Dari luar, penampakan bus tersebut biasa-biasa saja. Bertingkat dua, seperti bus malam yang saya tumpangi di Kamboja dalam perjalanan dari Phnom Penh ke Siem Reap. Warnanya yang merah muda, mengingatkan saya akan Willer Bus di Jepang yang mengantarkan saya dari Tokyo ke Hiroshima, maupun dari Kyoto menuju Tokyo. Kelas yang saya pesan adalah VIP Sleeping, yang berarti saya akan dengan mudah tertidur dalam bus layaknya sleeper bus yang saya gunakan di Vietnam dari Mui Ne menuju Ho Chi Minh.

Namun dugaan saya salah, karena bus ini bukanlah sleeper bus biasa.

Bannaluang Bus Station

Bannaluang Bus Station, in the afternoon.

Sehari sebelumnya, pada siang hari di bulan terpanas di Laos –setelah perjalanan darat dengan minibus dari Vang Vieng yang lebih mirip perjalanan laut dengan speed boat dari Tarakan ke Derawan— saya bersama Eki langsung menuju Bannaluang Bus Station yang terletak tepat di seberang terminal perhentian minibus tersebut. Beberapa supir tuk-tuk mengerubuti kami untuk menawarkan jasanya, yang langsung kami tolak dengan memasang pose “maav mz, aq ga bs..” karena tujuan utama kami saat itu adalah untuk mencari tiket bus malam dari Luang Prabang menuju Vientiane.

Saat itu adalah hari-hari menjelang Pi Mai Lao, atau tahun baru Laos, di mana warga Laos di selatan (baca: Vientiane) berbondong-bondong hijrah ke utara (baca: Luang Prabang) untuk merayakannya. Mereka menuju tempat seperti Luang Prabang yang memiliki banyak kuil pemujaan Buddha, dengan anggapan bahwa semakin banyak kuil yang dikunjungi maka tahun baru mereka akan semakin baik dan diberkati. Hal yang dilakukan biasanya adalah mencuci patung-patung Buddha sebelum membasahi diri sendiri. Itulah mengapa perayaan tahun baru ini –seperti halnya Songhkran di Thailand, maupun wet dancers di Alexis– selalu identik dengan air, dan basah.

Berdasarkan rencana awal yang disusun, seharusnya saya sudah tiba di Luang Prabang pada pagi hari tadi, namun –sialnya, atau malah dapat disebut beruntung karena kami terpaksa menginap di Vang Vieng– kami kehabisan bus malam dari Vang Vieng menuju Luang Prabang karena banyaknya warga lokal yang menuju Luang Prabang dari arah selatan. “Due the Lao New Year, the bus is full. People go to Luang Prabang from the south. jelas penjual tiket bus di terminal Vang Vieng yang kemudian dilanjutkan dengan “but you can use the minibus to go, tomorrow morning.

Dan sampailah kami di loket bus terminal Bannaluang. 

Seorang pria berkemeja dengan tiga kancing atas yang terbuka menyambut kami di loket, udara Luang Prabang yang kering dan panas telah membuatnya menunjukkan kaus dalamnya kepada kita. Sebuah tindakan yang tidak manly. Di Vang Vieng, kami telah diinformasikan bahwa bus malam dari Luang Prabang ke Vientiane pasti ada, karena kami melawan arus mudik penduduk lokal. Namun demi sebuah kepastian, kami pun bertanya mengenai ketersediaan tiket bus tersebut.

Sure, we have ticket for tomorrow.” Jelas pria di balik jendela “What class do you want? VIP or VIP Sleeping?” Tanyanya, sambil mengipas-ngipaskan tangannya.

Saya dan Eki berunding sejenak, perjalanan dengan minibus dari Vang Vieng yang kurang mengenakkan karena jalan yang berkelok-kelok indah –namun hampir membuat kami muntah, membuat kami berpikir bahwa kami harus mengambil kelas terbaik yang ada. Sekadar informasi, rute Luang Prabang menuju Vientiane (di mana Vang Vieng terletak di antaranya) sejatinya hanya sebuah garis lurus di peta, namun menjadi berkelok-kelok karena garis lurus tersebut menembus gunung-gunung yang menakjubkan.

Okay, we will take the VIP Sleeping Bus.” Ucap saya, seraya menyerahkan uang sebesar 300.000 Kip untuk dua orang. “And I want the upper deck, for two persons.” Sebagai gantinya, pria tanpa bulu dada tersebut menyerahkan dua lembar tiket berwarna kuning untuk keberangkatan besok pukul 20:00. Dia menuliskan nomor bangku kami, yaitu A 17 dan A18 dan mengatakan bahwa kami akan mendapatkan makan malam gratis.

