Begitu menginjakkan kaki di Jailolo, saya dan rombongan media Festival Teluk Jailolo langsung digiring masuk ke dalam bus kecil milik Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Saya masih tak tahu akan dibawa ke mana –sambil berharap akan dibawa ke kost-kostan putri, hingga akhirnya bus tersebut berhenti pada pelataran sebuah bangunan besar yang nampak seperti sebuah gudang penyimpanan.

Berikutnya, kami dituntun ke sebuah rumah yang terdapat pada ujung gang. Sebuah rumah kayu dengan kolam-kolam yang surut dan pemandangan laut Halmahera di kejauhan yang dilengkapi beberapa ekor burung nuri yang bertengger pada rumahnya. “Ini rumah milik Ibu Fauziah.” Salah seorang pemandu menjelaskan. “Ini akan jadi basecamp kalian selama di Jailolo.” dan dia pun menujuk ke arah meja panjang tempat beberapa wadah makanan lokal disajikan.

“Ayo makan dulu.” Ajaknya. “Habis ini, kalian akan diantar ke homestay, sebelum kumpul lagi di area panggung festival siang nanti.”

Untuk makan lagi.

Gelar Kuliner Halmahera

Di area panggung, saya disambut oleh Kak Ria, yang membagikan lembaran voucher yang dapat ditukarkan ke booth-booth makanan tradisional yang tersedia. Bagai kucing diberi ikan asing, bagai om-om digoda ABG unyu gemetz, dan bagai anak kost-kostan yang jarang makan enak, saya menerima voucher tersebut dengan tangan terbuka, dan masih berharap keajaiban dapat mengubah voucher tersebut menjadi voucher MAP.

Gelar Kuliner Halmahera

Gelar Kuliner Halmahera

Gelar Kuliner Halmahera, merupakan ajang berkumpulnya berbagai elemen masyarakat setempat di sekitar Jailolo yang melibatkan 9 kecamatan dan menampilkan sebanyak 82 kuliner khas Halmahera Barat yang bergizi. Sajian kuliner yang disajikan di sini antara lain adalah Gohu Ikan (ikan mentah yang dipotong dadu dan dicampur dengan bumbu kenari, bawang, dan potongan cabai), Boko Boko (nasi ketan yang dibakar dalam bambu, dan dicampur dengan ikan, singkong, dan kelapa parut), juga pisang mulut bebek (khas Halmahera Barat) yang dimasak dengan santan.

This slideshow requires JavaScript.

“Rif, sudah ketemu Ramon, belum?” Tanya Dina, saat saya masih celingukan mencari apa yang bisa dimakan di sana.

Saya menggeleng “Belum.” Kemudian Dina mengarahkan saya ke arah seorang pria gempal berkaus sport biru dengan jambang, topi, dan kacamata hitam yang menghiasi wajahnya. Sebuah wajah yang sepertinya tak asing buat saya.

Atau mungkin, jangan-jangan kami adalah saudara jauh.

“Arif.” Saya menyodorkan tangan, memperkenalkan diri ke Ramon yang sedang menikmati sepiring gohu ikan dengan pisang mulut bebek.

Pria itu menghentikan aktivitasnya sejenak, menyalami tangan saya, dan mengucapkan namanya perlahan dengan mulut yang masih sibuk mengunyah. “Oh, iki Arif, Din.” Ucapnya ke Dina. “Ayo, mangan sek cuk.”.

“Siap cuk!” seru saya sambil mencomot sesendok gohu dari piringnya.

Sebelum kenyang mencicipi berbagai makanan, saya berhenti sesuai Sunnah Rasul, dan mencari minuman. Saya mencicipi sajian es bunga talang khas Jailolo yang dicampur dengan perasan jeruk, dan rasa segarnya langsung meniadakan pedasnya gohu yang saya makan tadi. Yang menarik dari minuman ini adalah warnanya yang berwarna ungu, yang membuat saya curiga jangan-jangan bahan dasar pembuatannya adalah tinta bekas pemilu.

Minuman khas lain yang disediakan di sini adalah saguer, hasil fermentasi cairan pohon enau yang ditempatkan dalam batang bambu, sebelum dituangkan dalam gelas-gelas kecil yang terbuat dari pohon kelapa. Rasanya? Lahaciya.

Invasi Maharasa

Beragam makanan telah menunggu untuk disajikan pada meja kayu panjang pada sebuah pondok di tengah hutan, sementara hujan deras masih menerpa Desa mangrove Gamtala petang itu. Saya mencoba mengeringkan pakaian dengan cara mendekati kompor tempat salah seorang kru Maharasa menyiapkan makan malam, sebelum berpindah lagi ke dekat lampu pijar yang tergantung di pondok kecil tersebut, namun gagal. Air tetesan hujan yang mengakibatkan gagalnya pencarian sunset di Jailolo tersebut, masih bersemayam dengan riang di tubuh saya, luar dalam.

Sembari menggigil, saya merasakan aroma masakan mulai menusuk hidung, tepatnya aroma kakap merah yang dibakar dengan olesan limau. Glek. Saya menelan ludah, juga air hujan.

Kakap Merah

Kakap Merah dari Tim Maharasa

Untuk mencapai pondok ini, saya bersama rombongan harus menyusuri hutan mangrove di sungai air panas Gamtala dan merelakan hujan deras membasahi perahu mungil yang tak berpenutup. Setelahnya, saya masih harus berjalan kaki beberapa meter melalui jembatan kayu, yang menghubungkan antara sungai dengan pondok. Sungguh sebuah perjuangan untuk merasakan citarasa masakan yang akan dihidangkan oleh Tim Maharasa.

