PRANG!

Akuarium bulat tempat ikan koki hidup seorang diri jatuh ke lantai, pecahan kacanya berserakan di lantai, sementara air yang semula mengisi akuarium membasahi kaki saya beserta dengan si ikan koki yang megap-megap di lantai minta CPR,Wes tak kandhani kok ngeyel! (sudah aku bilang gak percaya, sih!)” Jerit Mama kepada saya, yang memaksakan diri membawa akuarium ikan koki yang masih penuh air ke kamar mandi untuk dibersihkan, dibandingkan mengurasnya terlebih dahulu.

Itu adalah Hari Minggu, hari di mana kami biasa merawat binatang peliharaan di rumah. Menguras akuarium, membersihkan kandang burung (burung bersayap, bukan burung Papa. -red), hingga mengusap-usap patil ikan lele supaya dia merasa nyaman. Kejadian saya memecahkan perabotan yang terbuat dari kaca pun bukan yang pertama. Mulai dari piring, akuarium, hingga guci-guci keramik yang dibeli Papa sehabis kunjungan kerja di Jambi. Dan bahkan apabila Mama saya adalah Nia Daniaty, mungkin sudah ratusan gelas-gelas kaca yang menjadi korban.

Di sini, pecah bukan berarti membeli.

Pecah merupakan sebuah pelajaran, supaya kita tidak mengulang kesalahan yang sama.

Saya berjingkat perlahan memasuki ruang pamer Museum Nasional Indonesia bagian keramik, yang letaknya agak sedikit tersembunyi, yaitu di sebuah ruangan di sudut taman arca. Sudah belasan tahun berlalu sejak terakhir kali saya memecahkan barang-barang kaca serta keramik, dan sekarang saya sudah semakin pintar dalam hal tidak memecahkan barang-barang tersebut, termasuk yang berada di museum nasional ini.

Dengan bermodalkan tiket seharga lima ribu rupiah –yang tentu saja lebih murah daripada harga smartphone kamu, saya serasa berjalan mundur ke masa lalu di mana ratusan keramik berusia ratusan tahun menyapa saya. Ada yang berasal dari Cina, Jepang, Thailand, Vietnam, hingga Myanmar/Laos. Semuanya dalam kondisi mulus –walaupun bukan BNIB, dan kebanyakan tersimpan dalam lemari kaca.

Sejarah keramik di Indonesia cukup panjang, dimulai dengan ditemukannya piring tanah liat buatan Arikamedu, India Selatan di situs Buni, Jawa Barat yang diduga berasal dari abad ke-2 Masehi. Piring yang dibuat dengan teknik roda putar karena pengaruh Romawi ini, merupakan sebuah bukti adanya jaringan pelayaran dan perdagangan antara Indonesia dan India.

Indonesia dengan kekayaan alam yang luar biasa, mempunyai berbagai macam hasil bumi seperti cengkeh, pala, hingga kayu cendana yang merupakan komoditas utama perdagangan di masa itu. Negara-negara asing yang mengetahui hal ini berbondong-bondong datang ke Indonesia, dengan tujuan utama mencari barang dagangan rempah-rempah seperti cengkeh dan pala yang tumbuh subur di Indonesia dan tidak dihasilkan di tempat lain. Konon, harga rempah-rempah di luar Indonesia sangat tinggi dan hanya mampu dimiliki oleh orang-orang berada. Maaf Agnezmo, rempah-rempah lebih dahulu go international sebelum kamu.

Sebut saja India, Cina, Campa (kerajaan/negara yang termasuk dalam rumpun Melayu, namun telah hilang dari peradaban), Kamboja, Myanmar, Arab, Persia, hingga Portugis pada tahun 1511 di Selat Malaka juga Belanda pada tahun 1596 di Banten. Semuanya adalah negara-negara yang menginginkan kekayaan alam Indonesia. Oleh karena hal itu, pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggata menjadi ramai dan bersifat internasional, ditambah lagi karena adanya jalur persimpangan Selat Malaka yang menghubungkan dua jalur pusat perdagangan kuno India dan Cina.

Kapal Dagang Cina

Kapal Dagang Cina

Bangsa Cina datang ke Indonesia dengan menggunakan kapal dagang yang besar, yang mampu memuat berbagai macam barang dagangan. Salah satu yang terbesar adalah kapal yang digunakan Admiral Cheng Ho, yang disebutkan dalam sejarah bahwa kapalnya telah berkeliling dunia dengan membawa berbagai macam barang dagangan termasuk pemberian, yang dapat berupa binatang endemik suatu daerah. Yang paling fenomenal disebutkan bahwa kapal itu mampu memuat jerapah! Ada dua hal yang membuat saya tercengang akan fakta itu, yaitu (1) Sebesar apakah kapal Cheng Ho ini, dan (2) Kasihan jerapahnya, pasti lehernya sakit.

