Setelah kurang lebih enam jam terombang-ambing dalam feri –termasuk transit di Pulau Labuan guna menjalani pengecekan imigrasi, tibalah kami di Dermaga Serasa. Di sini, seharusnya kami masih harus menjalani proses imigrasi kedatangan di Brunei Darussalam. Namun apa yang kami (maksud saya Mama) lakukan adalah, berfoto (saya yang memfoto) dahulu setelah turun dari feri, menuju imigrasi, dan kemudian berfoto kembali di bawah plang “Welcome to Brunei”.

Salah seorang kawan saya, Eki si Backpacker Batak, pernah mengatakan bahwa “Begitu turun feri, langsung lah kau cari itu busnya yang ke kota.” yang saya timpali dengan nada setuju “Jangan sampai telat kau, itu busnya cuma ada sekali.”

Bodat!

Saking asyiknya foto-foto (bergantian, Mama yang memfoto saya), satu-satunya bus yang terlihat dari pintu keluar dermaga pun sudah berjalan tanpa dosa, meninggalkan kami yang berjalan dalam slow motion. Tak adegan sinetron, di mana kami harus berteriak sambil menangis, “Kamu tega Mas Bram, meninggalkan anak dan istrimu di sini!”, yang ada hanyalah penyesalan, mengapa kami lebih memilih foto-foto berdua, dibanding mengajak petugas imigrasi untuk foto bersama.

Dan di saat itulah muncul seorang lelaki berwajah sangar.

Mister X si Pengemudi Taksi Gelap

“Taksi?” Seorang pria mendekati kami. Tubuhnya tidak tinggi –sedikit lebih pendek dari saya dan lebih gempal, perutnya buncit, dengan beberapa kancing kemeja bagian atasnya dibiarkan terbuka. Sedikit bulu dada menyembul dari sela-sela kaus dalamnya, memperkuat kesan sangar yang muncul dari kulit gelap dan codet di pipinya. “Ke kota.” Tambahnya lagi.

Saya memalingkan muka, pura-pura tidak mendengar, padahal takut. Bagaimana jika dia bukan orang baik-baik, kan jadi tidak bisa ditolak dengan kalimat “Maaf, kamu terlalu baik buat aku, Mas.”.

“Sudah tak ada bus ke kota.” Jelasnya dengan logat Melayu yang kental. “Yang tadi itu bus terakhir.”.

Kami tak mengacuhkannya, dan sambil berdiskusi dalam bisikan, Mama menyarankan supaya saya bertanya ke petugas dermaga mengenai cara lain ke kota, Bandar Seri Begawan.

“Naik bus.” Jawab si petugas tegas. “Tapi sudah tidak ada lagi.”

“Lalu, ada lagi kapan?” Cerocos saya, tanpa mempedulikan Mister X yang menguntit kami terus.

“Dua jam lagi.”

Bodat!

“Jadi gimana, mau pakai taksi?” Goda Mister X, dengan suara gemulai, mirip Mongol si stand-up comedian.

Setelah berdiskusi sejenak, akhirnya kami menyepakati harga yang ditawarkan Mister X (karena tak ada pilihan lain dengan waktu yang terbatas), yaitu 25 Dollar –atau sepuluh kali lipat lebih dari tarif bus– untuk perjalanan 27 kilometer ke Jubilee Hotel, tempat kami menginap di Bandar Seri Begawan. Saat itu (Juni 2013), kurs untuk 1 Dollar Brunei adalah setara dengan 8.000 Rupiah.

Mister X membawa kami ke tempatnya memarkir mobil, yang ternyata berada di luar komplek dermaga. Dia menunjuk ke sebuah mobil, Toyota Vios yang belum genap berusia lima tahun. Saya membuka pintu belakang untuk Mama, yang langsung dihardiknya dengan “Satu duduk depan!”. Dia beralasan bahwa ini adalah mobil pribadi, bukanlah taksi. Jadi tidak sopan apabila semua duduk di belakang.

And I was like “HELLOOOOWW!”

Berikutnya, kami menghabiskan setengah jam perjalanan dalam sepi.

Taksi ke BSB

Perjalanan ke BSB, Bandar Seri Begawan, bukan Bukit Semarang Baru. Sepi.

Yanti si Penjual Soto Brunei

Setelah menunaikan ibadah Salat Maghrib di Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin (ingat, blog ini adalah blog syariah), kami (saya dan Mama, bukan saya dan Mister X yang bergandengan tangan. -red) bergegas menuju mall terbesar yang kami lihat di Bandar Seri Begawan. Sebuah mall yang terletak dalam komplek Yayasan Sultan Haji Hassanal Bolkiah.

