Fara memarkir mobilnya di depan sebuah hotel yang tampak cukup usang, menggantikan sebuah mobil yang meninggalkan tempatnya. “See? Gue mah orangnya parkirgenic.” Ucapnya, memuji diri sendiri. Kasihan.

Di akhir pekan, memang susah untuk mencari parkir di daerah Jembatan Lima, Glodok. Saking susahnya, banyak mobil-mobil yang parkir secara paralel di sepanjang jalan, menutup lajur jalan sehingga hanya cukup dilalui oleh satu mobil.

Saya dan Fara kemudian turun dari mobil, menuju arah Hotel Fortuna. Andaikan ini bukanlah travel blog syariah, mungkin kami sudah masuk hotel dan melakukan adegan panas, seperti memesan mie rebus. Namun Fara yang berjalan di depan, menuntun langkah saya untuk memasuki gang kecil, bernama Gang Gloria –atau yang secara resmi disebut dengan Jalan Pintu Besar Selatan III. Saya mengeluarkan NX Mini dari saku dan bermaksud memotret keadaan sekitar, namun perkataan Fara berikutnya membatalkan tindakan saya. “Sudah nanti saja foto-fotonya.” Dia berkata saat kami melewati berbagai penjual makanan sepanjang gang. “Ohok, sudah nungguin, tuh.”.

Kopi Es Tak Kie

Berikutnya, kami memasuki sebuah kedai kopi yang cukup ramai, dan langsung menuju ke sebuah meja di ujung ruangan. Seorang pria berambut jarang, sedang menikmati kopi gelas kopinya yang tinggal separuh, sementara di depannya terdapat sebungkus rokok yang belum habis. “Ohok!” Panggil Fara, sambil menempati bangku kosong di hadapannya, sementara saya memilih duduk di samping Ohok.

Kopi Tak Kie, erected since 1927.

Kopi Es Tak Kie, erected since 1930.

Kedai Kopi Es Tak Kie, menjadi meeting point kami siang itu. Fara ingin bertemu dengan Ohok, untuk meminjam kamera underwater-nya. Sementara saya, ingin berjalan-jalan di pecinan Kota Jakarta sambil bermain-main dengan kamera Samsung NX Mini.


Didirikan sejak tahun 1930, Kedai Kopi Es Tak Kie ternyata masih mampu berdiri tegang walaupun berbagai kedai kopi lainnya menggurita di Jakarta. Sebut saja Anomali, Excelso, hingga Starbucks yang mendunia. Sejarah dimulai ketika seorang Tionghoa bernama Kwie Tjong datang merantau dari Kanton dan –alih-alih membuat travel blog atau berjualan kain, Beliau justru– berjualan kopi kaki lima di seputaran Glodok. Usahanya yang cukup sukses, membuatnya membeli sebuah petak kecil di Gang Gloria, yang digunakan untuk berjualan kopi. Kenikmatan kopi buatannya melegenda dari mulut ke mulut, bahkan setelah Beliau tiada, dan usahanya dilanjutkan oleh anak cucunya.

Sambil menunggu pesanan kopi es susu, saya mengutak-utik NX Mini di tangan saya, dan membidik sudut demi sudut kedai yang pernah didatangi oleh Jokowi ini. Sengaja saya men-setting Digital Filter di Vignette dan White Balance pada posisi Cloudy, alasannya supaya mendapatkan hasil yang retro. Sesuai dengan lokasi bersejarah yang saya datangi hari ini.

Foto kuno di dinding tua.

Foto kuno di dinding tua.

Tak berapa lama, pesanan pun datang. Segelas kopi es (bukan es kopi, -red) datang dalam gelas tinggi dengan sebuah sendok dan sedotan. Ampas kopi masih terlihat jelas di dasarnya, sementara sisa tetesan susu kental manis masih menempel dari atas hingga bawah gelasnya. Saya mengaduknya perlahan, membiarkan susunya larut pada pekatnya kopi. Balok-balok esnya masih bergoyang sedikit ketika saya menyesapnya perlahan. Rasa manis menyeruak di lidah, membanjiri mulut, yang diikuti hawa dingin yang mengaliri kerongkongan menuju lambung. Saya meletakkan gelasnya kembali, membiarkan rasa nikmat ini menjalar, sambil mencium aroma kopi Arabika yang berasal dari Lampung ini.

