[RATING 17++ NOT SUITABLE FOR UNDERAGE READERS]

 

Hari telah berganti, saat bus malam yang membawa kami dari Matsumoto memasuki pekatnya malam Shinjuku. Keasyikan menikmati musim gugur di Toyama, telah membuat kami lupa waktu dan kehabisan bus sore yang menuju Tokyo. Saya segera turun dari bus, disusul Osa, dan Rico kemudian, meninggalkan sang supir bus yang sedang bekerja mengendali bus supaya baik jalannya.

Setelah mengambil barang-barang yang dititipkan dalam locker stasiun sehari sebelumnya, kami segera berkumpul di sebuah halte di sudut jalan. Faktor kelelahan setelah trekking di siang hari termasuk mencicipi onsen tertinggi di Jepang, membuat kami memutuskan untuk menggunakan taksi, dibandingkan berjalan kaki mencari alamat yang disebutkan dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama lima menit dari stasiun Shinjuku.

Sebuah taksi lewat, Toyota Crown tahun lama, namun penuh. Kami menunggu lagi.

Sebuah taksi lewat, Toyota Prius yang masih mengkilap. Sepertinya mahal, dan uang kami sudah menipis setelah mengunjungi Toyama. Kami menunggu lagi.

Sebuah taksi lewat. Nissan Cedric yang tak kelihatan baru, dan tak ada penumpang di dalamnya. Osa memberhentikan taksi tersebut, dan memberi tahu destinasi yang ingin kita tuju dalam Bahasa Inggris. Sebuah hotel yang bernama Shinjuku Green Plaza. Si supir taksi menatap kami bertiga dengan memicingkan sebelah matanya.

Shinjuku… Guriinn Praaaza?” Tanyanya, yang kami jawab dengan anggukan. Namun alih-alih membuka pintu dan membiarkan kami naik, si supir justru menunjuk ke sebuah lokasi yang terletak di belakangnya. “Wok!” Serunya, sambil membuat isyarat berjalan kaki dengan kedua jari tangannya.

Kami bengong, kehabisan kata-kata. Mungkin saja si supir taksi menolak kami karena kami orang asing, mungkin saja karena kami berkeringat dan bau, mungkin saja karena Shinjuku Green Plaza letaknya sangat dekat, dan mungkin juga kombinasi ketiganya.

Dengan muka kusut, dan rambut tak beraturan seperti Nicolas Saputra, kami menyeret kaki –dengan backpack seberat lebih dari 10 Kg di punggung, menuju arah yang ditunjukkan si supir taksi tadi. Kami adalah para lelaki tengah malam, yang tak tahu arah.

Sebuah bangunan yang tak mentereng, menyambut kami di sisi kanan jalan. Setelah sempat bertanya kepada beberapa orang tentang alamat ini, akhirnya kami menemukannya. Tulisan Shinjuku Green Plaza samar tertutup gelapnya malam, dan kiranya menyerupai hotel, bangunan ini lebih seperti ruko di kawasan Glodok. Jam tangan saya menunjukkan pukul satu dini hari, saat kami masuk ke dalam lift yang membawa kami ke ruang resepsionis berada. Ya, resepsionis untuk pria berada di lantai 4 (sedangkan untuk wanita di lantai 9 –mungkin ini yang disebut hotel syariah), sementara untuk mencapainya, kami harus menggunakan lift yang berada di basement. Turun dulu pakai tangga, sebelum naik lagi dengan lift. Aneh.

Pada isian pemesanan online, saya sempat mengatakan akan tiba sekitar pukul sepuluh malam. Dan nyatanya, justru saya baru masuk gedung pukul satu dini hari. Sempat khawatir apabila ternyata resepsionis telah tutup, namun saya justru mendapatkan hal yang mengejutkan ketika pintu lift terbuka.

Antrian para lelaki tengah malam.

Barisan para lelaki tengah malam.