You will arrive in Vientiane around five or six in the morning.” Katanya lagi.

Katanya.

Ticket to ride

Ticket to ride

Jarak antara terminal bus dengan hostel tempat kami menginap sebenarnya cukup dekat, yaitu hanya sekitar 3 (tiga) kilometer. Sebenarnya saya menawarkan untuk berjalan kaki ke terminal, namun Eki menolaknya karena faktor usia dan kelelahan setelah trekking dan berenang di air terjun Tat Kuang Si. Dan jadilah kami menggunakan tuk-tuk sewaan dari depan hostel, seharga 10.000 Kip untuk empat orang termasuk dua orang wanita bule. Pada tiket tertera waktu keberangkatan yaitu pukul 20:00, dan kami tiba di terminal pada pukul 19:05.

See? Orang Indonesia tak selalu tak tepat waktu, kan?

Terminal Bannaluang malam itu cukup sepi dengan warga lokal, sementara sepengamatan saya kebanyakan calon penumpang adalah bule-bule yang memanggul tas ransel seukuran kulkas dua pintu. Hiburan malam itu hanyalah sebuah televisi lokal yang menyiarkan siaran tunda pertandingan sepakbola Serie A antara Juventus menghadapi Livorno.

P1100853

Bannaluang Bus Station, in the night.

Seorang pria bule garang dengan ransel raksasanya tiba di terminal dengan wajahnya yang merah, dan langkahnya yang tergesa. Dia langsung menuju loket, dan menanyakan kapan bus yang akan dia tumpangi tiba. Si penjaga loket memberi isyarat padanya untuk menunggu, sama seperti yang dia lakukan kepada kami sebelumnya. Dan tak berapa lama, sebuah bus tiba. Namun ternyata bukan bus kami.

“Beli makan dulu, cuy!” Eki mengusulkan “Buat jaga-jaga makan malam nanti.”

Saya yang memegang uang kas, menurutinya, walaupun saya sudah mengingatkan bahwa nantinya kami akan mendapatkan makan malam gratis. Di warung-warung yang berjejer di sisi terminal, kami membeli sebungkus Oreo dengan sebotol air mineral berukuran besar. Tak lama setelah itu, sebuah bus tiba. Bus yang berukuran lebih besar dari bus sebelumnya yang kami lihat. Bus berwarna merah muda dengan kaca depan yang retak dan meninggalkan lubang seukuran kepalan tangan bule.

Beberapa orang lokal yang bertindak sebagai kru bus membantu saya dan penumpang lainnya meletakkan barang bawaan ke dalam bagasi yang terletak di sisi kanan dan kiri bus, sementara seorang lainnya yang bertugas sebagai pemeriksa tiket berjaga di pintu masuk pada sisi sebelah kanan bus. Di Laos, kemudi kendaraan berada pada sebelah kiri, dan kendaraan berjalan pada sisi kanan jalan.

Saya memberikan tiket kami pada si petugas, yang langsung mencoret huruf A pada tiket dan menggantinya dengan huruf B. Tanpa praduga apa-apa, saya langsung naik ke lantai atas bus, sesuai tempat yang saya pesan sebelumnya, yaitu di upper deck. Setibanya di lantai atas, saya terkejut mendapati interior bus yang kebanyakan berwarna merah muda, dan kompartemen sempit yang terletak di kanan kiri saya ternyata disediakan … untuk dua orang penumpang.

Err… okay.

Love Bus, –demikian saya menyebutnya– memiliki belasan kompartemen kecil berwarna merah muda yang terletak pada lantai bawah dan atas bus. Satu kompartemen dapat diisi oleh dua orang, tanpa dipisahkan oleh hijab, maupun tembok Berlin. Dalam kompartemen tersebut disediakan sepasang bantal, sepasang selimut, dengan keranjang tempat menaruh barang bawaan, juga sebuah panel tempat meletakkan botol minuman. Menariknya, adalah apabila kamu bepergian seorang diri, kamu tak akan tahu siapa yang tidur di samping kamu. Apakah dia seorang wanita lokal yang berbadan tipis, berkulit kuning, dengan wajah yang manis layaknya wanita Indochina kebanyakan, atau bisa jadi dia seorang pria Amerika seukuran dua kali Indro Warkop dengan tangannya yang berbulu dan ketiaknya yang basah dan bau.

Dan pasangan saya malam itu, tentu saja adalah Eki. Jeruk makan jeruk.