Menikmati kopi –sama seperti cinta, memang harus dengan perlahan, biarkan rasanya mengaliri seluruh indra, sebelum mereguknya kembali.

Beberapa pedagang keluar masuk kedai ramai ini, mulai dari penjual handuk hingga pedagang kaus dalam. Dan ketika saya berpikir bahwa orang berikutnya yang datang akan menawarkan MLM, seorang wanita datang dari arah belakang saya dengan membawa sekresek makanan.

“Gak, Mbak.” Kata Ohok, sebelum saya menyadari bahwa yang datang tersebut adalah Easther –teman saya yang berencana untuk bergabung pada acara jalan-jalan singkat ini.

Oalah, elu toh cik!” Seru saya ke Easther yang merupakan keturunan Tionghoa ini. “Kirain mau jual diri.”.

Berikutnya, saya memainkan kembali si NX Mini dengan memutar layarnya 180º ke atas, sehingga layar dan lensanya sama-sama menghadap kami. It’s time for selfie! Kamera mungil tersebut langsung menyala ketika saya mengubah posisinya ke posisi selfie. Dan secara cepat, lensanya langsung meng-capture foto –ketika kami saya tersenyum memperlihatkan gigi, tanpa perlu memencet tombol shutter-nya. Smile Shot! 

Smile shot!

Smile shot!

Dengan lensa wide 9mm yang dibenamkan pada paketnya, kamera ini cukup leluasa apabila digunakan untuk selfie. Tak perlu dari jarak jauh, saya bisa melakukannya dengan mudah, walaupun saya bukan orang yang bertangan panjang. This is the ultimate selfie camera!

Gang Gloria

“Babi Babi Babi!” Teriak beberapa orang kepada saya, ketika keluar dari Kedai Kopi Es Tak Kie. Saya melihat tubuh saya dari atas sampai bawah, dan menyadari bahwa saya memang gemuk, tapi apa iya mereka memanggil saya lantaran itu? “Babi Panggangnya, kakak.” seru mereka kemudian. Oh, hampir saja terjadi pertumpahan darah di sini.

Gang Gloria –yang terletak di depan Kedai Kopi Es Tak Kie, adalah surganya kuliner dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Beragam makanan tersedia di sini, mulai dari Pi Oh (sup yang berisi telur bulus), Sekba (jeroan babi yang dimasak dengan kecap dan disajikan bersama sayur sawi asin), hingga nasi campur ayam maupun babi. Sebagai travel blogger syariah, saya tidak mencicipi makanan yang tersedia di sini, melainkan hanya mengabadikannya lewat kamera. Dengan shutter speed yang mencapai 1/6000, saya bersyukur membawa NX Mini ketika melakukan street photography karena bisa menangkap momen dengan cepat.

Petak Sembilan

Perjalanan berlanjut ke kawasan yang disebut sebagai Petak Sembilan, dan kali ini Easther yang bertugas menjadi guide. Dipandu Easther yang berwajah oriental, saya merasa tenang dan aman berjalan-jalan di kawasan pecinan, bersama dengan seorang panda guide lokal. Kami menyeberang dari Hotel Fortuna menuju kawasan pertokoan Chandra, dan menyusup ke kerumunan orang-orang yang lalu lalang di emperannya. Berbagai macam penjual terlihat di sana, mulai dari manisan, obat-obatan, hingga beraneka barang seperti koin Cina berusia puluhan tahun.

Ketika jalan semakin menyempit –karena orang yang bergerak dari berbagai penjuru, saya memasukkan NX Mini ke dalam saku, dan berjalan cepat mengikuti Easther menuju Petak Sembilan. Disebutkan, bahwasanya nama Petak Sembilan berasal dari rumah-rumah penduduk zaman dahulu yang tersusun pada petak-petak yang berjumlah sembilan. Dan sekarang Petak Sembilan ini merupakan bagian dari Jalan Kemenangan III.

