Saya pernah mengunjungi Sulawesi Selatan di akhir 2013 dengan bermodal diskonan tiket Air Asia seharga lima ratus ribuan untuk perjalanan pulang pergi. Kala itu, saya menyempatkan untuk mengunjungi beberapa lokasi seperti Toraja, Rammang-Rammang, dan Tanjung Bira dalam empat hari.

Terlalu mepet? Memang. Namanya juga karyawan yang hanya punya waktu liburan terbatas. Imbasnya, waktu untuk menikmati Makassar lah yang dikorbankan. Praktis, di Makassar saat itu saya hanya punya waktu untuk mencoba Konro Karebosi, mampir sejenak ke Pelabuhan Paotere, dan menyempatkan berfoto di depan tulisan Pantai Losari yang terkenal ini.

Pantai Losari

Di penghujung tahun 2015 ini, saya mendapatkan kesempatan untuk kembali ke Makassar lagi, bersamaan dengan acara TravelNBlog yang digelar di sana. Namun, sama seperti sebelumnya, saya juga tak memiliki waktu yang panjang, cuma ada waktu sekitar dua hari.

Dua hari yang masih harus dibagi dengan TravelNBlog, dua hari yang ternyata cukup untuk membuat saya mendapatkan hal-hal yang sempat terlewat di Makassar.


Hari Sabtu lewat tengah malam saya tiba di Makassar bersama Mumun, dan langsung menuju ke hotel, untuk menuju kamar masing-masing. Sorry Mun, saya lebih memilih tidur bersama Wira, walaupun itu akhirnya menjadi keputusan yang saya sesali kemudian.

Pagi harinya, saya terbangun karena suara langkah seseorang yang mengendap-endap masuk ke dalam kamar. “Capatuuuh?” Tanya saya setengah sadar. Ternyata Firsta, yang masuk ke dalam kamar untuk mengambil sekardus goodie bag TravelNBlog yang saya bawa dari Jakarta di malam sebelumnya.

Tak berapa lama kemudian, kami (Saya, Wira, Firsta, Vindhya, juga Vira dan Mumun) telah siap di lobi hotel Amaris Panakukkang, untuk berangkat menuju DiLo Makassar, tempat workshop TravelNBlog kelima digelar.

Pukul delapan pagi waktu Makassar, kami telah tiba di DiLo, melakukan beberapa persiapan kecil sebelum acara besar (bagi kami) ini digelar.

Tak jauh beda dengan acara sebelumnya (TravelNBlog 1 – Jakarta, TravelNBlog 2 – Bandung, TravelNBlog 3 – Semarang, TravelNBlog 4 – Jakarta), kali ini kami juga membawakan materi-materi seputar travel blogging, walaupun sebenarnya kami juga ingin berbicara mengenai fashion blogging sekaligus membahas mengapa anak Jokowi lebih memilih berjualan martabak dibandingkan mendirikan perusahaan dengan bantuan ayahnya.

Namun apalah kami, melainkan hanya sekumpulan travel blogger biasa dan bersahaja yang memiliki niat ingin berbagi.

Pada hari pertama, acara diawali oleh Vira yang baru pertama kali tampil lebih vokal daripada Mumun (yang kali ini mendapat tugas sebagai konsonan). Vira membawakan materi tentang konsep travel blogging, dan bagaimana seorang blogger harus memilih niche yang tepat untuk mereka. Berikutnya ada saya, yang membawakan materi tentang bagaimana merajut sebuah cerita, sehingga ke depannya diharapkan para blogger dapat menyajikan cerita yang lebih enak dibaca dan meninggalkan kesan bagi pembacanya.

Selepas ishoma, acara kembali dilanjutkan oleh Wira, yang menyajikan foto-foto ciamik hasil jepretannya. Selain untuk mengusir kantuk, kemunculan Wira kali ini dimaksudkan untuk menggugah semangat para blogger untuk dapat mempercantik tulisan mereka dengan foto-foto yang berkualitas.

Teori sudah, maka berikutnya praktik.

TravelNBlog 5

BAAAA!

Hal Terlewat #1: Benteng Somba Opu

Sama seperti dua TravelNBlog sebelumnya, kali ini kami juga mengadakan walking tour, yang bertemakan Makassar Heritage Tour. Dipandu dua blogger senior Makassar, yaitu Mas Daeng Ipul dan Mas Daeng Anchu, tempat pertama yang kami datangi adalah Benteng Somba Opu, yang dahulu belum sempat saya jamah.

