“WOY SINI!” Seorang wanita melambaikan tangannya dari meja panjang di sudut restoran, memamerkan deretan giginya yang rapi. Senyumnya sumringah, tak ada tanda-tanda kalau dia habis kesal di hari sebelumnya.

“Wih, udah gak bete nih?” Tanya saya, sambil meletakkan tas saya di bawah meja.

“Lu emang mau gue betein terus?” Jawab Fara, sementara Wandy yang duduk di hadapannya cuma senyum-senyum.

“APA LU?”

Pertemuan sore itu, entah merupakan pertemuan kami yang keberapa. Sudah merupakan agenda rutin tiap bulan kami — Saya, Fara, dan Wandy, walau kadang bersama beberapa figuran –, untuk menyempatkan diri bertemu, makan, ngobrol tentang apapun, dan juga foto-foto seperti di bawah ini.

2013-06-06 18.20.19

Me, Fara, & Wandy – Food Court Senayan City

Lalu, bagaimana awal pertemuan saya dengan Fara?

Beginilah kisahnya.

***

Berawal dari malam natal, di musim dingin tahun 2011. Sekelompok muda-mudi bangsa Indonesia berkumpul di pelataran Plaza Semanggi, bukan untuk meresmikan Sumpah Pemuda, melainkan menanti bus yang akan membawa mereka berlibur mengunjungi Anak Krakatau bersama @Tukang_Jalan. Seperti yang sudah kalian duga, salah satu pemuda di situ adalah saya, sementara yang lain, sebut saja pemuda-pemudi lain. Sekitar pukul sembilan lebih, bus yang ditunggu akhirnya tiba, dan kami bergegas menaiki bus tersebut, menuju Merak, sebelum menyeberang ke Bakauheni, untuk menuju Anak Krakatau.

Karena kemacetan ibukota, bus baru merapat di Pelabuhan Merak selepas tengah malam. Setelah bus terparkir rapi di dalam kapal feri, kami diminta turun untuk beristirahat di ruang khusus penumpang pada dek atas. Di sini, saya mengupgrade kelas penumpang menjadi kelas bisnis, supaya bisa merebahkan diri, dan tidur mengumpulkan tenaga sebelum melanjutkan perjalanan esok harinya.

DSCN6960

Lampung di kejauhan.

“Daratan!” Sebagian orang berseru sambil menunjuk tulisan “LAMPUNG” yang terpampang jauh di seberang, sementara di dekat saya, ada seorang ibu sedang mencuci anaknya yang muntah akibat mabuk laut di toilet kapal yang baunya aduhai. Setelah para penumpang duduk pada tempat semula, bus melaju menuju Pelabuhan Canti. Canti merupakan batas terakhir perjalanan darat saat itu sekaligus tempat kapal menyeberang ke Pulau Sebesi, pulau yang akan kami pakai untuk tempat menginap pada perjalanan kali ini.

DSCN6965

Pelabuhan Canti

Setelah sarapan di warung pada Pelabuhan Canti, kami pun berangkat menuju Pulau Sebesi. Acara hari pertama ini cukup seru, karena melibatkan snorkeling di Pulau Umang-Umang hingga menikmati sunset di Ujung Seng. Penginapan kami, bertipe homestay, yaitu rumah penduduk yang disewa untuk menginap. Karena bertemakan syariah, maka proporsi penginapan kala itu menjadi: Satu rumah untuk pria, dan satu rumah untuk wanita. Tak ada ranjang bergoyang di situ, karena memang hanya terdapat belasan kasur yang digelar pada lantai keramik yang cukup luas.

DSCN7003

Homestay di Pulau Sebesi

Pulau Umang-Umang sendiri, merupakan pulau tak berpenghuni yang kerap dijadikan lokasi snorkeling, apabila kebetulan sedang berada di sekitar Pulau Sebesi. Walaupun tak terdapat banyak terumbu karang yang menawan, namun acara snorkeling bersama teman-teman baru adalah hal yang mengasyikkan. Sementara, Ujung Seng adalah salah satu tempat terindah untuk memandang sunset di Pulau Sebesi. Untuk mencapainya, kami harus menyewa motor dari penduduk setempat, dan berkendara selama kurang lebih setengah jam melewati perkampungan penduduk, pinggiran pantai, dan menerobos ilalang setinggi hobbits. Di ujung jalan itulah, terdapat hamparan pantai berbatu yang cukup luas, di mana kita bisa menyaksikan matahari turun perlahan dengan cantiknya.

DSCN7040

Nyasar di Pulau Umang-Umang

Lalu, mana Fara?

Jadi beginilah ceritanya.

