Jawabannya adalah tidak ada, apabila kamu mengartikan karnaval sebagai iring-iringan marching band, beserta dengan penari-penari bebusana glamor yang dilanjutkan orang-orang berpakaian gelap berjalan di atas kuda lumping sambil dipecut oleh Christian Grey.

Hari itu Sabtu 25 April 2015, hari di mana Asian African Carnival digelar mulai pukul 13.30 di Bandung sementara saya, pada waktu yang sama masih berada di Trans Studio Mall usai menghabiskan pagi yang mendebarkan di Trans Studio Bandung.

“Yuk kita berangkat.” Ajak tim Indonesia Travel kepada saya, juga kepada rekan blogger dari negara-negara lain yang hadir di Bandung dalam rangka peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA). Dan tak perlu waktu lama bagi kami untuk tiba di pelataran Grand Royal Panghegar Hotel, yang merupakan titik awal petualangan kami siang hari itu.

Di sana, kami telah disambut oleh sesuatu yang tak asing lagi bagi warga Jakarta.

Bajaj KAA

Bajaj, kendaraan resmi KAA.

Berawal dari Bajaj

Ya, di rangkaian kegiatan Konferensi Asia Afrika ini, bajaj digunakan sebagai salah satu kendaraan resmi untuk mengantar tamu-tamu kehormatan. Mungkin karena bentuknya yang mungil, unik, dan mampu menyelinap melewati gang-gang kecil di Bandung.

“Nisha?” Saya memanggil Nisha Jha, yang berada pada bajaj di samping saya, “Is this thing came for your country?” Tunjuk saya ke bajaj tersebut.

“Yes, of course.” Seru wanita yang menjadi travel blogger India pertama yang mendapat undangan familiarization trip dari luar negeri tersebut, sambil menggeleng. Gelengan yang berarti ‘ya’ kalau dilakukan oleh orang India.

Bajaj, dibuat di India, digunakan di Jakarta, dan dipinjamkan ke Bandung dalam rangka peringatan KAA.Saya bertanya kepada sopir bajaj yang sedang bekerja mengendali bajaj, tentang siapa saja orang terkenal yang menunggangi bajajnya selama acara peringatan KAA tersebut.

“Pokoknya banyak lah.” Jawabnya semangat, dan terdengar hening sesaat ketika saya memintanya menyebutkan salah satu nama yang menunggangi. Bajajnya, bukan sopir bajajnya.

“Salah satunya Pak Ridwan Kamil.” Ucapnya dalam logat Jawa yang kental. Pak Ridwan Kamil, Walikota Bandung, yang dijadwalkan membuka Asian African Carnival bersama Pak Arief Yahya, Menteri Pariwisata, siang itu. Acara karnaval yang seharusnya saya ikuti kalau tidak terlambat.

Kali ini giliran saya yang terdiam.

Solidaritas Relawan

Bajaj-bajaj yang berjalan beriringan akhirnya berhenti dengan cantiknya di Jalan Braga, tepat di depan Media Center Gedung Gas Negara PGN, yang juga difungsikan sebagai salah satu pusat informasi peringatan KAA di Bandung. Di dalamnya, kami membagi diri menempati meja-meja kosong yang tersedia.

Berikutnya, Pak Angke muncul dan memberikan kata sambutan kepada kami sekaligus membuka acara siang itu. Beliau menyambut baik kedatangan kami, para blogger, dan aktivis media sosial dari berbagai negara. Menurutnya, hal tersebut akan bermanfaat bagi Bandung juga Indonesia. Sebagai penutup, Beliau memperkenalkan para relawan yang akan mengantarkan kami menuju Jalan Asia Afrika yang menjadi saksi kunci peristiwa sejarah di Indonesia.

Jalan Asia Afrika, tempat karnaval dimulai. Karnaval yang kami terlambat datang untuk menyaksikannya.

