Legenda mengatakan, ada sepasang tugu kembar di ujung-ujung Indonesia, yang satu di Sabang; satunya di Merauke, yang mana keduanya dipisahkan oleh ribuan pulau-pulau yang menyambung menjadi satu, Indonesia. Sabang terletak di ujung barat Indonesia pada provinsi Daerah Istimewa Aceh, sementara Merauke terletak di ujung timur Indonesia pada provinsi Daerah Khusus Papua. Dua daerah yang mengapit 32 provinsi lainnya di Indonesia.

Namun tak ada yang mengatakan, bahwa perjuangan untuk menemukan kedua tugu itu tak sesingkat lagu yang digubah oleh R. Suharjo, sebuah lagu perjuangan berjudul Dari Sabang sampai Merauke.

Dari Sabang sampai Merauke
Berjajar pulau-pulau
Sambung menyambung menjadi satu
Itulah Indonesia

Sabang, 11 Oktober 2014

Saya memacu sepeda motor sewaan dengan cepat, terlalu lama bermain-main di Iboih Inn sepertinya telah membuat saya terlena dengan waktu. Padahal empat puluh menit lagi, matahari diperkirakan akan tenggelam di titik paling barat Indonesia tersebut.

“Sekitar setengah tujuh, lah.” Saya mengingat pesan Ibu Liza, si pemilik Iboih Inn, menjawab pertanyaan saya mengenai kapan matahari akan tenggelam di Kilometer Nol.

Sebelumnya, saya memang telah mendapatkan informasi bahwa tempat paling tepat untuk menikmati sunset di Pulau Weh adalah di titik kilometer nol, yang merupakan ujungnya Pulau Weh, “Dari sini ke Kilometer Nol, berapa lama, Bu?”

“Jaraknya sih sekitar delapan kilometer.” Ucapnya “Ya kira-kira setengah jam, lah, kalau pakai motor.”

Ya, delapan kilometer. Ya, setengah jam. Tapi Bu Liza tidak menyebutkan apabila perjalanan ke Kilometer Nol menempuh jalan yang berliku, sepi, –tanpa ada petunjuk kapan jalan beraspal tersebut akan berujung– dan membutuhkan ketangkasan berkendara sepeda motor, terlebih dengan gas di tangan kanan, dan tongsis di tangan kiri.

Dua puluh lima menit pertama, mungkin saja menjadi pengalaman saya dengan sepeda motor yang paling mendebarkan saat itu.

“Jalannya hanya satu kok, jadi kamu gak akan nyasar.” Demikianlah nasihat terakhir yang saya dapatkan dari Ibu Liza. Setelah sempat takut dipalak di tengah jalan oleh segerombolan siswa STM yang cabut, sampailah saya di sebuah keramaian seusai menembus hutan gelap di kanan termasuk melewati sebuah tugu dan beberapa penanda jalan yang tampak tak menarik.

Warung Kilometer Nol

Warung-warung di Kilometer Nol

Saya memarkir motor pada sebuah lahan kosong setelah warung di pinggiran tebing yang telah dibangun pagar yang memisahkannya dengan laut di bawahnya, dan sempat sedikit kecewa bahwa ternyata keramaian yang saya lihat di situ adalah kumpulan manusia yang menanti matahari tenggelam, bukan menanti saya.

Di seberang saya, terdapat sebuah bangunan tinggi menjulang, dengan cat berwarna biru dan putih yang usang, dan beberapa perbaikan di sana sini. Nampak sebuah poster di samping tulisan “KILOMETER 0 INDONESIA” yang menyebutkan bahwa bangunan tersebut sedang direnovasi untuk nantinya akan dibangun Monumen Titik Nol Indonesia.

