“Terserah kamu aja deh Beb, aku ke mana saja ikut.” Ujar Eva, di tengah malam yang panas –karena kamar saya yang tidak ber-AC–, menjawab pesan yang saya kirimkan via WhatsApp. Dibantu dengan koneksi internet yang kencang, saya yang saat itu berprofesi sebagai pemburu tiket murah pun langsung melakukan beberapa kali klik pada website maskapai negara tetangga yang didominasi warna kebanggan Bangsa Indonesia, yaitu merah putih.

“Okay Beb, jadinya ke Penang bulan Maret, tiketnya lima ratus ribu PP.” Balas saya lagi via WhatsApp, yang tak dibalasnya lagi, karena sudah ketiduran. Memang, salah satu derita pencari tiket murah(an), adalah sering dititipi oleh kawan-kawan yang terkadang bahkan tidak menemaninya dalam proses booking dan payment, melainkan hanya berucap: (1) Gue titip ya. (2) Ke mana saja terserah deh, yang penting murah. (3) Eh, gue tidur dulu ya, kalau dapat kabarin.

Ngehek.

Dan beberapa bulan kemudian, tibalah kami di Penang.

IMG_00000063

Welcome to Penang!

Bepergian bersama Eva, bukanlah yang pertama kali saya lakukan, karena sebelumnya saya pernah mengunjungi Kamboja bersamanya juga beberapa kali jalan-jalan singkat yang kami lakukan di kampung halaman kami, Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia.

Saya pertama kali mengenal Eva sejak kelas 1 SMP, di mana dia belum menggunakan nama “Eva” melainkan masih “Novi” yang diambil dari nama panjangnya Noviana Eva Wati. Saat itu entah bagaimana keadaannya, buku catatan saya hilang, dan tiba-tiba sudah berada di meja Eva, eh Novi, yang berada dua deretan di belakang saya. Spontan saya berseru, “Balikin dong, kalau gak dibalikin berarti tandanya kamu suka sama aku!”. Novi hening, kelas hening, dan salah seorang anak perempuan yang merupakan anak teman Mama berseru “Hei Arif, nanti aku bilangin Mama kamu lho! Aku kenal sama Mama kamu!”.

Kelas pun semakin hening, dan buku catatan saya kembali ke tangan saya.

Pertemanan tersebut berlanjut hingga SMA, di mana kami hampir selalu berada pada kelas yang sama. Berdasarkan sejarah, hanya sekali kami tidak berada di satu kelas yang sama, yaitu pada saat kelas 2 SMA. Namun walaupun kami sering berada dalam satu kelas, bukan berarti kami sering mengobrol dan menjadi akrab. Faktanya, Novi lebih banyak menghabiskan waktu untuk bergaul (baca: pacaran dengan anak motor) dan beraktivitas (baca: aktif dalam organisasi seperti Paskibra, yang lebih suka mengibarkan bendera daripada bra) sementara saya lebih banyak menghabiskan masa muda saya di kelas dan di rumah (baca: belajar giat demi menggapai cita-cita).

Tercatat, kami hanya menjadi lebih dekat ketika ujian, karena abjad pada nama kami berurutan. Karena hal itu, Novi menjadi sering berbincang dengan saya, melalui kalimat seperti: “Psst.. Psst.. Nomor 37 jawabannya apa ya?” sambil menjulurkan tangan ke bangku belakang, yang saya respon dengan memberinya tulisan dalam sepotong kertas kecil.

Dan setelah masa SMA, jarak pun memisahkan kami. Walaupun sama-sama kuliah di ibukota, kami menjadi jarang ketemu karena kesibukan masing-masing. Sekadar informasi, saat itu saya kuliah di Ibukota Indonesia, Novi kuliah di Ibukota Jawa Tengah.

