“Kamu putar balik, terus kalau ada sekolah, belok kiri. Ikuti jalan sampai ada yang jual bensin, belok kiri. Nah habis itu tanya-tanya lagi saja sama orang situ.”

“Hah, apa apa?”

Setengah bingung saya mencerna penjelasan Firsta yang baru saja bertanya kepada penduduk setempat mengenai lokasi gereja ayam yang misterius. Sebelumnya, kami bergerak ke arah Punthuk Setumbu sesuai dengan GPS, namun nihil. Alih-alih menemukan gereja ayam, kami malah dituntun ke halaman rumah penduduk, yang penghuninya –seorang ibu-ibu muda berdaster– sedang menyapu halaman.

Berikutnya, saya kembali ke jalur awal, sebelum membelokkan mobil memasuki sebuah jalan kecil seukuran satu mobil sedang, tepat di seberang sebuah sekolah. Saya mengikuti jalan tersebut, namun tidak menemukan pombensin Pertamina atau Shell, melainkan hanya sebuah kios kecil yang tutup di sisi kiri. Kios yang sepertinya berjualan bensin jikalau buka, dengan seorang pria bersarung tak jauh dari situ.


Desas-desus mengenai gereja ayam ini sebenarnya sudah saya dengar sebelumnya, yaitu dari blog milik Farchan, juga blog milik Putri. Ada yang bilang bahwa ini bukanlah gereja ayam, namun gereja burung, atau gereja merpati. Dan ada juga yang bilang bahwa ini bukanlah sebuah gereja, namun pusat rehabilitasi. Sebuah selentingan yang membuat saya gatal untuk mencari kebenaran informasinya.

Gereja ayam yang misterius

Gereja Ayam yang misterius, benarkah ada?


Saya turun dari mobil dan menjumpai pria bersarung, menanyakan mengenai lokasi si gereja ayam yang sedang saya cari.

Kulonuwun, Pak.” (Permisi, Pak)

Injih, Mas.” (Ya, Mas ganteng)

Menawi badhe ting gereja ayam pripun?” (Kalau mau ke gereja ayam, gimana caranya?)

Niki tinggal lurus, ngethutke dalan, mangke ketemu.” (Ini tinggal lurus mengikuti jalan, nanti juga ketemu.)

I wish that finding jodoh is as easy as finding gereja ayam. Tinggal lurus terus ketemu.

Maturnuwun Pak.” (Terima kasih, Pak.)

Sami-sami, Mas. Nopo badhe kulo ateraken?” (Sama-sama, Mas ganteng. Apa mau saya antar?)

Mboten usah, Pak.” (Tidak usah repot-repot, Pak. Kan tadi dibilang cuma tinggal lurus mengikuti jalan. Daredevil juga bisa, malaikat juga tahu.)

Saya pun berlalu meninggalkan si bapak bersarung, tanpa sempat menanyakan apa yang bersembunyi di balik sarungnya.

Kenyataannya, jalan tersebut tidak berujung di gereja ayam, karena Firsta masih harus bertanya kepada seorang nenek-nenek berkebaya yang duduk di sebuah joglo, juga bertanya kepada bapak-bapak bertato yang sedang mencuci di halaman rumahnya, sebelum menemukan lokasi yang dimaksud. Saya pun menarik kembali ucapan saya tentang mencari jodoh. Kenyataannya, mencari gereja ayam tidak lebih mudah dari mencari jodoh.

Parkiran gereja ayam

Parkiran Gereja Ayam

Sedikitnya ada sebuah mobil dan beberapa sepeda motor yang diparkir di halaman rumah warga, juga sebuah mobil lagi terparkir pada jalan di depan rumah tersebut. Seorang bocah mengarahkan mobil yang saya kemudikan ke dalam pekarangan tersebut, sementara seorang bapak bercelurit nampak sedang memanjat pohon kelapa di pekarangannya. Wah, sepertinya ini adalah lokasi parkir gereja ayam.

Setelah memarkir mobil dengan baik dan benar sesuai instruksi si bocah, kami bergerak menuju jalanan setapak yang terdapat di depan rumah, dan mulai mendaki jalanan menanjak tersebut.


Gereja Ayam

Gereja Ayam, Magelang.