Kilometer 0 Indonesia

Kilometer 0 Indonesia (tas selempang oleh Fossil Urban Icon)

Penasaran akan apa yang ada pada bangunan tersebut, saya mulai mendaki anak tangganya dan menemukan sebuah prasasti kecil di sana. Sebuah prasasti yang bertuliskan “Penentuan posisi geografis tugu kilometer 0 Indonesia di Sabang ini diukur oleh para pakar BPP Teknologi dengan menerapkan teknologi satelit Global Positioning System (GPS)”. Di bawahnya, tertera tanda tangan Menristek legendaris Indonesia Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie (B.J. stands for Bacharuddin Jusuf, just in case you have dirty mind) sementara di baliknya memaparkan posisi geografis Kilometer Nol Indonesia tersebut.

Letak Geografis Kilometer 0

Letak Geografis Kilometer Nol

Berikutnya, saya bergabung bersama para manusia tadi, menantikan sunset. Secara sekilas, terdapat dua jenis manusia di sana, yaitu yang berpasangan dan saya. Sedari SD saya mendapat pelajaran bahwa matahari selalu terbit dari timur dan tenggelam di barat, kecuali Matahari Department Store. Dan menyaksikan matahari tenggelam di titik paling barat Indonesia, adalah sebuah keindahan sendiri yang tak dapat diungkapkan dengan bahkan dengan kata-kata Mario Teguh sekalipun.

Bulatan sempurna sang surya, perlahan turun dengan menyisakan pendar keemasan di langit. Sunset yang membuat saya tak mau beranjak dari situ, namun gigitan seekor nyamuk yang datang bersama segerombolan kawannya menyadarkan saya untuk segera kembali ke penginapan.

Sunset di Kilometer 0

Sunset di Kilometer Nol

Brown, sang babi hutan penunggu kilometer Nol sempat muncul ketika saya hendak pergi. Untuk saat itu, terjawab sudah separuh rasa penasaran saya tentang adanya tugu kembar di ujung Indonesia. Berikutnya, tinggal pergi ke Merauke.

Tentunya setelah saya berhasil kabur dari gigitan nyamuk-nyamuk buas di Kilometer Nol Sabang ini, dan sukses mengendarai motor seorang diri menembus gelapnya malam tanpa lampu jalan di Pulau Weh.

Merauke, 18 Oktober 2014

Saya yang seorang karyawan, praktis hanya mempunyai waktu akhir pekan untuk berlibur karena cuti saya yang sudah menipis. Dan tepat satu minggu setelah berhasil lolos dari siswa STM dan gigitan nyamuk di Sabang, saya kembali pada perjalanan menuju sebuah daerah di ujung timur Indonesia bernama Merauke. Masih dengan misi yang sama, membuktikan keberadaan legenda tugu kembar yang berada di Sabang dan Merauke.

Beruntungnya saya, karena memiliki kawan sekampung yang saat ini tinggal di Merauke, bernama Mas Wiwid. Dan lebih beruntung lagi karena kebetulan dia sedang LDR dengan anak dan istrinya tidak ada acara pada hari Sabtu yang terik tersebut, maka jadilah saya diantarkan Mas Wiwid menuju Sota, titik perbatasan antara Indonesia dan Papua New Guinea, yang diyakini merupakan titik nol Indonesia di ujung timur.

“Langsung ke Sota kah?” Tanya Mas Wiwid ketika menjemput saya di bandar udara Mopah. “Gak capek kah?”

“Enggak Mas.” Jawab saya, yang memang sudah tidur pulas sepanjang perjalanan enam jam lebih dari Jakarta. “Tadi sudah tidur lama di pesawat.”

“Oke, kalau begitu langsung saja ya!”

Jalan menuju Sota

Jalan menuju Sota

Yang menarik dari perjalanan menuju Sota, selain jalannya yang sudah mulus, adalah jalur yang sekaligus melewati Taman Nasional Wasur, yang menyajikan pemandangan-pemandangan menarik sepanjang perjalanan, yang membuat saya tidak jemu memandang ke luar jendela. Yang paling spektakuler tentu saja adalah musamus, atau rumah semut raksasa yang banyak terdapat di kanan kiri jalan. Selain itu juga ada beraneka flora dan fauna, serta danau-danau cantik yang turut menghiasi perjalanan.

