Saya menggapai ponsel yang terletak di lantai dan mematikan alarm yang berbunyi nyaring. Sudah pukul 05:30 pagi, yang berarti setengah jam sebelum Sigofi Ngolo dijadwalkan berlangsung. Bergegas saya menuju kamar mandi, meninggalkan Mas Yudas yang masih terlelap di ranjang yang sama akibat pertempuran semalam, sementara rintik hujan masih terdengar garang dari luar homestay yang kami tempati.

Setelah siap, saya menuju teras homestay, menunggu bus yang biasa digunakan untuk menjemput tim media Festival Teluk Jailolo. Langit masih gelap, dengan gerimis yang tak kunjung reda. “Belum ada kabar.” Ujar salah satu rekan media lain yang tinggal satu atap bersama saya tanpa ikatan pernikahan.

“Jadi kita menunggu kabar nih?” Sahut saya sebelum kembali ke kamar. Entah mengapa, paduan hawa dingin dan hujan pagi hari, selalu membuat kasur menjadi lebih cantik dari biasanya. Dan saya merebahkan badan, berniat hanya meluruskan punggung yang penat setelah peristiwa mengejar sunset yang gagal hari kemarin, dan hasilnya saya sukses, tertidur pulas.

Pukul 07:30, saya terbangun. Dengan pendangan yang masih kabur, saya meraba-raba sekitar, dan menemukan Mas Yudas yang sama-sama tertidur. Sial, jangan-jangan kita berdua sama-sama sudah ditinggal bus. Kembali dengan tergesa saya menuju teras, kali ini hujan sudah berhenti, menyisakan tanah yang basah. Namun sepertinya tak ada waktu untuk menikmati aromanya.

“Acaranya diundur, Mas.” Celetuk rekan media yang duduk di ruang tamu. “Ini kita lagi nunggu bus.”.

Oh, syukurlah. Ternyata late birds still get the worms.

Persiapan Sigofi Ngolo

Kora-kora Sigofi Ngolo

Belasan perahu yang telah dihias, atau yang dalam bahasa setempat disebut sebagai kora-kora, sudah bersiap berangkat ketika saya dan rombongan media Festival Teluk Jailolo tiba di lokasi keberangkatan Sigofi Ngolo. Berdasarkan informasi yang saya kutip dari sini, kora-kora tersebut berasal dari daerah-daerah yang mengakui kedaulatan Kesultanan Jailolo. Menurut kepala Dinas Pariwisata Halmahera Barat Fenny Kita, pada zaman dahulu saat Raja Jailolo meninggal, daerah-daerah yang dahulu menjadi kekuasaan Kesultanan Jailolo menjadi pecah. Namun, setelah Sultan Jailolo kembali kedatuannya pada tahun 2003, daerah-daerah yang dahulu memisah, kembali bergabung secara adat.

Terlihat juga penduduk setempat yang tampak antusias mengikuti festival ini dengan pakaian adatnya. Namun tak berapa lama, hujan turun lagi.

“Ini hujan baru akan berhenti kalau Sultan datang.” Celetuk salah seorang warga lokal kepada saya, yang sibuk bersembunyi di balik jas hujan. Oke, kemarin hujan berhenti setelah merebus batu, dan sekarang katanya hujan akan berhenti jika Sang Sultan datang. Baiklah.

Sekitar pukul sembilan, sebuah mobil Mitsubishi Strada masuk ke halaman dermaga, dengan beberapa orang bertugas sebagai pembuka jalan. Seorang pria yang nampak sudah sepuh turun dari mobil dengan dibantu beberapa orang, dan langsung dinaikkan ke atas salah satu kora-kora berkelambu dengan bendera di kiri kanannya. Hujan sudah reda ketika sang pria menempati tempat duduknya di atas perahu. Dialah Sang Sultan Jailolo yang dinantikan kehadirannya.

Saya segera melompat ke salah satu kora-kora yang ada, dan Sigofi Ngolo pun dimulai.

Sigofi Ngolo, merupakan ritual bersih laut yang diadakan di Teluk Jailolo. Bersih laut di sini bukanlah membersihkan laut secara literally dengan menggunakan sapu, pel, dan vacuum cleaner melainkan membersihkan laut dari segala niatan buruk dan sampah-sampah batiniah yang bersemayam dari dalam diri manusia.

Melalui ritual ini, masyarakat adat di Jailolo ingin menunjukkan bahwa alam wajib dijaga dan hati manusia perlu dibersihkan sehingga nantinya dapat tercipta harmoni antara manusia dengan alam sekitarnya. (Source: Kompas)

Sigofi Ngolo

Sigofi Ngolo dimulai!

