Ya, kamu tidak salah membaca judul artikel ini. Pesona Wisata Alam Singapura. Alam yang merupakan segala yang ada di langit dan di bumi (versi KBBI), bukan Alam Mbah Dukun yang sedang ngobatin pasennya. Tseeehhhh!

Apabila selama ini, Singapura yang kamu tahu adalah negara dengan gedung-gedung modern, shopping malls, Merlion, Esplanade, Universal Studios, maka dapat dipastikan bahwa kamu belum mengenal Singapura seutuhnya. Kamu hanya mengenal kulit luarnya saja tanpa mau mendalami lebih jauh dan berkenalan dengan keluarganya, so I tell you kids, Singapura memiliki lebih dari itu. Singapura juga mempunyai bentang alam yang masih terjaga keasriannya hingga kini.

Berikut ini adalah beberapa kisah saya tentang alam Singapura.

Pendakian Puncak Alam Tertinggi Singapura

Saya menatap jalur yang terdapat di hadapan saya, mentok, tak ada jalan setapak maupun jalan terbaik di sana. Yang ada hanya medan terjal dengan batuan terjal berlumut, yang masih menyisakan sisa hujan semalam, bersama tanah-tanah yang becek, dan akar pohon yang menjuntai jauh ke bawah.

Aduh! Kenapa juga saya tadi memilih lewat Rock Path, alih-alih jalur yang biasanya. Berikutnya, saya mengalungkan kamera, mengencangkan tali daypack yang saya bawa –agak sedikit menyesal mengapa saya memasukkan laptop ke dalam tas, padahal liburan sih liburan saja, tak perlu membawa laptop yang juga tak terpakai kerja–, sebelum meremas akar besar (tolong fokus) yang terdapat di dekat saya.

Saya mulai memanjat.

Rock Path, Bukit Timah Nature Reserve.

Rock Path, Bukit Timah Nature Reserve.

Beberapa jam sebelumnya, saya masih terdampar di Stasiun Bukit Gombak, karena keliru turun dari MRT akibat hasil browsing yang salah tentang bagaimana cara mencapai Bukit Timah Nature Reserve, tempat puncak alam tertinggi Singapura berada. Setelah sempat mampir ke Stadion Bukit Gombak dan melihat paha-paha mulus yang sedang lari pagi, saya kembali ke loket stasiun, bertanya tentang cara pergi ke tujuan saya.

Take bus number 67 from Choa Chu Kang Station.” Ucap si wanita India dari balik loket, sebelum saya masuk ke dalam stasiun.

Satu jam kemudian, saya sudah berada di dalam bus nomor 67, yang akan membawa saya mendekati Bukit Timah. Malu bertanya sesat di jalan, dan karena tak mau salah berhenti lagi, saya bertanya kepada seorang pemuda lokal yang tampak pintar dengan kacamata bacanya. Dia menggeleng, “Do you have smartphone?” Tanyanya.

Saya sempat ragu untuk memberikan telepon genggam, karena bisa saja dia pura-pura memijat paha saya terus mencurinya. Berikutnya dia berkata, “Open your Google Maps.“. Oh iya, di zaman canggih seperti ini, dan di negara seperti Singapura yang memiliki sarana transportasi dan alamat yang jelas, Google Maps pasti dapat berfungsi dengan sempurna.

Pemuda itu mengetikkan sesuatu di telepon genggam saya, sebelum berkata dengan yakin, “The next bus stop will bring you there.” Ucapnya. Kali ini giliran saya yang mengutuk diri sendiri menjadi ganteng, karena tidak menggunakan Google Maps sedari awal.

Dari Upper Bukit Timah Road tempat bus berhenti, saya masih harus berjalan beberapa ratus meter sebelum berbelok ke kiri dan mendapati sign Bukit Timah Nature Reserve terukir pada sebuah batu, di halaman Visitor Centre. Di dekatnya lagi ada papan penunjuk arah, yang membuat saya tergoda. Sekarang mau ke mana?

Bukit Timah Sign

So, where do I go now?

Sebelum Singapura menjadi seperti sekarang, dahulu di sini adalah hutan lebat tempat tinggal harimau beserta berbagai satwa lainnya. Harimau terakhir ditemukan tahun 1920, dan sekarang jasadnya diawetkan pada sebuah ruangan di Visitor Center ini. Kini, tempat ini adalah rumah untuk 40% kekayaan flora dan fauna Singapura.

Dengan pertimbangan yang matang, saya memilih untuk menuju Hindhede Nature Park, sebelum mendaki ke puncak. Toh jaraknya hanya 0,15 Km. Enteng lah buat saya yang memilik #100persenMentalAlam ini.