Dengan napas tersengal dan keringat bercucuran sederas keringat es teh manis yang baru saja disajikan, saya akhirnya mampu mendaki jalan setapak tersebut dan mencapai pucuk bukit yang juga disebut sebagai Bukit Rhema ini. Di sana, telah bertengger dengan megahnya si gereja yang mencuri rasa penasaran saya.

Si gereja ayam yang misterius.


Perlahan saya mendekati bangunan yang nampak seperti ayam (atau burung) yang sedang duduk mengerami telurnya. Tingginya saya taksir sekitar 15 meter. Mahkotanya yang runcing, mengingatkan saya kepada mahkota si Patung Liberty. Paruhnya yang merah, menandakan bahwa si ayam ini bukanlah seekor ayam perokok. Atau bisa juga dia merupakan ayam yang suka bersolek.

Cat pada dinding gereja ayam nampak sudah luntur termakan jamur, namun hal itu tidak mengurangi kemegahannya. Namun yang patut disayangkan adalah, coretan-coretan vandalisme pada dinding tersebut. Di mana salah satu coretan yang terdapat di dinding depan gereja berbunyi, “FITRIA SUSWANTI, SAYA HARAP KAMU KEMBALI.”. LHA ADA YANG CURHAT.

Bangsat.

Gereja Ayam

Coretan pada dinding Gereja Ayam


Selanjutnya, kami bergerak menuju pintu kecil yang berada di samping gereja, di sana telah menunggu seorang bapak dengan wajah khas Indonesia Timur, bersama seorang pemuda yang sepertinya adalah anaknya. Di samping sang bapak terdapat kotak sumbangan bertuliskan Rp5.000,- dan di samping sang anak, terdapat makanan dan minuman botol yang dijajarkan dengan rapi, mungkin dijual untuk pengunjung gereja ayam yang kelaparan dan kehausan.

“Boleh masuk, Pak?” Tanya saya, sembari memasukkan dua lembar lima ribuan ke dalam kotak.

“Silakan, Mas.” Jawabnya mengiringi langkah saya ke dalam gereja ayam.

Gereja Ayam

Jendela dalam Gereja Ayam

Sebuah ruangan luas tersaji di hadapan saya, dengan lebar belasan meter dan panjang lebih dari dua puluh meter. Kira-kiranya. Ruangan dengan atap yang cukup tinggi tersebut memiliki deretan jendela berbentuk bunga, pada sisi-sisi panjangnya, dan jendela berteralis di ujung sisi lebarnya. Yang cukup disayangkan lagi, masih ada juga coretan-coretan di sepanjang dinding tersebut. Entah grafiti, entah curhatan alay.

Pada sudut ekor gereja , terdapat tangga batu menuju ruang bawah tanah gereja ayam yang terkunci, sementara di ujung satunya terdapat tangga kayu yang mengarah ke kepala sang ayam. Atau burung.

Menarik.

Gereja Ayam

Menuju ruang bawah tanah Gereja Ayam

Setelah puas berkeliling di ruangan tersebut, kami bergerak menuju tangga yang mengarah ke bagian kepala ayam. Sebelumnya, saya sempat berbincang dengan si bapak penunggu (yang memperkenalkan dirinya sebagai Pak Karsi, kalau tidak salah), yang mengatakan bahwa sebenarnya gereja ini mulai dibangun pada tahun 1993, namun terhenti karena kurangnya biaya, dan saat ini sedang dalam proses pembangunan lanjutan. Penggagasnya sendiri, disebutkan bernama Pak Daniel, yang katanya seorang keturunan Jepang yang menikah dengan warga lokal.

“Ini sebenarnya adalah burung merpati. Bukan ayam.” Ujarnya. Wah, sayang saya sudah terlanjur mengenalnya sebagai gereja ayam.

Andaikan saja Pak Daniel membuat gereja Gundam atau Doraemon, pasti saya lebih bahagia.

Gereja Ayam

Tangga menuju puncak Gereja Ayam

Sepanjang pengamatan saya, setidaknya ada empat tingkatan sebelum mencapai puncak gereja ayam. Yaitu:

Tingkat Pertama, Langit-langit Gereja

Di sini, pengunjung dapat menyaksikan secara keseluruhan ruangan gereja ayam, dengan beberapa pilar yang terbengkalai di sudut bagian ekor dan jendela-jendela berbentuk bunga di tiap sisinya. Apabila jeli, pengunjung juga dapat menyaksikan motif salib pada langit-langit bangunan.