Sebelum naik, saya sempat mendengar perbincangan beberapa bule pria dan wanita yang sedang mengundi siapa akan tidur dengan siapa malam itu. Sebuah hal yang menarik, dan bisa menjadi pertunjukan one night stand apabila mereka mendapatkan pasangan dengan chemistry yang tepat.

I’ve never seen a bus like this, even in USA.” Gumam seorang bule wanita muda tentang bus ini. Yap memang, ini adalah bus yang gila, yang akan langsung dibakar apabila melintas di depan tabligh akbar FPI.

Sempat terjadi sedikit masalah, ketika nomor bangku kami diganti dengan semena-mena oleh petugas bus. Namun semuanya berhasil diatasi oleh Eki, yang protes ke petugas di bawah bahwa seharusnya kami berada di kompartemen A (lantai atas, walaupun A di sini bukan berarti Atas) bukan B. Eki juga bercerita, bahwa ada masalah yang lebih pelik di bawah, ketika dua orang penumpang, yaitu wanita bule (berumur sekitar 50 tahun) dan pria bule garang –yang saya sebutkan sebelumnya– yang telah membeli tiket namun hanya tersisa satu tempat di bus ini. Karena tidak ada yang mengalah, akhirnya siapa yang berhak naik pun diputuskan dengan cara … lempar koin.

Gila. Dan saya sepertinya menjadi tahu dari mana lubang di kaca depan bus berasal.

Suasana terminal Bannaluang

Suasana terminal Bannaluang

Pukul 21:00, satu jam berselang sejak waktu yang dijadwalkan, bus berangsur-angsur bergerak meninggalkan terminal. Beberapa penumpang sibuk membiasakan diri dengan kompartemen dan lawan tidurnya, termasuk saya dan Eki. Bagi saya yang memiliki tinggi kurang dari 170 cm, panjang kompartemen ini terasa pas sekali, namun tidak demikian dengan Eki yang 20 cm lebih tinggi dari saya, yang terpaksa melipat kakinya. Namun Tuhan maha adil, kekurangan tinggi sebesar 20 cm tersebut telah dialihkan-Nya ke bagian lain.

Saya menoleh ke kompartemen yang lain, ada yang saling tidur dengan posisi bersisian, ada yang saling memunggungi satu sama lain, dan ada juga yang asyik mengambil posisi 69. Semuanya masih beradaptasi dengan bus gila ini. Tak berapa lama, lampu dalam bus pun dimatikan. Saya menutup lubang AC di atas kepala dan badan, mengenakan jaket dan selimut, tertidur sejenak, sebelum terbangun dengan tubuh bersimbah keringat sambil menyesali mengapa saya menutup lubang AC.

Suara-suara aneh terdengar, (baca: desahan dan dengkuran) ketika saya memejamkan mata kembali dalam gelap.

Jam tangan menunjukkan pukul dua pagi, ketika saya terbangun karena mimpi buruk. Bus sedang berhenti, dengan kondisi lampu dipadamkan dan mesin dimatikan. Saya membuka tirai, dan mendapati bus berhenti di sebuah tempat ramai yang mirip dengan restoran. Penumpang bus yang lain sudah tidak berada pada tempatnya, entah hilang ditelan bumi, atau diculik Prabowo.

Saya membangunkan Eki dan mengatakan bahwa mungkin ini saatnya makan malam. Ketika kami sudah bangun dengan gagahnya, lampu dinyalakan, dan penumpang bus satu persatu masuk ke dalam bus. Eki bertanya pada bule garang yang ternyata mendapat tempat di seberangnya, apa yang mereka lakukan di bawah sana, dan mendapati jawaban “It’s dinner time, man.“.

Ketika kami bersiap turun dari bus untuk makan malam gratisan, bus berjalan dengan santainya, membiarkan kami bengong dengan perut kosong di dalam bus. “The bus was stopped from 30 minutes ago, man.” Jelas si bule garang. LALU KENAPA LU GAK BANGUNIN GUE, MALIH! 

Sebuah peristiwa ketiduran yang mengingatkan saya dengan kejadian ini. Tapi untung masih ada Oreo dan air mineral.

Hari mulai hangat ketika bus perlahan memasuki Vientiane, jalanan yang berdebu dengan kuil Buddha di kanan kiri jalan merupakan pemandangan yang umum di sini. Dan walaupun dijadwalkan tiba di ibu kota pada pukul enam pagi, nyatanya kami baru tiba di Northern Bus Station pukul sembilan pagi, dan langsung dikerubuti supir tuk-tuk yang menawarkan jasanya.

Gila.