“Butuh waktu lebih dari sepuluh tahun bagi Frédéric Auguste Bartholdi, si pematung kebangsaan Perancis untuk merancang, membangun, termasuk mengumpulkan donasi guna menciptakan sosok wanita setinggi 46 meter tersebut. Seorang wanita simbol kemerdekaan dan kebebasan, bagi siapa saja yang memandangnya.”.

Liberty Statue

The Liberty


Saya menatap selembar kertas di tangan saya, kertas yang saya cetak dari hasil pemesanan online. Di situ tertera bahwa saya dijadwalkan untuk menyeberang menuju Liberty Island dengan feri pukul 09.00, sementara jam digital di tangan kiri saya sudah menunjukkan waktu pukul 08.50.

Angin sejuk merontokkan dedaunan di Battery Park, saat pergantian musim dari panas ke gugur, sementara seorang gelandangan tertidur dengan tak acuh di bangku taman dengan jaket tebalnya. Saya berlari menembus taman ke arah deretan orang-orang yang mengantre dengan rapi, menuju sebuah kapal bertuliskan “Miss Liberty”.

“Ah, itu pasti kapalnya!” Batin saya. “Semoga saya tidak terlambat.”.

Miss Liberty Ferry

Miss Liberty Ferry

Dengan napas sedikit tersengal –karena berlari sambil membawa tas selempang berisikan tripod dan kamera, bukan karena kelelahan menyapu dedaunan di Battery Park– saya memperlihatkan kertas yang telah saya siapkan tersebut pada seorang penjaga dengan muka masam.

Sorry, Sir.” Cegahnya, menghalangi saya masuk, “You have to change the ticket, before you can enter.”.

But I have a schedule at 09.00.” Saya menimpalinya seraya menunjukkan waktu yang tercetak di kertas putih tersebut.

You can use the next ferry.” Jawabnya tegas. “Now change the ticket first.”.

Dengan langkah gontai, saya menuju lokasi penukaran tiket yang ditunjukkan si petugas. Tempat penukarannya terdapat pada bangunan berbentuk lingkaran yang tersusun dari bata merah, tepat di tengah-tengah Battery Park.

One ticket to Liberty.” Saya berucap pada seorang wanita di balik loket, “with the pedestal entrance too.” Pedestal adalah sebuah area, tempat Patung Liberty berdiri. Dan untuk dapat memasukinya, pengunjung harus melakukan pemesanan online beberapa minggu sebelumnya, karena kuota yang terbatas. Sebenarnya, pengunjung dapat juga mendaki Patung Liberty hingga ke bagian crown-nya, namun kuotanya yang lebih terbatas, mengharuskan pengunjung yang memiliki niat mendaki dan merenggut mahkotanya harus melakukan pemesanan online beberapa bulan sebelumnya.

Berikutnya, si wanita memberikan selembar tiket bertuliskan The Liberty Statue & Ellis Island. Sebuah tiket menuju kebebasan.

Ticket to Liberty

Ticket to Liberty, sebuah tiket menuju kebebeasan.


Mungkin tak banyak yang tahu jika Liberty Statue merupakan pemberian dari Perancis sebagai hadiah atas kemerdekaan Amerika Serikat dari Inggris yang jatuh pada tanggal 4 Juli 1776. Dan setelah ditelusuri, cikal bakalnya adalah karena komentar yang dilontarkan oleh seorang profesor hukum sekaligus politikus Perancis, Édouard René de Laboulaye pada pertengahan 1865, di waktu senggang setelah acara makan malam pada kediamannya di Versailles, Perancis.

Namanya juga profesor, di waktu senggang saja mikirnya hal yang berat, dan saat itu Beliau berkata:

If a monument should rise in the United States, as a memorial to their independence, I should think it only natural if it were built by united effort—a common work of both our nations.”

Perkataan tersebutlah yang kemudian menginspirasi Bartholdi, sang pembuat patung, yang akhirnya menunda beberapa pekerjaan pentingnya, demi proyeknya bersama Laboulaye. Boys!


Saya melewati penjaga yang sama, kali ini dengan tiket yang benar, yang kemudian membuat muka masamnya menjadi sedikit manis. Semanis Pevita Pearce. “Please come in.” sambutnya.

Saya tak mengacuhkannya, gantian biar dia tahu rasa, batin saya. Dan langsung bergegas menuju sebuah ruangan yang penuh dengan mesin pemindai. Jadwal feri menuju Liberty Statue berangkat setiap 25 menit, dan tak lucu rasanya apabila saya ketinggalan feri yang berikutnya lagi.

“Where are you from?” Tanya seorang petugas wanita ketika saya memasukkan barang-barang saya ke mesin pemindai.

“Indonesia.” Saya menjawab sejelas mungkin, sambil berharap pengalaman tertahan di bandara JFK (yang kemungkinan) karena paspor Indonesia dan nama islami saya tidak terulang kembali.

Oh.” Sahutnya lagi seraya mengarahkan alat pemindai yang dipegangnya ke badan saya, juga barang saya. “Welcome to America.”


Dengan membawa surat perkenalan yang ditandatangani oleh Laboulaye, Bartholdi tiba di Pelabuhan New York. Kali ini tujuannya adalah untuk berbicara dengan petinggi Amerika Serikat mengenai rencananya membangun sebuah monumen kebebasan bagi Amerika Serikat.

Tak perlu waktu lama dan tak perlu melakukan konsultasi Feng Shui dengan Suhu Yo bagi Bartholdi untuk menentukan di mana lokasi pembangunan monumen tersebut. Dia memilih sebuah pulau yang dikenal dengan nama Bedloe’s Island atau yang pernah dikenal juga sebagai Love Island.

