Saya mengecek ulang itinerary yang telah saya susun pada malam sebelumnya, perjalanan pertama ke Italia dalam rangka bulan madu sudah selayaknya memang mengunjungi kota-kota yang dikatakan romantis, walaupun mainstream. Pisa karena menara miringnya, Firenze karena arsitektur kota dan patung-patungnya (walaupun saya dan Neng bukan penyembah berhala), Venezia karena kanal-kanal dan gondolanya, dan berakhir di Roma yang merupakan kota terakhir sebelum kami terbang kembali ke Jakarta.

Transportasi di Italia, dapat dikatakan sudah lebih maju dari Indonesia, terbukti dengan banyaknya alternatif yang disediakan untuk berpindah-pindah tiap kota, seperti bus dan kereta api yang semuanya dapat dipesan online. Pisa ke Firenze, dan Firenze ke Venezia, saya memilih untuk menggunakan kereta api karena cepat dan murah. Berarti sekarang tinggal Venezia ke Roma; saya kembali bertanya ke diri sendiri dengan sebuah pertanyaan klasik, “Enaknya naik apa, ya?”

Naikin istri, Mas.” Sebuah suara gaib berbisik.

italy_map from school project

Katanya, banyak jalan menuju Roma, atau dalam bahasa Inggrisnya, “All roads lead to Rome”. Semua jalan akan menuju Roma, sama seperti jalan yang diambil Angel Lelga. Wah, berarti banyak pilihan transportasi dong, batin saya girang. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan secara online, saya mendapatkan beberapa informasi pilihan jenis transportasi dari Venezia ke Roma yang berjarak sekitar 480 Km, yaitu:

  • Pesawat terbang, memakan waktu 1 jam, dengan biaya 100 Euro per orang.
  • Kereta api, memakan waktu 3,5 jam, dengan biaya 80 Euro per orang.
  • Mobil, memakan waktu 5 jam.
  • Bus, memakan waktu 8 jam, dengan biaya 30 Euro per orang.
  • Berjalan kaki, memakan waktu 96 jam.

Berikutnya, saya mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang ada, pesawat terbang itu cepat namun mahal, kereta api tidak terlalu cepat dan sedikit mahal, bus lama namun murah, sementara berjalan kaki itu gratis namun bisa mengakibatkan paru-paru basah, dibegal di jalan, betis meletus, dan jari melepuh apabila dilakukan sambil menggeret koper sebesar kulkas tanpa istirahat.

Setelah berhitung, pilihan saya pun mengerucut menjadi satu, yaitu mobil. Atau tepatnya mobil yang disewa melalui Hertz dengan harga 80,5 Euro per hari sudah termasuk full cover asuransi. Lumayan kan, dengan harga segitu dapat mobil untuk berdua, selama 24 jam, jadi bisa self drive ke Roma dan bisa mampir-mampir ke tempat lain. Oh iya, menariknya lagi, mobil ini tak perlu dikembalikan lagi ke Venezia karena bisa diletakkan di Return Point Hertz di Roma.

Bayangkan iritnya, kalau kamu bepergian berempat, atau berlima.

Hertz Venezia

Hertz Venezia

Sebenarnya ada dua metode untuk menyewa mobil di Hertz, yaitu Post Paid dan Pre Paid. Lho, ini sewa mobil atau mau langganan listrik, sih? Berikut bedanya.