Gereja Ayam

Ruangan Gereja Ayam

Dan apabila lebih jeli lagi, pengunjung juga dapat melihat coretan pengunjung lainnya yang tidak bertanggung jawab pada sudut tangga. Kali ini tulisannya berbunyi “AKU MASIH MENCINTAIMU MENIK.”. WOY, INI GEREJA APA TEMPAT CURHAT SIH?

Bangsat.

Tingkat Kedua, Leher Ayam

Pada tingkatan ini, pengunjung dapat menyaksikan pemandangan melalui jendela-jendela kecil berbentuk jajar genjang yang terpasang di leher . Termasuk pemandangan alam yang berpadu dengan badan hingga ekor si ayam yang disaksikan dari posisi leher ayam.

Gereja Ayam

View dari leher burung.

Tingkat Ketiga, Paruh Ayam

Naik ke atas lagi, adalah bagian paruh ayam yang bergincu, berwarna merah merekah. Pada bagian ini terdapat sarana untuk menyaksikan pemandangan dari paruh ayam, namun sebuah blokade yang dibuat dari bambu, dan tulisan yang tertempel di kertas pada dinding paruh ayam, menghentikan niat saya untuk kayang di paruh ayam.

Tulisannya sendiri berbunyi, “PERHATIAN DILARANG KELUAR DARI BATAS YANG DI KASIH BERBAHAYA!!!”. Ingin rasanya mengingatkan bahwa terdapat EYD yang salah pada pengumuman tersebut, namun saya takut dicap sebagai grammar nazi dan dijauhi banyak orang.

Gereja Ayam

Paruh Gereja Ayam

Pada sudut ruangan ini, juga terdapat lagi coretan-coretan dari spidol pengunjung jahanam, kali ini berbunyi “DESTA & DANDI, 17-06-2015.”. INI MALAH BUAT JADIAN, COWOK SAMA COWOK PULA.

Bangsat.

Tingkat Keempat, Mahkota Ayam

Gereja Ayam

Menuju puncak Gereja Ayam

Apabila muat, pengunjung juga dapat mendaki tangga menuju mahkota ayam melalui lubang kecil seukuran tubuh orang dewasa Indonesia yang belum overweight. Untungnya saya masih langsing. Yang paling mengasyikkan adalah, pemandangan dari mahkota ayam ini luar biasa indahnya.

Ya, di luar coret-coretan pengunjung jahanam yang tidak bertanggung jawab itu sih.

Gereja Ayam

View dari Mahkota Gereja Ayam

Dari pucuk mahkota ayam, kamu dapat menyaksikan Punthuk Setumbu (yang adalah tempat untuk menyaksikan sunrise di Candi Borobudur) dan Bukit Barede (yang merupakan spot baru untuk menyaksikan sunrise di Candi Borobudur) dari sisi ekor ayam, juga Candi Borobudur itu sendiri (yang merupakan Candi Borobudur, cukup jelas) dari sisi kepala ayam.

Menariknya lagi, adalah, Candi Borobudur terlihat lebih dekat dari sini, dibandingkan Punthuk Setumbu dan Bukit Barede. Yang artinya, sunrise akan terlihat lebih jelas di sini dibandingkan kedua spot tersebut. Aha! Spot baru untuk menyaksikan matahari terbit.

Gereja Ayam juga melayani sunrise hunting, namun hanya untuk akhir pekan. Hal yang menunjukkan, bahwa penjaga gereja juga butuh istirahat.

Di saat saya sedang menikmati pemandangan dari mahkota ayam, muncul sepasang mudi-mudi naik ke atas mahkota. Keduanya berkata bahwa subuh tadi mereka menikmati sunrise di Punthuk Setumbu sebelum bergerak ke sini, namun melalui jalur biasa, bukan trekking dari Punthuk Setumbu. Saya kemudian mengajak mereka wefie.

Tak lama kemudian, muncul empat orang pemuda lagi yang naik ke mahkota ayam. Saya sempat menyangka mereka berasal dari Taiwan, namun Bahasa Indonesia mereka yang medok, membuat saya membuang jauh-jauh pikiran itu. Dan ternyata benar, keempatnya berasal dari Magelang, dan mereka trekking dari Punthuk Setumbu sehabis menyaksikan sunrise. Saya kemudian mengajak mereka wefie.

