Saya melihat arloji yang terpasang di lengan kiri saya, walaupun bukan jam dinding, jarum-jarum jam yang menunjuk tiap angka dapat saya lihat dengan jelas dari mata telanjang saya. Jarum pendek di angka 5, dan jarum panjang di angka 1, pukul 17 lewat 5 menit. Sial, sudah lewat lima menit dari waktu berakhirnya seminar dari yang tertera di jadwal. Saya semakin cemas, menantikan kapan seminar ini akan berakhir, karena ingin segera menikmati suasana Manado di sore hari itu.

Sejak hari pertama di Manado, saya telah terpesona dengan keindahan alam yang disajikan Tuhan di sana. Pada pagi hari, view inilah yang saya dapatkan melalui jendela kamar saya di Hotel Aryaduta. Awan putih berarak menuju gunung berwarna hijau di kejauhan yang terefleksikan dengan jernih melalui air di bawahnya, juga jejeran bangunan beraneka warna dan usia yang berdiri tak simetris di tepian laut, di mana pada ujungnya berdiri sebuah tugu yang tinggi menjulang.

DSCN7802

Stunning view from my room.

Saya sempat bertanya kepada beberapa kawan yang berada di Manado, apa nama tugu tersebut, siapa pendirinya, dan mengapa bisa berdiri lama tanpa obat kuat. Namun semua berkata hal yang sama “Hah, tugu apa? Emangnya ada tugu di situ?”. Hal ini semakin membuat saya penasaran, akan eksistensi tugu tersebut. Semoga bukan hanya saya yang melihatnya.

Pukul 17:15, akhirnya seminar berakhir dan saya segera turun ke kamar untuk mengambil Peju. Sebelumnya saya sempat menawarkan kepada beberapa kolega apakah mereka mau ikut JJS (Jalan Jalan Sore, bukan Jalang Jalan Sore. -red), namun tak ada yang mengiyakan. Sebagian dari mereka hanya berucap “Ah, malas, ah.”,  “Ah, sebentar lagi kan makan malam.”, atau bahkan “Ah, ah, ah.”, hingga akhirnya hanya jiwa raga saya sendiri yang menjawab “Ah, yok!“. Saya heran pada orang-orang yang telah dibiayai oleh kantor seminar di luar kota, namun hanya memilih untuk berdiam diri di hotel, tanpa berinteraksi atau berkeliling di kota tersebut. Mubazir, mending uangnya untuk memberi makan anak yatim, misalnya saya.

Setelah hanya sempat mengganti sepatu dengan sandal –tanpa sempat berganti baju dan berdandan–, saya buru-buru turun ke lantai dasar dan keluar dari hotel. Hari perlahan mulai gelap ketika saya mempercepat laju langkah saya. Saya khawatir tak akan mendapat pengalaman jalan-jalan yang seru, apabila matahari telah tenggelam ditelan bumi. Tujuan saya kali ini adalah menuju tugu misterius yang terlihat dari jendela kamar hotel. Dan sepanjang perjalanan, saya mengamati orang-orang yang saya lewati.

Melewati kerumunan pekerja yang baru pulang kerja. Ada yang cantik.

Melewati gerombolan anak SMA yang entah baru pulang main, atau baru akan main. Ada yang cantik.

Menyeberang jalan, melewati beberapa polisi yang sedang mengatur lalu lintas. Ada yang cantik.

Melewati beberapa orang bertampang seram yang duduk-duduk di pinggir jalan, di depan spanduk “Brenti Jo Bagate“. Tak ada yang cantik. Saya bergidik.

Ternyata perjalanan beberapa ratus meter tersebut, telah membawa saya ke sudut jalan, di mana trotoar tak lagi berjaya, berganti dengan jalan berdebu yang ramai di mana mobil dan motor lalu lalang. Tugu tersebut terletak di sisi jalan seberang saya, di mana untuk mencapainya, saya harus melewati terowongan yang penuh terisi kendaraan bermotor. Namun apa lacur, sudah kepalang tanggung. Daripada saya kembali dan tak dapat apa-apa, mending saya lewati saja terowongan tersebut dengan gagah berani. “Bismillah.” Sambil berharap pantat saya tak terserempet di dalam terowongan.

DSCN7812

Mysterious Statue

Tak jauh dari terowongan, saya disambut oleh tugu yang sebelumnya hanya bisa saya saksikan dari jauh. Posisinya terletak di dalam komplek pertokoan yang masih dalam tahap pembangunan. Dari warna yang digoreskan pada pilarnya, saya mengetahui bahwa tugu tersebut masih seumur kandungan Ayu Ting Ting ketika menikah. Merah dan Putih, warna kebanggaan bangsa Indonesia. Dan di pucuknya, terdapat pahatan yang berbentuk seperti api yang sedang menyala. Mungkin menggambarkan semangat bangsa ini yang tak pernah padam, walau digerus kebijakan baru Tony Abbott mengenai pengungsi dari Indonesia.