  1. Post Paid Rate
    • Metode ini memungkinkan kamu memesan mobil melalui website Hertz, yaitu http://www.hertz.co.id, dan kamu tinggal membayar ketika mengambil mobilnya pada pickup point yang diinginkan.
    • Pada pickup point, pemesan harus membawa confirmation letter yang diterima melalui email, menunjukkan SIM Internasional (klik untuk baca panduan membuat SIM Internasional), dan menggunakan kartu kredit untuk melakukan pembayaran. (Catatan: Hertz tidak menerima pembayaran secara cash. Tak peduli kamu adalah Anindya Bakrie, Tommy Soeharto, atau bahkan anggota DPR yang membawa sekoper penuh uang rakyat sekalipun, kamu tetap harus melakukan pembayaran dengan kartu kredit).
  2. Prepaid Rate
    • Metode ini memungkinkan kamu untuk memesan mobil melalui travel agent di Indonesia atau dengan cara mengirimkan email ke Hertz Indonesia dengan alamat hertzgsa@discoverjkt.net (atau bisa juga melalui telepon di 021-5212006), dengan memberikan detail berupa: data pick up & return point yang diinginkan, tanggal periode pemesanan, jenis mobil yang diinginkan (berapa seater, atau apabila ada preferensi khusus, misalkan mau Maserati atau Ferrari).
    • Setelah mendapat balasan berupa quotation beberapa pilihan mobil untuk dipilih, pemesan harus menyelesaikan pembayaran secara langsung pada travel agent tersebut atau melalui Hertz Indonesia, tempat memesan mobil. Nah, di sini pemesan dapat menggunakan beberapa metode pembayaran, seperti cash, debit, transfer, kartu kredit, namun tidak dapat menggunakan bitcoin.
    • Pada pickup point, pemesan harus membawa confirmation letter yang diterima melalui email, menunjukkan SIM Internasional, dan memberikan kartu kredit hanya sebagai jaminan. (Catatan: Nama yang tertera pada kartu kredit, harus sama dengan nama yang tertera pada confirmation letter juga SIM Internasional. Jadi bawalah kartu kreditmu sendiri, jangan bawa punya Om Bambang atau Tante Lisa.)

Kalau saya kemarin, memilih menggunakan prepaid rate, karena pembayaran sudah dilakukan di Indonesia, sehingga tidak membawa hutang baru di perjalanan. Juga apabila terjadi sesuatu di negara tujuan, akan lebih mudah mengurusnya karena pihak Hertz Indonesia sudah mempunyai data-data pemesanan saya.


Pagi itu, dengan mengenakan pakaian empat lapis karena sedang winter, saya bersama Neng berjalan menuju Piazzale Roma 496 tempat pickup point Hertz Venezia berada.

Mr. Rahman?” Sapa seorang petugas di balik meja.

Yes.” Jawab saya “How do you know?

I’ve been waiting for you.”

Wah! Memang sebelumnya saya sudah memberi tahu waktu kedatangan saya ke Hertz, namun tak menyangka mereka akan mengenali saya sebagai Mr. Rahman. Kenapa bukan dikenali sebagai Glenn Fredly, sih?

Hertz Venezia

Do you want to see your car?

Yes, sure!” Setelah memberikan data-data dan dokumen yang diminta, termasuk menandatangani sebuah slip penyewaan, saya mengikuti sang petugas ke arah mobil yang akan saya sewa.

This is a brand new Fiat 500X!” Jelasnya. “Do you like this car?

OF COURSE YES! Fiat 500 adalah salah satu mobil impian saya, dan bisa mencoba saudaranya si Fiat 500X (yang belum masuk Indonesia) langsung di negaranya adalah sebuah mimpi yang jadi kenyataan. Berikutnya, petugas Hertz tersebut langsung memberikan kuncinya kepada saya setelah menjelaskan beberapa hal-hal penting termasuk emergency contact yang harus dihubungi just in case sesuatu terjadi.

Enjoy your ride!” Dia berseru sambil mengedipkan sebelah matanya. “Ciao!

Untuk menyetir mobil di Italia, sebenarnya tidak jauh beda dengan di Indonesia, namun dibutuhkan sedikit penyesuaian, seperti letak kemudi yang berada di sebelah kiri, persneling di sebelah kanan (di Italia, sangat jarang ditemukan mobil bertransmisi otomatis, sehingga kamu harus membiasakan diri menyetir mobil dengan transmisi manual), juga letak tuas wiper dan sein yang berada berkebalikan dengan Indonesia. Selain itu, di Italia, kendaraan melaju pada lajur kanan, bukan lajur kiri seperti di Indonesia. Untung saja letak pijakan kopling, rem, dan gas masih sama dengan di Indonesia.

Setelah membiasakan diri dengan mobil baru, saya pun melajukan diri ke arah Roma melalui Autostrada, atau dikenal di Bekasi sebagai jalan tol. Tenang, mobil ini juga dilengkapi dengan GPS kok sehingga saya tidak perlu takut nyasar. Berhubung katanya banyak jalan menuju Roma, saya memilih untuk melakukan day trip dulu ke San Marino sebelum bertolak ke Roma pada hari yang sama.

