Laut biru yang berpadu dengan kerumunan nyiur hijau menyambut dari kejauhan, saat mobil kami memasuki wilayah Tanjung Bira yang membuat saya sontak menurunkan kaca jendela di samping kiri untuk menikmati udaranya. Setelah kurang lebih dua jam perjalanan dari Jeneponto, termasuk mengunjungi perkampungan pinisi di Bulukumba, akhirnya tibalah kami pada destinasi utama kami yang terletak di ujung paling selatan pulau Sulawesi. Tanjung Bira.

Pasir Putih Sehalus Bedak 

Mas Wahyu —driver kami– membelokkan mobilnya menuju jalanan menurun ke arah pantai yang kami lihat dari kejauhan tadi, tak ada aspal pada jalan tersebut, hanya jalan setapak yang terbentuk dari pasir yang mengeras karena sering dilalui. Di sekitarnya terdapat beberapa penginapan yang menghadap laut, bercampur dengan permukiman penduduk.

Kami segera menghambur keluar setelah Mas Wahyu memarkir mobil di pinggiran pantai, pantainya yang putih dan halus bagai bedak anti jamur membuat kami tak sabar untuk merasakannya dengan telanjang kaki. Dan kalau boleh jujur, inilah pantai terindah yang saya temukan selama perjalanan saya di Tanjung Bira.

IMGP1838

Pasir putih sehalus bedak

Phinisi Raksasa di Pantai Panrang Luhu

Selama perjalanan, Mas Wahyu telah menginformasikan bahwa ada beberapa pinisi yang juga dibuat di Panrang Luhu. Menariknya, kapal pinisi yang dibuat di sini –pesanan dari warga Eropa– berukuran raksasa, berkali lipat dari yang saya lihat di Bulukumba sebelumnya.

“Sayang, ini sedang libur Idul Adha.” Jelas pria kecil itu. “Kalau gak libur, kamu bisa lihat para pekerja pinisi bergelantungan mengerjakan tugasnya.” Tambah Mas Wahyu ketika kami naik ke salah satu kapal (yang nantinya akan bernilai miliaran Rupiah) yang belum jadi tersebut.

“Psst, sisipkan uang seikhlasnya untuk yang jaga kapal.” Imbuhnya lagi.

IMGP1844

Pembuatan pinisi di Pantai Panrang Luhu

Penginapan yang Tak Siap

Sebenarnya, kami berencana menginap di Sunshine Guesthouse yang tersohor, namun saking tersohornya, semua kamar tak ada yang kosong saat itu. Dan kami pun mengalihkan pilihan ke Salassa Guesthouse yang terletak tak jauh dari situ. Kamar telah dipesan sebelumnya oleh Nindya seharga Rp. 120.000,- per malam termasuk makan pagi, dan kami tiba di sana pukul 15:00.

Asumsi saya, waktu check out sebuah penginapan adalah pukul 12:00 – 13:00, sehingga pukul 15:00, semestinya penginapan sudah siap. Namun ketika saya tiba di penginapan yang mendapatkan review positif di Trip Advisor dan bahkan masuk Lonely Planet ini (source), kamar yang seharusnya saya tempati masih berantakan dan belum dibereskan. Mbak Shanty, pemiliknya, mengatakan bahwa belum sempat membereskan karena kekurangan tenaga kerja, dan menyarankan kami untuk pergi jalan-jalan terlebih dahulu dengan janji suci akan beres ketika kami kembali.

Ketika kami akan meninggalkan penginapan, kamar Nindya ternyata bermasalah dengan pintu yang tak bisa dikunci, dan ketika dia meminta untuk dibetulkan, Mbak Shanty mengatakan belum bisa membetulkan segera karena dia tak tahu caranya sehingga harus menunggu suaminya pulang.

…dan Ibu Kartini pun menangis di makamnya.

IMGP1939

Salassa Guesthouse

Pantai Bira yang Kotor

Sebelum tiba di Pantai Bira, bayangan saya akan pantai ini adalah pantai yang sepi, dengan pasir putih yang mulus layaknya wajah hasil Camera360 . Namun semuanya berubah 360 derajat dibagi dua ketika saya menginjakkan kaki di sini. Pantainya memang tidak terlalu ramai dengan pasir yang memang juga putih, namun tidak mulus, karena banyak sampah berserakan di sana-sini. Bahkan Pantai Sanur yang dijadikan pelabuhan kapal ke Nusa Penida dan sekitarnya pun masih lebih bersih dari ini.

