Manusia memang diciptakan tanpa sehelai benang pun, namun sejak ditemukannya kain linen di Mesir yang berasal dari tahun 5000 SM, tekstil Woolen di Skandinavia dan Swiss yang berasal dari Zaman Perunggu Awal, juga tenunan India yang berasal dari tahun 3000 SM hingga sutra Cina yang berasal dari tahun 1000 SM, kita menemukan fakta bahwa manusia telah menggunakan benang, yang kemudian dipintal menjadi kain, dan diolah menjadi tekstil untuk mempercantik dan mempertampan penampilannya.

Sekarang, tekstil telah berkembang sedemikian rupa dan mempunyai bermacam olahan, mulai dari celana dalam, celana bermuda, hingga jegging; kaus dalam, kaus v-neck, hingga kaus oblong (selanjutnya akan disebut sebagai “kaus” dalam postingan ini); juga bikini, rompi tukang ojek berbendera parpol, hingga jaket beludru berumbai-rumbai.

DSCN8773

Some of My Traveling T-Shirt

Saya adalah penganut paham voyeurism sempit, di mana saya hanya berani menunjukkan lekuk tubuh saya pada tempat-tempat tertentu seperti kamar mandi atau onsen. Dan untuk itulah saya memilih kaus untuk menutupi aib (baca: lemak perut) karena berbagai alasan, yaitu:

  1. Ringan, jika dibandingkan kemeja atau jaket wol, kaus memiliki bobot yang cukup ringan dan tidak memakan tempat dalam tas ketika packing, cukup lipat tiga kali dan gulung.
  2. Nyaman, apabila dibuat dengan material yang cocok (seperti katun), kaus akan menempel dengan pas di badan, dan akan menyerap keringat ketika beraktivitas. Apabila ingin kaus yang lebih menyerap keringat, pertimbangkanlah untuk membeli kaus berbahan dasar Kanebo.
  3. Trendy, kaus akan membuat pemakainya beberapa tahun terlihat lebih muda, daripada mengenakan kain lurik atau kain kafan.
  4. Murah, apabila dibandingkan dengan tekstil olahan lain dari merk sejenis, kaus oblong adalah olahan yang paling murah, selain kaus dalam dan kaus kaki.
  5. Pesan, sablon yang terpampang pada kaus terkadang menyampaikan pesan yang unik dan lucu, seperti kaus yang menyatakan “I am Serious Traveler” atau kaus yang mengatakan bahwa Singapore is a “fine” country.
DSCN8772

Who am I?

Ketika traveling, saya suka menghadiahi diri saya sendiri dengan kaus yang saya dapatkan dari tempat-tempat yang saya kunjungi, mulai Curug Cikaso hingga Bunaken, juga Kamboja hingga Jepang. Semuanya menciptakan kenangan tersendiri akan tempat tersebut dalam hati. Dan ketika traveling, saya juga memakai beberapa kaus yang saya anggap memiliki karakter yang cocok dengan saya. Pernah suatu ketika seorang bule meminta saya untuk berbalik, karena dia ingin memotret bagian punggung kaus “a tourist” saya, dia mengatakan bahwa tulisan yang saya print di bagian belakangnya kaus custom tersebut cukup unik. Tulisan tersebut berbunyi “Don’t follow me, I’m lost.“.

Saya percaya, bahwa setiap kaus memiliki kisahnya sendiri. Beberapa koleksi kaus yang saya perlihatkan di sini, adalah kaus yang saya pakai dan/atau saya peroleh ketika traveling, dan inilah 5 kaus dengan kisah paling menarik:

1. Communist T-Shirt

DSCN8775

Am I a communist?

Saya mengeluarkan sepotong kaus merah dari dalam lemari, memakainya di badan, sebelum menunjukkannya kepada Mama.

“Mah, ini…”

Belum sempat saya menyelesaikan kalimat saya, Beliau berteriak “BURUAN GANTI KAUSNYA! BISA DITANGKAP POLISI NANTI!” Mama menggelengkan kepalanya. “Bocah kok aneh-aneh.”.

Wong edan!” Om saya yang mendengar pembicaraan pun ikut menceramahi saya mengenai kaus yang saya pakai. Membayangkan ditangkap polisi hingga hukuman cabut kuku satu persatu dengan badan terikat di kursi listrik membuat saya langsung mengganti kaus tersebut dengan yang lain. Memang logo palu arit tersebut melambangkan komunisme, paham yang mengingatkan kita akan kekejaman PKI, paham yang dilarang di Indonesia. Saat ini masih ada beberapa negara yang menganut paham ini, dan salah satunya adalah Vietnam.

