Nama saya adalah Muhammad Arif Rahman, dan saya bukan seorang teroris. Kata orang, nama adalah doa, dan itulah doa  Papa ketika menamai saya delapan belas tahun (lebih beberapa tahun) silam. Doanya adalah menjadi seorang anak yang dapat berperilaku seperti sang rasul, yang memiliki sifat bijaksana, dan penuh kasih sayang. Bukan seorang anak yang akan dipersulit nasibnya ketika hendak memasuki Amerika Serikat.


Mr. Muhammad Arif Rahman?” Seru si petugas sebelum saya memasuki ruang tunggu keberangkatan Dubai International Airport, saya mengangguk. “From Indonesia?

Yes.” Jawab saya tegas, seperti orang tua si wanita pada video klip band Kanada MAGIC! yang berjudul ‘Rude’. Saya memberikan boarding pass beserta paspor yang telah ditempeli Visa Amerika padanya.

Tangannya menunjuk ke sebuah sudut ruangan, tempat beberapa alat pemindai berada. “That way, Sir.” Sementara para penumpang lain, yang entah bagaimana proses seleksinya, hanya diminta menunjukkan tanda pengenal dan boarding pass sebelum memasuki ruang tunggu.

Dan saya pun dengan bijaksana dan penuh kasih sayang mengikuti kemauannya.

Emirates

Emirates’ Stewardess, beautiful but…

Beberapa jam sebelumnya, saya masih berada di dalam salah satu pesawat milik Emirates, maskapai kebanggan Dubai, yang merupakan salah satu maskapai terbaik dunia. Ini adalah perjalanan terjauh dan terlama yang pernah saya lakukan, dan kali ini saya melakukannya seorang diri.

Saat itu, saya mendapat tempat duduk di bagian aisle, sementara dua penumpang di samping kiri saya adalah dua orang pria Arab berbadan besar, berbulu dada lebat, dan suka mengobrol dengan suara kencang. Setiap kali mereka berbincang dengan bahasanya, saya menengadahkan kedua telapak tangan ke atas, dan berucap “Aamiin!” dalam hati, tentunya dengan bijaksana dan penuh kasih sayang.

Saya masih mengenakan headset sambil mendengarkan senandung Cliff Richard di lagu ‘The Young Ones’ ketika seorang pramugari berwajah Mediterania yang nampak jutek lewat dengan mendorong kereta makanannya. Setelah menyodorkan seplastik biskuit, saya memesan segelas jus apel –yang selalu saya pesan ketika menggunakan maskapai full board— kepadanya, dan mulai membaca-baca buku panduan mengenai Amerika Serikat.

“Apa iya saya bisa masuk ke sana?” Batin saya.

Darling we’re the young ones,
And young ones shouldn’t be afraid.

Dubai Airport

Souvenir Store at Dubai International Airport

Setelah transit selama empat jam di Dubai International Airport, saya mulai bergerak menuju ruang tunggu ketika pengumuman mengenai penerbangan lanjutan saya ke New York disuarakan melalui pengeras suara. Namun ternyata untuk memasuki ruang tunggunya tidak semudah itu, karena saya harus melalui prosedur pemindaian yang cukup kompleks.

Through this way, Sir.” Pinta si petugas berseragam –yang saya tidak tahu apakah dia karyawan bandara, pekerja maskapai, atau justru petugas keamanan Amerika Serikat– sambil mengarahkan saya masuk ke mesin pemindai tubuh “Do you bring any electronic devices?

Saya mengangguk, sambil menunjukkan sepasang telepon genggam, dan dua buah kamera dari dalam tas selempang yang saya bawa.

Put them into the box.” Pintanya lagi, dan saya menurutinya kembali. Tetap dengan bijaksana dan penuh kasih sayang.

Now, put your wallet and belt here.” Oke, saya memenuhi permintaan berikutnya. “And now, take off your shoes.”

What? Setelah elektronik, dompet, dan sabuk, sekarang sepatu juga diminta lepas? Berikutnya, jangan-jangan harga diri saya yang diminta. Celoteh saya dalam hati, sambil melepas sepatu secara perlahan dengan sebelah tangan memegang celana yang hampir melorot.

Si petugas mengoleskan semacam kertas lakmus kepada barang-barang saya, tidak terkecuali kaus kaki dalam sepatu. Semoga saja dia tidak menemukan pindang di dalamnya. Setelah menginput beberapa data ke dalam komputernya, dia mempersilakan saya untuk duduk di ruang tunggu, dan bersiap untuk penerbangan lanjutan ke John F. Kennedy International Airport.