Satu hal yang bisa ditonjolkan di pantai ini adalah air lautnya yang masih jernih dengan gradasi biru-toska yang menawan. Andai saja sampah-sampah, atau timbunan rumput laut yang hanyut ke daratan dapat dibersihkan, pasti pantai ini akan semakin menawan.

IMGP1943

Pantai Bira yang kotor

Pulau Liukang Loe yang Mungkin Biasa Saja

Kami berenam memutuskan untuk pergi ke Pulau Liu Kang Loe untuk snorkeling dan menikmati sajian ikan bakar khas-nya dengan men-carter sebuah perahu kayu yang dikomandoi seorang pria murah senyum (yang saya taksir) berumur 40-an bersama asistennya. Saya yang membawa masker dan snorkel sendiri langsung menceburkan diri ke salah satu spot yang ditunjukkan oleh Si Bapak, namun tidak menemukan pemandangan yang menarik. “Masih lebih bagus snorkeling di Bunaken.” Batin saya, walaupun di Bunaken banyak terumbu karang yang telah mati, atau bisa saja saat itu saya tidak snorkeling di tempat yang tepat.

Setelah perahu menepi di pulau, Si Bapak mengarahkan kami ke arah salah satu restoran di sana. Masing-masing memesan satu paket ikan bakar lengkap dengan nasi, sayur, piring, dan sambal seharga Rp. 30.000,- per porsi, di restoran yang ternyata merupakan kepunyaan dari famili Si Bapak pemilik perahu.

IMGP1894

Anu Palaka – Pupuy – Indro – Vieta – Nindya – Danu

Sewa Perahu yang Tak Transparan

Berdasarkan negosiasi awal di Tanjung Bira, kami mendapatkan harga Rp200.000,- setelah menawar dari harga awal seharga Rp300.000,-. Toh kami cuma menyewa selama 3-4 jam karena keterbatasan waktu yang kami punyai, begitu kata-kata yang kami utarakan ke bapak pemilik perahu yang mengiyakan angka itu sambil terkekeh.

“Berapa orang yang mau snorkeling?” Tanya Si Bapak. “Nanti kita ukur alatnya dulu.”

“Semuanya, Pak.” Jawab saya. “Tapi saya sudah membawa peralatan sendiri.”

Ketika kami bermaksud membayar sewa perahu di pulau Liukang Loe, Si Bapak dengan santainya menagihkan biaya “meminjam” peralatan snorkeling tadi kepada kami.

“Dua puluh ribu dikali lima. Berarti totalnya tiga ratus ribu sama perahu.” Jelasnya.

Yeee, oncom! Sama saja kayak harga awal dong. Kalau tahu begitu, saya seharusnya bertanya dulu, apakah tarif sewa kapal tersebut sudah sepaket dengan peralatan snorkeling.

Sunset yang Menawan di Pantai Bara

Sebelum kembali ke Tanjung Bira, kami mampir ke satu spot lagi yaitu Pantai Bara yang terkenal lebih sepi dan eksklusif. Yang agak ganjil dari perjalanan ini adalah, ketika Si Bapak pemilik perahu tidak ikut serta dengan kami. Beliau memilih tinggal di rumahnya yang terletak di Pulau Liukang Loe, dan meminta asistennya untuk mengantarkan kami kembali.

Yowes, aku rapopo, Mas.

Beruntung, Pantai Bara memiliki sunset yang menawan sehingga membuat kami betah menikmati pergantian hari menjadi malam di situ.

IMGP1913

Sunset Pantai Bara

d’Perahu Resto yang Mengecewakan

Malam harinya, Mas Wahyu mengantarkan kami bertualang di sekitar Tanjung Bira. Dari beberapa artikel yang saya baca, terdapat beberapa tempat hiburan malam di daerah tersebut, tepatnya di sepanjang jalan menuju Bara Beach Hotel. Namun ketika kami menuju lokasi tersebut, tidak tampak hingar bingar yang kami cari, tempat karaoke dan hiburan pun semua tutup, juga tidak ditemukan adanya penampakan wanita-wanita penghibur di sini. Mungkin dikarenakan besok adalah Hari Raya Idul Adha, sehingga mereka semua bertobat selama satu malam.

“Tobat satu malam, oh indahnyaaa.”

Tujuan pun dialihkan ke d’Perahu Resto yang melekat pada Anda Beach Hotel. Sepanjang pengamatan saya, restoran berbentuk pinisi ini merupakan yang terbesar dan termegah di Tanjung Bira, sehingga ekspektasi saya pun tumbuh tinggi seperti ketika Pemilu 2004 ketika mencoblos SBY.