Walaupun dikatakan mall terbesar, namun bentuknya tidak terlihat seperti mall –lebih mirip seperti rumah adat raksasa–, dan bahkan Matahari Simpang Lima Semarang saja masih lebih megah dari mall ini. Tak disangka perjalanan feri dari Kinabalu – Labuan – Brunei ditambah walking tour di sore hari telah membuat kami lapar, sehingga tujuan pertama kami adalah mencari makanan khas di Bandar Seri Begawan.

Kami memasuki food court yang jauh dari kata ramai, yang bahkan jumlah pedagang dan pembelinya pun hampir sama. Setelah berjalan dari ujung ke ujung dan menyelisik kanan kiri, saya memutuskan untuk duduk pada sebuah bangku kosong di sebuah gerai bertuliskan Soto Brunei. “Wah, Soto Brunei, pasti makanan khas sini.” Batin saya.

Saya memesan soto spesial kepada penjaga gerai tersebut, seorang wanita –yang saya taksir– berusia 30 tahun-an, berjilbab, dengan kaus lengan pendek, khas mbak-mbak negeri jiran.

Soto Brunei

Soto Brunei

“Dari mana asalnya?” Tanya mbak penjaga gerai kepada kami, sembari menyiapkan pesanan.

Mama menjawab sambil pura-pura tidak lapar “Dari Indonesia.” sementara saya yang dari tadi melihat-lihat pajangan daging di etalase sudah benar-benar lapar.

Waaaahhhhh!” Seru si mbak. “Indonesianya mana? Saya juga dari Indonesia.”

“Dari Semarang.” Jawab saya.

Waaaahhhhh!” Seru si mbak. “Semarangnya mana? Saya juga dari Semarang.”

“Ungaran, Mbak.” Jawab Mama.

Waaaahhhhh!” Seru si mbak lagi, untuk ketiga kalinya “Jebule tonggo dewe, aku seko Salatiga.”

Whoa! Kali ini giliran saya yang kaget. Kami sudah menempuh perjalanan ribuan kilometer dengan pesawat, feri, dan taksi jahanam, menembus dua negara, dan ternyata masih bertemu orang Salatiga, yang letaknya bersebelahan dengan Ungaran di peta dunia.

Berikutnya saya bertanya bagaimana asal-usul Mbak Yanti (demikian dia memperkenalkan dirinya) bisa sampai di Brunei. Dan dia bercerita bahwa dia dahulu berpacaran dengan pria setempat, sebelum diajak menikah. Setelah menikah, dia dimodali sebuah kios soto untuk mencari penghasilan.

“Lebaran gak balik, Mbak?” Tanya saya.

Walah, aku sejak nikah 14 tahun lalu, baru balik sekali.” Jawabnya. “Itu juga tujuh tahun lalu.”

Pasti betah di sini ya, gumam saya. “Emang kalau di sini berapa penghasilannya, Mbak?”

“Gak banyak, kok.” Dia menghentikan ucapannya. “Paling 1.200 Dollar sebulan.”

Glek!

Soto Brunei

Soto Brunei spesial Mbak Yanti

Tak lama kemudian, semangkuk Soto Brunei pun tersaji di hadapan saya, lengkap dengan suwiran ayam, potongan babat, irisan daging, dan belahan telur di tengah-tengah mangkuk. “Iki tak imbohi, wong tonggo dewe.”

“Wah, piro iki Mbak?”

Wes 3 Dollar wae.” Jawabnya, tanpa melupakan bahasa ibunya. “Asline 5,5 Dollar.”

Tim Hanan & Takashi Iwatani yang Sedang Berada di Brunei

Salah satu keuntungan menginap di Jubilee Hotel –selain rate yang terjangkau dibandingkan hotel lainnya dan fasilitas free wifi, adalah adanya free city tour yang digelar tiap harinyaDan pagi itu, adalah giliran kami untuk menikmati jalan-jalan keliling Bandar Seri Begawan selama satu jam dengan gratis.

Setelah menunggu di restoran hotel yang mirip sebuah kapel, resepsionis memanggil kami, dan mengatakan bahwa mobil city tour telah siap. Di dalam sebuah van yang dikemudikan oleh seorang warga lokal berkulit gelap, telah duduk seorang pria bule bertubuh gemuk dan seorang pria Asia bertubuh ramping pada jok tengah, sehingga saya dan Mama pun memilih untuk melewati mereka dan duduk di jok belakang.

Punten, numpang lewat.