Dikisahkan, Benteng Somba Opu, atau sisa-sisa benteng Somba Opu ini adalah peninggalan Kesultanan Gowa yang dibangun oleh Raja Gowa ke-9, yaitu Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna pada abad ke-16. Seorang raja yang memiliki nama yang susah diingat.

Di masanya, benteng ini pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah sekaligus sebagai pelabuhan para saudagar Asia dan Eropa. Benteng ini kemudian dikuasai oleh VOC pada tahun 1669, sebelum akhirnya dihancurkan. Sedih, seperti dimiliki untuk kemudian disia-siakan, sebelum akhirnya ditinggalkan.

Pada tahun 1990, benteng ini direkonstruksi untuk mengenang kembali kejayaan Kesultanan Gowa. Kini, pada komplek benteng ini, telah berdiri Museum Karaeng Pattingaloang yang menyajikan benda-benda peninggalan Kesultanan Gowa, selain beberapa bangunan rumah adat Sulawesi Selatan yang menjadi perwakilan suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.

Tak hanya itu, tepat di samping komplek benteng ini, telah dibangun juga sebuah bangunan modern yaitu waterboom, yang walaupun pembangunannya ditentang oleh sebagian warga. Namun, walaupun terletak di Jalan Daeng Tata, sejauh pengamatan saya tidak ditemukan adanya restoran konro di sana.

Museum Karaeng Pattingaloang

Museum Karaeng Pattingaloang

Hujan mulai turun saat kami tiba di pelataran Museum Kareng Pattingaloang, buru-buru kami menanggalkan alas kaki dan bergegas memasuki museum sebelum kebasahan. Sebelumnya, Daeng Ipul sempat bercerita tentang sejarah Sulawesi Selatan termasuk asal-usuk nama Andi, yang ternyata tidak sembarangan orang boleh memakainya. Wah, berarti Andy Cole dan Andy Lau harus izin dulu dong.

Di museum yang menyimpan berbagai peninggalan Kesultanan Gowa tersebut, kami bermain game dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Daeng Ipul, di mana salah satu pertanyaannya adalah, “Sebutkan nama asli Sultan Hasanuddin?”

Soal yang mudah, dengan jawaban yang sebenarnya terdapat pada salah satu lukisan di dalam museum. Penasaran siapa nama asli Sultan Hasanuddin? Yang jelas, namanya lebih panjang daripada nama mantan-mantan saya.

TravelNBlog 5

Nama Asli Sultan Hasanuddin

Hal Terlewat #2: Fort Rotterdam

Selepas hujan dan sebelum gelap, kami telah tiba ke destinasi Makassar Heritage Tour berikutnya, yaitu Fort Rotterdam. Pada tahun 2013, saya pernah datang ke sini, namun hanya numpang lewat sejenak, belum menjamah lebih lanjut ruangan-ruangan yang terdapat pada benteng ini.

Kali ini, dengan dibimbing seorang pemandu profesional, kami mendapatkan cerita menarik mengenai benteng yang dibangun pada 1545 (bada ashar?) ini.

Fort Rotterdam

Fort Rotterdam

Dikisahkan kembali, Fort Rotterdam yang bernama asli Benteng Ujung Pandang ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-9, yaitu Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna. Iya betul, raja yang sama, yang membangun benteng Somba Opu, sekaligus raja yang memiliki nama yang susah diingat.

Pada awalnya benteng ini memiliki bahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin, konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari pegunungan karst yang berasal dari daerah Maros. Pada saat Belanda menempati benteng ini akibat perjanjian Bungayya, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam oleh Cornelis Speelman, yang sengaja memilih nama Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Untung saja, si Cornelis ini lahir di Rotterdam, coba kalau di Bojong Kenyot.

Sebelum dicampakkan, benteng ini dahulu digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.

Ada beberapa fakta menarik yang saya dapat pada kunjungan di komplek benteng yang telah mendapat renovasi pada tahun 2010, dan menonjolkan warna kuning gading – merah bata ini.

  • Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari bentuknya, terlihat filosofi Kesultanan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut, yang menggambarkan Kerajaan Gowa mampu berjaya di darat maupun laut.
  • Ternyata tidak semua bangunan di komplek benteng ini dirapikan oleh Belanda, karena ada satu bangunan di sudut komplek yang diselesaikan pembangunannya oleh Jepang.
  • Dikabarkan pula ada lorong rahasia di bawah benteng yang tembus hingga ke Karebosi, yang memungkinkan pelintasnya dapat pergi ke Konro Karebosi dengan segera. Namun hal tersebut dibantah oleh si pemandu yang mengatakan bahwa lorong tersebut memang ada, namun tidak sampai ke Karebosi.