Ketika melihat seorang bapak tua dengan sepedanya sedang menjajakan kerupuk kulit babi di pinggiran kali, saya hanya mampu mengurut dada sambil berkata “Astaghfirullah, kok kayaknya enak.”.

Vihara Dharma Jaya Toasebio

Setelah berbelok ke kiri dan ke kanan, tibalah kami pada vihara yang dikatakan tertua di Jakarta, karena telah ada sejak abad ke-15. Namanya Vihara Dharma Jaya Toasebio. Seorang hansip tua nampak sibuk mengatur sepeda motor yang parkir di depan vihara, ketika Easther mengajak kami masuk. Di sisi kiri vihara, terdapat bangunan yang kala itu sedang digunakan untuk acara donor darah sementara di terasnya, beberapa orang mengantri gilirannya dengan sabar.

Vihara Toasebio

Vihara Toasebio

Saya sempat sungkan untuk memasuki tempat ibadah ini, namun setelah Easther meyakinkan saya bahwa ini gak apa-apa dan gak sakit, saya pun masuk lebih dalam lagi. Aroma dupa yang dibakar, semerbak langsung memenuhi hidung, sementara asapnya sedikit menimbulkan pedas di mata. Cahaya ratusan lilin yang temaram menyinari beberapa orang yang sembahyang di depan altar, dengan dupa di tangannya. Saya yang tak mau mengganggu kekhusyukan ibadah mereka, langsung menonaktifkan suara shutter pada NX Mini sehingga saya dapat memfoto dengan tenang dan tanpa suaraLike a ninja! 

Vihara Dharma Bhakti

Dengan perut yang semakin keroncongan, kami melangkah lagi, melewati jalan-jalan yang kecil dengan sepeda motor dan mobil yang senantiasa lewat dari dua arah. Kami berhenti pada sebuah sudut jalan, di mana terdapat penjual bunga yang menjajakan dagangannya. “Kalau yang tadi vihara tertua, yang ini vihara yang terbesar di sini.” Jelas Easther, seraya berbelok menuju pintu masuk di samping penjual bunga tadi.

Saya cukup kaget melihat pemandangan setelah pintu masuk, di mana terdapat belasan pengemis dan gelandangan yang duduk berjajar –bahkan, ada yang tidur– sambil menengadahkan tangan meminta belas kasihan pengunjung vihara. Di sini terdapat tiga klenteng, yaitu Klenteng Hui Ze Miao, Di Cang Wang Miao dan Xuan Tan Gong (Vihara Dharma Bhakti) yang tergabung menjadi satu komplek bangunan. Saya sendiri, tak tahu apa nama klenteng yang saya masuki saat itu, karena bagi saya yang tak bisa membaca aksara Cina, hanya ada klenteng A, klenteng B, dan klenteng C.

Masih dengan silent mode, saya mengarahkan kamera ke seluruh penjuru vihara. Mengambil gambar gazebo segi delapan yang menggambarkan Pat Kua atau delapan penjuru mata angin, membidik lilin-lilin besar yang menerangi klenteng, dan menangkap mereka yang sembahyang khusyuk dengan dupa di tangan. Total sudah ratusan foto saya ambil selama perjalanan hari itu, dan baterai sebesar 2.330 mAh yang mendukung NX Mini ternyata benar-benar awet, karena indikatornya menunjukkan bahwa dayanya belum berkurang satu bar pun.

Warteg Gang Mangga

“Yuk, ke Warteg Gang Mangga.” Easther mengajak kami ke sebuah tempat makan yang telah dia kunjungi beberapa saat sebelumnya, sambil mempromosikan bahwa warteg ini beda dari warteg kebanyakan karena menu yang dimilikinya sangat komplet.

“Ayolah!” Sahut kami yang memang sudah lapar karena perjalanan di bawah terik matahari Jakarta siang itu. “Tapi ke mana jalannya?”

“Sebentar, gue juga lupa arahnya.”

Yeee!

Setelah bertanya kepada seseorang yang lewat di persimpangan jalan, kami pun menemukan alamat yang dicari. Untung bukan alamat palsu. Dan memang benar, bahwa di warteg ini semua makanan ada, mulai dari ikan sampai ayam, tahu hingga bakwan, sayur sup juga sayur asam pun ada. Hanya babi yang tidak menunjukkan hidungnya di sini, mungkin malu karena dia anak haram. Tanpa ragu, kami pun memesan makan ke mbak-mbak warteg gang mangga yang gak bisa petik mangga tersebut.