“Ini jalannya sudah bagus.” Ucap Mas Wiwid beberapa kilometer sebelum tiba di Sota “Dulu, ke Sota bisa dua jam lebih.”

“Wah, keren juga ya.” Gumam saya, sambil berharap bahwa Kementerian Pariwisata Indonesia dapat lebih memajukan wisata Indonesia khususnya di wilayah Indonesia timur.

“Nah ini kita sebentar lagi sampai.” Mas Wiwid berkata sambil membelokkan mobilnya ke arah kanan pertigaan di mana di tengahnya terdapat sebuah tugu yang tampak tidak menarik, dengan beberapa orang berfoto di depannya. “Saya juga tidak tahu tugu apa itu, tapi banyak yang foto-foto di situ. Saya pun belum pernah foto di situ.”

“Oh.” Sahut saya singkat. “Langsung ke border saja kalau begitu, Mas.”

Pos Perbatasan Indonesia - PNG

Pos perbatasan Indonesia – Papua New Guinea

Untuk mencapai perbatasan, kami harus melapor terlebih dahulu ke pos perbatasan yang dijaga oleh Tentara Nasional Indonesia. Lantunan lagu dangdut terdengar membahana ketika kami mendekati pos tersebut, kemudian salah seorang tentara meminta kami untuk meninggalkan KTP sebelum masuk ke perbatasan.

Mas Wiwid menyerahkan KTP-nya kepada tentara tersebut sambil mengutarakan maksud berkunjung adalah untuk melihat perbatasan, “Dua KTP, Mas?” Saya bertanya, sambil mengeluarkan KTP dari dompet. Iya, saya sudah berusia lebih dari 17 tahun.

Mas-mas tentara tersebut menggeleng “Gak usah, satu saja cukup.” Oh, saya pikir sama prosedurnya ketika saya mengunjungi kantor Google Indonesia di Sentral Senayan, di mana tiap pengunjung harus meninggalkan KTP-nya masing-masing.

Usut punya usut, para tentara yang bertugas menjaga perbatasan ini bukanlah warga lokal, melainkan tentara yang berasal dari Kodam Siliwangi, Jawa Barat. Mereka nantinya akan dirotasi tiap beberapa bulan untuk bertugas lagi di tempat yang baru. Semua demi kesatuan Indonesia, tanah air kita, yang harus dijunjung tinggi.

Indonesia tanah airku
Aku berjanji padamu
Menjunjung tanah airku
Tanah airku Indonesia

Lepas dari pos perbatasan resmi, kami kembali menjumpai sebuah pos kecil, yang dijaga oleh seorang wanita setempat yang dari perawakannya saya menduga sudah berusia 70 tahun-an.

“Itu si Mama, kamu kasih sumbangan, seikhlasnya.” Pinta Mas Wiwid, yang saya ikuti dengan turun dari mobil, membuka dompet, dan meletakkan selembar uang (nominal tidak disebutkan, untuk menghindari riya. Naudzubillah min dzalik, padahal cuma ceban.) pada kotak yang tersedia.

Berikutna, Mama mengangkat palang yang menghalangi jalan, dan menyilakan kami masuk.

“Terima kasih, Mama!” Seru Mas Wiwid dari balik kemudi, sembari menyetir memasuki zona perbatasan. Di sini tak ada petugas perbatasan yang memeriksa paspor, karena memang kota terdekat di Papua New Guinea berada sekitar 20 kilometer jauhnya, di mana untuk mencapainya harus melewati hutan yang penuh binatang liar dari kumpulan yang terbuang.

Kemudian tepat di tempat yang dikatakan sebagai titik nol Merauke, saya terkesiap. Harapan yang saya bawa dari Sabang, seketika runtuh.

Perbatasan Indonesia - PNG

Titik perbatasan Indonesia – Papua New Guinea

Tak ada tulisan Kilometer Nol Indonesia, tak ada tugu yang tinggi menjulang, tak ada prasasti yang ditandatangani B.J. Habibie, dan juga tak ada poster penanda bahwa tugu kembar Merauke sedang direnovasi.