Pada masa kepemimpinan Inggris, pulau ini dijual kepada seseorang bernama Isaac Bedlow (yang kemudian disebut sebagai Bedloe), yang kemudian menjualnya lagi ke pedagang asal New York bernama Adolphe Philipse dan Henry Lane. Harganya? Sangat fantastis. lima Shillings, atau setara dengan seperempat Poundsterling.

Enaknya zaman dulu adalah harga tanah yang masih murah, hanya dengan goceng kamu bisa membeli sebuah pulau. Sekarang, paling cuma jadi ice cream cone di Mc Donald’s, dua menit habis.

View from Liberty

View from Bedloe’s Island

Sekitar dua puluh tahun kemudian, pulau ini dijual lagi kepada Corporation of The City of New York dengan harga seribu poundsterling untuk kemudian digunakan sebagai lahan karantina manusia-manusia kurang beruntung yang mengidap penyakit menular. Sebuah fakta yang menunjukkan bahwa investasi tanah adalah merupakan investasi yang paling menguntungkan sejak dulu.

Imam Arif al Rahman berkata:

“Dan akan celakalah kamu yang masih memilih untuk berfoya-foya, mabuk-mabukan, main cewek, belanja-belanja barang gak penting daripada investasi tanah atau properti.”

Ada dua alasan utama mengapa Bartholdi memilih pulau ini sebagai lokasi monumen, yaitu karena semua kapal yang menuju New York pasti melewati pulau ini, dan yang berikutnya adalah bahwa pulau ini telah berada di bawah pemerintahan Amerika Serikat. Dalam kunjungan berikutnya, Bartholdi menemui Presiden Amerika saat itu yaitu Ulysses S. Grant yang meyakinkannya bahwa tidak akan sulit untuk menjadikan pulau tersebut sebagai lahan untuk membangun monumen.


Belum habis pretzel yang saya beli di dek bawah feri, pengeras suara telah mengumumkan bahwa saat itu kami sudah hampir tiba di Liberty Island, lokasi sang patung pertanda kebebasan, Liberty Statue, berada. Ini adalah pengalaman pertama saya mengunjungi Liberty Island, dan pengalaman pertama mencicipi pretzel original khas Amerika Serikat yang hampir membuat saya trauma karena rasanya yang sangat asin. Tidak cocok untuk kamu yang sedang diet mayo.

Asin, a sin, sebuah dosa.

Pretzel

Salty Pretzel

Dari jarak yang cukup dekat, akhirnya saya melihat bagaimana sosok Liberty tersebut berdiri megah dengan sebelah tangannya perkasa mengangkat obor selama ratusan tahun –tanpa mengenakan deodorant dan tanpa butuh balsem GPU– sementara sebuah buku berada di pelukan tangan satunya.

The Liberty

The Liberty

The Liberty

The Liberty

Sementara di kejauhan, pemandangan gedung-gedung Manhattan semakin mengecil di bawah kumpulan awan putih yang beriring mengiringi langkah saya menuju Liberty Island, pulau kebebasan.

Manhattan

Manhattan View


Setelah melalui pemikiran yang panjang dengan Laboulaye, Bartholdi akhirnya menemukan sebuah penggambaran yang tepat untuk ide mengenai kebebasan Amerika.

Sosok seorang wanita yang mengenakan gaun akhirnya dipilih, sosok yang menggambarkan Libertas, dewa kebebasan bangsa Romawi. Tangan kanannya menggengam obor yang menunjukkan bahwa Liberty akan mampu mencerahkan dunia, sementara tangan kirinya memeluk sebuah buku yang bertuliskan tanggal kemerdekaan Amerika Serikat. Di salah satu kaki sang wanita, terdapat rantai yang sudah putus, guna menggambarkan kebebasan.

Liberty Statue

Liberty Statue, taken from Libertas.

Dialah sang Liberty, penanda kemerdekaan Amerika Serikat, sekaligus simbol selamat datang untuk para pendatang yang masuk ke Amerika Serikat.

Assalamualaikum, Amerika, kami datang dalam damai.


Memasuki Liberty Island, saya disambut oleh dua orang berseragam yang menawarkan saya untuk menggunakan audio device sebagai panduan untuk menjelajah pulau. Sempat menyangka akan dipalak, akhirnya saya dengan senang hati mengenakannya setelah mengetahui bahwa piranti tersebut dapat dipakai dengan cuma-cuma, asalkan dikembalikan. Bukan untuk oleh-oleh sanak saudara di Indonesia.

Audio Device

Audio Device, untuk menemani perjalanan berkeliling Liberty.

Melalui piranti audio tersebut, saya mendengarkan dan turut merasakan bagaimana semangat nasionalisme dan patriotisme bangsa Amerika Serikat dahulu kala ketika berjuang melawan penjajah, juga bagaimana Liberty Statue ini dijadikan simbol perjuangan mereka kala itu.

Juga sebuah cerita tentang Frédéric Auguste Bartholdi, si pembuat patung asal Perancis yang merelakan masa mudanya selama bertahun-tahun guna membangun Liberty Statue. Harga yang harus dibayar untuk sebuah kebebasan.

Pada siang hari yang terik itu, saya memenuhi nazar saya untuk berfoto kayang di depan Liberty Statue, bebas kan?

Kayang di Liberty

Kayang di Liberty

Artikel ini pernah ditayangkan di majalah getaway! terbitan Januari 2015, tentunya versi bersihnya, tanpa embel-embel Parental Advisory. Dan pose kayang di atas bisa jadi pose kayang terakhir saya di luar negeri, mengingat faktor usia dan berat badan saat ini.