Di dalam Emirates dengan nomor penerbangan EK203, saya tertidur pulas di kursinya yang empuk dan lega dengan sebuah mimpi tentang Amerika, tentunya masih dengan bijaksana dan penuh kasih sayang.

USA Guidebook

Reading USA Guidebook inside Emirates

Saya masih belum bisa membuka semua mata dengan sempurna ketika pesawat mendarat dengan mulus di New York, namun langsung menghambur bersama kerumunan penumpang yang lain. Lokasi tempat duduk yang di aisle, dan terletak di baris depan –di bawah tangga menuju kelas bisnis– sepertinya tidak memungkinkan saya untuk berlama-lama di dalam pesawat sambil menggoda mbak-mbak pramugari jutek yang ada. Toh, saya juga punya jadwal untuk check in  dulu di apartemen host AirBnB yang saya pesan sebelumnya, sebelum mengikuti gangster tour di kawasan Little Italy Manhattan pada pukul 14.00 waktu setempat.

Jam digital di tangan menunjukkan pukul 08.30 –jadwal ketibaan pesawat adalah pukul 08.25–, yang berarti masih banyak waktu bagi saya untuk melakukan banyak hal lain dengan bijaksana dan penuh kasih sayang. Namun anggapan saya salah ketika saya mendapati antrian imigrasi bandara yang mengular.


Setengah jam berlalu, saya pun tiba di deretan depan antrian loket imigrasi. Dan saat itulah datang seorang petugas berseragam bandara ke hadapan saya. “Are you from Emirates flight?

Saya mengangguk. Dengan bijaksana dan penuh kasih sayang.

Go to that gate.” Ucapnya sambil menunjuk loket kosong di sudut terminal kedatangan. Loket yang tak dibuka sebelumnya namun kini sudah ada beberapa orang di sana. Jangan-jangan itu adalah… Chamber of Secrets?

Saya berjalan pasti ke arah loket yang ditunjukkan, dan di sana telah menanti seorang wanita petugas imigrasi di balik loket. Mukanya lebih jutek dari mbak-mbak pramugari Emirates. Setelah menanti sebanyak dua antrean, dia mempersilakan saya untuk maju. Ke hadapannya, bukan ke orang tuanya. “Good morning, Ma’am!” Sapa saya dengan bijaksana dan penuh kasih sayang.

Who sent you here?” Tanyanya sambil menatap saya dengan sebelah alis yang terangkat.

Saya menunjuk ke arah si petugas bandara yang tadi meminta saya mendatangi loket ini. “That man, Ma’am.” Wanita itu memeriksa paspor saya, membolak-balik lembarannya, dan setelah menemukan visa saya, dia berkata dengan sopan.

Mr. Muhammad Arif Rahman?” Ucapnya seraya menyelipkan paspor saya ke dalam map plastik berwarna hijau bening.

Yes, Ma’am.

Follow me.” Dan saya pun mengikuti langkahnya ketika dia membawa saya masuk ke dalam sebuah ruangan berukuran sekitar 40m² di belakang loket imigrasi, tanpa sempat meminta folbek.


Ruangan itu terdiri dari tiga atau empat deret bangku warna putih yang disusun memanjang, dengan beberapa loket di depannya, dinding ruangan yang berwarna putih senada dengan keramik yang terpasang. Sebuah ruangan yang mengingatkan saya kepada rumah sakit di Indonesia. Hanya bedanya, di sini tak ada suster atau dokter yang akan meminta kamu membuka baju dan bertanya “Sakitnya di mana?” melainkan beberapa petugas berseragam polisi yang mengingatkan saya ke serial televisi NYPD, yang saya belum pernah menontonnya.

Map hijau berisi paspor saya diletakkan pada sebuah rak di meja seorang petugas bertubuh gempal dengan kumis kelabu melintang tebal di bawah hidung. Jenis kelaminnya pria, tentu saja. Si wanita kemudian menyilakan saya duduk sembari menanti giliran dipanggil, sebelum kembali lagi ke loketnya.

Visa Amerika

My American Visa (edited version)

Saya mengamati orang-orang yang berada di ruangan, ada seorang pria Arab dengan istrinya yang bercadar bersama bapak tua yang duduk di kursi roda, ada seorang wanita Afro American dengan rambut kriwilnya, juga beberapa muka khas Tionghoa nampak pasrah menanti giliran. Tak ada wajah-wajah yang saya kenali. Namun kebanyakan yang berada di sana adalah mereka yang berwajah Timur Tengah, atau memiliki nama-nama Islam, karena sepanjang pendengaran saya sudah ada beberapa orang dipanggil dengan nama yang mirip dengan saya.