***

“Motret apa?” Tanya seorang wanita di samping saya, pada perjalanan pagi dari Pulau Sebesi menuju Cagar Alam Krakatau.

Saya menggantungkan Peju kembali, “Anu, cuma iseng kok.” Jawab saya. “Suka motret juga?” Saya bertanya balik.

“Iya, suka.” Dia memegang kameranya, sebuah kamera dengan optical zoom yang panjang. “Tapi gue sukanya motret candid. Jadi pakai kamera ini.”

“Ooohhh.” Dan kamipun berkenalan. Namanya Fara.

“EH LIHAT GUNUNGNYA UDAH KELIHATAN! GEDE BANGET!”

“MANA MANA MANA?”

DSCN7207

Kecapekan di perjalanan

Krakatau merupakan nama kepulauan vulkanik yang terletak pada Selat Sunda di antara Pulau Jawa dan Sumatera, sementara Gunung Krakatau adalah gunung yang telah meletus dan hilang pada tahun 1883. Konon, karena letusannya yang sangat dahsyat ini, timbul awan panas dan tsunami yang memakan korban jiwa sekitar 36.000 orang, dan suaranya bahkan terdengar hingga Afrika dan Australia (sumber: Wikipedia). Daya ledaknya sendiri diperkirakan mencapai 30.000 kali daya ledak bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II.

DSCN7244

Cagar Alam Krakatau

Kurang lebih 40 tahun setelah letusan yang melegenda itu, pada tahun 1927 muncullah sebuah gunung dari dasar laut, yang kemudian dikenal dengan nama Anak Krakatau. Peristiwa yang menyenangkan, karena muncul gunung penerus Krakatau, sekaligus menyedihkan karena, sang anak datang tanpa bapak tanpa ibu. Hiks. Lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya Anak Krakatau tersebut, sekarang telah dijadikan kawasan cagar alam, bernama “Cagar Alam Krakatau”.

Karena merupakan kawasan vulkanik, maka pasir di tempat ini berwarna hitam, hingga ke pantainya. Selepas sarapan, rombongan kami mulai mendaki sang Anak Krakatau tersebut. Kasihan sih, masih anak-anak sudah dipanjat. Untuk mencapai puncaknya, kami mengikuti jalan setapak yang telah dibuat oleh sang ranger penjaga cagar alam. “Hati-hati.” Pesan mereka. “Di sini masih banyak terdapat binatang buas. Dan jika kalian tidak mengikuti jalan yang ada, maka kalian akan tersesat.”

Setelah kurang lebih satu jam menembus hutan belantara dan mendaki gunung yang berpasir dengan sekuat tenaga, tibalah kami di pintu gerbang kemerdekaan puncak Anak Krakatau tersebut. Sejauh mata memandang, terlihat laut yang membentang luas, pulau-pulau kecil di sekitar, juga gugusan anak krakatau yang lain. Pemandangan yang kami lihat di sana, sangatlah menakjubkan.

DSCN7295

Istirahat di Puncak

Terus, Fara mana?

Inilah penampakannya.

DSCN7272

Penampakan Fara di Anak Krakatau

***

Setelah trip Krakatau, saya dan beberapa peserta trip kala itu sesekali mengadakan acara kumpul-kumpul di luar trip. Sekadar ngopi atau nongkrong, dan sejak saat itu timbullah ikatan pertemanan di antara kami. Hari natal yang diperingati sebagai hari kelahiran Yesus Kristus, juga kami peringati sebagai hari kelahiran jaringan pertemanan baru. Ya, semua karena Cagar Alam Krakatau.

Dalam lingkup yang lebih kecil, saya – Fara – Wandy, lebih sering mengadakan pertemuan dan juga perjalanan seperti ketika mengunjungi Dieng. Entah chemistry apa yang membuat kami intim, yang jelas ketika bersama, kami merasa waktu selalu kurang. Saat pertemuan, biasanya terbagi dalam 3 sesi, yaitu sesi makan hore, sesi curhat asyik, dan sesi foto gembira. Dan bahkan hanya Fara yang mampu memaksa kami melakukan adegan najis dan ketinggalan zaman ini.

2013-03-25 08.28.58

Photobox in 2013

Bagi saya pribadi, sosok Fara adalah sosok seorang kakak yang baik. Suka mentraktir, baik hatinya, dan mampu memberikan solusi atas persoalan yang kerap saya alami. Walaupun saya kadang menyebalkan, namun di hari Kamis tanggal 13 Juni ini saya ingin mengucapkan “Selamat Ulang Tahun, Fara! Semoga Cepat Jodoh!”

2013-05-19 07.59.01

#FaraNikah2013

Happy birthday Fara!

Have a Benjamin Button’s case, getting younger year by year,

but stop at 17th.