Selepas makan, saya mencoba fitur Direct Link yang terdapat pada NX Mini ini. Dengan menekan tombol Direct Link di bagian atas kamera, saya mampu menghubungkan kamera ini dengan smartphone yang sudah terpasang aplikasi Samsung Smart Camera. Dan dalam hitungan detik, foto-foto di NX Mini pun telah terkopi pada smartphone saya. Berikutnya, saya pun meng-upload foto-foto tersebut ke Instagram dan Twitter supaya kekinian.

***

10 Alasan Untuk Memakai NX Mini

Setelah memakai Samsung NX Mini selama satu minggu,

kini saya akan memberikan kamu 10 alasan untuk memakai NX Mini,

dan inilah dia alasan-alasannya:

Samsung NX Mini

Samsung NX Mini, taken with Samsung Galaxy S4.

  1. Desain yang keceSaat ini NX Mini merupakan kamera mirrorless terkecil yang beredar di pasaran dengan berat kurang dari 200 gram berikut baterai, dan tebalnya yang hanya sekitar 2 cm dengan “leather look design” membuat NX mini nyaman digenggam dan dipandang. 
  2. Praktis pengoperasiannya Tak perlu banyak tombol untuk mengoperasikan kamera ini, dan hampir semua menunya dapat diakses dengan menyentuh layarnya yang sudah “touch screen” seperti halnya ketika mengoperasikan smartphone masa kini!
  3. Selfie-On! Begitu memutar layarnya 180º ke atas, maka kamera ini akan langsung menyala. Bagi penggemar selfie, kamera ini adalah the ultimate selfie camera, karena langsung menyalakan fitur beauty face ketika akan digunakan untuk selfie, dan dapat langsung memotret apabila obyeknya tersenyum, atau berkedip manja. Aw!
  4. Hasil foto dan video yang mumpuni – Dengan resolusi 20,5 megapiksel, shutter speed hingga 1/6000 detik, dan ISO antara 100-12.800, membuat foto yang dihasilkan dapat diolah sesuai keinginan. Bukan hanya itu, kamera ini juga mampu menghasilkan video Full HD 1080p dengan 30 frame per detik.
  5. MirrorlessKarena tergolong kamera mirrorless yang dapat diganti lensanya, pengguna kamera ini dapat leluasa bereksperimen dengan berbagai macam lensa yang sesuai dengan mounting NX M ini.
  6. Built In FlashMau selfie di malam hari? Tenang, NX Mini sudah mempunyai flash yang dapat langsung menyala ketika mendeteksi objeknya berada pada tempat yang gelap.
  7. Baterai yang awet – Bagi saya, angka 2.330 mAh yang dimiliki baterai NX Mini ini cukup mencengangkan, mengingat kamera lama saya hanya memiliki daya kurang dari 1.000 mAh. Maka tak heran apabila baterai NX Mini ini cukup awet bahkan jika digunakan seharian untuk mengambil ratusan foto.
  8. Mudah untuk di-chargeTak perlu repot-repot mengeluarkan baterai dan memindahkannya pada charger khusus seperti kamera-kamera lain. Pada NX Mini, tinggal colokkan saja charger ke bodi kamera maka baterainya akan terisi secara otomatis. Menariknya, kamera ini dapat di-charge dengan charger smartphone seperti Samsung Galaxy S4 milik saya.
  9. Konektivitas yang lengkap – Kamera ini telah dilengkapi dengan Direct Link yang dapat terhubung via NFC dan WiFi ke smartphone yang membuat proses transfer foto antar perangkat semakin mudah.
  10. Gratis software Adobe Photoshop Lightroom – Dalam paket pembeliannya, sudah tersedia CD Instalasi Adobe Photoshop Lightroom spesial untuk kamu yang menyukai editing foto. Pssttt, harga software ini di pasaran adalah $145 loh!

 

So, let’s try the Samsung NX Mini, and experience the ultimate selfie camera!

Shoot WOW! Share NOW!