Komoditi unggulan yang dibawa Bangsa Cina adalah keramik yang memiliki bentuk dan warna yang menarik. Keramik ini dibuat dari bahan dasar porselin dan batuan yang dicampur sedemikian rupa sehingga menghasilkan kualitas yang beragam. Saking terkenalnya keramik dari Cina, bangsa barat menyebut barang-barang keramik/porselen saat ini adalah “china” yang merupakan kependekan dari “chinaware“. Sementara Roxette menyebutkan bahwa keramik itu rapuh, seperti seorang wanita.

She’s so vulnerable like china in my hands

She’s so vulnerable and I don’t understand

Mengekor Cina, pembuatan keramik untuk diperdagangkan juga dilakukan oleh Thailand (abad 14-16), Vietnam (abad 14-17), juga Jepang (abad 17-19) dengan alasan karena perdagangan keramik mendatangkan banyak keuntungan. Keramik-keramik tersebut diperdagangkan dengan cara barter (pertukaran benda dengan benda, bukan dengan pertukaran koalisi dan kursi menteri.) atau cara pembelian tunai dengan uang yang berlaku saat itu. Di Indonesia sendiri, transaksi yang banyak terjadi adalah barter antara keramik dengan rempah-rempah. Maka tak heran, kalau ditemukan banyak keramik kuno tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Koleksi keramik di Museum Nasional dirintis oleh E. W. van Orsoy de Flines sejak tahun 1928 – 1959, sebelum Beliau menghibahkannya ke Pemerintah Indonesia. Beliau mengumpulkan keramik-keramik asing tersebut dari seluruh Indonesia dengan cara pembelian dan menerima hibah. Kondisi keramiknya pun masih terawat baik, karena pemilik terdahulunya yakin bahwa keramik adalah benda pusaka yang harus dijaga secara turun-temurun.

Mengutip dari Katalog “Gedung Arca” Museum Nasional disebutkan bahwa keramik, sebagai salah satu data sejarah, dapat mengungkapkan berbagai kegiatan di masa lampau dari berbagai aspek, terutama aspek sosial-budaya, seperti fungsinya untuk apa, siapa pemakainya, atau tradisi penggunaan dan aspek ekonomi, seperti jalur pelayaran atau sistem perdagangan.

Keramik Cina

Keramik Cina

Keramik Cina

Dimulai dari keramik yang berasal dari Dinasti Han pada abad ke-2, dan menyusul Dinasti Sui (abad 5-7), Dinasti Tang (abad 8-10), Dinasti Song (abad 10-12), Dinasti Yuan (abad 13-14), Dinasti Ming (abad 14-16), hingga Dinasti Qing pada abad ke 17; kita mengetahui bahwa Cina memiliki banyak dinasti telah melakukan transaksi perdagangan dengan Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala. Tempat penemuan keramik-keramik ini tersebar seantero Indonesia, mulai dari Aceh, Pati, Bali Utara, Kupang, Makassar, bahkan hingga Maluku dan Halmahera. Lokasi penemuannya pun unik-unik, seperti di bekas pusat kerajaan, pemakaman, permukinan penduduk, masjid, bahkan hingga di dasar laut.

Temuan keramik Cina yang banyak ditemukan di Indonesia adalah keramik kualitas kasar yang diproduksi massal dan biasanya digunakan untuk peralatan rumah tangga, seperti piring, mangkuk, guci, tempayan, hingga ceret. Salah satu kesukaan saya adalah keramik bermotif binatang yang berhubungan dekat dengan masyarakat Cina, seperti ikan maupun naga.

Pada masa Dinasti Yuan –yang kaisar pertamanya adalah Kubilai Khan, pedagang-pedagang Arab dan Persia berdatangan ke Cuanchow dan memperkenalkan warna biru cobalt dari Persia, yang digunakan sebagai warna dasar pembuatan keramik yang kemudian diperdagangkan di Aceh dan Palembang. Yang menarik adalah, ditemukannya keramik Cina beraksara Arab, yang konon dulu dipesan oleh pedagang Arab dari Cina. Subhanallah.

Ketika Dinasti Ming berkuasa di Cina, bangsa Eropa mulai berdatangan ke Asia Tenggara untuk berdagang, dan keramik Cina menjadi salah satu barang dagangan terpenting. Keramik Dinasti Ming banyak ditemukan di Indonesia karena terutama dibawa sebagai barang dagangan, selain itu diduga keramik dibawa pemiliknya –migran Cina, yang kemudian menetap di Indonesia.

Karena sifatnya yang gemar berdagang, maka tak heran apabila banyak keturunan Cina yang tetap tinggal di Indonesia hingga sekarang dan meneruskan kebiasaan leluhurnya. Seperti misalnya yang satu ini. Jadi sekarang paham kan, mengapa banyak sekali warga keturunan Cina yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia?