Hindhede Quarry

Hindhede Quarry

Pilihan saya untuk mengunjungi Hindhede terlebih dahulu ternyata tak salah, dan saya sempat melongo dua setengah detik karena tak menyangka ada tempat seperti itu di Singapura. Sebuah danau hijau, dengan pepohonan di tepiannya, yang menggelayut di dinding-dinding granit. Ingin rasa mencomot granitnya, kemudian membuat table top untuk kitchen set di rumah.

Dahulu, tempat ini adalah tambang granit, yang digunakan untuk proyek konstruksi Singapura. Pada tahun 1970, granit merupakan salah satu komoditi andalan Singapura, terbukti dengan adanya 25 tambang granit yang mempekerjakan 1.200 pekerja pada masa itu. Setelah tidak digunakan, air hujan mengisi bekas lokasi seluas 30.500m² ini hingga sepenuh sekarang .

Hindhede Quarry

Me & Hindhede Quarry

Berikutnya, saya kembali ke jalan yang benar, dan mencoba untuk mendaki hingga ke puncak alam tertinggi di Singapura. Di perjalanan, saya melihat sebuah lahan kosong tempat warga setempat berolahraga, dan ada juga yang menjadikan jalur pendakian ini sebagai arena jogging! Bahkan, ada yang jogging secara topless, sayangnya cowok.

Secara umum, jalurnya sudah bagus, beraspal dan ada petunjuk jalan di tiap sisinya. Daun-daun berguguran sepanjang jalan, walaupun tidak semenarik musim gugur di Jepang, dengan suara serangga dan burung membahana. Ada juga yang mengatakan, kalau beruntung dapat melihat monyet di sini.

Bukit Timah Nature Reserve

Bukit Timah Nature Reserve summit track.

Saya terus mendaki dengan laptop dan waterproof jacket di dalam tas, hingga saya menemukan sebuah papan penunjuk kecil bertuliskan “Rock Path” pada sisi kanan jalan.

DEG! Kelaki-lakian saya terusik, dan langsung mengambil jalur yang sepertinya penuh tantangan tersebut.

Tak ada jalan beraspal pada jalur tersebut, yang ada hanya jalan setapak sempit dan licin, –juga beberapa sungai kecil yang mengalir jernih– dengan batuan yang kadang terdapat di tengah jalan, sehingga saya harus melompat dan berayun-ayun. Sebentar, kok jadi mirip Spider-Man ya?

Jalur tersebut sepi, –hanya saya seorang diri bersama sedikit keberanian– hingga membuat saya khawatir bertemu yang bukan-bukan di sini. Bagaimana jika punahnya harimau tersebut hanya mitos? Bagaimana jika saya tiba-tiba bertemu tiga harimau, yang malah mengajak saya berjoged?

Puncaknya adalah ketika saya harus mendaki dan memanjat batuan dengan berpegangan pada akar pohon. Menantang! Berbekal kelincahan dan stamina pria dewasa, saya dapat mendaki rintangan tersebut dengan mudah.

Setelahnya, saya kembali lagi ke jalur pendakian yang benar. Beberapa saat sebelum puncak, saya melewati sebuah tempat yang bertuliskan ‘PROTECTED PLACE: No Admittance to Unauthorised Person‘ dengan logo seseorang yang mengangkat tangan karena ditodong senapan.

Aw! Saya langsung melewatinya secepat mungkin, sebelum akhirnya menggapai puncak alam tertinggi Singapura. Bukit Timah Summit di ketinggian 163 meter dari permukaan laut. Di sana, sebuah papan informasi memberikan saya ucapan selamat.

Bukit Timah Nature Reserve

Highest Natural Peak in Singapore

“You have reached the top of Singapore’s highest natural point at 163,8 metres. The first men to reach the summit was Singapore’s Resident Councillor John Prince and his contractors in June 1827.” 

Ya, saat itu John Prince membutuhkan waktu lima jam untuk mendaki jalur ini dari selatan. Sebuah masa di mana auman harimau di Bukit Timah sering terdengar kala senja. Pada tahun 1843, jalur pendakian menuju Bukit Timah Summit mulai dibangun.

Tertantang Trekking di MacRitchie Reservoir

Belum puas dengan puncak tertinggi di Singapura, saya pun berpindah rute lagi, mengunjungi MacRitchie Reservoir. Di hari yang sama. Supaya terlihat perkasa di mata pembaca.

Alih-alih bertanya kepada orang yang ditemui di jalan, kali ini saya menggunakan navigasi Google Maps. Gengsi dong kalau tanya lagi, nanti dikira “Tanya melulu kayak orang Indonesia, gak punya Google Maps, apa?”. Google Maps pun menuntun saya ke dalam bus nomor 52, ke arah MacRitchie Reservoir.