Menerapkan prinsip tak kenal maka tak sayang, maka kami pun berkenalan. Si gemuk memperkenalkan dirinya sebagai Tim Hanan, seorang Australia yang sedang kuliah di Jerman, dan berlibur di Brunei; si kecil memperkenalkan dirinya sebagai Takashi Iwatani, seorang Jepang yang sedang melakukan penelitian di Brunei; sementara si supir tetap konsentrasi mengendali mobil supaya baik jalannya.

Dan tujuan pertama kami adalah Istana Nurul Iman, atau tepatnya hanya sampai pintu gerbang Istana Nurul Iman karena pelancong tidak diperkenankan masuk istana tempat tinggal sultan tanpa adanya izin khusus.

Istana Nurul Iman

Mamacation di Istana Nurul Iman

Lima menit kemudian, supir memanggil kami masuk ke dalam van. Maklum, namanya juga city tour singkat, jadi semuanya serba tergesa. Destinasi berikutnya adalah sebuah danau yang tersambung dengan Sungai Brunei yang besar, sebelum menuju destinasi terakhir yaitu Masjid Jame Asr Hassanil Bolkiah yang indah.

Pada kesempatan tersebut saya menyempatkan diri mengobrol dengan Kawatani, mengenai impresinya terhadap Brunei. Dan dia bercerita tentang perjalanannya menggunakan taksi menuju hotel. Bukan, bukan pengalaman kurang menyenangkan seperti yang saya alami, namun tentang mobil-mobil di Brunei.

Berawal dari kegelisahan Kawatani melihat rumah-rumah di Brunei yang kebanyakan berbentuk rumah panggung, dengan halaman yang luas di mana pada lantai dasarnya terdapat garasi yang memuat banyak mobil. Maka dia pun bertanya pada si supir taksi “Punya mobil berapa di rumah?”

Si supir taksi dengan kalemnya menjawab “Sepuluh mobil.” Sebuah jumlah yang fantastis untuk seorang supir taksi. Dan lebih lanjut dia mengatakan bahwa semua mobil tersebut dibelinya secara tunai, tidak kredit.

Wow! “Memang pekerjaan sebelum jadi supir taksi apa?” Lanjut Kawatani.

“Saya pensiunan PNS.” Jawabnya.

Danau Brunei

Tim, Mama, Kawatani, Kawaiii.

Di akhir perjalanan singkat penuh kesan tersebut, kami saling bertukar alamat surel dan janji akan tetap keep contact walaupun jarak memisahkan. “Just let me know if you’re in Germany.” Pungkas Tim.

Ashri si Pengendali Perahu

Alkisah, terdapat sebuah perkampungan yang didirikan di atas Sungai Brunei, di mana untuk mencapai kampung tersebut kita harus menggunakan perahu. Namanya adalah Kampung Ayer, tempat penduduk asli Brunei menetap dan melakukan aktivitasnya sehari-hari. Dan di sinilah kisah Brunei berasal, bukan dari rumah tingkat dengan halaman yang luas dan mobil-mobil yang berjejer di halaman.

Demikianlah penuturan Ashri, pengendali perahu yang kami sewa untuk mengantar kami mengelilingi Kampung Ayer dan menyusuri Sungai Brunei. Awalnya dia meminta tarif 20 Dollar untuk perjalanan selama dua jam, namun akibat waktu kami yang tak banyak, maka Mama pun menawarnya menjadi 10 Dollar untuk perjalanan sekitar satu jam.

Perjalanan tersebut juga membawa kami pada sebuah batu (atau gundukan tanah) di tengah sungai yang dipercaya oleh warga setempat sebagai batu Nakhoda Manis. Ceritanya, dahulu ada seorang nakhoda yang durhaka terhadap ibunya, lalu kualat dan mengakibatkan kapalnya terbalik sebelum akhirnya berubah menjadi batu di tengah sungai.

Pesan moralnya, apabila tak ingin berubah menjadi batu, maka ajaklah Mama kamu jalan-jalan.

Perahu Kampung Ayer

Bersama Ashri. pengendali perahu di Kampung Ayer.

Ashri –pada saat saya berkunjung ke sana, sudah berumur 24 tahun, sedikit lebih muda dari saya, namun lebih dewasa karena pengalaman dan kehidupannya. Profesinya sebagai tukang perahu (untuk mengantarkan turis, atau menyeberangkan warga lokal) telah dijalaninya sejak dia berhenti sekolah beberapa tahun silam, semua demi menghidupi istri dan anaknya yang berjumlah tiga biji.