Hari pertama TravelNBlog ditutup dengan senja yang perlahan turun di Fort Rotterdam, memisahkan saya dan para peserta TravelNBlog. Walaupun belum sempat menyambangi Museum La Galigo yang menyajikan sejarah kedigdayaan Makassar tempo dulu sebelum Jusuf Kalla hadir, kami tetap sempat berfoto bersama, kok.

Hal Terlewat #3: Kuliner Makassar

Malam harinya, saya beserta para panitia TravelNBlog yang kelaparan, langsung menyerbu Pallubasa di Jalan Serigala, yang belum pernah saya cicipi dulu. Bagi saya, yang bukan seorang food connoisseur, Pallubasa ini merupakan makanan sejenis gulai yang berisi daging dan berbagai macam jeroan, juga ditambah telur mentah jika mampu. Saya, tentu saja menikmatinya dengan sepiring nasi, sedikit kecap, dan beberapa perasan jeruk nipis.

Main course sudah, berikutnya adalah makanan pencuci mulut. Kami segera bergerak lagi menuju Es Pisang Ijo Muda Mudi, yang ketika kami tiba, sudah tidak ada lagi muda mudi yang makan di sana. Muda mudi yang ada di sana sudah berubah menjadi bapak-bapak ibu-ibu.

Seakan belum puas di malam yang masih muda itu, Wira merengek minta ditemani makan pisang epe di tepi Pantai Losari yang merupakan pantai hasil reklamasi. Diiringi cahaya lampu warung yang hidup-mati-hidup-mati seperti listrik di PLN Medan, kami beramai-ramai menyantap sepiring pisang epe original dan sepiring pisang epe dengan kinca durian. Rasanya, jangan ditanya, manis.


Pagi harinya, kami sengaja melewatkan sarapan di hotel untuk dapat menikmati kuliner Makassar yang paling imut. Apalagi kalau bukan Coto Makacar. Semangkuk kecil coto di Jalan Gagak yang berisikan potongan-potongan paru menjadi pilihan saya pagi itu, tentunya ditambah dengan sebatang ketupat dan sepiring kecil bawang goreng juga daun bawang supaya dapat menikmati coto like a local.

Coto Makassar Jalan Gagak

Coto Makassar Jalan Gagak

Selepas carapan, eh sarapan, kami bertolak kembali ke DiLo untuk melangsungkan agenda TravelNBlog hari kedua dan terakhir. Pagi itu, acara dibuka oleh Firsta yang membawakan materi tentang “Managing Your Blog”, yang menunjukkan bahwa sebuah blog ternyata bisa juga untuk menambah penghasilan, asalkan kita tahu caranya. Ke depannya, diharapkan peserta dapat lebih rajin menulis di blog, supaya dapat menghasilkan.

Berikutnya, hadir Ary Mozta yang mengisi acara dengan membicarakan mengenai layout blog yang menarik. Pada sesi ini, peserta diharapkan dapat menyajikan tampilan blog yang lebih ramah di mata pembaca, sehingga pembaca betah untuk berlama-lama di sana.

Selepas makan siang, acara dilanjutkan dengan group discussion, membahas mengenai blog peserta, baik konten, layout, maupun curhatan-curhatan lain seputar blog. Sesi ini dimaksudkan supaya peserta dapat berbagi mengenai keresahan-keresahan apa yang dialami ketika selama ngeblog, dan mendapatkan pemecahan atas keresahan-keresahannya tersebut.

Acara TravelNBlog 5 yang didukung penuh oleh Gagas MediaKementerian Pariwisata Indonesia, Majalah My Trip!, dan Smartfren Indonesia ini ditutup dengan talkshow yang menghadirkan Mumun sebagai MC, Vira sebagai perwakilan dari Indohoy yang akan mengupas mengenai peran serta Indohoy mempopulerkan Indonesia di mata internasional, Daeng Ipul yang akan berbicara mengenai perkembangan blogger lokal Makassar dan persebarannya di Indonesia, juga saya yang hadir sebagai Hamba Allah.

Selain dihadiri oleh para blogger lokal Makassar yang sangat antusias mengikuti acara hingga akhir, TravelNBlog 5 ini juga dihadiri oleh Lily, blogger asal Malaysia yang sengaja menyempatkan berkunjung ke Makassar demi mengikuti acara ini, wow! Semoga ke depannya, TravelNBlog tidak diakuisisi olehnya.

TravelNBlog 5

TERIMA KASIH SEMUANYA!

Sedihnya, TravelNBlog 5 ini merupakan TravelNBlog terakhir yang kami adakan, di tahun 2015. 

Semoga, kami masih dapat hadir pada tahun-tahun berikutnya, kira-kira di kota mana ya?