Beberapa langkah setelah tugu tersebut, terdapat pantai, atau lebih tepatnya hasil reklamasi atas pantai berpasir hitam yang semula ada di situ. Batu kali disusun bertumpuk untuk mencegah air laut menepi ke daratan, terlihat kokoh walau bentuknya kurang menarik. Sore itu, terlihat segelintir manusia yang menikmati waktunya di pantai buatan tersebut. Sepasang muda-mudi yang duduk berdekapan di atas batu, anak-anak kecil yang bermain sambil berlarian, juga seorang pemuda –yang saya duga seumuran dengan saya– dengan kamera tergantung di leher yang sedang asyik mengambil gambar bersama seorang anak kecil.

Kamera yang tergantung di leher, melihatnya, membuat saya merasakan melihat refleksi diri saya sendiri. Berjalan kesana kemari, sambil membidik situasi yang dianggap menarik dengan kamera di leher. Merasakan kemiripan tersebut, saya pun mendekatinya.

“Halo.” (Ini adalah adegan yang wajar, di mana seorang pria memanggil pria yang lainnya. Akan menjadi tidak wajar jika diiringi adegan colek pantat atau cubit tetek.)

“Iya Mas.” Pria tersebut menoleh, jemarinya masih menempel di tombol shutter pada kamera prosumer Fujinya. (Ini juga jawaban yang wajar, karena adegan “cipika cipiki” tidak disarankan untuk orang yang baru saja kenal, apalagi sesama pria.)

“Jalan-jalan, Mas?” Saya mencoba membuka obrolan dengan kalimat retoris, karena saya tidak melihat dia sedang berjalan-jalan, bukan mengikuti maraton, atau menunggangi kuda sambil bermain polo. Obrolan kami pun berlanjut hangat, mulai dari siapa saya, apa yang sedang saya lakukan di Manado, dan siapa dia, apa yang sedang dilakukannya bersama anak kecil tanpa dosa itu. Dari obrolan tersebut saya mengetahui bahwa dia bukanlah orang asli Manado.

“Saya datang dari Tahuna.” Dia bercerita dengan logat khas Sulawesi, sambil menunjukkan letak daerah asalanya berada di Kepulauan Sangihe. “Kalau naik kapal bisa seharian dari sana menuju Manado.” Ujarnya lagi, sambil menjelaskan bahwa daerah ini adalah pelabuhan. Oh pantas, banyak terdapat kapal yang merapat di sisi kanan kami. Orang-orang bertampang seram yang saya lewati sebelumnya makin memperkuat fakta ini.

“Sering ke Manado?” Saya bertanya.

“Tak sering sih, tapi kali ini…” Dia tertawa kecil, sembari merangkul si anak kecil yang dari tadi bersamanya. “…saya baru saja menikah kemarin. Istri saya orang Manado. Dan ini adalah adik ipar saya.”

Saya memperhatikan raut muka bahagia pria itu, memang pria nampak lebih bahagia setelah melewati dua hal, yaitu (1) Pernikahan, dan (2) Malam Pertama. Spontan saya menyodorkan tangan saya, memberi selamat. “Selamat Mas. Oh iya, nama saya Arif.”

“Hehehe, makasih Mas. Saya Ical.”

Iya, namanya Ical. Entah nama imut dari Aburizal, atau kependekan dari Ical Mantovani. Paling tidak kata itulah yang saya tangkap dengan telinga saya. Sambil malu-malu, saya mengutarakan keinginan yang saya pendam sejak lama, sejak melihat tugu misterius itu dari jendela kamar hotel saya. “Boleh minta tolong fotoin, Mas?”

“Oke.”

DSCN7824

Me in my blue uniform.

“Oh iya, Mas. Tugu ini namanya apa ya?”

“Kalau gak salah, disebutnya Tugu Lilin.”

Sebelum perjumpaan berakhir, saya sempat memberikan kartu nama saya kepadanya, dan meminta untuk mengirim invitation pertemanan via Facebook. Namun sampai tulisan ini dirilis, belum terdapat invitation dari pria yang saya temui di Manado sore itu.

Sore itu, di bawah langit Manado, kami menanti senja.

DSCN7830

Dusk at the harbour.

***

Sepanjang umur perjalanan saya,

saya menyimpulkan,

bahwa langit di Manado adalah langit terindah,

yang pernah saya temukan.

DSCN7928

Manado’s sky at noon.

DSCN7933

Look at the pink sky, in the afternoon!

DSCN7936

Dusk at Boulevard

DSCN7937

People stop to see this beautiful sunset.

DSCN7939

Manado Tua Island in the distance.

DSCN7941

Manado’s sky in the evening.

Ya,

Inilah senja terindah,

yang pernah saya temukan.

***