Tahun berganti, dan kami sama-sama lulus kuliah. Saat itu, saya sudah bekerja di Jakarta beberapa tahun, ketika Novi mengabarkan kalau dia diterima pendidikan dari sebuah perusahaan BUMN di Jakarta. Yang berujung pada dia akhirnya bekerja di Jakarta. Kami pun akhirnya menjadi satu kota, dan sering bertemu untuk sekadar nongkrong, bertukar cerita, hingga akhirnya liburan bersama. Saya menjadi saksi pergantian panggilan dari Novi menjadi Eva (yang entah mengapa bukan menjadi Wati), pergantian Eva dari anak Blackberry menjadi anak iPhone, hingga pergantian beberapa pria yang dekat dengan Eva (yang entah mengapa tak pernah bertahan lama, dan membuat Eva semakin sering liburan sebagai bentuk pelarian dari kesendiriannya). Dan salah satu liburan itu adalah mengunjungi Penang, bersama saya.

Kami tiba di Penang ketika PM sudah hampir berganti menjadi AM, dan bus kota yang menuju George Town –ibukota Penang– sudah tak tampak lagi. Di antara kesepian bandara, seorang pria bertubuh gempal menyapa kami. Dia memperkenalkan diri sebagai Idden (yang entah Idden Biggunnah atau Bilagunnah), seorang pelancong asal Indonesia yang ternyata satu pesawat juga dengan kami, dan satu penderitaan juga karena pesawat mengalami keterlambatan, yang membuat kami kehabisan bus menuju ke kota.

Di tengah kebimbangan antara menginap di bandara atau sprint menuju George Town, seorang pria beretnis India mendatangi kami dan menawarkan jasa taksinya. Setelah bernegosiasi secara singkat, kami setuju menggunakan (jasa-)nya dengan biaya 30 Ringgit, yang kemudian pembayarannya dibagi ke tiga orang (Saya – Eva – Idden, bukan Saya – Eva – Supir Taksi, -red.).

Pilihan Eva untuk menginap di Red Inn Heritage Hostel ternyata tepat, karena: (1) Terletak di jantung kota George Town. (2) Terletak dekat dengan pusat jajanan malam, dan (3) Terletak di Love Lane, yang merupakan kawasan lampu merah Penang, walaupun tidak terlihat adanya traffic light di sana. Sementara pilihan Idden untuk menginap di Old Penang Guesthouse ternyata lebih tepat lagi, karena (surprisingly) terletak pada jalan yang sama dengan kami dan hanya terpaut beberapa rumah dengan penginapan kami. Malam itu, kami berkesempatan untuk mencicipi kuliner Penang yang terkenal enak dan aman bagi dompet.

Pagi hari berikutnya, kami sepakat untuk mengunjungi Kek Lok Si Temple dan Bukit Bendera yang merupakan landmark unggulan Penang, juga Malaysia. Walaupun merupakan destinasi wisata unggulan Malaysia, salah satu kelemahan Penang adalah kurangnya moda transportasi menuju objek-objek wisata tersebut. Bayangkan, kami harus menunggu bus yang menuju ke arah Kek Lok Si Temple selama satu jam lamanya ditambah waktu tempuh perjalanan yang juga mencapai satu jam. Beruntung, Bukit Bendera terletak tak jauh dari Kek Lok Si Temple.

Kek Lok Si Temple, merupakan kuil Buddha yang terbesar di Penang, di mana pada puncaknya terdapat patung Dewi Kwan Im setinggi 30 meter yang terbuat dari perunggu. Selain patung tersebut, Kek Lok Si juga memiliki tujuh tingkat pagoda, di mana terdapat 10.000 penampakan Buddha di dalamnya. Dan bonusnya apabila naik hingga lantai teratas, kita bisa menyaksikan landscape Penang dari kejauhan. Oh iya, sebelum mendaki tangga menuju pagoda, kami juga menjumpai sebuah kolam yang penuh dengan ratusan kura-kura dari berbagai usia dan jenis kelamin.

Sekitar 15 menit perjalanan dari Kek Lok Si dengan menggunakan bus, kami tiba di stasiun tempat kereta yang akan membawa kami ke Bukit Bendera, yang merupakan puncak tertinggi di Penang. Bukit Bendera, yang terletak pada ketinggian lebih dari 2.000 kaki di atas laut, adalah salah satu tempat hiburan bagi penduduk Penang untuk menikmati akhir pekannya. Di sini, kami menemukan banyak sekali wisatawan lokal yang sedang piknik bersama dengan keluarganya.