Maharasa

Persiapan masakan oleh Tim Maharasa

Kedatangan Tim Maharasa di Jailolo ini juga bukan tanpa perjuangan. Dikisahkan, invasi mereka ke Jailolo adalah disebabkan sebuah kabar bahwa lumbung pangan Maluku ada di Jailolo, dan mereka ingin membuktikannya. Namun sayang, pada hari kedatangan mereka, hujan lebat menyambut mereka di Ternate, yang masih dilanjutkan dengan hujan badai di laut sepanjang perjalanan menggunakan kapal dari Ternate menuju Jailolo. Belum lagi kekecewaan ketika mendatangi Pasar Akediri di pusat kota, yang ternyata tidak menyajikan bahan baku pangan yang istimewa.

Namun semua berubah ketika mereka menyambangi hutan, dan menemukan pisang mulut bebek yang matang langsung dari pohonnya. Rasanya, luar biasa, komentar mereka. Belum lagi ketika menemukan pakis liar, buah kenari, daun kemangi lokal. hingga hutan sagu menjulang perkasa. Ternyata kekayaan pangan Jailolo ada di hutan.

Dan kunjungan mereka berlanjut ke kampung tempat suku-suku adat Jailolo, untuk mencicipi makanan adatnya. Dari Suku Sahu, Suku Tabaru, Suku Loloda, juga Suku Wayoli, Tim Maharasa mempelajari budaya setempat dan menemukan beberapa resep makanan yang menarik, yang kemudian dipadukan dengan resep modern yang telah dikenal umum. Hasilnya adalah, apa yang saya nikmati malam itu.

Di piring yang saya ambil –layaknya seseorang gak mau rugi (karena telah menyumbang) yang datang ke pesta perkawinan, bersemayam dengan damai pisang mulut bebek, ketela, perkedel, ikan bakar, sayur daun pepaya, dan beberapa jenis sambal yang dihidangkan oleh Tim Maharasa. Sajian yang diciptakan dengan memadukan bahan baku lokal dan resep-resep tradisional tersebut saya habiskan dalam hitungan detik, kurang lebihnya 600 detik.

Semuanya lezat, dan apabila ada kekurangan maka kekurangan tersebut adalah kurang banyak. Malam itu, kami mengusir dingin di badan dengan olahraga mulut dan perut. Sebuah malam bersama Maharasa yang tak terlupakan.

Chef Ragil

Saya bersama Chef Ragil dari Tim Maharasa

Oh iya, pada kesempatan itu, Chef Ragil dari Tim Maharasa juga menjelaskan mengenai karakteristik masakan yang dihidangkan, termasuk dengan bumbu yang digunakan, dan cara mengolahnya. Seorang chef yang jago masak, sungguh calon istri idaman.

Orom Sasadu

Malam hari berikutnya, saya bersama rombongan diculik ke sebuah rumah adat yang bernama sasadu. Di rumah seukuran lapangan badminton ini, telah tertata dengan rapi berbagai macam makanan khas Jailolo pada beberapa buah meja panjang yang ditempatkan mengelilingi rumah tersebut. Di tengah ruangan, terdapat alat musik tradisional (seperti gong dan gendang) yang akan dimainkan olah pria lokal, dan beberapa orang wanita lokal yang akan menari Dabi-dabi. Sebuah tarian yang digunakan untuk penyambutan ritual adat Orom Sasadu.

Orom Sasadu sendiri merupakan sebuah tradisi untuk merayakan hasil tanam, di mana warga masyarakat akan berbaur dengan pendatang –termasuk beberapa turis asing waktu itu, untuk makan malam bersama, dengan diiringi oleh musik dan tarian lokal. Warga lokal yang dapat hadir ke upacara ini harus sudah berumur 15 tahun, mengenakan calana panjang, dan tutup kepala. Konon, musik harus tetap berbunyi selama Orom Sasadu berlangsung, maka dari itu, musik pun dimainkan bergantian oleh pria-pria Jailolo.

Kala itu, saya mencoba nasi cala, yang dihidangkan dalam balutan kulit pisang hutan. Sementara untuk lauknya, saya menghajar ikan bakar rica dan kerang sungai rebus yang —surprisingly– sangat enak!  Di sela-sela makan, salah seorang warga lokal (berpeci) berkeliling dengan membawa seteko besar saguer untuk dibagikan ke para tamu yang hadir. Menurut mereka, saguer sangat cocok untuk dinikmati setelah makan, dan akan menambah seru obrolan yang tercipta di meja.

Saguer, apabila disuling lebih lanjut, akan menjadi Cap Tikus. Sebuah minuman lokal dengan kadar alkohol yang dapat mencapai 40% apabila diolah dengan tepat. Karena kadar alkoholnya inilah, orang tua selalu mengingatkan supaya dapat mengontrol diri ketika meminum Cap Tikus. Bahkan ada pameo setempat yang mengatakan: “Minum satu seloki Cap Tikus, cukup untuk menambah darah, dua seloki bisa masuk penjara, dan minum tiga seloki bakal ke neraka.”.

Mengapa dinamai Cap Tikus? Konon karena dahulu pembuatannya dilakukan di sela-sela pepohonan, tempat tikus hutan bermain hidup. Sebuah cerita tentang minuman beralkohol, dari tanah Jailolo, di mana sebagian besar penduduknya beragama Islam.