“Sebenarnya, rukun pernikahan itu cuma ada lima.” Sambil menggosok batu akiknya, bapak di depan saya memelankan suaranya, “Yaitu SISWA.”

“Hah? Siswa?” Apakah ini maksudnya saya harus membawa lima orang siswa supaya bisa menikah? Saya kan bukan Saipul Jamil. Hap!

“Iya S.I.S.W.A.” Jawabnya. “Suami, Istri, Saksi, Wali, dan Akad atau yang biasa disebut sebagai Ijab Kabul.”

Oh. Cheesy amat ternyata singkatannya. Berbeda dengan S.H.I.E.L.D., yang merupakan kepanjangan dari Strategic Homeland Intervention, Enforcement and Logistics Division, yang walaupun cheesy namun tetap keren karena menggunakan bahasa Inggris, eh Amerika.

Siang itu, saya mendapatkan bersama Neng sedang mendapatkan bimbingan pernikahan pada salah satu KUA di Bandung. Iya, memang menikah itu sebenarnya cuma ada lima rukun yang harus dipenuhi, namun di Indonesia, lima rukun tersebut berkembang menjadi berbagai macam hal yang harus dipenuhi untuk melengkapkan rukun pernikahan. Hal-hal yang diantaranya meliputi, undangan ratusan orang, pembuatan suvenir pernikahan sebagai cenderamata tamu undangan, penyajian musik-musik kekinian untuk menghibur tamu yang hadir, hingga persiapan adat yang sangat panjang.

Hal-hal panjang yang harus saya lalui, sebelum menikah dengan Neng.

Klik ini untuk membaca cerita sebelumnya, sekaligus tentang panduan mengurus dokumen pernikahan.

Perjalanan Menyiapkan Kebutuhan Pernikahan

Setelah dokumen pernikahan terpenuhi, berikutnya adalah menyiapkan tetek bengek (berarti segala macam urusan, bukan tetek yang kena flu terus bengek) pernikahan. Tantangannya adalah, waktu untuk mengurus semuanya kurang dari tiga bulan lagi.

Yang pertama adalah menentukan konsep pernikahan. Sebenarnya kami ingin mengundang sedikit saja tamu, yang hanya terdiri dari keluarga, kerabat, dan teman-teman dekat, namun pihak keluarga berpendapat bahwa relasi, teman-teman lama, hingga saudaranya saudara juga harus diundang. Baiklah.

Setelah mendapat estimasi jumlah undangan, kami kemudian mencari desainer untuk merancang desain undangan kami. Tentu saja kami tidak mau kalau kualitas desain undangan kami lebih rendah daripada Drawa, maskot Asian games 2018 yang tidak jelas wujudnya berupa burung atau ayam atau cabe-cabean.

Untungnya, saya mempunyai kenalan bernama Mutia Hanifah, yang piawai mewujudkan konsep undangan kami. Sebuah konsep undangan sederhana, berbentuk paspor dan pernak-perniknya, seperti boarding pass untuk tanda pengambilan suvenir, juga luggage tag sebagai suvenirnya.

Masalah undangan beres, berikutnya masalah pakaian. Berhubung kami akan melangsungkan rangkaian acara sebanyak 3 kali, IYA TIGA KALI, maka Neng pun memilih tiga macam jenis pakaian. Yaitu kebaya putih untuk akad nikah, kebaya nasional berwarna biru muda untuk acara resepsi, dan kebaya khas Jawa untuk prosesi Ngunduh Mantu kelak.

Untuk urusan kebaya-kebayaan ini, termasuk penyewaan beskap untuk keluarga, Neng mempercayakannya kepada Belva yang terletak di Ruko Setrasari Mall B4 Nomor 97 Bandung. Sepanjang acara fitting, saya tidak banyak mengambil inisiatif dalam pemilihan warna dan desain. Pokoknya jenis dan warna pakaian apapun yang dikenakan oleh Neng, saya iyakan saja supaya cepat.

“Kamu, pakai pakaian apa saja bagus, apalagi kalau…”

Belva

Masalah pakaian beres, berikutnya adalah memilih cincin dan mas kawin. Kami sempat mendatangi beberapa toko perhiasan yang terdapat di mall seperti Frank&Co dan Fish&Co (untuk makan malam) namun tidak ada yang cocok (Baca: Mahal, namun bagi seorang Aquarius seperti saya, gengsi untuk bilang mahal), hingga pada suatu hari Senin yang cerah, kami beserta Mama datang ke Toko Mas Kaliem yang terdapat di Blok M Square atas rekomendasi seorang teman.

Alhamdulillah, hari itu Kaliem tutup. Kampret. Ternyata Kaliem tutup setiap Senin.

