aku gak tahu itu dari siapa hehe.
Ke sana lagi kapan yaaa? Pengin lagi sih tahun ini hehe, semoga bisa ke sana lagi ya mbak 😀
LikeLike
Hai Maaf ni sedikit minta pencerahan, selama nginep di Wae Rebo utk makanan bagaimana Mas maksudnya terutama utk traveler yg Muslim? Kita bawa stock makanan sendiri atau masyarakat Wae Rebo yg menyediakan? Makasih 😊
LikeLike
Halo mbak, kalau untuk makanan Insha Allah sudah muslim friendly kok, nanti disediakan makanan semacam ikan goreng dan telur dadar dengan sambal yang enak sekali. Namun kalau mbak mau bawa makanan sendiri ya boleh juga hehe.
LikeLike
Dapat cerita dari mana bang, saya orang Manggarai Asli, semua rumah adat di Manggarai memang seperti itu dan memang tersebar keseluruh Manggarai, bukan di Wae Rebo saja, cuman Wae Rebo kebetulan dekat dengan Todo, dulunyakan Todo yang jadi symbolic kerajaan Manggarai dan Rumah adatnya, belakanga karena Wae Rebo lebih terpelihara dan posisi yang lebih baik dan keunikannya dari sisi wisata, jadi kebanyakan wisatawan di arah kan ke sana,di Manggarai itu dulu ada satu Kerajaan Besar yang termasyur yaitu Raja Todo, dan itulah yang lebih dominan di Manggara dan hampir seluruh Manggarai memang di kuasainya. Jadi Todo sendiri adalah symbolic terbesar Kerajaan Manggarai dan Rumah adat Manggarai, bukan minang, yang saya tauhu sampai detik ini Kami adalah keturunan dari Makasar-Sulawesi.
Dan Wae Rebo adalah Symbolic Rumah adat Manggarai umumnya, bukan Wae Rebo saja apalagi Minang, abang orang Manggarai Asli atau dari mana?
LikeLike
Halo bang, salam kenal, kebetulan saya sekarang tinggal di Jakarta dan asli dari Pulau Jawa.
Untuk ceritanya sendiri, kalau abang baca dengan detil artikel saya, maka abang akan menemukan bahwa cerita tersebut dikisahkan oleh pemandu yang membawa kami ke Wae Rebo.
Kemudian terkait keaslian cerita, saya tidak menambah ataupun menguranginya, karena semua yang saya dapat dari sana, ya saya tulis di sini. Mungkin abang bisa mencari Bang Marcell di Wae Rebo dan bertanya padanya mengenai cerita ini.
Kalau abang baca ceritanya dengan detil pula, di situ dikisahkan bahwa Maro sebelum ke Wae Rebo sempat berkunjung ke Gowa yang terletak di Sulawesi, dan bukan tidak mungkin cerita yang abang dapat berawal dari situ.
Kurang lebihnya demikian, apabila ada kesalahan saya mohon maaf, karena saya hanya menyampaikan legenda.
LikeLike
Satu lagi mas yach, bahwa di Manggarai belom pernah dengar namanya Kerajaan Wae Rebo, dapat sejarah dari mana mas?
Setahu saya Kerajaan kerajaan di Manggarai adalah Lamba, Cibal, Welak, Todo-Pongkor dan Bajo, belom pernah dengar Kerajaan Wae Rebo
LikeLike
Bang Robert, kalau abang baca dengan detail artikelnya, yang diceritakan sebagai Kerajaan Wae Rebo ini adalah berasal dari mimpi saja, bukan dari cerita sejarah yang sudah teruji kebenarannya 🙂
Silakan dibaca lagi ya dengan detil hehe, kalau abang sendiri sudah pernah sampai Wae Rebo?
LikeLike
Terima kasih bang karna telah mengunjungi daerah kami. Kami sangat bangga
LikeLike
Sama-sama, daerah kalian keren, favorit saya di Indonesia.
LikeLike
kalo di sunda wae itu = terus menerus, contoh, hujan wae, artinya hujan gak berhenti
kalo rebo = rabu, hari rabu tepatnya, jadi mungkin menurut gw WAE REBO artinya maro bikin ulah terus menerus di hari rabu,
hahaha
sungguh cocokologi yang masuk akal
dibanding dari mimpi sungguh penjelasan yang tidak menjelaskan..
wkwk
jangan terlalu serius.
LikeLike
wkwkwkwk!
Ya bisa jadi begitu, namanya juga main cocoklagi hahaha. Nuhun sudah sharing di sini 😀
LikeLike
teriaksih sudah berbagi sejarah tentang wae rebo. saya bangga jadi orang manggarai dan keturunan minang..
LikeLike
wah salam kenal bang, semoga kampungnya tetap lestari. Terima kasih juga sudah mampir ke blog ini.
LikeLike