IMGP1918

d’Perahu Resto di malam hari

d’Perahu Resto malam itu penuh sesak dengan pengunjung yang mencari penerangan dan kehangatan, karena malam itu, Tanjung Bira sedang dilanda mati listrik total dan hanya menyisakan beberapa penerangan dari lokasi-lokasi yang ber-genset, di mana salah satunya adalah d’Perahu Resto.

Kami bermaksud untuk makan malam di sana sambil menikmati debur ombak, namun ketika memesan, si pelayan yang berpenampilan layaknya anak hip-hop cuma berkata “Maaf, sudah tak bisa melayani pemesanan makanan, karena kekurangan tenaga kerja.”. Ya, dengan jumlah tamu yang mencapai puluhan orang dengan tenaga kerja yang (saya lihat) hanya tiga orang termasuk kasir, memang tidak mungkin untuk memuaskan semuanya. Entah memang restoran yang tak siap, atau memang sedang terjadi masalah internal rumah tanggga sehingga tak cukup orang untuk melayani.

Alhasil, kami hanya memesan beberapa minuman kaleng bersoda dan mengobrol di meja bekas pelanggan sebelumnya yang belum dirapikan, sambil tetap mendengarkan debur ombak hingga mengantuk.

Warung Lokal yang Tak Ramah

Dengan perut yang masih kosong dan listrik yang tak kunjung menyala, kami pindah lagi ke sebuah warung lokal untuk bersantap malam. Beruntung masih ada warung yang buka dengan penerangan yang cukup dan makanan yang masih tersedia. Ada beberapa pelayan yang ada dalam rumah makan tersebut, termasuk si bocah yang menunggu di kasir dengan acuh, dan seorang remaja putri yang terlihat cemberut. Kami memesan beberapa porsi nasi goreng dan beberapa botol minuman kepada seorang gadis kecil yang melayani dengan muka masam.

Setelah makanan tersebut habis, kami lanjut bermain kartu sambil menunggu listrik menyala kembali. Si gadis kecil masih bermuka masam padahal Indro telah menunjukkan beberapa trik sulapnya dan saya telah menggodanya beberapa kali dengan muka mesum. Anehnya, ketika menyambangi meja lain yang dipenuhi bule-bule yang memesan bir, entah mengapa si gadis kecil tersenyum lebar.

IMGP1927

Bermain Kartu di Warung Lokal

Perbedaan Perlakuan dengan Turis Asing

Setelah menunaikan ibadah Salat Idul Adha (Ya, saya merasa beruntung menemukan satu lapangan yang bisa dipakai salat berjamaah, sehingga tidak menggugurkan kewajiban tahunan saya menunaikan salat Idul Adha), kami kembali ke hotel untuk check out dan sarapan. Dari papan informasi di Salassa Guesthouse yang menyebutkan “We make our food with love & love needs time. Please be patient.” kami menyimpulkan bahwa makanan yang dihidangkan akan lama datangnya, sehingga kami memesan makanan terlebih dahulu, sebelum berkemas, dan kembali lagi ke lobby untuk sarapan.

IMGP1945

Lobby Salassa Guesthouse

Pak Erik –suami dari Mbak Shanty– menghidangkan sepasang toast yang gosong dengan telur mata sapi yang tak beraturan di sampingnya, lengkap dengan selai nanas dan mentega dalam sebuah piring. “Mau minum apa?” Ujarnya ramah. Saya memesan teh panas, dan Indro memesan es teh. Namun Pak Erik mengatakan sedang tidak ada es, sehingga tidak dapat memenuhi keinginan Indro.

Tak berapa lama, datang sepasang bule yang langsung duduk di belakang kami. Dengan ramah, Pak Erik melayani mereka dalam Bahasa Inggris yang fasih. Selain menu default yang dihidangkan, mereka juga memesan es teh sama seperti Indro. Namun anehnya, beberapa saat kemudian segelas es teh tersaji manis di atas meja mereka.

Mungkin lain kali saya akan memesan “ice tea” ke Pak Erik, alih-alih es teh. Itu juga kalau saya masih punya lain kali, mengunjungi Tanjung Bira yang saat itu tidak terlalu spesial bagi saya. Besar harapan saya, supaya Tanjung Bira dapat terus berbenah, mengoptimalkan potensi yang dimilikinya, sehingga dapat menjadi salah satu lokasi wisata unggulan di Indonesia.