Puluhan pria, mengular menuju meja resepsionis, semuanya nampak tertib dan tak saling serobot seperti wanita-wanita di midnight sale. Dari pakaian yang dikenakan, saya menduga bahwa pria-pria tersebut berasal dari berbagai kalangan. Ada yang mahasiswa, eksekutif muda, hingga orang asing yang berkeringat dan bau. Tak kurang dari setengah jam, sampailah saya di meja resepsionis. Sungguh, ini pengalaman terlama berjalan saya dari pintu hotel menuju meja resepsionis yang bisa dicatat oleh Jaya Suprana.

Saya memberikan lembar online pemesanan hotel yang telah saya print kepada si resepsionis yang cukup fasih berbahasa Inggris. Per kepala dihargai sekitar 400 ribu rupiah, untuk menginap selama satu malam di hotel kapsul ini. Dan bukannya memberikan kunci kamar, si resepsionis justru memberikan sebuah gelang magnetik bernomor. Andaikan berikutnya dia menyodorkan album berisi foto-foto wanita seksi, mungkin saya yang salah masuk ke Alexis.

This is my lucky number.

The lucky number, not mine.

Berikutnya, resepsionis menjelaskan prosedur umum yang berlaku termasuk menunjukkan lantai-lantai yang memiliki fungsinya sendiri. Dia juga sempat menunjukkan promosi paket film porno yang bisa diputar di televisi ruangan kami, namanya paket dewasa, seharga kurang dari 100 ribu rupiah. Saya yang syariah tentu saja tak tergoda, saat itu.

Hotel Kapsul, adalah salah satu pilihan menginap di Jepang. Lokasi hotel ini biasanya terletak di dekat stasiun, karena mempunyai fungsi untuk menampung para pekerja yang kehabisan kereta terakhir menuju rumah dan sayang mengeluarkan uang untuk ongkos taksi, juga melindungi para pria yang sedang kabur karena istrinya PMS. Hotel ini juga menyediakan perlengkapan untuk mengantor, mulai dari kemeja berdasi, pakaian dalam, hingga kaus kaki; sehingga pekerja-pekerja tersebut tidak perlu pulang dulu ke rumah keesokan harinya. Salah satu aturan yang berlaku di sini adalah, dilarang mengenakan alas kaki dalam hotel, dan harus dititipkan ke kotak yang telah tersedia. Fasilitas yang disediakan di hotel ini juga cukup lengkap seperti ruangan internet, restoran, hingga vending machine yang menjual macam-macam barang.

Setelah meletakkan tas punggung ke dalam locker —termasuk berganti pakaian dengan kimono yang tersedia, kami naik selantai menuju ruangan kapsul yang akan menjadi tempat bermalam kami.

Which one is mine?

Which one is mine?

Sebuah lorong sempit dengan lebar sekitar satu meter telah menunggu, di mana pada kanan kiri kami terdapat puluhan kapsul yang tersusun dua tingkat. Masing-masing kapsul memiliki nomor yang sesuai dengan nomor pada gelang. Kapsul saya, terletak pada bagian atas sedangkan Osa dan Rico mendapat kapsul di kanan dan kiri saya.

Saya memanjat dan merangkak masuk ke dalam kapsul, dan merasa beruntung bahwa saya memiliki badan yang singset, sehingga kapsul tersebut masih cukup lapang untuk saya tempati. Jika dideskripsikan, kapsul tersebut memiliki panjang sekitar 180 cm, dengan lebar dan tinggi sekitar 90 cm dengan sebuah tirai terletak di pintu kapsul untuk alasan privasi dan keamanan.

Walaupun ukurannya hanya sebesar peti mati, namun fasilitas yang tersedia di dalam kapsul cukup lengkap. Sudah ada bantal, selimut, dan seprai walaupun tanpa Teddy Bear yang bisa dipeluk di dalamnya. Sementara untuk fasilitas elektronik telah tersedia AC, radio, alarm, colokan listrik, juga televisi yang memutar program normal, seperti sepakbola dan sinetron.

“Yuk, mandi yuk!” Ajak saya ke Osa, sementara Rico masih membereskan barang-barangnya. Berikutnya, kami naik satu lantai lagi, melalui tangga darurat dan tidak menemukan adanya kamar mandi privat di sana. DAMN.

