Dengan perlahan, saya memencet tombol pada remote, yang mengakibatkan klakson mobil berbunyi dan central lock-nya terbuka. Kemudian melalui sentuhan ringan pada handle pintu depan, saya memasuki mobil dan duduk dengan nyaman di balik kemudi mobil Toyota New Limo (selanjutnya akan disebut sebagai Limo saja) keluaran tahun 2009 tersebut.

“Ini mobil eks taksi Blue Bird Group.” Demikian penjelasan yang saya dapat sebelumnya. Saya menatap odometer di dashboard dan menatap angka yang cukup fantastis, lebih dari 300.000 kilometer telah ditempuh mobil ini, dan pertanyannya, “Dengan umur yang sudah 5 tahun dan jarak tempuh yang cukup jauh, mampukah mobil ini digagahi secara layak sebagai mobil harian?”

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya menjajal sendiri kemampuan si Limo, dengan berkendara dari Mampang menuju Bogor, atau tepatnya Caringin. Atau lebih tepatnya lagi Santa Monica Resort. Namun kali ini saya tidak sendiri, karena ditemani oleh Galang, Gladies, Vivi, dan Wandy sebagai teman semobil, juga ada teman-teman di Limo yang lain, sebagai pemeran figuran.

BlueBirdLimo

Inside the Limo

Dari sisi interior, mobil yang dibandrol mulai dari 70 jutaan ini telah mengalami sedikit renovasi. Mulai dari sistem audio yang berubah lebih trendy dengan hadirnya DVD Player, hingga central lock dan power window yang hadir melengkapinya.

Sementara dari sisi eksterior, mobil ini telah dicat ulang dengan warna-warna yang catchy seperti hitam, merah, dan silver dan bahkan calon pembeli dapat memilih warnanya sendiri dengan syarat dan ketentuan khusus. “Hmm, mungkin untuk meninggalkan kesan bahwa ini adalah mantan taksi.” Batin saya.

Untuk performanya, saya sempat memacunya di jalan tol dan menembus angka 120 km/jam –tanpa alarm yang berbunyi–, dan kemudi yang masih stabil (tidak seperti ABG), pertanda bahwa maintenance yang dilakukan Blue Bird sangatlah prima karena mengedepankan quality, safety, dan efficiency. Mungkin hanya sedikit adaptasi yang perlu dilakukan pada pedal koplingnya, dan itu saya rasa tidak terlalu sukar, karena, well you know, real man use three pedals.

BlueBirdLimo

Wandy, Arielnya anak Twitter.

Di Sentul, saya sempat berganti posisi dengan Wandy, sementara Galang tetap menjadi raja minyak dengan selir-selirnya di bangku belakang. Menurut Wandy, mobil dengan kondisi baik seperti ini, lumayan terjangkau kalau dibandrol 70 jutaan, apalagi surat-surat sudah lengkap, sudah plat hitam, dan bisa dibeli via leasing dengan uang muka hanya 10 juta! Lebih murah dari UMR Australia.

Menuju Caringin, Limo kembali diuji dengan medan yang menanjak dan jalanan yang berlubang (semoga bukan akibat Deddy Mizwar yang terlalu banyak main sinetron), semuanya dapat diatasi dengan mulus, tanpa perlu mematikan AC yang diset di angka 2.

Dan, di Santa Monica Caringin inilah keseruan sesungguhnya dimulai.

Santa Monica Caringin

Santa Monica Resort Caringin

Paintball di Santa Monica

Sesampainya di Santa Monica, kami langsung dihajar dengan Masakan Padang yang disajikan secara prasmanan. Iya, pras-ma-nan. Maklum, namanya juga sopir, porsi makan pun ikut meningkat setelah melakukan aktivitas yang membutuhkan stamina pria dewasa, dan tak ayal beberapa potong ayam bakar pun menjadi korban keberingasan saya.

Belum sempat beristirahat, kami digiring untuk mendapat pengarahan dari tim Blue Bird mengenai mobil Limo ini, dan setelah itu, barulah kami melakukan permainan yang sangat menantang dan membutuhkan kerjasama tim yang apik, yaitu paintball!