 

Pada salah satu ujung mahkota, terdapat kertas pengumuman yang berbunyi “PERHATIAN DILARANG NAIK KELUAR BERCANDA DI ATAS MAHKOTA BERBAHAYA” yang menandakan bahwa pengunjung harus tetap berhati-hati di sini, dan jangan bercanda. Untung saja saya orangnya serius.

Sementara itu, di ujung mahkota yang lain, terdapat coretan dari Tipp-Ex, yang berbunyi “RISKA ♥ ACIL”. INI MALAH ADA YANG PACARAN DI PUCUK GEREJA, MAUNYA APA SIH INI ANAK-ANAK?

Bangsat.

Gereja Ayam

Ujung Mahkota Gereja Ayam


Sewaktu turun dari mahkota, saya menjumpai dua orang pria di pintu masuk gereja, di mana salah satunya adalah Pak Karsi. Ketika saya menanyakan lebih jauh mengenai fungsi dibangunnya gereja ini, dan tentang ruangan bawah tanah gereja, si pria yang menamakan dirinya Pak Yono malah menawarkan saya dan Firsta untuk memasuki ruang bawah tanah gereja dengan kunci yang dipegangnya.

Sebuah kesempatan yang tak mungkin saya sia-siakan, karena mungkin tak sembarangan orang dapat memasuki ruang bawah tanah tersebut.

Gereja Ayam

Menuju ruang bawah tanah Gereja Ayam

Lebih lanjut lagi, pria berjaket Adidas biru tersebut menjelaskan mengenai bangunan yang menurut versinya dibangun pada tahun 1989 tersebut. Si penggagasnya, yaitu Pak Daniel Alamsjah memang bertujuan untuk membangun sebuah rumah doa untuk semua umat, yang tidak terbatas hanya pada satu agama apapun. Selain itu, Beliau juga mempunyai tujuan khusus untuk mendirikan sebuah panti rehabilitasi untuk orang-orang berbeban berat.

Gereja Ayam

Bawah Tanah Gereja Ayam

Untuk ruang bawah tanah yang sedang dalam proses pembangunan ini, berbentuk lorong-lorong seperti labirin dengan bilik-bilik kecil di kanan kirinya dan sebuah ruangan yang mirip dengan aula di tengahnya. Pada salah satu dinding, saya menyaksikan sebuah simbol salib yang dilukis dengan cat putih. Sementara pada bilik-bilik yang dibangun dengan desain yang abstrak (tidak beraturan dimensinya) terdapat satu atau beberapa buah jendela kecil sebagai penerangan, selain beberapa buah bohlam yang dipasang di beberapa sudut.

Gereja Ayam

Salah satu bilik pada Gereja Ayam

Seperti yang saya kutip dari situsnya, Bukit Merpati (nama resmi gereja ayam) ini mempunyai visi untuk melayani orang-orang yang terbuang, yang berbeban berat untuk datang kepada Tuhan sesuai ayat Mat. 11:28, dan mempunyai dua misi yaitu:

  • Membina orang yang berbeban berat (gangguan jiwa, ketergantungan obat-obat Napza, gangguan Occultisme, korban kekerasan, kenakalan remaja), agar dapat dipulihkan hubungan harmonis dengan Tuhan, keluarga dan masyarakat.
  • Membentuk karakter yang berkenan dihadapan Tuhan, Keluarga dan Masyarakat.

Niat yang mulia, walaupun pada praktiknya, pembangunan gereja ini sempat terhenti karena berbagai kendala, seperti biaya. Namun saat ini, perlahan gereja ini dibangun kembali, sesuai dengan niat mulia Pak Daniel.

Gereja Ayam

Ekor Gereja Ayam

Harapan saya, semoga pembangunan gereja ini dapat berlangsung dengan lancar, sehingga dapat diperuntukkan sebagaimana mestinya, sesuai dengan niat mulia Pak Daniel, bukan hanya untuk tempat berkeluh kesah dan berbangga diri kawula muda.

Saya sempat bertanya kepada salah satu pengunjung yang telah bertanya kepada Pak Karsi, mengenai mengapa dipilih merpati sebagai simbolnya, dan dia menjawab “Ya suka-suka dia saja. Tidak ada alasan khusus.”. Dia di sini berarti Pak Daniel, bukan pengunjung, atau Pak Karsi.

Kalau saya sendiri sih masih berharap bahwa hasil suka-sukanya Pak Daniel selanjutnya akan berbentuk gereja Gundam, atau Doraemon, atau mungkin malah Miyabi.