Sigofi Ngolo

Kora-kora Sultan Jailolo

Acara dimulai dengan satu persatu kora-kora meninggalkan teluk dengan kora-kora sultan di tengah-tengahnya, tujuannya kali ini adalah sebuah pulau kecil di Teluk Jailolo yang bernama Pulau Babua. Pulau ini dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah Sultan Jailolo sebelumnya yang meninggal di sini, karena pertikaian dengan Sultan Ternate yang bekerja sama dengan Spanyol.

Kesultanan Jailolo sempat kosong selama bertahun-tahun, sementara beberapa ahli sejarah masih mencari-cari siapakah penerus Kesultanan Jailolo yang sah. Hingga pada akhirnya, ditemukanlah pemegang garis keturunan sultan tersebut –yang akhirnya menjadi Sultan Jailolo yang sekarang, di Solo.

Jailolo – Sigofi Ngolo – Solo. See the connection? No? They’re rhymed, you know.

Pulau Babua Sigofi Ngolo

Pulau Babua

Kurang lebih tiga puluh menit sejak meninggalkan teluk, kami pun tiba di Pulau Babua, dan terkejut ketika mendapati ada sebuah perahu yang telah tiba lebih dulu di sana, perahu yang telah mendaratkan jangkarnya, perahu yang berisikan beberapa orang berpakaian hitam –atau lebih tepatnya disebut wetsuit, untuk menyelam.

Duh!

Another rule in diving, besides don’t dive alone, be a smart diver.


Bunyi gong dan tifa semakin bertalu-talu, mengiringi kedatangan kora-kora sultan dan kepergian perahu para penyelam di Pulau Babua. Lantunan ayat-ayat suci Al-Quran dan salawat semakin nyaring didendangkan sang kapitan dari arah kora-kora sultan melalui pengeras suara. Dan perlahan, semua kora-kora mulai berputar mengelilingi Pulau Babua sambil menaburkan sesajian ke laut, sebanyak tiga putaran.

Karena Allah menyukai sesuatu yang ganjil, so don’t be sad if you’re still single.

Pulau Babua Sigofi Ngolo

Ritual mengelilingi Pulau Babua sebanyak 3 kali.

Puncak dari ritual Sigofi Ngolo tersebut adalah doa bersama di tengah laut yang dipimpin oleh pemuka agama dari Kedatuan Kesultanan Jailolo. Walaupun tak mendengar dengan jelas ayat-ayat suci yang dilafalkan, sebagai traveler syariah saya wajib mengaminkan dalam hati, karena siapa tahu dalam doa-doa yang panjang tersebut, tersangkut doa singkat pemanggil jodoh.

Berikutnya satu-persatu kora-kora kembali ke dermaga dengan gerakan zig-zag, sebagai penutup ritual Sigofi Ngolo ini. Sebagai informasi, ritual ini juga dimaknakan sebagai pembuka Fetival Teluk Jailolo yang akan berlangsung selama tiga hari, dan supaya berlangsung dengan lancar, warga setempat meminta izin kepada alam terlebih dahulu melalui Sigofi Ngolo.

Sesampainya di darat, warga yang tidak ikut serta ke tengah laut dalam prosesi ini, telah berdesakan menanti kedatangan kembali sultannya. Teriakan riuh mengiringi, selayaknya ELF yang menanti kemunculan personil Super Junior idolanya.

Saya yang penasaran akan wajah Sang Sultan pun meminta izin untuk menaiki kapal sultan yang telah merapat, supaya dapat mengabadikannya dalam gambar. Dan berikut ini adalah foto Sang Sultan Jailolo, lengkap dengan istri, pengawal, dan kacamata hitamnya yang trendi.

Sultan Jailolo

Sultan Jailolo beserta Ibu Sultan.

Sebelum kembali ke Jakarta, saya menyempatkan diri menjelajahi Ternate sambil menunggu jam keberangkatan yang dijadwalkan akan delay hari itu. Sepanjang city tour dengan mobil sewaan yang dikemudikan Bang Ical, saya sempat bertanya kepadanya tentang cerita Sultan Jailolo yang terdahulu, dan dia berkomentar: “Ah, tidak benar itu. Kan Sultan Jailolo dan Sultan Ternate bersaudara, masa bunuh-bunuhan.”.

Ah sudahlah, mungkin memang beberapa cerita sejarah sebaiknya tetap menjadi misteri hingga saat ini.