Kamar mandi yang tersedia di hotel ini adalah berwujud onsen, sama seperti ketika kami ke Toyama dan Osaka (baca pengalaman kami mencicipi onsen di sini), yang mengharuskan semua pria untuk mandi bersama-sama tanpa sehelai benang pun! Hanjis, pengalaman menonton biji-biji berwarna merah jambu akan terulang kembali di sini.

Dengan penuh percaya diri, saya melepas semua busana yang melekat, mengambil sebuah handuk kecil untuk menutupi Kevin (namun gagal), dan berjalan ke arah onsen untuk berbaur dengan para lelaki tengah malam di sana. Sungguh, rasanya nyaman sekali ketika setelah beraktivitas seharian, kita berendam di onsen yang memiliki banyak mineral –dan telur rebus berbulu– di dalamnya.

DSCN9072

After bath (diperankan oleh model)

Setelah mandi, mengeringkan badan, dan memakai kimono yang disediakan, kami berkeliling ke satu lantai di atasnya lagi yang dikatakan adalah restoran. Saat itu sudah pukul dua pagi, dan tempat yang kami tuju masih penuh dengan pria-pria yang makan dan mengobrol. Yang menarik adalah terdapatnya beberapa stan beraneka jenis makanan yang dijaga oleh wanita-wanita berkulit mulus dan bersuara mendesah. Mereka memanggil-manggil kami dalam bahasa Jepang, yang terdengar seperti “Om, makan, Om. Bonus pangku, Om.”.

Masih dalam ruangan yang sama, tepat di samping stan-stan kecil tersebut juga disediakan pijat refleksi untuk mereka yang lelah setelah beraktivitas. Tentu saja, pemijatnya juga wanita-wanita berkimono asli Jepang, bukan Indramayu atau Kuningan. Saya yang syariah sempat tergoda, namun karena alasan agama setelah melihat harga, saya tidak jadi mencobanya. Syariah yang perhitungan.

Ada sebuah lorong di samping restoran dengan beberapa bilik di sisi kanannya. Saya mendekati salah satu bilik tersebut, dan terkejut mendapati beberapa pria sedang berbaring telungkup, bugil, pada kasur-kasur yang disusun berjejer. Pada sisi setiap pria tersebut terdapat seorang WP (Wanita Pemijat, bukan Wajib Pajak. -red) yang bertugas melayani sang pria, melakukan full body massage dengan menggunakan cairan yang terlihat mengkilap jika menyentuh tubuh.

Ruangan di sampingnya lagi berisi sofa-sofa panjang yang digunakan untuk tidur dan beristirahat, bahkan beberapa pria di dalamnya sudah pulas dan mendengkur. Pada ruangan terakhir di lorong, berisi sebuah tabung (atau tepatnya seperti bathtub yang memiliki penutup pada bagian atasnya) yang digunakan untuk mandi, atau disebut juga jet bath. Ketika saya melewati ruangan itu, sudah ada seorang pria yang tidur telentang di dalamnya, tanpa busana. Eww!

sasasa

Capsule room with curtain.

“Bro.” Saya berusaha mengatakan sesuatu kepada Osa tapi susah sekali menyampaikan maksud yang sebenarnya. “Tadi acara tivinya biasa saja ya?”

“Umm, maksudnya?”

“Ya, gitu. Anu…” Kami berpandangan tanpa suara, namun sebagai sesama pria, kami punya kode-kode yang hanya dimengerti oleh pria yang membuat kami tersenyum. Berikutnya kami telah tiba di depan resepsionis dan memesan dua paket film porno.

What’s your room number?” Tanyanya, yang kami jawab dengan memberikan gelang bernomor kami. Si resepsionis menginput transaksi tersebut, dan memberikan dua buah kartu –mirip kartu ATM, untuk dimasukkan pada perangkat televisi yang tersedia dalam kapsul. “Enjoy the movie.” Kedipnya.

Dengan langkah cepat, kami segera kembali ke dalam kapsul. Memasukkan kartu ke dalam perangkat, mengutak-atik remote televisi yang tersedia, membaca instruksi yang ada, namun tetap gagal menonton film porno tersebut. Aduh, mungkin takdir saya sebagai traveler syariah tidak mengizinkan saya untuk menonton kenikmatan dan tipu muslihat duniawi.