Berikutnya, kami dibagi menjadi tiga tim dengan masing-masing tim beranggotakan lima orang, dan setelah itu kami diminta memakai rompi dan pakaian tempur a la militer dengan warna mayoritas hijau lumut dan cokelat. Tidak lupa pula memakai helm yang sebagai pelindung mata dan kepala. Tak ada keraguan dalam diri saya ketika mengenakan seragam itu dan menenteng senapan gas yang berisikan peluru yang apabila ditembakkan tepat ke sasaran dapat menimbulkan memar dan memuncratkan cat berwarna oranye.

Permainan ini dibagi menjadi beberapa ronde dengan masing-masing tim bergantian melawan yang lain, karena prestisi, strategi pun diterapkan dengan seksama. Tujuannya satu, mengalahkan lawan dan menjadi pemenang dalam permainan ini.

Tim saya kebagian jatah untuk bermain sebanyak tiga kali, dengan sekali menang, dan dua kali kalah. Sementara saya sendiri dua kali terkena head shot dan satu kali keluar karena kehabisan peluru. Sebuah rekor yang sangat fantastis bukan?

Paintball Santa Monica

Paintball Santa Monica, siap memberantas ISIS.

Acara Bebas

Malam harinya –di saat peserta lain kelelahan selepas paintball dan kekenyangan karena makan malam–, saya bersama teman semobil memutuskan untuk turun gunung, menuju Bogor. Mencari makanan, lagi.

Perjalanan dari Santa Monica cukup terbantu dengan penerangan yang baik dari si Limo, juga wiper yang sangat lancar ketika hujan deras turun begitu kami memasuki Bogor (yang disebut sebagai kota hujan, no wonder), satu jam kemudian. Namun sepertinya, saya tidak menemukan setelan wiper yang pelan. Hanya diam – cepat – cepetan woy hujannya deras banget!

Setengah jam berikutnya, kami habiskan untuk mencari lahan parkir, dan mengantre tempat duduk di Kedai Kita yang terkenal dengan pizza kayu bakarnya. Dan memang, itulah menu yang menutup hari kami dengan sempurna, seloyang Hawaiian Pizza khas Kedai Kita!

Pizza Bakar Kedai Kita

Pizza Bakar Kedai Kita

Pada perjalanan pulang ke Santa Monica, Vivi sempat berucap “Wah, enak ya mobilnya, jadi lupa kalau ini dulunya bekas taksi.” See, hanya butuh kurang dari sehari untuk jatuh cinta pada si Limo ini. Lamar jangan nih?

Santa Monica Resort

Pagi hari di Santa Monica Resort

Walaupun lokasinya yang dirasa cukup jauh oleh Galang dan Wandy, namun pagi hari di Santa Monica adalah sebuah kemewahan bagi penduduk Jakarta dan Bekasi. Hamparan sawah yang hijau dengan gunung asli di kejauhan, hawa dingin yang menggelitik tulang, juga air alam yang segar. I will trade Galang’s kidney for this. 

Setelah sarapan, barulah kami bergegas berkumpul untuk aktivitas utama hari itu.

Rafting di Cisadane

Rafting, sebenarnya bukan barang baru untuk saya, karena di penghujung tahun 2014 lalu, saya sempat melakukannya bersama keluarga di Citarik, Sukabumi.  Tapi kali ini berbeda, karena saya melakukannya bersama teman sepermainan, dengan lokasi yang berbeda, yaitu di Cisadane. Hal yang menarik walaupun saya bukan suporter Persita Tangerang.

Seperti biasa, petualangan dimulai dengan briefing singkat, sebelum berangkat menuju lokasi. Kali ini si Limo tidak diajak, karena alasan efisiensi dan sanitasi. Sebagai gantinya, panitia dan tim Blue Bird yang ramah menurut Gladies, menyediakan dua buah mobil bak terbuka.

Saya sempat bertanya berapa lamakah waktu yang dibutuhkan untuk tiba di lokasi keberangkatan, dan si akang menjawab “Dua puluh lima menit.”. Namun kenyataannya, dua puluh lima menit tersebut berubah menjadi perjalanan yang melewati berbagai macam rintangan, seperti.