Perjalanan ke San Marino sendiri cukup menyenangkan, karena jalur yang kami lewati adalah jalan tol yang lengang dengan banyak papan petunjuk jalan menuju Rimini sebelum pindah ke jalan raya menuju San Marino. Selama perjalanan, saya banyak dihibur oleh radio-radio setempat dengan logatnya yang unik, sementara Neng lebih memilih untuk tidur, karena dia berzodiak Pisces yang dapat dengan mudah tidur di mana saja.

Tidak ada macet sepanjang jalan tol, berbeda dengan jalan tol Jakarta-Bandung, yang kerap dilanda macet dan banjir. Tidak ada Kopaja dan angkot yang ugal-ugalan di jalan raya, juga tidak ada ibu-ibu pakai Yamaha Mio yang menyalakan sein ke kanan sebelum berbelok ke kiri.

Apabila lelah mengemudi, tinggal berhenti di rest area dan ngopi sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Sama lah seperti di KM 39 Jakarta – Bandung. Nyaman.

Way to San Marino

Neng

San Marino, yang terletak di ketinggian 657 meter di atas permukaan laut dengan luas yang hanya 61,2 Km², adalah negara terkecil ketiga di Eropa setelah Vatikan dan Monako, dan merupakan negara republik tertua di dunia. Berhubung San Marino berada di dalam wilayah Italia, maka bahasa yang digunakan termasuk kebijakan politiknya pun sejalan dengan Italia.

Menurut sejarah, pada tahun 301, ada seorang tukang batu bernama Marinus yang berasal dari Pulau Rab di Dalmatia menemukan sebuah komunitas kecil umat kristen  setelah mendaki Gunung Titano, yang dianiaya oleh Raja Diocletian pada saat itu. Lokasi itulah yang saat ini dikenal sebagai San Marino, sebuah negara mungil dengan bendera yang berwarna putih-biru laut dengan mahkota dan perisai di tengahnya. Putih melambangkan kedamaian, sementara biru laut melambangkan kebebasan.

Apabila dilihat secara seksama, perisai pada bendera San Marino tersebut memiliki gambar tiga buah menara di tengahnya. Tiga buah menara yang berada pada puncak-puncak tertinggi Gunung Titano, perlambang kejayaan San Marino. Tiga buah menara yang bernama Guaita, Cesta, dan Montale.

Setelah lebih kurang tiga jam perjalanan, kami pun tiba di San Marino yang berjarak 10 Km dari Rimini. Pemandangan sepanjang perjalanan ke San Marino dari Rimini cukup menarik karena menampilkan lanskap pedesaan dan pesisir Adriatik di kejauhan, kalau tidak mendung. Untuk jalanan menuju San Marino, konturnya berkelak-kelok seperti jalanan ke Puncak. Cuma bedanya, tidak ada mamang-mamang bersenter dan berkupluk yang menawarkan vila di sini.

San Marino

View from San Marino

Saya memarkir mobil pada salah satu sisi jalanan kota San Marino, yang merupakan ibu kota dari negara San Marino (bingung kan?), sebelum mengikuti naluri untuk bergerak menyusuri kota (yang lebih tepat disebut sebagai jalan raya), mencari makan dan kehangatan di musim dingin.

Pada sisi kiri jalan, terdapat toko-toko parfum dan perhiasan, sementara pada sisi sebaliknya berjajar toko-toko suvenir dengan Hotel Joli di hadapannya. Restoran yang saya temukan, berada pada ujung jalan tersebut. Sebuah restoran bernama ‘Agli Antichi Orti’. Sekadar informasi, harga barang-barang di San Marino justru lebih murah daripada di Italia, karena di sini tidak dikenakan PPN sebesar 22%.

Di dalam restoran, kami disambut oleh seorang pria gempal dengan bahasa Inggris berlogat Italia yang lancar. Dia menanyakan apakah kami akan langsung pesan ataukah ingin melihat menunya dulu, yang saya balas dengan bertanya apakah dia memiliki toilet.