“Bro.” Panggil saya ke bilik sebelah, tempat Osa berada. “Punyamu bisa?”

Dia menggeleng, “Gak bisa juga.”, dan dengan muka cemberut dia berjalan keluar.

“Loh ke mana?”

“Mau ke resepsionis.” Jawabnya singkat, dan tak perlu waktu lama salah seorang petugas telah tiba di lokasi. Petugas itu masuk ke dalam kapsul Osa, bersama dengan Osa, sehingga dalam kapsul yang sempit itu terisi dua orang berbeda negara, dan berkelamin sama, mengutak-utik televisi supaya bisa memutar film porno.

“Bro.” Saya memanggil Osa ketika si petugas telah meninggalkan ruangan kami. “Bisa?”

Instructions of Use

Inside the capsule

Setelah mendapat arahan singkat dari Osa, saya mencoba mengutak-utik televisi saya. Dan berhasil, Alhamdulillah. Seingat saya ada empat channel khusus yang memutar film porno Jepang. Dan dua scene yang paling saya ingat adalah berikut ini:

  • Scene pertama mengambil setting di pekarangan rumah tua Jepang, yang ternyata adalah sebuah ryokan (salah satu jenis penginapan di Jepang). Dikisahkan ada seorang wanita muda yang sedang berkelana, dan menginap di rumah itu. Karena capai, dia memutuskan untuk berendam di onsen yang berada di pekarangan, dan ternyata di sana sudah ada seorang pria tua yang berendam lebih dulu. Si pria mempersilakan si wanita untuk melepas pakaiannya, dan dengan polosnya si wanita melucutinya tanpa ragu dan tanpa malu –di hadapan pria yang baru dikenalnya. Adegan berlanjut dengan si tua yang menawarkan bantuan memijat si wanita, dan lagi-lagi si wanita menurutinya. Pijat-memijat berlanjut ke daerah sensitif milik si wanita, dan si wanita semakin menikmati ketika tangan si pria menyentuh payudaranya, dan memainkan –maaf– vaginanya. Saya menduga mungkin si wanita berutang budi pada si pria, karena di adegan berikutnya si wanita bergantian memijat si pria, bukan hanya dengan tangan, bahkan dia menggunakan mulutnya untuk daerah-daerah tertentu. Sungguh wanita yang sangat baik.
  • Scene berikutnya terletak pada sebuah spa –atau lebih cocok disebut sebagai tempat pijat. Beberapa pria nampak berbaring telungkup dengan handuk yang menutupi pantatnya, dan tak berapa lama masuklah beberapa WP di mana satu WP melayani satu pria. Mungkin seperti yang sudah kamu duga, adegan dimulai dari si WP yang mengambil handuk si pria dan mengoleskan cairan ke seluruh tubuh si pria, kemudian mulai memijat. Pertama dengan tangan, kemudian dengan siku, menggunakan kakinya sebagai variasi, hingga yang paling fenomenal adalah ketika si WP membuka pakaiannya sendiri dan mulai memijat dengan payudaranya. Bagian yang dipijatnya pun meliputi seluruh tubuh pria, mulai dari punggung, tangan, kaki, kepala, hingga –maaf– batang penisnya. Sungguh baik sekali wanita Jepang ini.

Film porno, atau yang sering disebut sebagai Japan Adult Video (JAV) adalah salah satu hal yang legal dan masuk dalam budaya modern Jepang. Saat ini, tiap tahunnya ada sekitar 6.000 wanita mendaftar sebagai artis porno di Jepang dengan berbagai alasan, mulai dari keuangan, eksistensi, hingga alasan bahwa dia merasa nyaman apabila berhubungan badan di depan banyak orang. Saking menjamurnya industri film porno di Jepang, dikatakan bahwa bisnis ini mampu menyumbang 20% penerimaan negara, luar biasa bukan?

Banyak orang Indonesia yang sangat hobi menonton JAV, tapi berapa banyak orang Indonesia yang berlibur ke Jepang dan menonton JAV di sana? Mungkin saya adalah salah satunya. Malam itu saya tidur pulas dengan hati puas dan sebelah tangan menggenggam tisu basah.