Keramik Campa (Myanmar/Laos)

Keramik Campa

Keramik Campa

Kerajaan Campa –yang sekarang sudah punah karena banyak musuh, berdiri antara tahun 192 hingga 1832 Masehi dengan wilayahnya yang meliputi beberapa negara Asia Tenggara sekarang. Awalnya mereka adalah penganut aliran Hindu Shiwa sebelum beralih ke Islam sejak abad ke-13, seiring dengan perkembangan Islam di Indonesia.

Bangsa Campa, adalah bangsa pedagang yang pada masa kejayaannya menguasai perdagangan sutera dan rempah-rempah antara Cina, Indonesia, India, juga Persia. Di Indonesia, ditemukan beberapa keramik peninggalan mereka di wilayah Sumatera antara abad 11 hingga 14 Masehi, yang semuanya berbentuk seperti guci/kendi.

Keramik Thailand

Keramik Thailand

Keramik Thailand

Sebenarnya, pembuatan keramik di Thailand sudah dimulai sejak zaman prasejarah, namun keramik-keramik Thailand yang ditemukan di Indonesia berasal dari abad 13-16. Keramik-keramik ini, berasal dari dapur pembakaran di Sukothai dan Swankhalok, sebelum kemudian diperdagangkan melalui Malaysia, menuju Sumatera dan Jawa Timur sebelum akhirnya menyebar ke Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan beberapa wilayah Indonesia Timur.

Keramik asal Thailand ini, pada umumnya berfungsi sebagai benda rumah tangga harian dan benda upacara seperti misalnya cepuk dan buli-buli yang berfungsi sebagai bekal kubur yang banyak ditemukan di situs makam pra Islam di Sulawesi Selatan. Salah satu kerajinan keramik Thailand di sini yang menarik perhatian saya adalah keramik berwujud seekor gajah dengan seorang raja yang duduk di atasnya, dan empat pengawal pada kaki-kakinya.

Keramik Vietnam

Keramik Vietnam

Keramik Vietnam

Pada masa lalu, jalur perdagangan Vietnam adalah menyusuri sepanjang pantai Malaysia, Sumatra, dan Jawa, sebelum menyebar ke wilayah Indonesia Timur khususnya Sulawesi Selatan sebagai pusat perdagangan rempah-rempah. Keramik Vietnam ditemukan di hampir seluruh wilayah Indonesia dan terbanyak ditemukan di situs Trowulan (bekas Kerajaan Majapahit), Ketapang, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Banten dan Jakarta.

Fungsi keramik Vietnam ini pada umumnya digunakan untuk peralatan rumah tangga, dan khususnya untuk peralatan upacara (upacara budaya, bukan upacara bendera. -red).

Keramik Jepang

Keramik Jepang

Keramik Jepang

Keramik Jepang, merupakan keramik terindah yang saya temukan di museum ini. Warna warni dan coraknya yang menarik, seketika membuat saya terpikat dan berseru “Kawaaiiiii!“. Hampir semua keramik Jepang yang ditemukan di Indonesia adalah buatan Arita di Pulau Kyushu atau biasa disebut juga jenis Hizen. Lokasi penemuannya terutama di situs bersejarah Pasar Ikan, Jakarta, juga Banten yang pernah menjadi kota pelabuhan dan pusat perdangangan.

Ketika VOC berkuasa di Asia, dia memonopoli perdagangan keramik, teh, sutera, dan rempah-rempah. Awalnya VOC memasok keramik dari Cina, namun ketika pergantian dinasti dari Dinasti Ming ke Dinasti Qing di abad ke-17, terjadi kekacauan yang menyebabkan pusat-pusat produksi keramik di Jingdezhen berhenti beroperasi. Hal ini menyebabkan, VOC mencari sumber produksi keramik lainnya di Jepang.

Di sini, pecah bukan berarti membeli.

Pecah merupakan sebuah pemusnahan, akan sejarah dan peninggalan leluhur.

Saya memandangi lagi susunan keramik yang tertata rapi di museum nasional, membayangkan bahwa penyusunan dan penataannya sendiri pasti membutuhkan waktu yang lama dan kehati-hatian khusus supaya barang bersejarah peninggalan leluhur tersebut tetap terjaga kemurniannya.

Namun, dapatkah kamu membayangkan apabila penataan keramik dan barang pecah belah pada suatu ruangan dilakukan oleh sebuah mini excavator? Kali ini Cat® 301.7 CR Mini Excavator dengan berat hampir 2.000 Kg mendobrak masuk sebuah China Shop –dengan gaya bak matador yang akan menaklukkan lawannya– yang berisi sekitar 3.000 barang pecah belah dengan nominal yang mencapai  $40,000 USD, dan mencoba menata tumpukan gelas wine di sana.

Cat® 301.7 CR Mini Excavator entering a China Shop, what's next?

Cat® 301.7 CR Mini Excavator entering a China Shop, what’s next?

Penasaran bagaimana hasilnya? Simak kelanjutannya di sini.

 

Di sini, pecah bukan berarti membeli.

Pecah merupakan sebuah kegagalan, akan sebuah kesempurnaan.