Kaliem

Mengetahui Kaliem tutup, Mama pun mengajak kami untuk mendatangi toko mas asal-asalan di sekitar situ. Namanya juga asal-asalan, maka kami pun belum berhasil mendapatkan cincin yang kami mau. Di siang itu, kami memang belum mendapatkan cincin, namun Mama berhasil membujuk saya untuk membeli segenggam perhiasan sebagai mas kawin.

Duh, I wish that mas kawin bisa diganti dengan seperangkat alat kontrasepsi saja.

Beberapa hari kemudian, saya dan Neng kembali lagi ke Kaliem, dan kali ini toko juga tidak buka. Kampret. Ternyata kami datang kepagian, dan Kaliem baru buka mulai pukul 12.00. Untung saja kami sabar menunggu, dan seperti yang kamu tahu, orang sabar disayang Tuhan.

Siang itu, kami berhasil mendapatkan sepasang cincin (emas untuk Neng, dan Palladium untuk saya yang syariah, walaupun saya lebih suka embak) dengan harga sepertiga dari harga mall, di Kaliem.

Cincin Kaliem

Cincin dan mas kawin beres, berikutnya adalah masalah serah-serahan. Sebuah tradisi yang saya sendiri bingung apa fungsinya, di mana pihak pria memberikan seperangkat pakaian, kosmetik, dan aksesoris kebutuhan wanita, sementara pihak wanita akan menerimanya dengan sepenuh hati, dan optional sifatnya untuk membalas kebaikan sang pria.

Untuk urusan serah-serahan, biasanya kami selalu meluangkan waktu untuk mencari bersama apabila ada waktu untuk ketemu. Maklum, namanya juga pasangan LDR beda provinsi. Selain itu, untuk masalah lokasi, dekorasi, dan konsep acara, saya tidak terlalu ikut campur karena Neng sudah mengerjakannya bersama dengan Chrome Wedding sebagai Wedding Organizer di acara kami.

Salah satu kabar baik datang pada penghujung 2015, di mana saya berhasil mendapatkan promo tiket murah ke Eropa, yang rencananya akan saya gunakan untuk honeymoon bersama Neng. Lumayan, cuma 4,5 juta PP untuk satu orang, seharga tiket ke Papua.

Perjalanan Pra Pernikahan

Guna membuat pernikahan ini spesial, saya mengajak Neng untuk melakukan perjalanan pra pernikahan, atau yang kerap disebut sebagai pre wedding journey (berikutnya disingkat sebagai prewed). Tapi tenang, kami tidak pergi berdua saja, karena ada Mama yang ikut sebagai orang ketiga, juga ada Mas Bolang sebagai videographer dan Mas Bucung sebagai photographer. Kami ingin membuat perjalanan ini menjadi sebuah perjalanan spesial yang tidak akan terlupakan sampai pensiun.

Untuk masalah lokasi, saya banyak berdiskusi dengan Mas Bolang yang memang sudah melanglang buana dan juga mempunyai bisnis travel. Penginnya sih pergi ke tempat yang eksotis, romantis, dan sepi dari turis supaya bisa dinikmati dengan puas. Namun ternyata biaya untuk pergi ke Selandia Baru berlima, bisa mengakibatkan saya menggadaikan apartemen dan harga diri. Hingga akhirnya Mas Bolang mengusulkan sebuah tempat di Indonesia yang terdengar eksotis.

“Bagaimana kalau Sumbawa?”

Sumbawa. Wah, dari namanya saja sudah terdengar eksotis, sama seperti orang Jakarta ketika mendengar nama Sutiknyo. Kebetulan pula, saya belum pernah ke sana, “Memang ada apa saja di sana, Mas?”

“Banyak, nanti bisa ke Pulau Moyo lihat air terjun Mata Jitu, bisa ke Pulau Kenawa, juga bisa ke Pantai Maluk.”

“Hmm..”

“Nanti di sana aku punya kenalan, jadi bisa pakai mobilnya.”

DEAL!

Lokasi sudah aman, kendala berikutnya adalah konsep dan wardrobe yang akan digunakan untuk prewed.

Jujur, saya baru mendapatkan ide mengenai konsep prewed pada H-3 sebelum keberangkatan, setelah berdiskusi dengan beberapa teman seperti Tiwi. Maklum, namanya juga pekerja freelance, biasanya baru muncul ide kalau kepepet deadline.

“Gila lu beb, sudah mau berangkat tapi konsepnya belum ada.”

“Hehehe hehehe.”

Tiwi, yang pernah bekerja sebagai editor di Cosmopolitan tentu saja punya ide-ide menarik untuk remaja yang bisa saya terapkan di sesi prewed. Ide-ide yang kemudian langsung saya sampaikan ke Mas Bolang dan Mas Bucung, mengenai petualangan dan kebersamaan.