Hiburan hari itu adalah adanya para pencinta satwa, yang sedang berkumpul untuk bermain bersama satwa kesayangannya. Mulai dari anjing, kucing, kelinci, ular, hingga sugar glider ada di situ, lengkap dengan pawangnya. Eva yang takut dengan ular (karena belum terbiasa) akhirnya memilih mendekati sugar glider yang imut-imut. Dan tepat ketika dia akan memotret binatang yang suka memanjat tersebut, si sugar glider melompat ke arah Eva, tepat di mukanya, menjatuhkan kaca matanya.

Nemplok. 

Eva menjerit seperti layakynya orang kesurupan di The Conjuring, namun binatang tersebut tetap tak mau lepas, dan justru mengaitkan cakar-cakarnya pada pipi Eva, kiri dan kanan. Setelah akhirnya berhasil terlepas (karena si sugar glider melompat ke badan si pawang), muncullah bekas cakaran di wajah Eva, kiri dan kanan.

View from Bukit Bendera

Setelah menikmati pergantian malam di Bukit Bendera, kami turun kembali ke perhentian bus dengan menggunakan kereta yang sudah dibeli sebelumnya dengan biaya 30 Ringgit untuk perjalanan pulang pergi. Menaiki kereta yang turun dari atas bukit curam pada waktu malam dan melewati terowongan gelap merupakan sensasi tersendiri yang harus dinikmati apabila sempat.

Hari berikutnya, adalah hari terakhir di Penang. Dan kami memutuskan untuk menikmati hari tersebut dengan berjalan-jalan santai menyusuri George Town. Sepanjang jalan, terdapat bangunan-bangunan peninggalan Inggris dan Peranakan yang terawat baik di sini, dan karena itu pula George Town dinobatkan sebagai UNESCO World Heritage Site sejak 7 Juli 2008. Ada yang bilang, sayang apabila sudah mengunjungi George Town namun tidak menyempatkan mampir ke salah satu bangunan bersejarah di situ. Maka hari itu, kami memutuskan untuk singgah dan mengikuti free tour di Cheong Fatt Tze Mansion atau yang lebih dikenal dengan nama Blue Mansion, karena warna catnya, bukan karena film yang diproduksi di dalamnya.

Yang menarik, di George Town juga terdapat belasan lukisan karya Ernest Zacharevic (atau biasa disebut Mural Art) yang digoreskan pada dinding jalanan, maupun rumah-rumah, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pelancong apabila bisa menemukan semuanya. Selain itu, pada tiap nama jalan atau gang yang bersejarah, dibuat pula sebuah ornamen besi yang menceritakan asal-usul nama jalan/gang tersebut.

Postcard to The Future

Clovis, Eva, Figuran, Idden, Figurannya Figuran.

Sebelum pulang, kami sempat menemukan sebuah galeri yang menjual kartu pos yang dibuat berdasarkan lukisan artis lokal bernama Clovis Leong dan istrinya. Yang membuat kami tertarik adalah konsep penjualan kartu pos tersebut adalah “Postcard to The Future” di mana kami dapat mengirimkan kartu pos tersebut pada tanggal yang kami inginkan di masa depan. Saya sendiri mengirimkan satu untuk Hana, yang tiba di Balikpapan pada tanggal 14 April 2013.

Screen Shot 2013-11-16 at 7.34.01 AM

Ihiy!

Sebelum berangkat, saya memenangkan satu unit Blackberry Z10 dari kuis yang diadakan oleh Indosat via Twitter, dan beberapa foto di bawah ini, juga dua video di atas adalah hasil karya kamera handphone tersebut.

***

Untuk cerita Penang versi Eva, kamu bisa mampir ke blog dia yang beralamatkan di www.pejalansore.com.

Setelah mengalami banyak kisah percintaan yang tragis, saat ini Eva sedang mencari lelaki idaman yang bisa menemaninya menikmati sore bersama secangkir kopi. Apabila kamu berminat, segera kirimkan CV ke Twitter Eva, yaitu @nevanov.

Di bulan November ini, Eva –yang telah menjadi kawan saya selama belasan tahun– juga merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh sekian.

Selamat Ulang Tahun Eva.

2013-04-04 10.11.35

Eva, stole my cellphone to take her selfie*.

*) Taken with Samsung Galaxy Note II