Dikarenakan udara yang dingin ditambah perjalanan panjang yang telah ditempuh, kami tak perlu waktu lama untuk memesan makanan, yang penting terlihat halal dan enak. Pilihannya jatuh pada ‘Traditional San Marino passatelli with cherry tomatoes, arugula, and parmesan cheese’ yang merupakan pasta khas San Marino, beserta sepiring penuh fillet ikan.

Rasanya jangan ditanya, masih lebih enak Nasi Padang Sederhana!

Agli Antichi Orti

Selepas makan, saya bertanya kepada si gempal pemilik restoran, bagaimana cara menuju menara-menara yang merupakan simbol San Marino tersebut. Ya walaupun waktu kami cuma sedikit, paling tidak kami harus memiliki bukti sudah pernah menginjakkan kaki di San Marino.

Si gempal memberikan sebuah peta kepada saya, dan sambil mencoret-coret peta tersebut dia menjelaskan, “The first and second tower is not too far from here. Just follow the way behind the restaurant, and put the car on P5 or P6.”

How about the third tower?

Montale?” Dia menghentikan bicaranya sejenak. “It’s far, and it’s not open for public.”

San Marino

Ternyata benar, bahwa lokasi menara pertama dan kedua yang saya cari berada dekat dengan restoran, dan saya pun tak mendapat kesusahan untuk mencarinya. Berikutnya tinggal memarkir si Fiat 500X pada tempat yang disediakan, sebelum mendaki tangga demi tangga menuju menara yang mulai disusupi kabut.

Guaita, si menara pertama yang merupakan menara tertua sekaligus yang paling terkenal di antara ketiga menara, adalah yang pertama kami sambangi. Menara ini dibangun pada abad ke-11 dan difungsikan sebagai penjara. Menara ini sempat mengalami rekonstruksi beberapa kali sebelum mencapai bentuk akhirnya pada abad ke-15, saat terjadi perang antara San Marino dengan Keluarga Malatesta, penguasa Rimini kala itu.

Sore itu, kami tak memiliki banyak waktu sementara kami masih harus berusaha supaya dapat tiba di Roma sebelum larut, karena jadwal check in pada penginapan kami maksimal adalah pukul 21.00 waktu setempat. Tak ingin membuang waktu, saya langsung menarik tangan Neng menuju ke menara kedua yang dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki dari menara pertama.

Atau lebih tepatnya sedikit mendaki, karena Cesta terletak di puncak tertinggi dari Gunung Titano. Atau lebih tepatnya lagi, sedikit mendaki melewati jalanan kuno berkabut yang sangat instagrammable.

Cesta, adalah menara kedua yang kami temui di San Marino. Menara yang terdapat pada komplek benteng ini menampung sebuah museum yang didirikan pada tahun 1956 sebagai penghargaan kepada Saint Marinus, sekaligus sebagai ruang pamer lebih dari 1500 senjata peninggalan abad pertengahan hingga zaman modern. Menara ini dibangun pada abad ke-13 pada lokasi yang merupakan bekas benteng peninggalan Romawi.

Cesta San Marino

Karena waktu yang semakin sempit, ditambah dengan hujan yang mulai turun, kami tak menghabiskan banyak waktu di sini. Setelah beberapa kali pose normal dan pose kayang, kami bergegas turun kembali ke parkiran, untuk mengejar waktu ke Roma dan mengantisipasi supaya biaya parkir tidak melebihi satu jam.

Maklum, kami juga harus irit demi biaya susu anak-anak. Kalau susu untuk bapak-bapak sih, gratis.

Total, kami hanya menghabiskan waktu sekitar 3 jam di San Marino, sebelum kembali lagi ke jalan menuju Roma. Dengan mengandalkan GPS yang terpasang pada Fiat 500X, kami diarahkan menuju jalanan pedesaan dengan pemandangan yang ciamik, termasuk beberapa jalanan off road yang membuat Neng tidak jadi melanjutkan tidurnya karena takut nyasar.

“Sudah tenang saja, ada Mas di sini.” Dengan sepenuh hati, saya berbelok ke kanan dengan menyalakan wiper.

Sepertinya perjalanan menuju Roma hari itu masih panjang, namun saya tak menyerah, karena banyak jalan menuju Roma. Katanya.