Muhammad … Rahman, from Pakistan.“, “Muhammad … Rahman, from Iran.” namun sepertinya giliran saya masih lama. Dan ketika menunggu, dua orang petugas menggelandang dua orang pemuda berwajah oriental keluar ruangan. Mereka menunduk dengan tangan di belakang punggung, terborgol.

DEG! Apa jangan-jangan mereka kedapatan mencuri sendok dan garpu pesawat atau malah justru berlatih kung-fu di dalam kokpit? Berikutnya seorang petugas berbadan tinggi besar masuk ke ruangan, bisepnya yang bertato tribal membuat gentar siapapun yang menatapnya. Termasuk saya.


Satu jam berlalu, dan nama saya masih belum dipanggil oleh si kumis kelabu. Untuk mengatasi sepi, saya mencoba mengobrol dengan wanita di samping saya, namun dicuekin. “Jangan lupa gosok gigi dulu sebelum turun pesawat.” Saya kemudian teringat pesan yang disampaikan Alex via Twitter ketika saya transit di Dubai.

Apa jangan-jangan bau mulut ini yang membuat saya tertahan di bandara? Atau mungkin saya belum cukup umur untuk masuk ke Amerika? Dengan langkah gontai saya yang sudah mencukur rapi semua jenggot dan kumis atas bawah masuk ke kamar mandi di ujung ruangan, mencuci muka dengan air keran, menggosok gigi, tanpa sempat merapikan rambut dengan pomade. Dan setelah dirasa agak tampan, saya keluar dan duduk di posisi semula.

Masih menanti. Dengan bijaksana dan penuh kasih sayang.


According to my data, you have criminal record in America.” Saya memperhatikan perkataan si kumis kelabu di depan saya dengan perasaan tak menentu, andaikan itu terjadi kepada saya. Namun itu terjadi pada si pria Arab bersama istrinya yang bercadar.

Dengan bahasa Inggris yang patah-patah, si pria menjelaskan bahwa memang dulu dia sempat bermasalah dengan izin tinggal di Amerika Serikat, namun sekarang dia sudah kembali lagi –untuk keempat kalinya– dengan identitas yang benar. Setelah penjelasan panjang diiringi repetan pertanyaan, si kumis kelabu membubuhkan cap pada paspor si pria Arab.

Satu orang lagi, sebelum giliran saya.

DEG!


Dengan napas berbunga-bunga dan keberanian yang dipupuk sejak dari Dubai, saya maju ke kursi kecil di hadapan si kumis kelabu, “Morning, Sir!” Saya menyapanya dengan bijaksana dan penuh kasih sayang. Sekelebat adegan pembuka film My Name is Khan terputar dalam ingatan.

Si kumis kelabu menatap saya, dengan sebelah tangan memegang paspor saya. Dia berdehem. Ehem. “So, what makes you come to America?” Tanyanya.

Saya yang tak mungkin beralasan ingin mengunjungi Britney Spears atau Yasinan di makam Michael Jackson akhirnya mengungkapkan alasan yang sebenarnya “I won blogging competition.” Ucap saya lirih sambil menunjukkan print email resminya. “From Caterpillar.”

So you’re going to visit Caterpillar?

Yes, in Peoria.” Jawab saya, “But I decide to visit New York first.”

Hmm..” Tanggap si kumis kelabu sambil menginput beberapa data di komputernya sebelum membubuhkan cap di paspor saya dan berucap “Welcome to America.”.

Kalau saja tidak banyak orang di ruangan tersebut, saya mungkin sudah mencium tangan si kumis kelabu, sambil menyematkan cincin di jemarinya. Dan setelah tiga jam terdampar di bandara, akhirnya saya diizinkan masuk ke Amerika Serikat.


Selepas tragedi 9/11, Amerika Serikat memang lebih ketat dalam membatasi siapa-siapa saja yang masuk ke negaranya, dan karena kejadian tersebut berhubungan dengan teroris yang mengatasnamakan Islam, maka para pendatang yang memiliki nama-nama Islam seperti saya pun acapkali menjadi target pemeriksaan lanjutan sebelum mendapat izin masuk ke Amerika Serikat.

Padahal saya bukanlah seorang teroris, karena saya datang ke Amerika dalam damai, dan cuma ingin selfie di sana. Tentunya dengan bijaksana dan penuh kasih sayang.

Nama saya adalah Muhammad Arif Rahman, dan saya bukan seorang teroris.
Saya hanya seorang turis, yang bijaksana dan penuh kasih sayang. Setidaknya itulah doa Papa saya di surga.