Kaus ini saya beli seharga 50.000 Dong, atau 25.000 Rupiah di Bến Thành Market, Ho Chi Minh. Penjualnya adalah seorang ibu paruh baya, di sudut pasar yang hanya bisa mengucapkan sedikita kata dalam Bahasa Inggris yaitu “Hello” dan “Thank You“. Berbeda dengan penjual lain yang mempunyai kios di pasar tersebut, si ibu ini hanya menaruh barang dagangannya di meja panjang, dan beberapa display-nya digantung pada tali yang digantungkannya dari dinding ke dinding. Melihat semangat si ibu yang masih menggelora, kami pun memutuskan berbelanja di lapaknya, tentunya dengan menawar terlebih dahulu. Wajah riang terpampang dari wanita tua itu, sambil berucap “thank you” berulang kali, dia melepas kepergian kami berempat dengan kresek belanjaan yang penuh kaus bertema Vietnam di tangan.

Sampai saat ini, kaus tersebut hanya menjadi penghuni tetap di lemari kamar, dan tak tahu kapan akan saya kenakan lagi. Mungkin suatu saat nanti, guna menepati janji saya pada sang ibu untuk kembali lagi ke Vietnam.

2. This is Singapore T-Shirt

DSCN8779

This is Singapore!

Tak ada yang spesial dari kaus ini, hanya kaus putih bergambarkan seorang pemuda yang sedang merokok, dengan tangan kiri memegang gelas berisi beer dan tangan kanan menggenggam kunci mobil. Di bawah kakinya terdapat sampah/ludah yang dibuangnya secara sembarangan. Mengenakan kaus bertuliskan “do you know?“, pemuda jabrik ini menjelaskan kepada kita bahwa merokok dilarang di pusat perbelanjaan, perhentian bus, restoran, bioskop, juga bangunan pemerintah. Dendanya tak main-main 1000 Dollar Singapura! Dia juga mengatakan bahwa membuang sampah/meludah sembarangan di Singapura juga bisa dikenakan denda 500 Dollar, jumlah yang sangat banyak untuk ukuran pelancong asal Indonesia, termasuk saya.

Selain pesan “if you drunk, please don’t drive” yang terpampang pada kaus tersebut, yang diharapkan dapat membuat pembacanya meninggalkan mabuk-mabukan ketika mengemudi, ada satu hal yang membuat kaus ini spesial. Ya, kaus ini adalah kaus pertama yang saya beli ketika melancong ke luar negeri.

Penjualnya adalah seorang wanita muda beretnis Cina, yang menjajakan dagangannya mirip cici-cici Mangga Dua, di Bugis Street. Melihat harga yang lumayan mahal untuk kaus ini, yaitu 13 Dollar, sempat membuat saya mengurungkan niat membelinya –dan mempertimbangkan untuk membeli kaus berbahan tipis mirip saringan tahu bertuliskan I  Singapore seharga 5 Dollar– namun mengingat bahwa yang pertama biasanya menimbulkan kesan, saya pun merelakan beberapa lembar Dollar tercabut dari dompet saya. Ikhlas.

Nyatanya, karena pertumbuhan aib (baca: lemak perut) yang semakin pesat, kaus berukuran S (S stands for sexy) ini sekarang sudah tidak muat lagi. Ikhlas.

3. Via Agra T-Shirt

DSCN8778

Via Agra, makes greatest erection so far.

Saya langsung suka pada kaus ini sejak pandangan pertama. Permainan kata-kata yang tercetak pada dada kaus itu telah membuat saya luluh, dan tak ragu untuk meminangnya dengan beberapa lembar Rupee. Terdapat gambar sebuah bangunan di tengah-tengah kaus itu, bangunan yang dikenal orang sebagai bangunan terindah di dunia, yang bernama Taj Mahal. Bangunan megah yang didirikan oleh Shah Jahan di kota Agra kala itu, untuk mengenang kepergian istri ketiganya, Mumtaz Mahal. Walaupun masih banyak kontroversi seputar bangunan ini, apakah ini masjid atau justru bangunan Hindu, namun tak dapat dipungkiri bahwa ini adalah bangunan ini adalah bangunan termegah dan terindah yang pernah didirikan seorang pria untuk seorang wanita, istri ketiganya.

Man’s greatest erection for a woman.