Gedung PGN

Sambutan di Media Center Gedung PGN

Dimulai dari depan Gedung PGN, kami berjalan menyusuri Jalan Braga ke arah selatan, menuju Jalan Asia Afrika. Di sana, saya melihat hal-hal yang mungkin tak saya lihat jikalau mengikuti karnaval yang sesungguhnya.

Trotoar Jalan Braga

Jalan Braga

Jalan Braga yang artistik

Poster-poster para pemimpin KAA terdahulu yang memadati Jalan Braga langsung membawa ingatan saya kembali ke masa kecil, sewaktu masih tergabung menjadi anggota marching band di SDN Ungaran I yang beberapa kali diminta mengikuti karnaval tingkat Kabupaten, sambil menggebuk tam-tam dengan irama asal-asalan.

Pada tahun tersebut, saya mempunyai jawaban favorit apabila ditanya oleh guru PSPB tentang siapa saja tokoh dunia yang mengikuti KAA tahun 1955, jawabannya yaitu Soekarno (karena orang Indonesia, dan presiden pertama kita. Lupa akan namanya dapat terancam tidak naik kelas dan dihukum jewer), U Nu (karena namanya singkat, mirip aliran islam yang salat ied lebih lama sehari dari aliran yang satunya), dan Jhon Kotelawala (karena namanya lucu, kayak kamu).

Mainan tradisional

Mainan tradisional

Di sudut lain trotoar, beberapa penjaja mainan nampak memanfaatkan momen ini untuk berjualan (mainan, tentu saja. Bukan, bukan action figure Jhon Kotelawala, kok.) mainan tradisional seperti gasing. Salah satu teman travel blogger, Rachel Jones, nampak tergoda dengan mainan-mainan tersebut.

Sementara itu, karena kondisi trotoar yang sempit dan dipenuhi manusia, salah satu fashion blogger yang ikut serta, Dawn Yang sempat mengalami luka kecil, karena kakinya terantuk batu. Untungnya ada relawan yang dengan sigap menutup lukanya dengan plester imut berwarna kuning.

Menyeberangi Jalan Naripan

Museum Asia Afrika

Museum Asia Afrika

Selanjutnya, kami menyeberangi Jalan Naripan, dan mendapati Jalan Braga di sisi yang lain. Jalan yang sama, dengan kepadatan manusia yang lain. Di sini, lautan manusia sudah nampak memadati Bandung. Ada yang berfoto ramai-ramai di depan tulisan B R A G A, ada yang swafoto di depan poster-poster peringatan KAA, dan ada yang meminta tolong difoto bersama warga lokal yang mengenakan busana daerah.

Ya, saya adalah salah seorang yang mengambil foto mereka.

Foto di Braga

Berfoto bersama warga lokal

Pada sudut jalan ini, di sisi kanan bersemayam sebuah gedung dengan puluhan bendera berkibar di halamannya. Itulah Museum Asia Afrika, yang dahulu digunakan sebagai tempat pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (atau yang dahulu dikenal dengan Konferensi Bandung) di tahun kelahiran Papa, 1955, 60 tahun silam.

Gedung ini baru diubah fungsinya sebagai museum pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, atau tepatnya pada tanggal 24 April 1980.

Jalan Asia Afrika

Jalan Asia Afrika

Jalan Asia Afrika

Setelah melewati Museum Asia Afrika, tibalah kami di Jalan Asia Afrika, jalan utama pada peringatan KAA ini. Di sana, manusia yang berkumpul semakin banyak dan padat. Mungkin warga Bandung, atau Cimahi, atau Jakarta, atau malah Batanes.

Di tengah ribuan orang tersebut, sebuah lagu berkumandang megah. Sebuah lagu berjudul Bento, yang merupakan cerita tentang seorang jagoan kaya, yang bukan seorang pengusaha Japanese fast food. Yang membuat saya kagum adalah, lagu tersebut dibawakan oleh para tentara yang bermain band dengan asyiknya.