Perahu yang kami gunakan, dibelinya seharga 2.000 Dollar belum termasuk motornya, dengan asumsi akan balik modal selama beberapa tahun apabila dia memasang tarif sebesar 10-20 Dollar tiap mengantarkan turis berwisata. Rumah-rumah di Kampung Ayer kebanyakan adalah rumah kayu sederhana, dengan beberapa fasilitas yang pas-pasan seperti sekolah dan masjid, walaupun kemudian telah dibangun beberapa perumahan beton di atas air.

“Penduduk sini ada yang punya mobil?” Tanya Mama penasaran.

“Ada.” jawab Ashri sambil menunjuk ke tepian sungai tempat mobil-mobil tersebut diparkir.

Oh. Jadi mobil-mobil yang kami lihat semalam di pinggir jalan ternyata adalah milik para penduduk Kampung Ayer. Ashri menambahkan, bahwa mobil-mobil tersebut adalah milik para pekerja kantoran, atau para penduduk Kampung Ayer yang mampu.

Seusai perjalanan, saya memberikan selembar 10 Dollar kepada Ashri, yang diterimanya dengan wajah sumringah. “Terima kasih.” Ujarnya. Mungkin bagi Ashri yang menggantungkan hidupnya pada sebuah perahu kayu, 10 Dollar adalah harapan untuk tetap hidup, walaupun mungkin bagi sebagian besar pendatang di Brunei, jumlah tersebut hanyalah untuk makan dua mangkuk soto.

Assalamualaikum.” Ucapnya mengantar kepulangan kami.

Waalaikumsalam.”

“Semoga lekas menikah, Mas.”

Pak Haji Usman si Pensiunan Tentara

Sebelum meninggalkan Brunei, kami menyempatkan diri mampir ke Pasar Tamu Kianggeh, untuk melihat aktivitas penduduk lokal, walaupun tidak membeli apa-apa. Berikutnya kami bergegas kembali ke hotel untuk berkemas-kemas.

Karena transportasi umum di Brunei cukup susah, maka kami memutuskan untuk menggunakan jasa taksi dari hotel guna mengantarkan kami kembali ke dermaga. Kali ini, pengemudinya bernama Pak Haji Usman, yang biasa dipanggil Pak Haji. Pria yang sehari-hari mengemudi mobil Daihatsu Kancil ini dulunya adalah seorang tentara yang pensiun dini.

Loh, kok bisa?

Pak Haji menuturkan, bahwa di Brunei, tentara memakai sistem kontrak, bisa lima tahun atau sepuluh tahun. “Semuanya tergantung kecakapan dan kemampuan.” Ujar pria yang pensiun dini pada usia 38 tahun ini.

“Lalu bagaimana beda hidup dulu dengan sekarang?” Cerocos saya.

“Ya, sangat beda.” Ujarnya. “Dulu, saya biasa digaji 3.000 Dollar sebulan, dan bisa punya banyak mobil.”

Saya terdiam, melihat raut wajah Pak Haji. “Kalau sekarang?”

Pria yang hari itu mengenakan kemeja putih tersebut menjawab “Sekarang pas-pasan. Mobil saya sudah habis terjual.” Jelasnya. Pak Haji juga berceloteh bahwa penghasilan sebagai satpam yang hanya 800 Dollar sebulan sangat tidak cukup untuk menghidupi keluarganya. Kini dia terpaksa bekerja sebagai satpam di Hotel Jubilee dan terkadang menjadi “supir tembak” di saat sedang tidak bertugas sebagai satpam dengan tarif sebesar 25 Dollar untuk sekali jalan dari kota ke dermaga/sebaliknya.

Jalanan Brunei

Perjalanan ke Dermaga Serasa

Dalam perjalanan menuju pelabuhan, kami melewati sebidang tanah yang sedang dibangun komplek perumahan. Menariknya, perumahan tersebut adalah perumahan subsidi pemerintah, jelas Pak Haji. Yang membuatnya makin menarik adalah, cicilan per bulannya yang berkisar antara 80 hingga 100 Dollar, dan dapat dicicil seumur hidup hingga turun temurun!

Selain kemudahan cicilan perumahan, Kesultanan Brunei juga memberikan subsidi Bahan Bakar Minyak terendah di Asia Tenggara. Bayangkan saja, saat itu harga bahan bakar sekelas Pertamax di Brunei hanya dijual seharga 4.000 Rupiah per liternya!

Kala itu, saya iseng bertanya kepada Pak Haji mengenai peluang untuk mendapatkan pekerjaan di Brunei. Pria yang pernah mengunjungi Pontianak dengan menggunakan bus dari Bandar Seri Begawan ini menjawab “Semuanya tergantung kecakapan dan kepandaian kamu.”.

Hmm, enel uga amuh.

Nah, berminat untuk tinggal dan bekerja di Brunei?