Demikian wordplay yang tercetak pada kaus bermerk Tantra berwarna abu-abu tua tersebut, dengan tulisan Via Agra tebal di atasnya. Via Agra –yang dapat dibaca secara cepat sebagai ViaAgra–, menyimbolkan obat perkasa khusus laki-laki, sekaligus menunjukkan bahwa Taj Mahal terletak di Agra. Sementara greatest erection menggambarkan bahwa inilah bangunan termegah yang pernah didirikan seorang pria, sekaligus menunjukkan efek Viagra, yang membuat pria-pria mengalami ereksi hebat.

Walaupun menggambarkan Taj Mahal dan Agra, menariknya, kaus ini justru saya dapat ketika mengunjungi Elephanta Island, –pulau yang berisi kuil-kuil pemujaan para dewa yang dibuat dengan cara melubangi dan mengukir batuan raksasa– yang ditempuh sekitar satu jam perjalanan laut dari Mumbai (belasan jam perjalanan darat dengan menggunakan kereta dari lokasi Taj Mahal, Agra).

4. Thailand National Team Jersey

DSCN8777

Thailand national team jersey #14

Can I have my name printed on the back of the shirt?” 

Sure, what’s your name?”

“A-R-I-F, but I want you to write that name in Thai letter.”

Demikian permintaan saya terhadap kaus kuning kebanggaan tim nasional Thailand, ketika mengunjungi Kaka Shop, salah satu toko jersey KW Thailand yang berlokasi pada salah satu gang di samping National  Stadium, Bangkok. Kunjungan saya ke toko ini adalah gara-gara Joddy,  seorang pelancong asal Indonesia yang saya temui ketika berkunjung ke Phuket, bulan September tahun 2011. “Lu mau bisnis jersey gak?” Ujarnya di atas perahu yang membawa kami berkeliling Phang Nga Bay di antara rintik hujan.

“Hah?” Saya memang berencana membeli jersey di Bangkok –kota yang menjadi tujuan akhir saya pada trip tersebut– namun untuk bisnis, sepertinya belum ada rencana. “Paling cuma beli doang, buat dipakai sendiri.”

Joddy menyerahkan selembar kartu nama bertuliskan KAKA SHOP kepada saya “Ini pegang aja dulu, siapa tahu berubah pikiran.” Ucapnya, sambil menceritakan pengembaraan di Bangkok beberapa hari sebelumnya “Gue kayaknya mau bisnis jersey, lumayan untungnya.” Tambah Joddy.

Dan ucapan tersebut ternyata adalah doa. Saya sempat berbisnis jersey selama beberapa bulan sepulangnya dari Thailand, namun terhenti karena kesibukan kantor dan kemalasan diri sendiri. Untungnya lumayan, sekitar 4x lipat dari modal awal, dengan omzet belasan juta rupiah tiap kali order. Bonusnya, saya bisa ke Thailand gratis berkat jualan jersey tersebut.

Sampai saat ini, saya masih tak tahu apakah bagaimana cara membaca tulisan Thailand yang terdapat pada punggung kaus tersebut. Bisa saja A-R-I-F, atau mungkin juga T-O-M C-R-U-I-S-E, saya tak tahu.

5. I  Tokyo T-Shirt

DSCN8776

I ❤ Tokyo

Dari sekian banyak kaus yang saya tunjukkan pada foto pertama, mungkin hanya inilah kaus paling berkesan yang tidak saya peroleh/beli sendiri. Adalah mendiang Papa saya, yang membelikan kaus ini sebagai oleh-oleh dari kunjungan dinasnya di Jepang beberapa tahun silam. “Ini kaus paling murah yang Papa temukan di Jepang.” Ujarnya kala itu.

Waktu berganti, Tuhan berkehendak, dan Papa berpulang. Saya menjadikan kaus ini sebagai pemacu semangat kala traveling. Perjalanan napak tilas mengunjungi tempat-tempat yang pernah Papa kunjungi, saya lakukan dengan mengenakan kaus ini. Mulai dari Jurong Bird Park di Singapura, hingga kuil Asakusa di Tokyo. Saya merasakan bahwa Papa begitu dekat, ketika berkunjung ke tempat-tempat tersebut. Perjalanan tersebut saya sebut sebagai perjalanan untuk mengumpulkan kepingan kenangan.

Saat ini, kondisi kaus ini sudah cukup belel, dengan sedikit lubang karena sengatan setrika. Karena sayang dan eman-eman, maka kaus ini sekarang lebih banyak berdiam di lemari, menemani Papa yang kini telah tenang di sisi-Nya.

Oh iya, perjalanan mengumpulkan kepingan kenangan Papa di Jepang dengan menggunakan kaus ini, bisa dibaca di buku The Journeys 3 yang akan segera terbit bulan ini. Nantikanlah.

***

I believe that every T-Shirt has its own story and fate,

and these are my story.

How about yours?