Dengan mata terus menatap layar telepon, saya memperhatikan titik-titik biru yang bergerak mendekati titik merah. Tanda di mana saya seharusnya turun. Dan ketika mereka sudah hampir menyatu, saya pun memencet tombol merah dalam bus yang berarti ‘STOP’. Saya turun di Lornie Rd setelah men-tap EZ Card saya ke mesin.


Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya trotoar yang sepi dari mahkluk hidup yang lalu lalang, bersama tumbuh-tumbuhan di pinggirannya. Tak ada pintu masuk ke MacRitchie Reservoir, seperti yang saya perkirakan. Hanya ada jalan setapak, di seberang got, yang sepertinya menuju ke dalam hutan.

Sial! Saya sepertinya salah turun dan sedikit menyesal mengapa tadi percaya sepenuh hati pada Google Maps. Kali ini saya bingung mau bertanya pada siapa, karena tak ada siapa-siapa di sana. Saya memutuskan menyeberang jalan raya yang lebar tersebut, tidak seperti kebanyakan orang Indonesia, melalui jembatan penyeberangan. Seksama menyusuri sisi jalan yang lain, karena siapa tahu, petunjuk yang dimaksud Google Maps ada di sisi jalan yang ini.

Saya bergerak ke arah barat Lornie Rd, sejauh 500 meter, dan tidak menemukan apa-apa, selain pekuburan Cina. Saya kembali ke titik semula, dan berjalan 500 meter ke arah timur, dan masih tidak menemukan apa yang saya cari. Kampret.

Di saat bingung seperti ini, saya mengambil telepon genggam saya, dan membuka kembali Google Maps. Kali ini saya tidak menggunakan fitur navigasinya, hanya membuka Maps. Mencari di manakah saya berada saat ini, dan mencari di manakah tujuan saya seharusnya. Setelah mengusap-usap layar, sampai lecek, saya menemukan apa yang saya cari. Pintu masuk resmi MacRitchie Reservoir, yang masih dua atau tiga halte bus lagi jauhnya.

Sial.

MacRitchie Reservoir

MacRitchie Reservoir

Beberapa ekor monyet turun dari pohon menyambut saya, ketika saya tiba di sana. MacRitchie Reservoir, bendungan air yang digunakan sebagai sumber air warga Singapura. Melangkah lebih jauh, ada orang-orang yang asyik berlari. Seperti di semua tempat di Singapura, semua orang berlari. Mungkin inilah yang menyebabkan ekonomi Singapura maju lebih pesat dari Indonesia, semua orang terbiasa berlari.

Lebih jauh lagi, saya tiba di Fishing Ground, dan menemukan pemuda-pemudi setempat sedang berlatih kayak dalam  beberapa tim. Sepertinya sedang berlatih untuk perlombaan. Berikutnya saya mendapati pasangan yang sedang memadu kasih, berjalan bergandengan tangan, di tepian danau, sementara saya berduaan dengan laptop di dalam tas.

MacRitchie Reservoir

The green MacRitchie Reservoir

Saya melihat sebuah papan penunjuk yang menyebutkan bahwa MacRitchie Reservoir ini memiliki TreeTop Walk, namun jaraknya dari tempat saya saat itu cukup jauh, yaitu 5,5 Km menembus hutan dan harus ditempuh secara manual, karena tidak ada bus atau ojeg yang melewatinya. Menarik sih, tapi kok ya jauh, sementara tenaga saya sudah sedikit terkuras karena pendakian ringan di Bukit Timah siang tadi.

Di ujung danau, saya duduk di sebuah jembatan kecil, mengistirahatkan pantat sejenak. Kemudiaan saya mengeluarkan buku The DestinASEAN dari dalam tas dan mulai membaca di tepi danau. Romantis dan syahdu.

MacRitchie Reservoir

Enjoying MacRitchie Reservoir

Di tengah keasyikan saya membaca, saya mendengar derap-derap langkah kaki yang lewat di belakang saya. Kadang cepat, kadang lambat. Kadang berat, kadang seperti tak menapak. Derap langkah yang menuju ke hutan yang tak jauh dari tempat saya duduk. Belasan, atau puluhan orang lewat di belakang saya, semuanya berlari menuju hutan. Hutan tempat TreeTop Walk berada.

Hutan yang sepertinya menggoda untuk ditaklukkan.

MacRitchie Reservoir

Way into the woods.

Saya yang mempunyai #100persenMentalAlam pun tergoda. Setelah memasukkan buku ke dalam tas, saya melangkah menuju hutan dengan laptop di punggung, mengikuti orang-orang yang berlari. Saya yakin ini bukan hutan biasa.

BERSAMBUNG…