Tentang petualangan menemukan cinta di Air Terjun Mata Jitu, dan tentang menikmati kebersamaan di Pulau Kenawa.

Mengenai wardrobe prewed, kebetulan saya bertemu dengan Kiki di malam saya mendapatkan konsep tersebut, dan langsung diracun untuk belanja. Mulai dari Debenhams dan Topman di Senayan City, hingga pindah ke H&M dan Uniqlo di Grand Indonesia.

“Kampret maneh, urang bisa bangkrut ieu.”

“Halah sekali-kali, anjis.”

Perjalanan Persiapan Menjelang Pernikahan

Menjelang hari pernikahan, berarti semakin banyak hal yang harus diurusi dan dipastikan supaya pernikahan dapat berlangsung dengan lancar. Setelah clear chat WhatsApp, saya mulai memikirkan hal lain seperti undangan yang baru jadi 2 minggu sebelum acara, yang berarti waktu untuk menyebarkannya pun semakin singkat.

Praktis, saya hanya sanggup menyebarkannya untuk kolega di kantor, teman-teman yang sering ketemu, keluarga dekat, sementara sisanya saya undang secara elektronik melalui WhatsApp, Facebook, Path, dan Email. Semoga saja dimaklumi.

Berikutnya, masalah perawatan wajah dan badan supaya tampil kinclong di hari pernikahan. Sepertinya hampir tiap hari, Neng menjalankan perawatan kecantikan dan lain-lainnya di salon, sementara saya hanya facial sekali bersama Mama. Itu saja di salon kecil di Ungaran dengan biaya perawatan Rp35.000,- all in, tanpa petik mangga.

BHAAAA!

Selfie

A selfie won’t hurt you, right?

Kami juga berencana melakukan bleaching gigi di Oktri Manessa Dental Care (OMDC) yang terkenal karena banyak artis melakukan perawatan gigi di sana. Saat itu, Neng sudah melakukan reservasi untuk 2 orang mulai pukul 19.00, dengan dua dokter yang terpisah, supaya kami bisa cepat selesai, karena saya masih ada acara selepas jadwal tersebut.

Namun, ternyata pelayanan OMDC tidak profesional, karena ternyata hanya menyediakan satu dokter untuk menangani kami berdua, dan hal itu baru saya ketahui setelah saya di sana, menunggu Neng perawatan selama satu jam lebih dan saya tidak dipanggil-panggil untuk masuk ke ruangan. Mengenai harga, memang OMDC terhitung murah, namun dengan pengalaman yang terjadi, saya tidak merekomendasikan kamu untuk menggunakan jasanya.

Menjelang pernikahan, biasanya akan muncul banyak konflik, baik antara calon pengantin pria dan wanita, antara calon pengantin dengan mantan yang tiba-tiba muncul, antara calon pengantin dengan keluarga, antara keluarga dengan keluarga, juga bisa jadi antara calon pengantin dengan vendor-vendor pernikahan yang kurang profesional. Sabar dan hadapi saja.

Tak terkecuali pula antara saya dan Neng, yang timbul beberapa konflik kecil menjelang pernikahan. Dengan mempertimbangkan bahwa tiket ke Eropa sudah di tangan hari baik semakin dekat untuk menyatukan dua keluarga, akhirnya kami meredam konflik tersebut.

Keluarga

Pertemuan keluarga jelang pernikahan.

Setelah pertemuan keluarga di malam sebelum pernikahan, saya menyempatkan diri untuk bertemu sahabat-sahabat saya yang saat itu sudah berada di Bandung, terlebih karena mereka bilang telah menyiapkan ‘sesuatu’ untuk saya malam itu.

Namun malam belum berakhir begitu saja, karena saya bersama Fara, Galang, dan Wandy langsung lanjut ke McDonald’s Dago untuk membeli makan malam di pukul sebelas malam. Maklum, saya belum mendapat asupan banyak makanan di hari itu.

Setibanya di hotel, ternyata mereka sudah menyiapkan seremoni kecil untuk merayakan perpisahan saya dengan masa lajang, sekaligus untuk menyambut ulang tahun saya yang jatuh tepat pada hari pernikahan. Malam itu, tepat pada pukul 00.00, saya meniup lilin untuk menyambut awal yang baru.

Birthday Boy

Dengan pertimbangan bahwa kamar yang dipakai Mama akan penuh dengan keluarga, malam itu saya memutuskan untuk tidur bersama Galang. Gila, menjelang pernikahan yang tinggal sebentar lagi, saya masih tidur bersama pria lain. Astaghfirullah.

Malam itu, tidur saya tak nyenyak, entah karena saat itu Newcastle United dibantai 5-1 oleh Chelsea, atau karena memikirkan pernikahan yang akan berlangsung beberapa jam lagi.

Bersambung…