Band TNI

Band TNI

Sembari asyik berjoged sesuai irama, kami terus merangsek ke barat, bukan untuk mencari kitab suci, namun untuk berkumpul kembali di meeting point yang telah ditentukan, yaitu di Bus Bandros yang diparkir depan masjid raya. Sebuah petunjuk yang mudah, apabila tidak ditambah dengan pada purnama ketiga, saat sang perawan bermandikan cahaya bulan.

“Kita buat rantai, jangan sampai putus!” Pinta si relawan berkerudung di depan saya, memberikan ide untuk menerobos kerumunan orang yang semakin padat.  Saya memegang tasnya, sementara dia memegang pundak Kounila Kep, dan Kounila Kep memegang tangan Anirudh yang berjalan di depannya. Yang membuat saya sedih saat itu adalah, tidak ada yang mau memegang saya.

Jalanan sedikit lengang ketika kami melintasi Gedung Merdeka, dengan batuan yang dipahat seperti bola raksasa dipasangkan di trotoarnya. Jika dilihat dengan seksama, bola-bola hitam ini bertuliskan nama-nama negara peserta KAA. Sekadar informasi, Gedung Merdeka dahulu dikenal dengan nama Societeit Concordia, yang digunakan sebagai gedung tempat berkumpulnya warga Bandung kalangan atas. Atas segalanya, asyik!

Hotel Swarha

Hotel Swarha

Hotel Swarha

Beberapa meter sebelum mencapai meeting point, saya mendengar dentuman turntable dari sisi sebelah kanan, yang ternyata the DJ is in the house, yow! Di atasnya terdapat jembatan penyeberangan yang telah dipenuhi manusia yang mengabadikan momen di sekelilingnya. Sementara pada sisi kiri jalan, ada sebuah bola dunia besar dengan sebuah kalimat dari Presiden Soekarno terpatri di bawahnya.

"Let a new Asia and new Africa be born."

Setelah melihat Bandros yang dicari, saya segera bergegas untuk mendakinya, dan mengamati keriuhan dari lantai atasnya. Sepenglihatan saya, terlihat menara masjid raya yang megah dan tinggi menjulang, orang-orang berkumpul di depan panggung menikmati pertunjukan musik kolaborasi dengan Saung Angklung Udjo, drone milik Kementerian Pariwisata, hingga gadis-gadis muda yang berebutan untuk berfoto dengan polisi muda yang belum buncit.

Salah satu bagian yang paling membahagiakan saya adalah ketika MC di atas panggung meneriakkan sambutan untuk para blogger di atas Bandros yang telah ikut berpartisipasi dalam acara.

Sebuah pengalaman menarik, yang didapat ketika tidak mengikuti secara langsung Asian African Carnaval 2015.


Omong-omong, bagaimanakah jalannya karnaval yang ternyata saya lewatkan tersebut?

Jangan khawatir, karnaval masih tetap berlangsung meriah walaupun tanpa kehadiran saya. Karnavalnya masih diisi dengan iring-iringan marching band, beserta dengan penari-penari bebusana glamor walaupun tanpa dilanjutkan orang-orang berpakaian gelap berjalan di atas kuda lumping sambil dipecut oleh Christian Grey.

Seperti halnya yang ditunjukkan oleh foto-foto berikut.


 

Secara keseluruhan, rangkaian peringatan KAA di Bandung ini berlangsung baik, dengan dukungan dari berbagai pihak dan elemen masyarakat. Namun jika diminta memberikan masukan, maka saya akan memberikan masukan kepada sebagian relawan yang terkesan lebih memperhatikan para tamu/blogger luar dibandingkan dengan blogger utusan negeri sendiri.

Semoga ke depannya, karnaval yang dijadwalkan akan diadakan tiap tahun ini dapat berlangsung semakin baik, dan baik lagi.

Salam.

AAC 2015

Proud to be the part of AAC 2015!