Perjalanan dimulai dengan, selfie.

Rafting Cisadene

Selfie sebelum berangkat

Kemudian menunggangi pick up.

Rafting Cisadene

Naik pickup menuju lokasi

Melewati hutan-hutan.

Rafting Cisadene

Melewati hutan-hutan

Menembus perkampungan setempat.

Rafting Cisadene

Permisi Bapak Ibu, kami mau rafting.

Melewati jalan raya.

Rafting Cisadane

Akhirnya tiba di jalan raya

Kemudian terjebak macet.

Rafting Cisadane

Terjebak macet sebelum rafting

Sebelum tiba di lokasi rafting.

Rafting Cisadane

Berafting-rafting ke hulu!

Rafting di Cisadane ini, walaupun arusnya tidak seliar di Citarik, namun cukup menyenangkan karena melalui empat jeram besar yang menantang. Kemudian di tengah-tengah perjalanan, kami dihentikan tepat di bawah sebuah jembatan setinggi empat meter dari permukaan sungai, “Uji nyali.” Kata si akang pemandu.

Ya, yang dimaksud uji nyali adalah lompat dari atas jembatan, ke sungai di bawahnya. Tantangan lainnya adalah, terdapatnya kotoran anjing yang masih hangat di tepian jembatan. Saya, yang pernah melakukan cliff jumping di Nusa Ceningan pun merasa tertantang dan melakukan lompatan dari atas jembatan bertokai, sebanyak dua kali. Iya, dua kali.

Setelah melewati air demi air beriak yang tak dalam, perahu karet kami meluncur lagi melewati jeram-jeram kecil sebelum tiba di sebuah perairan yang tenang namun menghanyutkan dan tak nampak ujung sungainya. Saya sempat was-was menantikan apa yang telah menunggu kami di depan, sebelum menyadari bahwa itu adalah sebuah air terjun kecil.

GLEK!

Kami semua berteriak dan menyebut nama Allah.

Perahu kami jatuh menukik. Tapi asyik.

Rafting Cisadane

Serunya rafting Cisadane!

Rafting hari itu diakhiri dengan pembagian wedang jahe beserta sekardus gorengan berupa pisang dan tahu isi di tempat finish. Kami yang kelaparan sehabis beraktivitas pun tak menyia-nyiakan kesempatan makan gratis tersebut. Saya sempat menawarkan gorengan di tangan saya kepada Gladies dengan riang, “Neng, mau pisang aku?”

Hehehe.

Kembali ke Jakarta

Sore harinya, kami menutup hari dengan kembali ke Jakarta. Kali ini Wandy yang mengambil kemudi. Menurut Galang, si Limo ini cukup enak ditunggangi, dan tak ada bedanya dengan Vios biasa yang dijual untuk umum, karena dia menjadi penumpang.

Tentang perjalanan kali ini, Vivi ikut berkomentar bahwa dia sangat dimanjakan BlueBird selama perjalanan. Terbukti dengan mobil yang selalu terisi penuh dengan makanan dan minuman. Sementara Gladies berharap bahwa ke depannya akan ada lagi perjalanan lain yang juga diadakan oleh BlueBird dengan tujuan yang berbeda, seperti Bali misalnya. Sebuah harapan yang diaminkan Galang, yang juga berkeinginan mengikuti trip sejenis namun menggunakan Alphard eks Silver Bird.

BlueBird Limo

Terima kasih BlueBird Limo!

Pada awal berangkat, penunjuk bensin di Limo kami menunjuk ke garis 3/4 dari penuh, dan ketika kami tiba di Jakarta sore itu, jarum penunjuknya menunjuk ke garis 1/4 dan tanpa mengisi bensin tambahan. Sebuah pertanda bahwa mobil ini cukup irit.

Tertarik mengadopsi si Limo ini? Silakan datang ke pool BlueBird terdekat atau dapat juga menghubungi Ibu Tri Winarsih melalui nomor telepon 021 7918 0571 / 087770608777 atau dapat juga melalui email di tri.winarsih@bluebirdgroup.com.