Sejauh mata memandang, hanya ada tugu kecil penanda perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea, hanya tembok semen bertuliskan “Bahasa Indonesia Penjaga Persatuan dan Kesatuan NKRI” dan hanya ada rumah semut yang tinggi menjulang, alih-alih tugu kilometer nol seperti di Sabang.

Lalu apanya yang kembar? Apakah legenda sepasang tugu kembar di ujung-ujung Indonesia hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur? Dengan langkah gontai, saya bertanya ke Mas Wiwid “Cuma ini saja Mas, tugunya?”

“Iya.” Jawabnya singkat.

Saya mengeluarkan handphone dari saku, dan menunjukkan beberapa foto yang telah saya unggah dengan simpelnya ke Google+ menggunakan tagar #WonderfulIndonesia dan #IndonesiaOnly. Foto-foto yang menunjukkan keperkasaan tugu kilometer nol yang terletak di Sabang, ujung barat Indonesia.

“Di sini tak ada yang seperti itu. Paling ada seperti itu.” Jawab Mas Wiwid sambil menunjuk sebuah bangunan berwujud salib raksasa, yang adalah sebuah kuburan.

Maksud hati menepuk jidat. Jidat Mas Wiwid. Tapi saya urungkan, karena takut kualat dan dikutuk menjadi tugu kilometer nol.

Dengan perasaan yang belum lega dan masih penuh tanda tanya, kami beranjak meninggalkan perbatasan, –setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih pada Mama penjaga batas, mengambil KTP di pos resmi perbatasan, dan salat di masjid setempat– menuju restoran yang berada beberapa meter di dekat pertigaan sebelum perbatasan.

Mangan opo Mas?” Tanya si pemilik warung pada saya yang nampak lapar dan gelisah. “Njupuk dewe segano yo.

(Terjemahan: “Mau makan apa Mas yang ganteng? Silakan ambil sendiri ya nasinya, ganteng.”)

Saya meraup beberapa centong nasi, memadukannya dengan sayur bayam dan ikan mujair setempat. Di Merauke dan sekitarnya, memang banyak sekali transmigran asal Pulau Jawa, sehingga bahasa Jawa merupakan bahasa yang sering terdengar di sini. Ah, the good point is, I don’t feel like an Englishman in New York.

“Nanti sehabis makan, aku mau motret tugu yang di pertigaan ya, Mas.” Pinta saya ke Mas Wiwid, yang kemudian pasrah mengiyakan.

Tugu kembaran Sabang Merauke

Tugu tak menarik di pertigaan sebelum perbatasan

Dengan perut penuh dan kamera yang dikalungkan, saya bergerak menuju tugu yang tegap berdiri di bawah sang burung garuda, dengan Mas Wiwid berada di belakang saya. Sungguh nampak tak menarik tugunya. Bangunannya kotor penuh bercak tanah di sana sini, sementara coretan ikut menghiasi pualam yang ditempelkan simetris di tugu tersebut. Benar juga keheranan Mas Wiwid bahwa mengapa banyak orang yang berfoto di sini. Aneh.

Saya mendekatinya, dan mencoba membaca tulisan yang terpatri pada pualamnya. Cat warna emas yang hampir pudar, ditambah coretan cat biru membuat saya harus membelalakkan mata untuk membaca tulisannya lebih jelas. Bunyinya: “Dengan Rahmat Tuhan YME, Tugu Kembaran Sabang Merauke, diresmikan oleh Bupati KDH TK II Merauke, R Soekardjo.”.

Seketika saya lemas. Ternyata tugu megah yang saya lihat di Sabang, bukanlah tugu kembar yang saya cari. Pikiran saya kemudian membawa saya kembali ke Sabang seminggu yang lalu, ketika saya sedang berkendara dengan sepeda motor menuju titik kilometer nol, dan melewati sebuah tugu yang nampak tak menarik.